Posted: Kamis, 12 November 2009 by j13_21n90 in
0

Putih dan Black Jungle King I Aitor pisau. Dalam kelangsungan hidup Pisau termasuk accesories.



White Jungle Raja I Aitor Knife
- Blade panjang: 155 mm.
- Handle Panjang: 205 mm.
- Weigth: 1000 gr.
- Ini termasuk accesories kelangsungan hidup berikut:
* Fishing kit.
* Sewing kit.
* Pisau bedah.
* External aplikasi.
* Jepit.
* Pencil.
* Compass.
* Mangesium pil.
* Pills kapsul.
* SOS simbol.
* Sinyal cermin
* Penguasa
* Lateks tabung.
* Nylon kabelnya.
* Forker tiang.
* Multitool pisau skinner.

- Stainless steel disuntikkan menangani ..
- Pisau baja X42 (46 INOX CR13).
- 85 mm ganda melihat
- Termasuk policarbonate dan serat kaca kasus kaku dengan 8m mengasah batu dan tali


Black Jungle King I Aitor pisau

- Blade panjang: 155 mm.
- Handle Panjang: 205 mm.
- Weigth: 1000 gr.
- Ini termasuk accesories kelangsungan hidup berikut:
* Fishing kit.
* Sewing kit.
* Pisau bedah.
* External aplikasi.
* Jepit.
* Pencil.
* Compass.
* Mangesium pil.
* Pills kapsul.
* SOS simbol.
* Sinyal cermin
* Penguasa
* Lateks tabung.
* Nylon kabelnya.
* Forker tiang.
* Multitool pisau skinner.

- Stainless steel disuntikkan menangani ..
- Pisau baja X42 (46 INOX CR13).
- 85 mm ganda melihat
- Black chrome blade.
- Termasuk policarbonate dan serat kaca kasus kaku dengan 8m mengasah batu dan tali.



Jungle King II kelangsungan hidup pisau dengan putih, hitam atau kamuflase pisau. Pisau Aitor ini memiliki bermacam-macam accesories.

2 - Jungle II Black Knife
- Handle Panjang: 140 mm.
- Blade length: 135 mm
- Weigth: 460 gr.
- Ini termasuk accesories kelangsungan hidup berikut:
* Fishing kit.
* Sewing kit.
* Pisau bedah.
* External aplikasi.
* Jepit.
* Pencil.
* Compass.
* Magnesium pil.
* Pills kapsul.
* SOS simbol.
* Sinyal cermin.
* Lateks tabung.
* Bercabang tiang.
* Multiool pisau skinner.

- Aluminium disuntikkan menangani warna hitam. .
- Pisau baja X42 (46 INOX CR13)
- Black chrome blade.
- 65 mm ganda melihat
- Ini termasuk polycarbonate dan fiber glass kasus kaku dengan mengasah batu dan 4m dari kabelnya.

1 - Jungle King II White Knife
- Handle Panjang: 140 mm.
- Blade length: 135 mm
- Weigth: 460 gr.
- Ini termasuk accesories kelangsungan hidup berikut:
* Fishing kit.
* Sewing kit.
* Pisau bedah.
* External aplikasi.
* Jepit.
* Pencil.
* Compass.
* Magnesium pil.
* Pills kapsul.
* SOS simbol.
* Sinyal cermin.
* Lateks tabung.
* Bercabang tiang.
* Multiool pisau skinner.

- Aluminium disuntikkan menangani warna hitam. .
- Pisau baja X42 (46 INOX CR13)
- 65 mm ganda melihat
- Ini termasuk polycarbonate dan fiber glass kasus kaku dengan mengasah batu dan 4m dari kabelnya.

3 - Jungle King II Camo Knife
- Handle Panjang: 140 mm.
- Blade length: 135 mm
- Weigth: 460 gr.
- Ini termasuk accesories kelangsungan hidup berikut:
* Fishing kit.
* Sewing kit.
* Pisau bedah.
* External aplikasi.
* Jepit.
* Pencil.
* Compass.
* Magnesium pil.
* Pills kapsul.
* SOS simbol.
* Sinyal cermin.
* Lateks tabung.
* Bercabang tiang.
* Multiool pisau skinner.

- Aluminium disuntikkan menangani dalam warna kamuflase. .
- Pisau baja X42 (46 INOX CR13)
- Black chrome blade.
- 65 mm ganda melihat
- Ini termasuk polycarbonate dan fiber glass kasus kaku dengan mengasah batu dan 4m dari kabelnya.

Big Knives - Muela Knives

Posted: by j13_21n90 in
0

Muela Caña Knife - Muela 25-10 Knife
- Muela Vikingo-23 Knife - Muela PRO-80L-14Knife
- Muela 25-12 Knife - Muela 80L-15 Knife

Muela Caña and Vikingo knives

1 - Muela Caña Knife
- Kliring pisau besar
- Handle dari nilon
- Panjang gagang: 130 mm.
- Panjang pisau: 360 mm.
- Weigth: 340grs.

2 - Muela Vikingo-23 Knife

- Bilah 440c baja
- Menangani dari emas dan imitasi abs rusa
- Panjang gagang: 135mm.
- Panjang pisau: 230 mm.
- Weigth: 520grs.


3 - Muela 25-12 Knife
- Blade of stainless steel 440.
- Menangani karet dan hitam zamak
- Panjang gagang: 100 mm.
- Panjang pisau: 120 mm.
- Weigth: 190grs.

4 - Muela 25-10 Knife

- Blade baja 440.
- Menangani karet dan hitam zamak
- Panjang gagang: 100 mm.
- Panjang pisau: 100 mm.
- Weigth: 125grs.


5 - Muela PRO-80L-14 Knife

- Thrower pisau dari satu potong
- Panjang pisau: 100 mm.
- Weigth: 200grs.


6 - Muela 80L-15 Knife
- Thrower knife of one piece
- Length of the handle: 125 mm.
- Length of the blade: 255mm.
- Weigth: 150grs.

Posted: Selasa, 10 November 2009 by j13_21n90 in
0

Persamaan =
Laruku & J-Rocks sama :

  1. personel 4 orang [vocal, gitaris, basis, drumer]
  2. semua personel cowok [dan kebetulan good looking semua, dengang center of interest basis & vokalis]
  3. sosok gitaris sama2 yg dianggap sosok flamboyan & deket dg cewek
    memiliki basis yang teknik permainannya hebat
  4. memiliki vokalis yg juga gitaris dan memiliki teknik falsetto dan menguasai range vokal dari rendah ke tinggi
  5. vokalis [Hyde & Iman] sama2 berawal dari gitaris dan sama2 awalnya ga PD untuk jadi vokalis, hanya karena posisi voc ga ada yg ngisi dan kemudian dg dorongan rekannya [si basis] akhirnya mau menjadi vokalis tetap.
  6. vokalis sama2 the most song maker in the group, sama2 banyak menciptakan aransemen musik & menulis lirik untuk lagu2 karya mereka
  7. vokalis sama2 mengidolakan Kurt Cobain dan sama2 gitar Fender mania
  8. gitaris sama2 cenderung bergaya rock n roll ngeblues [nemu istilah sendiri neh ^^ ]
  9. aliran musik sama2 rock n roll [esp. Japanese rock]
  10. fashion style [esp. saat manggung & photoshoot] sama2 Harajuku style
  11. sama2 band bentukan ulang dg posisi vokalis di rekrut kemudian
    vokalis merupakan frontman meskipun bukan leader
  12. basis punya fans paling banyak diikuti vokalis [or at least kedudukan sama imbang ^^ ] baru kemudian gitaris dan drummer
  13. kualitas vokal saat live ga bisa se bening kualitas di rekaman [dikarenakan faktor vokalis yg suka wira wiri kemana2 saat manggung + sambil maen gitar]


