Kabut pagi Di Suryakenca By Aprillawati J.Moenaf
Posted: Kamis, 05 November 2009 by j13_21n90 in Hari menjelang senja ketika rombongan Pataga menuruni Lembah Suryakencana dari arah Gunung Gemuruh. Hamparan lembah yang luas tak bertuan itu memutih oleh bunga-bunga edelweiss yang tengah memutik. Lewat temaram senja, edelweiss tampak berpijar-pijar memantulkan cahaya. Sungguh pesona alam yang sangat mengagumkan. Sebagian anggota pencinta alam itu melangkah dalam hening. Udara dingin terasa keras menusuk kulit.
Rudi yang berjalan paling depan memalingkan wajahnya sejenak ke belakang. Sebentar ia menghentikan langkahnya. Matanya mencari-cari Keke. Tak tampak. Heh, di manakah gadis itu?
Sekali lagi diperhatikannya kawan-kawannya yang lain satu per satu. Yah, bukan saja Keke yang tidak ada. Heri, Evi, dan Lidia pun tak nampak di dalam rombongan.
"Wik, ke mana Heri?" tanya Rudi kepada Wiwik yang berjalan paling dekat dengannya.
Wiwik menaikkan bahunya sedikit. "Entahlah! Mungkin masih di belakang."
Wajah cowok itu sedikit khawatir menatap Wiwik. Diliriknya jam tangan di lengan kirinya. Pukul lima lewat empatpuluh menit. Berarti sudah duapuluh menit yang lalu mereka berkumpul di Puncak Gemuruh tadi. Seharusnya rombongan yang dipandu oleh Heri pun sudah sampai di lembah. Perjalanan dari Puncak Gemuruh ke lembah tidak terlalu jauh, paling hanya memakan waktu sepuluh menit.
"Mengapa, Rud?" tegur Wiwik.
"Oke, Wik. Kau jalan duluan. Aku tunggu rombongan Heri di sini."
"Ah, kau terlalu khawatir, Rud. Mereka tidak apa-apa. Heri toh, bukan untuk pertama kali ke tempat ini. Setiap gladian, ia selalu ikut, kan?"
Rudi tersenyum kecil. "Ya. Tapi, sekarang ia tetap sebagian dari rombongan kita. Jangan lupa itu!"
Wiwik tertawa gelak, kemudian melangkah meninggalkan Rudi sendirian.
"Ah!" Cowok itu mengeluh singkat. Tidak seharusnya memang ia terlalu khawatir seperti sekarang ini. Tapi... entahlah. Dengan ikutnya Keke dalam rombongan ini, membuat rasa khawatirnya seperti berlebihan.
"Heiiii...!" Terdengar teriakan suara Heri dari sela-sela pohon besar yang menutupi Gunung Gemuruh.
Rudi tersentak. Matanya berusaha mencari-cari sosok Heri. Tapi tak nampak.
"Oiiii...!" Terdengar lagi suara Heri memekik.
Setengah berlari, Rudi menyongsong ke arah suara itu.
"Heri! Heri! Kau di mana?" teriaknya.
"Kami tersesat!" Kali ini teriakan Heri terdengar tidak terlalu jauh.
"Kalau begitu tak usah kau lanjutkan perjalanan itu. Sebaiknya kembali ke jalur semula!" ujar Rudi dengan penuh rasa khawatir. Ia tak tahu, mengapa tiba-tiba saja ia begitu cemas. Di pelupuk matanya terbayang wajah Keke. Ah, cepat-cepat ditepisnya bayangan gadis itu.
"Heri, kau masih di situ?"
Sekarang tak terdengar jawaban Heri. Perasaan Rudi semakin gelisah.
"Heri! Heri kau masih di situ?" ulangnya sekali lagi.
Tak ada jawaban.
"Heri, kau kembali ke jalan semula!"
Tetap sepi, tak ada jawaban. Hening di lembah itu tiba-tiba saja terasa sangat mencekam.