Perbedaan =

  • leader / founding father= basis
  • musiknya lebih rock n roll banget n lebih ke era2 90-an
  • soal style biar ekstrim tapi lebih sering ke arah feminin
  • vokalis&basis sering membuat fans service [esp. jaman dulu]
  • gitaris lebih slengekan [terkenal dg gaya ngerokok saat manggung]
  • gaya drummer saat main lebih kalem&lebih sering menunduk
  • lirik lagu maknanya rumit, complicated&sering susah dicerna begitu aja

J-Rocks

  • ga mengenal istilah leader [ga ada leader]
  • musiknya lebih terdengar fresh dg influense Muse, Green Day, dan lebih terasa pengaruh blues-jazz-punk nya
  • ekstrim dan lebih mengarah ke aneh-tabrak lari-funny-nekat
  • ga terlalu suka bikin fans service [lebih normal] lebih tertib
  • gaya drummer saat main lebih rame, atraktif, lebih caper & sering "menganga"
  • lirik lagu masih mudah dicerna & dipahami maksudnya


Kisah di balik pendakian everst

Posted: Jumat, 06 November 2009 by j13_21n90 in
0

Tenzing Norgay?…..apaan sih…..atau…siapa sih….
Tenzing Norgay adalah nama orang, mungkin buat kebanyakan dari kita akan mengatakan nama yang aneh…..dari negara mana nama tersebut berasal?…..

Mungkin Anda pernah membaca atau mendengar namanya…mungkin juga belum…bagaimana kalau saya sebutkan nama Sir Edmund Hillary…ya kalau yang ini sih saya sering dengar atau pernah baca biografinya atau pernah mendapatkan kisah hidupnya dalam sebuah artikel atau sewaktu mengikuti seminar. Ya, Sir Edmund Hillary adalah orang pertama di dunia yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi dunia Puncak Gunung Everest. Tetapi saat ini bukan Sir Edmund Hillary yang akan kita bahas, tetapi Tenzing Norgay.

Tenzing Norgay seorang penduduk asli Nepal yang bertugas sebagai pemandu bagi para pendaki gunung yang berniat untuk mendaki gunung Everest. Tenzing Norgay menjadi pemandu (orang nepal menyebutnya Sherpa) bagi Sir Edmund Hillary. Pada tanggal 29 Mei 1953 jam 11.30, Tenzing Norgay bersama dengan Sir Edmund Hillary berhasil menaklukkan Puncak Gunung Tertinggi Everest pada ketinggian 29,028 kaki diatas permukaan laut dan menjadi orang pertama didunia yang kemudian menjadi inspirasi dan penyemangat bagi ratusan pendaki berikutnya untuk mengikuti prestasi mereka. Pada rentang waktu tahun 1920 sampai dengan tahun 1952, tujuh tim ekspedisi yang berusaha menaklukkan Everest mengalami kegagalan.

Keberhasilan Sir Edmund Hillary pada saat itu sangat fenomenal mengingat baru berakhirnya Perang Dunia II dan menjadi semacam inspirator untuk mengembalikan kepercayaan diri bagi seluruh bangsa di dunia. Karena keberhasilannya, Sir Edmund Hillary mendapatkan gelar kebangsawanan dari Ratu Inggris yang baru saja dilantik saat itu Ratu Elizabeth II dan menjadi orang yang paling dikenal di seluruh dunia.

Tetapi dibalik keberhasilan itu Tenzing Norgay memiliki peran yang sangat besar, mengapa Tenzing Norgay tidak menjadi terkenal dan mendapatkan semua yang didapatkan oleh Sir Edmund Hillary padahal ia adalah sang pemandu yang membantu dan mengantarkannya mencapai Puncuk Mount Everest? Seharusnya bisa saja ia lah orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Mount Everest bukan Sir Edmund Hillary.

Sesaat setelah Sir Edmund Hillary bersama Tenzing Norgay kembali dari puncak Mount Everest, hampir semua reporter dunia berebut mewawancarai Sir Edmund Hillary, dan hanya ada satu reporter yang mewawancarai Tenzing Norgay, berikut cuplikannya :

Reporter : Bagaimana perasaan Anda dengan keberhasilan menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia?

Tenzing Norgay : Sangat senang sekali

Reporter : Andakan seorang Sherpa (pemandu) bagi Edmund Hillary, tentunya posisi Anda berada di depan dia, bukankah seharusnya Anda yang menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak Mount Everest?

Tenzing Norgay : Ya, benar sekali, pada saat tinggal satu langkah mencapai puncak, saya persilakan dia (Edmund Hillary) untuk menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama di dunia yang berhasil menaklukkan Puncak Gunung Tertinggi di dunia….

Reporter : Mengapa Anda lakukan itu???

Tenzing Norgay : Karena itulah IMPIAN Edmund Hillary, bukan impian saya…..impian saya hanyalah berhasil membantu dan mengantarkan dia meraih IMPIAN nya.

Kapal Sargon

Posted: by j13_21n90 in
0

Empat Bulan Terjebak Neraka Es

Sargon adalah sepotong drama petualangan paling mendebarkan dalam dunia pelayaran. Selama empat bulan terjebak bongkahan es di perairan Arktik, Kutub Utara, mereka bertahan hidup di palka kapal, tanpa bahan bakar dan bekal, hanya tekad dan semangat hidup yang tiap hari semakin melemah.

Awal tahun 1923 adalah lembaran hitam bagi 12 awak kapal penangkap ikan bernama Sargon. Kapal berbahan bakar batu bara yang dilengkapi jala tarik (semacam pukat) itu berlayar dengan tenang dari Pelabuhan Grimsby, teritori Inggris.

Walau Januari adalah musim dingin, ini adalah kesempatan untuk menangkap ikan-ikan yang muncul ke permukaan laut.

Seperti kebanyakan nelayan pada masa itu, Sargon pun berlayar untuk mencoba peruntungan melaut di musim dingin. Tujuan mereka adalah perairan lepas pantai North Cape (Norwegia) sampai ke Perairan White Sea (wilayah Rusia).

Minggu-minggu awal pelayaran mereka, laut sudah tampak tak bersahabat. Ikan-ikan yang diharapkan pun tak jua terjaring. Tangkapan mereka sangat minim dan mengecewakan. Namun kapten kapal Sargon, John Patton, menyemangati seluruh kru kapalnya agar jangan cepat menyerah.

Walau angin dingin berhembus lambat, jala tetap dilempar. Sargon membentuk pola penangkapan dengan jaring yang sudah biasa mereka lakukan. Namun memang nasib belum berpihak. Sampai akhirnya pada minggu terakhir pelayaran, John Patton memutuskan untuk kembali ke pelabuhan, karena bahan bakar yang semakin menipis dan perbekalan yang hampir habis.

Panen Terbesar

Tepat 28 Januari 1923, saat Sargon putar haluan dari Perairan White Sea, seluruh awak kapal dikagetkan penampakan bias- keperakan di kejauhan. Setelah melakukan pengamatan teliti, mereka bersorak girang, bias keperakan itu adalah segerombolan ikan yang bersiap melakukan migrasi besar-besaran.

Masih diliputi kegembiraan, John Patton segera melakukan perhitungan. Ia mempertimbangkan persediaan bahan bakar dan kemungkinan "perburuan" ikan. Setelah yakin bahwa bahan bakar kapal masih cukup hingga ke Pelabuhan Tromso di Norwegia, Kapten John Patton menyetujui permintaan semua kru untuk mengejar gerombolan ikan-ikan gemuk itu.

Perburuan gerombolan itu berlangsung mudah. Mereka sendiri kaget dengan hasil tangkapannya, hingga palka kapal terisi penuh ikan. Ini adalah tangkapan terbanyak yang melimpah ruah seumur hidup mereka sebagai nelayan.

Hari berikutnya, kemudi kapal diarahkan ke Tromso. Kapal bergerak sangat lambat karena sarat beban. Sesuatu yang luput dari perhitungan sang kapten bahwa beban muatan yang bertambah sampai ambang kapasitas maksimal, ternyata memboroskan bahan bakar.