Rudi menatap langit yang kian gelap. Dalam pikirannya kini, yang terbayang adalah Keke. Kasihan gadis itu. Baru pertama kali mendaki, sudah tersesat. Bah! Rudi memaki udara kosong. Ini tentu eksperimen Heri untuk mencari jalan baru menuju lembah. Anak satu itu memang sok tahu, sok pahlawan!
Kecemasan Rudi semakin kuat. Apalagi belum ada tanda-tanda mereka tiba di lembah.
"Heri! Evi! Lidia! Ke...!"
"Hei!" Tak jauh darinya, Heri — diiringi langkah Lidia, Evi, dan Keke — melambai ke arahnya. Wajah mereka biasa saja, tak ada tanda-tanda mereka nyaris tersesat di dalam hutan sana. Bahkan ia melihat Keke, gadis yang begitu di khawatirkannya, asyik mengobrol bersama Lidia sambil tertawa ceria.
Sialan, umpat Rudi dalam hati. Kiranya cuma ia saja yang dicekam rasa cemas. Sedangkan mereka yang dicemaskan bersikap biasa-biasa saja, seperti tak terjadi apa-apa. Sialan! Sekali lagi Rudi mengumpat.
"Kau ajak ke mana mereka, Her?" tanya Rudi, menahan dongkol.
Heri tersenyum sambil menepuk pundak cowok itu, akrab. "Kami hampir tersesat tadi. Aku mengusulkan untuk menuruni jalur baru, yang kuperhitungkan bisa memotong jalan. Eh, ternyata jalur itu buntu!" Heri mengumbar gelak seenaknya, seakan tidak punya perasaan bersalah setelah membuat Rudi khawatir.
"Untung saja kau tak mati di sana!" rutuk Rudi, yang masih diselimuti perasaan dongkolnya.
Heri kembali tertawa. "Yah, rasanya aku memang tak mungkin mati di sini. Terlalu menyedihkan, karena bangkaiku tak ada yang mengurus."
"Tapi kau bisa pulang pakai helikopter!"
"Hahaha...." Heri kembali menjawab kedongkolan kawannya dengan suara tawanya yang keras.
Rudi tersenyum masam. Dalam hati ia merasa malu dengan perasaannya sendiri. Seharusnya ia memang tak perlu khawatir secara berlebihan. Heri rasanya tak mungkin tersesat jauh untuk menuruni Gemuruh menuju lembah. Sudah hampir lima tahun berturut-turut ia ikut membimbing gladian di tempat ini. Bah! Perasaan jengkelnya muncul lagi ketika tahu Heri hanya mempermainkannya. Agaknya anak itu tahu kalau ia menyimpan kekhawatiran pada Keke.
Diliriknya gadis yang berjalan di samping Heri itu.
Wajahnya berkesan acuh tak acuh. Apalagi dengan potongan rambutnya yang cepak serta kacamata minus di tulang hidungnya. Rudi menarik napas panjang.
Gadis itu begitu pas dengan sikapnya yang cuek.
Diam-diam Rudi menyimpan ketertarikannya pada gadis itu dalam-dalam di hatinya.
Langit di sekitar lembah kini berkilau dalam cahaya keperak-perakan. Mega hitam berarak, siap menutupi cakrawala. Mereka beriringan menuju kemah. Dingin udara lembah sudah terasa menusuk kulit. Bahkan Evi sudah nampak menggigil.
"Ayolah, kita cepat sedikit. Kita masih harus membangun tenda dulu," ajak Rudi.
Mereka pun berjalan agak tergesa menuju tempat perkemahan. Tiba di sana, tenda sudah berdiri. Ati dan Wiwik sudah mulai sibuk menjerang air. Mereka memang termasuk gadis-gadis terampil di Pataga. Kedua gadis itu sudah cukup terbiasa bertualang di alam bebas. Kesiapan mereka memang patut dihargai.
Rudi tersenyum bangga kepada kedua gadis itu. "Heh, kalian boleh juga," pujinya.
"Apanya yang boleh?" Wiwik pura-pura tak mengerti pada pujian Rudi.
Rudi memutar matanya pada tenda dan kompor gas yang sudah menyala. "Pekerjaan kalian boleh juga, sehingga aku bisa langsung istirahat di sini." Rudi membanting tubuhnya di dalam tenda.
Semua yang melihat ulah cowok itu tersenyum; kecuali Keke yang hanya menatapnya dengan senyum dingin. Hal itu tentu saja membuat perasaan Rudi jadi mangkel. Tapi, ah, gadis boyish alias tomboi itu terlalu sayang untuk diumpatkan. Entahlah, setiap menit pembawaan gadis itu semakin menarik saja di matanya. Padahal selama ini ia tak pernah memendam perasaan yang seperti itu kepada setiap kawannya sesama pencinta alam. Kalaupun ia mengagumi Wiwik atau Novi, misalnya, itu hanya sebatas perasaan kagum semata. Tak terlalu mendalam.
"Rud, kau mau minum kopi nggak?" Terdengar tawaran Ati kepadanya.
"Oh, tentu, kalau kopinya cappuccino!" ujar cowok itu bergurau, sok glamor.
Heri tertawa sambil melempar handuk ke badan kawannya itu. "Gayamu! Seperti anak tajir saja. Padahal, biasanya juga minum kopi tubruk. Kopi hitam kampung, tanpa gula pula!" cetusnya.
Rudi tertawa terbahak. "Dalam cuaca lembah yang begini dingin, minum kopi ala cafe yang harganya selangit memang enak sekali, ya?"
Sebenarnya, Rudi mencoba mengalihkan ucapannya pada Keke.
Namun, gadis itu diam saja. Hanya sekilas saja senyumnya mengukir di bibirnya yang tipis. Ah, seperti air di daun keladi saja. Hilang tak berbekas.
Kini cowok itu kembali mengalihkan tatapannya pada Heri, yang balas memperhatikannya dengan cengar-cengir — seolah mengejeknya dengan ucapan: 'Rasain lu!'
"Kalau kau bawa kopi apa, Nyong?" Rudi mengarahkan pertanyaannya pada Heri.
Anak itu semakin melebarkan cengirannya. "Kopi dangdut!" ujarnya.
Dan tawanya yang besar itu pun terdengar lagi.
"Jidatmu!"
Heri tertawa. Rudi tertawa.
Akhirnya semua yang ada ikut tertawa dalam kelakar itu, kecuali Keke. Ia asyik duduk di luar tenda menghadap ke kompor sambil mengusap-usap rambutnya yang cepak itu.
Rudi meliriknya sekilas.
Takut ketahuan Heri, maka ia buru-buru mengalihkan matanya pada rebusan mie-instan yang kini bergolak di dalam panci.
Iseng, diaduk-aduknya mie-instan dengan sendok.
"Hei, jangan! Nanti hancur, malah nggak enak," larang Ati, sang Juru Masak.
"Habis, lama sekali matangnya," kilah Rudi.
"Huss!" Ati menggebah.
Rudi pura-pura ngambek. "Aku sudah lapar, nih!"
Padahal kala itu ia gugup, dan sangat gugup karena tatapan Keke lurus dan tajam mengarah padanya.
"Sabar, dong! Memangnya kamu sendiri yang lapar?" Ati menggerutu.
Rudi tersenyum masam. Tak sadar, matanya kembali beralih pada Keke. Dan... uh! Gadis itu ternyata masih menatapnya dengan tatapan yang tajam dan dingin. Tatapan mereka berbenturan. Dan, yang aneh, bukan gadis itu yang tersipu. Sebaliknya, Rudi-lah yang menundukkan kepalanya, menghindar dari Keke.
Entahlah, berhadapan dengan gadis itu, tiba-tiba keberanian Rudi sebagai cowok selama ini hilang begitu saja. Udara jadi semakin dingin dirasakan cowok itu. Tanpa sebab yang pasti, tiba-tiba saja ia menggigil. Apakah karena tatapan Keke, atau karena udara di lembah yang memang dingin!
Brrr....
Rudi cepat-cepat mengenakan jaketnya.
"Mengapa, Rud? Dingin?" tegur Evi.
Cowok itu mengedikkan bahunya. "Entahlah," ujarnya pelan. "Malam ini udara lembah dingin sekali, ya?"