Terjebak Es

Dengan terseok-seok, Sargon terus dihela. Namun laut memang sulit diramalkan. Mendadak angin dingin berhembus kencang, badai salju menghalangi pandangan. Selama berjam-jam, kapal dengan susah payah menembus tirai hujan dan salju. Sampai akhirnya terhalang oleh bongkahan
es terapung.

Kewaspadaan ditingkatkan, karena dalam pelayaran di wilayah Arktik, es terapung ibarat karang menakutkan yang bisa bergeser sesuai tiupan angin. Dengan tenaga terakhir, Sargon melakukan pelayaran hati-hati, menghindari tabrakan dengan es dan harus pula menyiasati angin dan salju.

Sialnya, selama hampir dua minggu, salju dan angin terus bertiup. Menghalangi upaya terakhir Sargon kembali ke pelabuhan. Stok batu bara yang semakin menipis akhirnya habis, sementara kapten tak bisa memastikan arah pelayaran, karena cuaca yang sangat buruk.

Sargon pun terombang-ambing dipermainkan angin, salju dan gelombang laut yang mengganas. Arus air mendorong kapal yang kehabisan tenaga itu menuju arah baratlaut, keluar semakin jauh dari rute pelayaran yang semestinya. Kapal terus terseret ke perairan terdingin mendekati kutub utara yang membeku.

Dingin yang tak tertahankan membuat seluruh awak kapal memutuskan untuk menunggu hingga musim dingin berlalu, sebelum melakukan upaya penyelamatan. Keduabelas awak termasuk kapten kapal, berkumpul di palka kapal yang terlindungi.

Duduk merapat menghangatkan diri, tak ada yang bisa mereka lakukan selain menjaga agar api tetap menyala ketika dingin menyengat.

Untuk itu, mereka membakar apa saja yang bisa dibakar, termasuk jala, furnitur kapal, bahkan bagian dek kapal. Selama empat bulan mereka mengurung diri dari cengkeraman dingin yang mematikan di ruang palka kapal. Tanpa bekal kecuali tumpukan ikan hasil tangkapan yang juga sudah membeku.

Selama empat bulan, Sargon terjebak dalam laut es yang membeku, mengubur kapal mereka dalam tutupan salju.

Epik Kepahlawanan Sargon

Beberapa minggu sebelum dinyatakan hilang, Sargon dielu-elukan sebagai pahlawan. Kapal nelayan itu punya cerita lain tentang upayanya menyelamatkan kapal Ethel Nutton dari amukan badai.

Awal Januari 1923, cuaca di laut lepas Norwegia sedang mengamuk. Beberapa nyala terang suar terlihat jauh dari Pelabuhan Grimsby di Inggris, tanda sebuah permintaan tolong. Tetapi karena cuaca buruk, tak satu pun kapal yang sandar memberi reaksi. Namun Kapten John Patton dan seluruh awak Sargon mengambil satu keputusan kontroversial.

Demi kemanusiaan, Sargon menjawab panggilan itu dengan melaju dengan kekuatan penuh menuju asal suar. Ombak besar dan angin tak menghalangi mereka untuk mendekati kapal Ethel Nutton yang berguncang hebat lepas kendali di pusaran air.

Setelah melakukan perhitungan, Sargon mendekat. Melemparkan pelampung untuk menolong delapan awak kapal itu. Namun arus menelan semua pelampung tanpa sisa. Kapten John Patton menilai tak lebih dari setengah jam, Ethel Nutton pasti hancur dan tenggelam. Satu keputusan berbahaya pun diambil.

Ia mendekat dengan perhitungan matang. Menyuruh seluruh awak Ethel Nutton untuk mengikat diri dengan tali dan melemparkan ujung tali yang bebas ke dek Sargon, agar awaknya bisa menarik mereka ke Sargon. Dibutuhkan kelihaian dan keahlian yang luar biasa untuk pekerjaan penyelamatan seperti ini. Salah-salah, kedua kapal akan bertabrakan dan tenggelam.

Dalam upaya pertama, tiga awak Ethel Nutton berhasil diselamatkan. Lima kali percobaan yang sama dilakukan, sampai akhirnya seluruh awak kapal terselamatkan, hanya sekian menit sebelum Ethel Nutton hancur dan tenggelam. Dengan sisa-sisa tenaga, Sargon melepaskan diri dari arus liar. Mereka berlayar kembali menuju Pelabuhan Granton di Norwegia.

Upaya penyelamatan yang berani oleh Sargon dan awaknya mendapat pujian dan sambutan luar biasa. Namun Kapten John Patton dan seluruh awak menolak semua hadiah yang ditawarkan. Menurut mereka, penyelamatan sesama kapal adalah wajib hukumnya.

Dilepas dengan elu-elu dan pujian, Sargon berlayar kembali dari Granton ke Grimsby. Setelah mengisi ulang bahan bakar dan memuat logistik, keesokan harinya mereka berlayar. Sebulan kemudian Sargon dinyatakan hilang.

Bertahan Hidup di Lautan Es

Kapal Sargon tetap dikenang sebagai legenda oleh kaum nelayan di Eropa Utara. Kisah tentang Sargon adalah satu dari fenomena perjuangan manusia untuk bertahan hidup di lautan es. Sargon akhirnya berlabuh kembali di Grimsby (Inggris) setelah dinyatakan hilang selama empat bulan.

Di suatu pagi yang mendung pada Februari 1923, sejumlah koran lokal di Eropa Utara menulis berita tentang hilangnya sebuah kapal bernama Sargon. Diperkirakan kapal nelayan dengan 12 awak itu hilang di sekitar Perairan North Cape dan Laut Arktik, Kutub Utara.

Berita itu muncul setelah sebuah kapal nelayan dari perusahaan perikanan Standart Fishing Company pada 2 Februari 1923 melaporkan melihat Sargon berlayar pelan di Perairan North Cape, Norwegia, menuju Grimsby. Namun kapal itu tak pernah sampai di Grimsby. Itu adalah laporan terakhir Sargon terlihat di perairan, setelah satu bulan berlayar. Untuk kapal sekelas Sargon, bekal yang dibawa hanya cukup untuk bertahan selama satu bulan pelayaran.

Setelah ditunggu-tunggu dan dilakukan pencarian, Sargon tak pernah ditemukan lagi. Akhirnya pada awal April, secara resmi otoritas kelautan Inggris menyatakan kapal Sargon berikut 12 awaknya, hilang. Keluarga korban yang empat bulan lebih menanti tanpa kepastian, akhirnya pasrah. Mereka pun mengklaim asuransi dan ganti rugi.

Duka pun menyelimuti keluarga ke-12 awak kapal Sargon. Mereka melakukan seremoni dan doa perpisahan terakhir dengan orang yang mereka cintai. Semua sudah merelakan kematian awak Sargon. Padahal jauh di wilayah Laut Arktik, 12 awak Sargon sedang berjuang bertahan hidup dari neraka es yang "mengubur" mereka.
________________________________________
Bertahan Hidup

Apa yang terjadi di kapal Sargon ?
Akhir Februari, badai salju dan cuaca buruk sudah berlalu. Setelah sepuluh hari kehabisan bahan bakar dan dipermainkan "amukan" alam, Sargon terseret ke Lautan Arktik (Kutub Utara) yang tertutup es. Kapal tak bisa bergerak, karena laut sekitar sudah membeku. Ini adalah puncak musim dingin di wilayah bumi bagian utara.

Seluruh awak Sargon yang bertahan di palka tak bisa melakukan apa-apa. Mereka hanya bisa berharap agar musim dingin segera berlalu. Dengan pakaian yang tak memadai, keluar dari kapal sama saja dengan bunuh diri. Suhu di luar sana sangat dingin, sekian derajat di bawah titik beku (minus nol derajat Celsius).