Wiwik tertawa. "Tumben kau kedinginan. Biasanya kau kan tahan dingin?"
"Entahlah!" Kini Rudi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Barangkali karena kau lapar. Makanlah dulu. Mi-instan sudah matang."
Tanpa menawarkan kawan-kawannya yang lain, Rudi langsung saja menyambar piring plastik yang disorongkan Wiwik kepadanya. Barangkali benar juga yang dikatakan Wiwik, aku menggigil karena lapar, bukan karena tatapan Keke barusan. Ya, mudah-mudahan saja. Cowok itu sibuk membesarkan hatinya sendiri.
Rudi sudah selesai lebih dulu ketika kawan-kawannya yang lain bersiap-siap untuk makan. Agar tidak mengganggu, cowok itu keluar tenda. Ditatapnya langit. Sungguh indah sekali. Bulan purnama sudah bulat penuh menggantung di atas sana. Rudi melihat Keke tengah duduk memeluk kedua kakinya sambil tersenyum kepadanya.
Fuih! Gila! Gila! Rudi memaki-maki perasaannya sendiri. Mengapa bayangan gadis itu menjadi kian begitu dekat dengannya! Gadis yang baru dua hari lalu dikenalnya!
Sungguh suatu perkenalan yang tak terduga. Ketika Kelompok Pataga merencanakan kebut gunung dan berkemah di Lembah Suryakencana, tiba-tiba saja Keke ikut mendaftar di sana.
Mulanya gadis mungil dan tomboi itu memang tidak mendapat perhatian khusus dari anggota Pataga. Tapi, Heri-lah yang keras hati untuk memperbolehkannya.
"Dia kan bukan anggota Pataga, Her?" begitu kata Ati.
"Lho, apa salahnya? Toh perjalanan kali ini cuma sekadar pendakian biasa. Tidak ada acara khusus dari Pataga," Heri ngotot memperjuangkan Keke.
Rudi, yang ketika itu juga ada di tengah mereka, hanya diam saja. Ikut atau tidak Keke dalam rencana itu, tidak menjadi soal baginya. Terlebih ia belum kenal dekat dengan gadis yang sedang didebatkan oleh Ati dan Heri itu. Kemarin ia hanya sepintas melihat gadis itu ketika mendaftar di sekretariat Pataga.
"Terserah Rudi sajalah kalau begitu. Dia yang akan menjadi pemandu dalam kegiatan nanti," Ati menyerahkan persoalan itu kepadanya.
"Bagiku tak jadi soal. Yang penting, dia tidak akan membebani kita. Maksudku, meskipun rencana ini bukan program dari pencinta alam, tapi medannya cukup berat. Kita akan naik dan menuruni dua gunung sekaligus. Apakah gadis itu cukup kuat?" Katanya, melempar pertanyaan pada Heri.
"Untuk itu aku kurang tahu pasti, Rud. Tapi, aku yakin, Keke pasti kuat."
"Ya, kalau begitu no problem. Ajak sajalah! Tapi, kalau ada apa-apa padanya, kau yang bertanggung jawab, ya?"
"Beres!" janji Heri pasti, sambil menepuk pundak Rudi tanda terima kasih.
Ati yang merasa suaranya dikalahkan, hanya tersenyum sumbang. Kemudian ditinggalkannya Heri dan Rudi di ruang sekretariat yang sempit itu.
"Kenapa sih kamu ngotot ngajak cewek itu?" tanya Rudi, memancing reaksi Heri.
Heri cuma mesem saja.
"Pacarmu?"
Heri menggeleng.
"Lantas, kok kau begitu semangat mengajak dia?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya berteman biasa saja dengan dia. Kau tak usah berpikir macam-macam tentang dia, ya?" ujar Heri.
Rudi tertawa.
Ia memang selalu begitu, tak pernah peduli dengan urusan orang lain. Barangkali itu pula sebabnya hingga sekarang ia tak pernah punya pacar. Kadang berpacaran baginya hanya menjadi beban saja. Mesti beginilah, begitulah. Bah, semua serba diatur.
Sungguh menjengkelkan
Namun, semua itu menjadi berubah ketika ia mengenal Keke. Gadis itu memberikan suasana baru di hatinya. Tentang kekhawatirannya yang berlebihan tadi, tentang tatapan tajam matanya, dan tentang sikapnya yang acuh tak acuh. Ah, semua yang ada padanya telah menimbulkan suatu getaran yang indah di hatinya.
Jatuh cintakah aku, pikir Rudi.
Lalu ia pun mendesis, seakan tidak mempercayai perasaannya sendiri.
"Kau suka bulan purnama?"
Rudi tersentak dengan pertanyaan yang halus itu. Di sampingnya, Keke berdiri dengan jaket merah menyala. Ia tampak lebih menarik dengan gayanya itu.
"Ya, aku suka bulan purnama. Tapi, itu jika aku sedang berada di sini. Di Jakarta, aku tak dapat menikmati sinar bulan seindah sekarang karena tertutup oleh gedung-gedung pencakar langit."
Keke tersenyum, kemudian menghempaskan pantatnya di atas rumput. Sementara suara gemericik air sayup-sayup terdengar dari kali kecil yang tak jauh dari mereka. Di sekeliling gelap gulita. Hutan bunga-bunga edelweiss pun sudah tak mampu lagi menerobos pekatnya malam.
"Namamu Rudi, kan?" ujar Keke, terdengar pelan di telinga Rudi.
Cowok itu mengangguk.
"Kamu sudah tahu namaku?"
Rudi kembali mengangguk.
Gadis itu tersenyum. Sinar bulan purnama yang memantul lemah, menembus lensa kacamata gadis itu. Rudi dapat menyaksikan betapa indah sebenarnya kilau mata gadis itu. Ah!
"Mengapa kau tertarik untuk ikut dalam pendakian ini?" tanya Rudi.
Keke diam saja. Matanya menatap lurus ke depan, seakan ingin menembus kegelapan malam. Kemudian ia tersenyum, begitu dingin dan beku.
Rudi tak bergeming. Ia memang bukan termasuk cowok yang pintar memancing pembicaraan; apalagi dengan seorang gadis.
"Kau ingin tahu mengapa aku tertarik untuk ikut bersama kelompokmu?" Gadis itu berpaling dan menatap Rudi dengan mimik serius.
"Ya, jika kau tidak keberatan menceritakannya padaku."
Keke tertawa pelan. Lalu mempermainkan ujung-ujung rumput di dekat sepatunya.
"Karena ada Heri?" tebak Rudi digemuruhi rasa cemburu yang mulai membakar hatinya.
Mata gadis itu terbeliak sebentar. Kemudian terdengar lagi ia tertawa pelan sambil kepalanya menggeleng-geleng. "Bukan. Bukan karena Heri. Dia adalah sahabatku sejak SMA dulu."
"Lantas?" Rudi mulai penasaran.
"Ini adalah pelarianku."
"Pelarian?" Rudi mengernyitkan kedua alisnya. "Pelarian bagaimana maksudmu?"
"Ya, pelarian. Aku lari dari keluargaku," ujar Keke.
Ucapannya begitu tenang. Tak ada gejolak di sana. Nadanya terlalu dingin.
"Heh? Mana bisa aku percaya itu?" sentak Rudi.
Keke tertawa, kali ini terdengar agak keras. Dari dalam tenda, terdengar suara Heri mendehem.
"Mengapa tertawa?"
"Pertanyaanmu lucu."
"Oya, pertanyaanku lucu?"
Keke manggut.
"Ya, barangkali aku ini masih norak, ya? Aku sering tak percaya jika ada seorang gadis lari dari rumah."
Keke membisu. Ucapan Rudi memang terasa agak menikam jantungnya. Tapi, tidak. Kenyataannya toh ia memang lari dari keluarganya. Meninggalkan kemelut dalam rumah tangga orangtuanya. Namun, itu hanya karena ia ingin mencari ketenangan semata.
"Kurasa, kau benar, Rud. Memang tidak wajar jika ada anak gadis yang lari meninggalkan keluarganya. Tapi, semua itu terpaksa aku lakukan karena aku ingin hidup tenang dan damai. Selama ini, hal itu tak pernah kudapatkan di rumah," Keke mulai bicara banyak perihal dirinya.