Sejak kapal terombang-ambing dipermainkan ombak dan cuaca, Kapten John Patton tak lepas dari alat navigasi dan peta. Ia berusaha memastikan koordinat posisi mereka, namun usaha itu sia-sia. Sama sia-sianya dengan kerja keras mereka untuk tetap mengendalikan kapal yang sudah kehabisan bahan bakar. Setelah berhari-hari mencoba melakukan orientasi peta dan selalu gagal, sang kapten pun dengan kesal membakar semua alat navigasi dan peta.

Selama terjebak di es, mereka memang membakar semua barang yang bisa dibakar. Ini perlu untuk mempertahankan suhu kapal agar tetap hangat. Sehari saja tanpa api, mereka bisa mati beku kedinginan. Bekal pun sudah habis, dan ikanlah satu-satunya makanan mereka dari hari ke hari di dalam palka. Untuk minum, mereka mencairkan salju dan bongkahan es.

Selama berbulan-bulan mereka hanya berdiam diri di ruang palka, hampir terbunuh oleh sepi. Namun semangat hidup mereka yang tinggi tetap menyala. Vitalitas inilah yang membuat mereka tetap berjuang melawan dingin yang mematikan.

Gunung Es

Pada 1 April 1923, John Patton yang pertama kali keluar dari palka kapal Sargon. Ia naik ke dek mengamati lingkungan es sekitarnya. Musim dingin baru saja berlalu. Saat berada di dek, John menatap garis horison di barat. Matanya terpaku pada sebuah gunung es di kejauhan yang terlihat bergerak. Suara gemuruh dan gemeretak es yang pecah semakin terdengar jelas.

Beberapa saat kemudian wajahnya memancarkan ketakutan luar biasa. Gunung es itu bergerak cepat langsung ke arah kapal mereka. Lapisan es yang menutup laut mulai terbelah. Tabrakan antara sesama bongkahan es menghamburkan potongan-potongan es ke udara. Menimbulkan semacam gelombang serpihan es. Kapten John Patton sadar, bahaya maut sedang datang ke arah mereka!

Seluruh awak kapal kembali merapat di dalam palka, bersiap menyongsong maut dan pasrah pada nasib. Gemuruh pecahan es terdengar semakin nyaring. Mendekat… mendekat… dan semakin dekat. Lalu gelombang besar susul-menyusul mengguncang kapal. Seluruh awak terlempar ke luar dari palka, terhempas ke dek.

Seluruh awak berpegangan erat. Kapal bergeser kencang dan terhempas menuju laut es yang sudah mencair. Meluncur cepat di antara dua celah gunung es. Diseret gelombang kembali ke laut lepas.

Lolos dari Maut

Sadar mereka telah lolos dari maut, seluruh awak berdiri bersorak girang. Mereka saling berpelukan. Sargon lolos dari cengkraman es. Sebuah mukjizat!

Setelah empat hari terapung-apung dan terseret arus, Sargon ditemukan oleh sebuah kapal Jerman "Schlewig Holstein". Awak kapal Jerman menolong mereka dan menarik Sargon ke Pelabuhan Reykjavic di Iceland.

Beberapa saat di Reykjavic, Sargon diperbaiki. Batu bara dan perbekalan diisi ulang. Setelah mengucapkan salam perpisahan dengan rasa terima kasih yang besar, Sargon kembali berlayar ke Grimsby. Minggu kedua April 1923, setelah empat bulan di neraka es, kedatangan mereka di Inggris disambut haru !

Yui Video

Posted: by j13_21n90 in
0



Yui - It's all to much

Novel Fa Mulan Effendy wongso & Titaz

Posted: Kamis, 05 November 2009 by j13_21n90 in
0

FU MULAN

REFLESKI PEDANG NAGA

***

PROLOG

Apa yang dapat dilakukan seorang gadis belia seperti aku saat mengetahui bangsa ini di ambang maharana? Ketika menyadari kenyataan bahwa ayahku yang sudah tua masih saja harus mengangkat pedang menyongsong perang dan menghadapi musuh-musuh Dinasti Yuan? Sungguh, kenyataan itu demikian menyakitkan. Aku Fa Mulan. Lahir sebagai putri tunggal dalam Keluarga Fa. Mungkin aku akan menyesali diri, mengapa harus terlahir sebagai perempuan dan bukannya laki-laki. Ya, laki-laki. Laki-laki yang dapat melakukan segalanya, termasuk mewakili Keluarga Fa mengikuti wajib militer yang telah diamanatkan oleh Kaisar Yuan Ren Zhan kepada seluruh rakyat Tionggoan.
Mungkin.
Tetapi kenyataannya aku memang perempuan. Dan aku tidak dapat mengubah takdir langit itu kepada saya.
"Hei, sekarang giliran kamu!"
"Sa-saya, Inspektur Tang?"
"Iya, kamu! Memangnya siapa yang saya panggil?! Dari tadi saya lihat kamu melamun terus!"
"Maaf, Inspektur Tang."
"Nama kamu siapa?!"
"Mulan."
"Hah, Mulan?"
"Kenapa memangnya?"
"Jangan kurang ajar! Kamu ini calon wamil. Ditanya malah balik bertanya!"
"Memangnya ada yang salah pada nama saya, Inspektur Tang?"
"Cukup! Jangan membantah lagi! Benar nama kamu Mulan?"
"Benar, Inspektur Tang. Anda bisa baca manuskrip yang saya bawa. Di situ jelas-jelas tertulis nama saya."
"Kenapa nama kamu mirip nama perempuan?"
"Oh, kalau hal itu saya kurang paham, Inspektur Tang."
"Kurang paham bagaimana?! Jangan main-main, ya?!"
"Maaf. Sedari kecil saya memang diberikan nama perempuan, Inspektur Tang. Konon, waktu masih bayi saya sering sakit-sakitan. Untuk menghindari malapetaka, maka orangtua saya berinisiatif memberikan nama perempuan kepada saya untuk mengelabui setan-setan jahat yang suka memangsa orok laki-laki. Hihihi, lucu ya, Inspektur Tang?"
"Cukup, cukup! Jangan ketawa! Tidak ada yang lucu!"
"Maaf, Inspektur Tang."
"Di sini tertulis marga kamu Fa. Apa betul?"
"Betul, Inspektur Tang. Nama lengkap saya Fa Mulan. Fa yang berarti bunga, dan Mulan yang berarti Magnolia. Bunga Magnolia."
"Jangan cerewet! Saya tidak menanyai kamu soal itu. Bukan hanya kamu yang perlu saya daftar sebagai prajurit wamil. Lihat antrian di belakang kamu sudah sepanjang Tembok Besar."
"Oh, maaf, Inspektur Tang."
"Terlahir dari ayah bernama Fa Zhou dan ibu bernama Fa Li. Apa betul?"
"Betul, Inspektur Tang."
"Hei, Fa Zhou adalah ayah kamu?!"
"Betul, Inspektur Tang."
"Ya, ampun! Ternyata, kamu adalah anak Fa Zhou."
"Oh, jadi Inspektur Tang mengenal ayah saya?"
"Ya. Ayah kamu adalah sahabat saya semasa perang dulu. Dia purnawirawan prajurit Yuan yang sangat loyal. Dalam sebuah pertempuran bersama saya, kaki ayah kamu terluka oleh sabetan pedang musuh. Sebelah kakinya pincang selama-lamanya. Oleh karena itulah ayah kamu pensiun dari militer. Yah, mungkin juga karena usianya yang memang sudah tua."
"Wah, rupanya Inspektur Tang bukan orang lain."
"Ya, ya. Saya dan ayahmu sudah seperti saudara sekandung."
"Kalau begitu...."
"Hei, tapi setahu saya Fa Zhou tidak memiliki anak laki-laki!"
"O-oh, mung-mungkin...."
"Kenapa?"
"Mungkin karena Inspektur Tang khilaf. Menyangka saya yang laki-laki ini perempuan karena bernama perempuan. Bukankah begitu, Inspektur Tang?"
"Hm, mungkin. Mungkin."
"Nah, benar bukan?"
"Mungkin. Mungkin saya memang lupa. Hm, rupanya saya memang sudah tua."
"Betul, betul! Anda memang sudah tua, Inspektur Tang!"
"Fa Mulaaaaan!"