Dan Rudi pun mulai mengerti situasi kehidupan Keke yang sebenarnya.
"Aku anak tunggal. Seharusnya aku hidup dimanja, bukan?"
Rudi mengiyakan.
"Tapi nasibku malang. Jadi anak tunggal, bagiku berarti sengsara. Tidak punya teman untuk mengadu, tak ada kawan yang senasib. Orangtuaku sudah lama hidup berpisah, meskipun tidak bercerai."
"Apakah hanya karena itu kamu melarikan diri?"
"Ya. Di rumah aku sering kesepian. Ibuku selalu sibuk. Ia punya banyak kegiatan sosial di rumah."
"Lho, seharusnya kau bangga punya ibu yang aktivis seperti itu."
Keke terseyum getir. "Bukan pujian yang kuterima, Rud. Orang-orang sering menggosipkan Ibu yang bukan-bukan. Ah, sudahlah, sebaiknya tidak kuceritakan padamu tentang semua ini. Aku malu."
"Lalu, apa rencanamu dalam pelarian ini?"
"Entahlah." Keke mengedikkan bahunya.
Rudi menyimak takzim.
"Aku hanya ingin terlepas dari segala macam beban yang selama ini kupikul," resah gadis itu dengan mata berkaca-kaca.
Rudi membisu.
Keke menelan ludahnya dengan susah payah. Masih terdiam, berat mengeluarkan sepatah kata pun. Rudi turut membeku. Hanya matanya yang bergerak. Dipandanginya sosok Keke yang mungil itu.
Kini bukan hanya getaran cinta saja yang dirasakan oleh Rudi, tapi juga sebersit rasa iba pada gadis broken-home itu. Pantas saja kalau sikapnya agak pendiam dan kadang juga begitu dingin.
"Ah, sudahlah, Rud. Sudah cukup malam. Aku mau tidur dulu," sambil berkata, Keke berdiri dari duduknya. Melangkah ke dalam tenda, dan membiarkan Rudi sendiri terpana menatap bulan yang bulat penuh.
Cahaya purnama kini perlahan-lahan semakin memucat. Tak lama, Rudi pun menyusul Keke. Masuk ke dalam sleeping bag-nya, kemudian tidur.
Pagi hari, Rudi terbangun oleh udara dingin yang menerpa wajahnya. Langit masih gelap. Bulan purnama yang semalam penuh, kini tinggal separuh dengan cahaya pudar.
Rudi melihat jam tangannya. Pukul empat lewat empatpuluh menit. Sudah hampir subuh rupanya. Dipandanginya suasana sekelilingnya. Tak jauh darinya, tampak tubuh Heri duduk membelakanginya.
"Her, ngapain kau pagi-pagi sudah melamun?"
Heri terkekeh. Tawanya cerah sekali di subuh ini. "Bangunlah!"
Rudi mengikuti perintah kawannya itu. Ia bangun dan menghampiri Heri. Ditepuknya pundak Heri berulang-ulang. "Apa yang sedang kau pikirkan, Fren?"
"Aku sedang berpikir untuk mencari jalan baru melalui Gunung Gede."
"Satu ide yang bagus. Kapan kau akan survei?"
"Rencanaku pagi ini, sekalian turun nanti."
"Bah, gila kau! Persiapan kita tidak cukup matang, Her. Kita tidak bawa peta dan kompas."
"Ah, itu bukan persoalan penting. Aku sudah sering naik-turun Gede. Jadi, medannya tak terlalu bahaya. Paling tidak, sudah banyak kukenal."
"Kau tak bisa menganggap remeh seperti itu, Her. Bagaimanapun, Gunung Gede itu adalah alam. Ia tetap menyimpan misteri yang belum pernah kita ketahui."
Heri tertawa, seakan menertawakan kepengecutan Rudi. "Kau takut mati?"
Rudi tersentak dengan pertanyaan Heri. "Bukan itu soalnya, Her. Kematian bisa ada di mana-mana. Tapi, aku tak mau konyol!"
"Oke. Aku tak mau memaksamu, Rud. Kau bisa turun lewat jalan biasa. Biar aku sendiri yang akan mencari jalan baru."
"Gila! Kau nekat, Her."
Heri tersenyum kepada Rudi. "Petualangan selalu menarik bagiku, Rud. Itulah sebabnya aku akan pakai modal nekat."
"Lalu bagaimana dengan anak-anak yang lain?" tanya Rudi.
Heri mengangkat bahunya.
"Apakah...." Heri menyalib.
"Yah, terserah mereka. Yang ingin langsung pulang, silakan ikut denganmu. Dan bagi yang mau ikut denganku, juga tak ada salahnya, bukan?" ujarnya ringan.
Rudi mengangguk.
Kemudian mereka sama-sama diam, menatap pada hamparan edelweiss di sekeliling. Tak terasa matahari sudah muncul dari arah timur. Dan anak-anak yang lain pun sudah bangun.
Tepat pukul delapan pagi, mereka sudah siap untuk meninggalkan Lembah Suryakencana. Saat itulah Heri mengatakan niatnya untuk menempuh rute baru. Dan ia pun menawarkan bagi mereka yang ingin ikut.
Dada Rudi terasa bergemuruh ketika Keke merupakan orang pertama dan terakhir yang mengacungkan telunjuknya untuk mengikuti Heri. Betapa ingin Rudi melarang gadis itu. Tapi... itu tak mungkin ia lakukan karena ia tahu, Keke tak mungkin berpihak kepadanya.
Beriringan mereka menyusuri lembah, menuju Gunung Gede. Kabut masih tebal di lembah nan luas itu. Mereka berjalan di dalam kabut tanpa banyak bicara. Agaknya keputusan Heri untuk menempuh rute baru, mempengaruhi suasana pendakian itu. Wiwik yang biasanya paling ceriwis, kini jadi pendiam. Begitu pula dengan Ati, Lidia, dan Evi. Ketiganya melangkah jauh di depan.
Tiba di puncak Gunung Gede, Rudi menatap ke arah lembah sejenak. Kini hutan-hutan edelweiss tak tampak jelas karena tertutup kabut. Yang kelihatan hanya gumpalan kabut semata. Dari atas, ia tampak begitu suram.
Keke berdecak. "Kabut abadi. Percayakah kau bahwa kabut itu tak akan pernah tertepis dari lembah ini? ujarnya, seolah bertanya pada Rudi.
Rudi tersenyum. "Tidak ada yang abadi di sini. Lihatlah, sebentar lagi kabut itu akan segera menepis. Dan bunga-bunga edelweiss akan tampak kembali. Tentu indah kalau kita lihat dari Puncak Gede ini," ujarnya, menimpali omongan Keke.
Gadis itu tertawa. Rudi tak dapat menerjemahkan tawa gadis itu. Tawa yang terdengar lembut, tapi begitu sarat dengan beban.
Tiba di kawah, mereka berpencar. Rudi, Lidia, Wiwik, Evi serta Ati, mengambil rute umum. Sedangkan Heri dan Keke memilih rute baru. Sebelum berpisah, Rudi menyalami keduanya.
"Selamat jalan, Fren!" ucap Rudi, menepuk bahu Heri. "Semoga kalian berhasil!"
"Terima kasih, Rud. Doa kalian juga kami harapkan," balas Heri sambil menjabat tangan Rudi, erat.
Suasana hening sejenak. Sebenarnya Rudi berat sekali untuk melepas mereka.
Namun, apa daya, kemauan Heri begitu keras.
Padahal mereka tanpa persiapan kompas dan makanan yang memadai. Ah, ingin sekali dia mencegah Heri dan Keke melanjutkan ide mereka itu. Tapi....
Kini tatapan Rudi beralih pada Keke. Gadis itu membalasnya dengan senyum. Diulurkan tangannya pada cowok itu.
"Jaga diri baik-baik, Rud. Kalau boleh, aku pinjam syal merahmu, ya?"