***

"Siapa lagi nama pemuda itu, A Lang?"
"Namanya Tong Hui Kong, Nyonya Fa!"
"Oh, ya, ya. Ah, saya selalu lupa nama calon suami untuk Mulan, A Lang. Yah, semoga dia pemuda
yang baik."
"Jangan khawatir, Nyonya Fa. Pemuda itu berasal dari keluarga terpandang. Orangtuanya sangat kaya. Saya yakin dia merupakan suami yang paling tepat untuk Nona Fa."
"Ya, ya. Semoga mereka cocok. Supaya saya dapat lekas menimang cucu laki-laki."

- Fa Li Calon Suami untuk Putriku

***

TIONGGOAN (1208-1244 M)

Satu kalpa setelah pembebasan Tsun Gokong dari kurungan goa Dewata di langit, maka layaknya fenomena alam yang sering terjadi, meledaklah sebuah bintang mahabesar ke segala penjuru jagad raya nan pekat gulita. Partikel debu berpencaran, mengelana membentuk sebuah kehidupan baru. Maka terbentuklah semesta hasil nova. Bimasakti, sebuah galaksi raksasa dengan paradigma kehidupannya yang baur.
Gadis itu embusan dari langit.
Ia diberi kekuatan terpendam chi Dewata. Setangkai kembang Magnolia Dewata yang diturunkan dari nirwana untuk meluruskan sebagian dari sejarah manusia yang babur. Para pembatil yang mengisi bumi dengan pertumpahan darah. Dan ketika kekuasaan memporak-porandakan peradaban, maka ia hadir sebagai pahlawan. Sebuah predestinasi yang telah digariskan oleh Sang Khalik. "Mulan...."
Putri tunggal Keluarga Fa itu berlari seperti biasa. Ditinggalkannya teko berisi teh hijau yang baru saja hendak diseduhkan untuk ayahnya. Teriakan yang lebih menyerupai lengkingan itu mesti digubris, melalaikan rutinitas pagi atas inisiatif pengabdian terhadap ayahnya. Kalau tidak, pasti ada teriakan lain yang datang susul menyusul seolah tanpa henti. Teriakan berarogansi yang lebih berisik dari sangkakala sepanjang lima depa milik para Lama Tantrayana di Kuil Potala, Tibet.
Ia masih berlari.
Dilewatinya selasar halaman tengah rumah sampai berhenti di ruang dalam rumah. Perempuan gemuk itu sudah menanti dengan wajah berkerut seperti kulit jeruk yang meringsing. Berkacak pinggang sembari menatap nanar ke kedalaman sepasang matanya.
Dilihatnya perempuan bernama Fa Li itu menggeleng-geleng kepala. Cetusan tingkah antipati tersebut sudah terbaca dalam benaknya bahwa, ibunya itu tidak senang melihat sikap seorang Fa Mulan, putri tunggalnya. Namun, sedari dulu juga perempuan itu memang begitu. Sebab, ia sadar, ia memang keras kepala lantaran tidak mau manut barang sebentar pun menjadi perempuan sesuai keinginan ibunya itu.
Nyaris sepanjang hidup, perempuan itu berharap sangat agar anak gadisnya dapat menjadi perempuan. Tetapi rupanya Dewata bergeming, mungkin begitu pikirnya. Anak gadis satu-satunya tumpuan harap jauh panggang dari api. Asanya lantak berderai. Apa yang salah pada dirinya? Mungkinkah ada benang merah kesalahan dan dosa masa lalu yang pernah dilakukannya sehingga membuahkan karma buruk pada kehidupannya sekarang?!
"Mulaaaaan!"
"Sabar sedikit, Ibu!"
Dilihatnya perempuan itu mengentakkan kakinya ke lantai. Ya, Dewata! keluhnya. Ia benci melihat hal itu. Suatu kebiasaan yang tidak terpuji. Ya, tidak terpuji. Sebab ia tahu benar, kalau sudah begitu, maka serentetan kalimat bernada sinis akan keluar dari mulut lebar ibunya tersebut.
Dan apa yang telah terbayangkan sebelumnya memang telah menjadi kenyataan. Sekedip mata kemudian perempuan bertubuh besar itu pun telah misuh-misuh serupa bunyi tutup teko tembikar akibat ruapan air mendidih di atas tungku api.
"Ada apa, Ibu?!"
Sejak lahir, ia memang tidak pernah dianggap. Pasalnya, ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan mengharapkan sang Janin akan terlahir laki-laki. Perempuan itu mengidam-idamkan anak laki-laki. Karena, hanya laki-lakilah yang dapat meneruskan kelangsungan marga Fa. Namun semua angan perempuan itu melayang ke langit kala mendapati kenyataan bahwa sang Janin yang dilahirkannya ternyata berkelamin perempuan.
Ya, Dewata!
Alangkah kecewanya perempuan itu sampai-sampai pernah mengutuk dan mengatakan kalau sang Bayi mungil tersebut merupakan jelmaan iblis yang memangsa janin laki-laki yang dikandungnya.
"Sudah dua hari Shang Weng tidak mengunjungimu. Ke mana dia?!"
Ia mengembuskan napas keras. Sejenak mematung serupa sano. Pandangannya mendadak verba seiring sontak umpat yang berloncatan di benaknya. Ya, Dewata! Sungguh, sungguh keliru ia menafsir apa yang menjadi sumber kegusaran ibunya yang tidak beraasan hari ini. Sumpah, disangkanya ada serbuan asing dari pasukan pemberontak Han yang sudah takluk, kembali lagi ke barak-barak mereka di Utara, atau invasi Mongolia ke Da-du yang untuk sementara berhasil digagalkan. Namun, ternyata hanyalah pertanyaan kiasan selitani prosa Lao Tzu, yang sudah dihapalnya dalam benak sampai terbawa mimpi.
Untuk itu, ia menggerutu dalam hati. Terus-terang, ia tidak mau bersitegang dan beradu mulut dengan ibunya lagi. Sekian belas tahun, setiap hari dan setiap waktu, pertengkaran merupakan warna dalam hidupnya. Pertengkaran sudah menjadi ritualitas yang mesti dimafhumi. Sungguh, ia sudah lelah. Sangat lelah.
Shang Weng yang dimaksud ibunya itu tidak lain adalah pemimpin para prajurit di Kamp Utara, Tung Shao. Bersamanya, mereka bahu membahu melawan pasukan pemberontak Han pimpinan Han Chen Tjing yang berkonspirasi dengan Jenderal Shan-Yu untuk menggulingkan kekuasaan Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia tahu, setelah ibunya mengetahui Shang Weng jatuh hati kepadanya, maka sontak perempuan nyinyir itu menganggap hal tersebut merupakan anugerah yang terindah dalam hidupnya.
Tentu saja.
Selama ini, ibunya pasti sudah bosan mendengar rumor tetangga tentang statusnya yang masih melajang. Dan sudah barang tentu pula sebagai 'ibu yang baik', perempuan itu tidak ingin putrinya dijuluki perawan tua. Saban hari ibunya diresahkan dengan masalah calon pendamping dan calon pendamping yang belum kunjung tiba untuk putri tunggalnya. Padahal, gadis-gadis sebaya seorang Fa Mulan sudah banyak yang dipinang orang. Berstatus istri, menjadi ibu rumah tangga, dan melahirkan anak laki-laki yang lucu-lucu serta montok-montok. Sudah sekian tahun pula perempuan itu pasti merindukan dapat menimang seorang cucu. Cucu laki-laki!
Namun, ia sadar, renjana indah ibunya itu ambyar setelah mengetahui seorang Fa Mulan malah berkorban mendaftarkan diri sebagai prajurit wamil, menggantikan ayahnya yang sudah tua. Ya, Dewata! Meski tidak melihat sendiri, ia tahu perempuan itu pasti menangis tiga hari tiga malam sampai-sampai airmatanya mengering.
Bukan karena sedih takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap seorang Fa Mulan, tetapi lebih karena semua harapannya, menimang cucu laki-laki, telah hancur berantakan. Bukan itu saja. Ia menangis sejadi-jadinya karena sadar kalau anak gadisnya yang baru jalan tujuh belas itu bahkan, akan semakin menjadi laki-laki.
"Dia sibuk mengurus negara!" jawabnya enteng menanggapi pertanyaan ibunya yang kesusu. "Mana bisa hanya mengurusi Fa Mulan seorang saja?!"
"Sibuk?!" Perempuan bernama Fa Li itu balik bertanya, mengerutkan kening, membentuk empat garis tipis pada dahinya. Ya, Dewata! Di matanya, perempuan itu tampak lebih tua dari usia Tembok Besar. "Tapi, sudah dua hari dia tidak ke rumah kita!"
"Dua tahun juga tidak apa-apa!" timpalnya dengan kalimat seringan gingkang. "Baru juga dua hari tapi Ibu seperti kebakaran kucir saja!"
"Eh, anak ini!" Dilihatnya kembali perempuan itu berkacak pinggang. Matanya semelotot ikan maskoki. "Ditanya...."
"Habis...."
"Kalau Ibu menanyai kamu, itu berarti Ibu peduli sama kamu! Itu berarti Ibu sayang sama kamu! Bukannya sok mengatur hidup kamu!"
"Iya, tahu!" Ia mendengus, melengos dengan rupa tidak senang. "Kapan Ibu tidak mengatur hidup saya?!"
"Eh, tega-teganya kamu bilang begitu kepada Ibu, ya?!"
"Memang dia lagi sibuk!"
"Mulan!" Perempuan separo baya itu menghela napas, matanya mendelik dan memejam hampir bersamaan. "Kalau ditanya, jangan membangkang begitu!"
Ia mengusap wajah. "Habis, saya harus bilang apa, Ibu?! Semua perkataan saya selalu salah. Apa-apa pasti salah!"
"Ingat, Ibu marah demi kebaikan kamu juga."
"Kebaikan apa kalau selama ini saya selalu merasa tersisih, disudutkan sejak dulu. Ibu memang tidak pernah bersikap adil terhadap saya!"
"Ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya bahagia, Mulan?!"
"Oh, jadi apa yang selama ini Ibu lakukan untuk saya semata-mata demi membahagiakan saya?!" Ia membeliak, sedikit merasa gusar saat kenangan lama masa kanak-kanaknya yang terkekang oleh kelakuan seorang Fa Li mengiang kembali di benaknya. "Apakah kelakuan Ibu yang otoriter itu dapat dianggap membahagiakan hidup saya?!"
"Kamu terlalu naif menanggapi didikan keras Ibu!"
"Ibu bukan mendidik keras supaya saya disiplin, bukan itu! Tapi apa yang Ibu lakukan terhadap saya selama ini merupakan ketidakadilan. Ya, ketidakadilan!"
"Cukup, Mulan!" bentak perempuan itu. "Jangan mentang-mentang kamu sudah jadi orang dan pahlawan Yuan sehingga berani melawan Ibu!"
"Saya tidak melawan Ibu. Saya bukan membantah Ibu. Tapi saya hanya ingin Ibu membuka mata atas apa yang telah Ibu lakukan terhadap saya."
"Oh, Dewata nan Agung!" Dilihatnya dengan ekor matanya ibunya mendongakkan kepala, seperti menerawangi atap rumah untuk berbicara dengan Sang Penguasa Langit nun jauh di atas sana. "Beginikah hasil yang saya peroleh setelah bersusah-payah membesarkan anak ini?!"
"Sudahlah, Ibu. Jangan meratap-ratap seperti anak kecil begitu lagi. Percuma. Dewata tidak akan menggubris tangisan Ibu. Dewata pasti tahu kelakuan Ibu yang tiran sejak dahulu kala terhadap saya!"
Ya, Dewata!
Setiap hari perempuan bertubuh besar serupa guci air itu marah-marah. Seolah-olah seorang Fa Li sedang melakoni satu peran sebagai ibu tiri dalam sebuah opera. Dan seorang Fa Mulan adalah anak tirinya yang mesti ditimpali dengan amarah. Entah karma apa yang telah ditanamnya pada masa lampau sehingga menuai ironi di masa sekarang.
"Mulan! Tega-teganya kamu bersikap begitu terhadap Ibu!"
Dilihatnya perempuan separo baya itu berlari ke sudut ruang. Mengempaskan pinggulnya yang besar ke bangku, serta menelungkupkan kepalanya yang sebesar lampion ke atas meja kayu. Ia tersedu. Menangis sesenggukan tanpa airmata.
Ia mencibir dari belakang. Ibunya selalu begitu. Kalau sudah terdesak, maka ia pasti mengeluarkan airmata, meraung-raung seperti bayi. Lalu skenario berikutnya, ia akan menjerit-jerit dan memukul-mukul dadanya sembari menyebut sederet nama leluhur Keluarga Fa. Leluhur Keluarga Fa yang sudah mengembara ke alam baka. Leluhur Keluarga Fa dari generasi pertama sampai mutakhir.
Herannya, perempuan itu dapat menghapal ratusan bahkan ribuan nama berantropologi Fa! Jadi kalau sudah begitu pula, ia pasti mendengar seorang Fa Li merunut nama sesepuh Fa satu per satu, seperti malaikat penjaga kubur sedang membaca daftar nama orang yang sudah meninggal, yang antri hendak ke nirwana!
"Oh, para leluhur Keluarga Fa! Karma apa yang saya perbuat hingga putri kandung saya sendiri, Fa Mulan, berani menentang saya?! Oh, dosa dan kesalahan apa yang telah saya perbuat pada kehidupan yang lalu sehingga ditimpakan kesengsaraan ini?!"
"Sudahlah, Ibu! Tidak usah bermain opera begitu! Toh Ibu tidak bakal terpilih lagi sebagai protagonis. Sekarang, Ibu bukan lagi Dewi Purnama. Ibu sudah tua!" Perempuan itu semakin meraung-raung seperti bayi. Ya, Dewata! Entah apa yang harus ia perbuat kini. Rasa-rasanya, ia sudah tidak sanggup menghadapi tingkah kekanak-kanakan ibunya itu meski ia tahu, semua tingkahnya tersebut hanya pura-pura. Sekian belas tahun diakrabinya kelakuan tengil ibunya sehingga tahu aktualitas dan kebohongan yang hanya setipis sebilah rambut. Apologis dan pembantahan hanya akan merunyamkan masalah. Lalu pada akhirnya, bukannya menyudahi kelakuan tengilnya, perempuan itu malah semakin menjadi-jadi. Ia akan memukul-mukul papan meja dengan kedua belah telapak tangannya dan sesekali membentur-benturkan kepalanya di atas papan meja, pelan.
Ia tahu, akar permasalahannya bermuasal dari sini. Karena ia perempuan. Bukan laki-laki. Ya, Dewata! Sepele memang. Namun efek yang ditimbulkan dari genderisasi tersebut telah menjadikannya orang yang terbuang dari Keluarga Fa.
Seingatnya, nyaris tidak ada persoalan serius dalam keluarganya. Tetapi bagi ibunya, sebuah persoalan sepele apa pun yang menyangkut seorang Fa Mulan akan mendatangkan kiamat. Terlambat bangunlah. Cucian yang hilang di sungailah. Terlalu dekat dengan teman laki-lakilah. Sampai cara ia tertawa, berbicara, dan berjalan pun selalu mendatangkan kritik serta masalah!
Masih terngiang pula, sarat beban yang mesti dipikulnya sebagai seorang gadis yang beranjak akil-balig empat tahun silam sebelum ia menyusup dan menyamar sebagai laki-laki ke dalam kamp militer Yuan. Menikah di usia belia merupakan pilihan dan jalan satu-satunya dalam hidupnya sebagai seorang perempuan. Sebuah beban psikis yang tidak pernah dapat diterimanya dengan legawa.
Ia dibentuk untuk menjadi perempuan yang sesungguhnya . Ia ditempa untuk menjadi 'orang lain', yang manut pada aturan baku dan leluri. Namun jujur ia tidak bisa. Ia memberontak. Dan sengaja menggagalkan acara penjodohan dengan laki-laki pilihan ibunya-seorang pemuda dari puak terpandang atas perantara seorang makcomblang bernama Liem Sui Lang.
Lalu ketika semuanya lantak berderai, pembantahannya yang tanpa apologi tersebut ditimpali dengan seribu serapah. Ia dipukul dan diusir oleh ibunya dari rumah. Pembelaan untuknya justru selalu datangnya dari Fa Zhou, ayahnya yang lembut dan baik hati.
"Anak tidak tahu diri!"
"Sudahlah. Jangan menghukum Mulan sedemikian beratnya. Pernikahan tanpa didasari cinta bukanlah tindakan bijak. Mulan berhak menentukan pilihannya sendiri. Kalau dia belum siap menikah, sebagai orangtua, kita tidak boleh memaksakan kehendak. Biarlah jodoh Mulan diatur oleh Dewata. Bukannya kita!"
"Tahu apa kamu tentang Mulan, Fa Zhou!"
Ya, pada dasarnya ia tidak bisa berpura-pura menjadi orang lain. Ia tidak bisa menjadi perempuan kemayu yang ditingkahi feminitas palsu. Ia tidak bisa bersandiwara. Ia ingin menjadi dirinya sendiri. Ia ingin menjadi seorang Fa Mulan yang ceria dan dinamis, tidak diikat oleh sebuah pranata gender. Ia adalah seorang Fa Mulan yang enerjik, bukan gadis pendiam serupa arca yang hanya tahu mengurusi tetek bengek rumah tangga - melahirkan dan mengasuh anak, serta menjadi budak seks bagi sang Suami di atas ranjang.
Menurutnya, seorang gadis tidak mesti melulu berurusan dengan rumah tangga dan dapur. Banyak hal yang dapat dilakukan seorang gadis. Pasungan pranata telah melukai demikian banyak hati perempuan. Mereka mati perlahan-lahan dalam kurungan emas sangkar madu. Semestinya, seorang gadis tidak boleh dijajah lagi oleh adat istiadat yang meleluri. Seorang gadis harus memberontak. Seorang gadis harus merombak kultur gender yang sudah mendarah daging di Tionggoan.
Itulah sebabnya ia selalu diam-diam mempelajari ilmu silat keluarga Fa, satu hal yang amat tabu bagi kaum perempuan, Pedang Naga Fa dari kitab kuno karangan leluhur Keluarga Fa. Sebuah mustika terpenting yang disimpan ayahnya di salah satu tumpukan buku sejarah Keluarga Fa.
Dulu, ketika ayahnya berlatih wushu, ia selalu mengintip dari balik tembok ruangan khusus tempat latihan. Selang berikutnya, ia menghapal kemudian memperagakan ilmu silat yang dilihatnya diam-diam tadi di dalam kamarnya. Dikembangkannya beberapa jurus yang dianggap lebih dinamis. Setelah itu memperdalam lantas memperkaya salah satu jurus keluarga Fa, Telapak Fa yang dahsyat. Bahkan, juga menciptakan sendiri jurus-jurus baru. Di antaranya adalah Tinju Bunga Matahari yang gemulai tetapi bertenaga, dan Tinju Hong Terbang yang gesit dinamik.
Namun lepas dari semua itu, ia memang bukan gadis tipe calon ibu rumah tangga yang baik. Ia tidak memiliki fisik ideal seperti dambaan banyak lelaki. Ia tidak memiliki pinggul besar yang diyakini dapat memberikan banyak keturunan dan anak laki-laki kepada sang suami, seperti kultur orang-orang Tionggoan selama ini.
Pinggulnya kecil. Dadanya nyaris rata. Tidak ada sepasang bukit daging yang menggumpal menggiurkan, salah satu andil libido dan ereksi pada penis laki-laki selama ini. Tubuhnya terlalu kurus. Bahkan terlalu kerempeng sehingga menyerupai toya. Dan tingkahnya tidak gemulai layaknya gadis-gadis lain.
Ia sadar pula kalau ibunya pernah menyesali memiliki putri seperti seorang Fa Mulan. Ibunya tidak pernah bersikap manis kepadanya. Ibunya tidak pernah menunjukkan rasa sayang layaknya ibu sejati kepada anaknya yang tunggal. Tidak ada afeksi dari perempuan gemuk itu seperti dambanya selama ini.
Hanya ayahnya sajalah yang sangat mencintainya!
Hanya ayah pulalah yang sering memberinya semangat untuk tetap tegar setelah diantipati oleh ibunya. Juga ayahlah yang menghiburnya setelah gagal pada acara penjodohan beberapa tahun lalu itu.