Rudi melepas syal di lehernya, kemudian memberikan kepada Keke. Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba saja Rudi merengkuh pundak gadis mungil itu.
"Hati-hati, Ke. Jangan anggap ini sebagai pelarian, tapi anggaplah sebagai perjuangan. Selamat jalan."
Gadis itu tersenyum sambil melilitkan syal merah di lehernya. "Oke. Bye, semuanya!" katanya sembari melambai.
Kemudian mereka berpisah, menyusuri jalan masing-masing. Namun, belum jauh mereka terpisah, tiba-tiba saja Rudi mendengar jeritan Keke yang nyaring, bahkan terdengar teramat nyaring.
Rudi tersentak, kemudian berlari kembali ke belakang.
Apa yang telah terjadi?!
Dilihatnya tubuh Keke terguling-guling di sela-sela batang pohon. Darah mengucur segar dari wajah dan kepalanya. Sementara di sampingnya, keadaan Heri lebih menyedihkan. Kedua kakinya patah serta seluruh wajahnya penuh darah.
Apa yang terjadi?
Apa yang terjadi?! pekiknya histeris.
Tiba-tiba sekelilingnya terasa gelap gulita.
Rudi disergap rasa bersalah karena ia tadi tak mampu mencegah mereka berdua. Dan penyesalan itu semakin ganas menyergapnya. Kepalanya mulai terasa pusing. Di dekatnya, tubuh Keke dan Heri tak bergerak.
Mereka telah mati....
Dan seketika itu juga Rudi berteriak keras sekali. "Tidaaak! Tidaaak...!"
Bersamaan dengan teriakannya itu, kakinya menendang seseorang. Matanya terbuka. Di sekelilingnya tampak terang-benderang. Di ujung tempat tidur, terlihat ibunya duduk sambil tersenyum penuh kasih-sayang.
"Mimpimu buruk sekali, Rud?"
Astaga!
Cowok itu cepat-cepat bangun dari tempat tidurnya. Diusapnya wajahnya dengan kedua belah tangan.
"Aku mimpi. Aku mimpi," gumamnya.
Kemudian matanya berlari ke arah sudut kamarnya. Di sana tampak sepatu larsnya tergeletak berdebu. Tak jauh, ransel army-look-nya tergantung kusam. Dan, di dinding itu, syal merah yang dalam mimpinya diberikan kepada Keke, tergantung bisu. Warnanya masih tetap cemerlang. Lalu, siapakah Keke, gadis dalam mimpinya itu?!
"Mimpi apa kamu, sampai kakimu menendang Ibu?"
Rudi diam saja. Ia masih termenung. Dirasakannya mimpinya begitu aneh. Ah, siapakah gadis dalam mimpinya itu? Kalau Keke, Keke yang mana? Ia tak pernah punya teman perempuan yang bernama Keke.
Tak sabaran, ia pun berlari ke meja telepon. Langsung diputarnya nomor rumah Heri. Di sana, Heri menyambut sambil terkekeh-kekeh mendengar ceritanya.
"Kau lupa pada Keke, ya?" Heri justru semakin membuatnya penasaran.
"Keke mana sih, Her?!"
"Kau masih ingat ketika kita gladian dua tahun yang lalu?"
"Ya."
"Nah, apa kau lupa, kita kan sempat berkenalan dengan pendaki dari rombongan Tigmapala?"
"Oya, ya. Tapi apakah...?"
"Gadis itu kan bernama Keke!"
"Oya, ya. Apakah kau masih menyimpan alamatnya, Her?"
"Masih. Untuk apa?"
"Aku mau ke rumahnya sekarang."
"Ah, kau gila! Dia kan sudah tiada. Ia termasuk salah seorang pendaki yang hilang di Gunung Gede tiga bulan yang lalu."
Astaga!
Rudi terperangah di tempatnya. Gagang telepon terjatuh dari tangannya. Berkali-kali diusapnya kedua tangan ke wajahnya. Kini ia tertunduk lemas. Ingatannya yang sempurna pulih kembali. Tiga bulan yang lalu, tergabung dalam Tim SAR Mapala, dialah yang menemukan mayat gadis itu.
Astaga! ©