"Bunga-bunga bermekaran pada musimnya. Namun, kadang-kadang ada bunga yang terlambat mekar pada saat itu. Tapi kelak bunga yang terlambat mekar tersebut akan menjadi bunga terindah. Ya, bunga terindah. Dan kamulah bunga itu, Mulan!"

Setiap mengingat kalimat subtil itu, Fa Mulan langsung menitikkan airmata haru. Ayahnya merupakan pahlawan dan guru terbaik dalam hidupnya. Karena itulah ia akan berbuat apa saja demi membahagiakan lelaki tua tersebut. Bahkan mengorbankan nyawanya sekalipun seperti yang telah dilakukannya empat tahun lalu. Saat itu ia menggantikan posisi ayahnya mengikuti wajib militer yang diamanatkan oleh Kaisar Yuan Ren Zhan dari Dinasti Yuan, agar seluruh keluarga di Tionggoan wajib mewakilkan seorang putra menjadi prajurit untuk menghadapi serbuan pasukan pemberontak Han yang sudah melintasi Tembok Besar. Juga gangguan-gangguan kaum nomad Mongol di perbatasan Tionggoan.
Dan apa yang dikatakan oleh ayahnya itu memang telah menjadi kenyataan. Ia telah menjadi pahlawan perempuan yang menyelamatkan Tionggoan dari kehancuran. Kaisar Yuan Ren Zhan generasi ketiga penerus Kekaisaran Yuan telah menganugerahinya gelar Prajurit Besar Yuan. Mengalunginya dengan sebuah Medali Naga yang terbuat dari emas murni. Itulah simbol dan penghargaan tertinggi yang belum pernah diperoleh siapa pun di Dinasti Yuan. Bunga yang terlambat mekar itu telah mengembang. Menyerbakkan keharuman yang tiada tara ke seluruh penjuru negeri Tionggoan.
Ketangguhan itu telah ditunjukkannya kepada ibunya. Bahwa seorang perempuan yang bernama Fa Mulan adalah bunga keluarga. Ia adalah berkah dari segala yang pernah dikutuk.
Ia adalah pahlawan.


BAO LING

NYANYIAN SUNYI PADA PERTEMPURAN FAJAR

***

Setiap melintas di ruang tengah rumahnya, Fa Mulan selalu tersenyum sendiri. Di atas meja hyang para leluhur Fa, ia dapat melihat dengan jelas pedang ular perak Shan-Yu yang berhasil ditaklukkannya dengan susah payah, tersampir di dudukan pedang kayu mahoni dekat deretan nisan alwah para leluhur Fa.
Pedang itu bukan pedang biasa. Nyaris seberat seperempat berat tubuhnya. Pedang itu terbuat dari baja khusus dengan dua sisi mata pedang yang sangat tajam. Memanjang dengan tiga kelokan serupa tubuh ular. Dalam beberapa pertempuran, konon pedang milik jenderal batil itu dapat melumpuhkan tiga orang prajurit lawan sekaligus dengan sekali tebas.
Itulah sebabnya pedang ular perak sangat ditakuti banyak pendekar dari Dinasti Yuan. Termasuk beberapa pengawal khusus kaisar, jawara-jawara wushu yang berasal dari Yin-tin. Dua pengawal kembar kampiun kaisar, Lu Shan dan Lu Shen mati mengenaskan dalam sebuah pertarungan hebat di depan gerbang Istana Da-du.
Si Tombak Maut, Lu Shan tidak berdaya melawan kepiawaian sabetan pedang ular perak Shan-Yu. Nasib serupa pun dialami oleh Si Golok Setan, Lu Shen. Hanya dengan delapan jurus, sepasang pengawal kembar itu takluk dan bersimbah darah di tanah. Delapan jurus sebenarnya bukan waktu yang singkat untuk dapat melumpuhkan pendekar hebat sekelas mereka. Shan-Yu sebetulnya mendapat perlawanan sengit meski pada akhirnya ia dapat memenangi pertarungan satu lawan dua itu.
Posisi pasukan pemberontak Han sebetulnya sudah terdesak sejak Kaisar Yuan Ren Zhan meminta bantuan sahabatnya dari negeri putih Inggris, Sir Arthur Jonathan di London - melalui delegasi Perdana Menteri Shu Yong, untuk mengirimkan beberapa ribu pucuk Fo Liong dengan imbal barter emas batangan dan batu-batu delima asal Mongolia. Fo Liong yang merupakan ekuivalentik meriam, harafiah dari Naga Api itu memang sengaja didatangkan untuk memukul lawan dari arah utara dan selatan, yang berusaha melintasi Tembok Besar, dan bahkan beberapa di antaranya telah perlahan mendekati pusat Kekaisaran Yuan di Ibukota Da-du.
Keampuhan teknologi perangkat perang modern dari Negeri Barat itu memang efektif melumpuhkan musuh-musuh. Pasukan pemberontak Han terdesak mundur. Namun sebagian perwira dan jasus handal dengan tingkat determinasi tinggi berhasil menerobos masuk ke dalam Ibukota Da-du.
Salah satu di antaranya adalah Jenderal Shan-Yu!
Pasukan Han Chen Tjing yang kembali berusaha melewati Tembok Besar memang banyak gugur sebelum mencapai Ibukota Da-du. Pasca penghancuran prajurit Yuan dari Divisi Infanteri, pasukan Han sama sekali tidak menyangka akan mendapat perlawanan sengit dari prajurit-prajurit wamil dan ribuan prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong yang tangguh. Pasukan Han pun menipis. Dan ketika sampai di Ibukota Da-du, yang tersisa hanyalah beberapa perwira tinggi pemimpin pasukan Han.
Berkat strateginya yang jitu, juga didukung oleh ilmu silatnya yang tinggi, Shan-Yu berhasil memasuki Istana Da-du. Di dalam Istana Da-du, sebelum bertarung dengan sepasang pengawal kembar - Lu Shan dan Lu Shen, ia dihadang oleh tujuh pendekar Butong. Mereka adalah garda terkuat setelah sepasang pengawal kembar tersebut.
Jurus Formasi Tujuh Bintang pun digelar untuk menghadang laju Shan-Yu kala itu. Tujuh pendekar itu bergerak dinamis mengentak-entak lantai Istana Da-du, berputar-putar dan sesekali beterbangan gingkang membentuk jurus Menara Tujuh Pagoda - bersusun bahu per bahu. Pertarungan pun dimulai ketika tujuh pendekar itu menghunuskan pedang mereka masing-masing, melompat seperti katak ke arah Shan-Yu yang sudah menanti mawas dengan sepasang mata elangnya. Desingan-desingan dan denting pedang yang beradu di sekitar ruangan Kaisar Yuan Ren Zhan terdengar riuh. Shan-Yu menangkis setiap serangan dengan kibasan pedang ular peraknya. Kakinya membentuk kuda-kuda, menahan gempuran pedang pendekar Butong yang bertenaga dari segala arah.
Sementara pertarungan masih berlangsung, Kaisar Yuan Ren Zhan dengan dikawal oleh sepasang pengawal kembar dari Yin-tin segera melarikan diri lewat pintu rahasia belakang. Kaisar Yuan Ren Zhan mesti diselamatkan dari ancaman pembunuhan. Sepasang pengawal kembar itu bertugas menyelamatkan nyawa Sang Kaisar yang sudah di ambang kritis. Mereka melewati jajaran mayat dari kedua belah pihak yang bergelimpangan di tanah sebelum tiba di gerbang utama Istana Da-du. Di sana mereka disambut beberapa prajurit berkuda yang akan melarikan kaisar ke tempat aman.
Di dalam Istana Da-du yang megah itu masih terjadi pertarungan sengit. Shan-Yu tidak ingin membuang-buang waktu. Ia harus segera mencecar Kaisar Yuan Ren Zhan sebelum dilarikan oleh beberapa orang pengawal pribadinya. Kalau tidak, ia akan kehilangan segala-galanya!
Maka dengan menggunakan ilmu pamungkasnya, Bisa Pedang Ular Sakti, dilumpuhkannya tujuh rahib pendekar dari Kuil Butong di Bukit Wudan, Tionggoan Tenggara. Pedang ular peraknya mematuk tanpa ampun, tepat di dahi ke tujuh pendekar rahib berseragam jubah kelabu tersebut hanya dengan gerakan Tiga belas Titik Simpul Mati, totok pedang andalannya. Ketujuh pendekar rahib beraliran Taoisme itu terkulai, lalu tersungkur tak berdaya mencium tanah.
Shan-Yu terbang segesit walet. Hinggap di atas tektum Istana Da-du setelah melewati tembok-tembok tinggi istana, berjalan dengan tubuh seringan repih rambun di atas genteng, lalu menukik cepat serupa lintang kemukus ke arah dua pengawal kembar Sang Kaisar.
Dua silangan tombak dan golok dari Lu Shan dan Lu Shen menghadang gerakan Shan-Yu. Ia berhenti seperti capung dengan kedua belah tangan terpentang di udara. Menghindari tohokan tajamnya tombak berbisa Lu Shan dan sabetan golok besar Lu Shen yang, pada akhirnya hanya menerpa udara tanpa sasar. Sebuah jurus andalannya yang lain, Pedang Ular Terbang, menghindarinya dari maut!
Dan tanpa disangka-sangka kakinya menyepak udara, salto dan melesat lebih tinggi. Dikibaskannya pedang ular perak itu dengan gerakan konstan serupa propeler. Menukik ke bawah. Mengarah ke kereta tandu yang membawa Kaisar Yuan Ren Zhan kabur dari Istana Da-du, tepat simetris pada kepala Sang Kaisar di balik atap kereta tandu. Kedua pengawal kembar itu ternganga. Terlambat menyadari bahaya yang sudah di ambang mata!
Nyawa Kaisar Yuan Ren Zhan sudah tinggal hitungan detak jantung!
Sang Kusir berbalik dengan muka pucat. Mengayunkan pedangnya secepat kilat dengan sikap gugup, sampai sarung pedangnya terpental ke tanah. Ditahannya pedang ular perak Shan-Yu yang nyaris merobek tenda kereta tandu. Terdengar suara dentingan keras seperti dentangan martil mpu pedang yang sedang menempa baja di tungku bara. Pedang Sang Kusir mengerak sebelum patah menjadi dua. Sepasang pengawal kembar jawara wushu dari Yin-tin itu pun langsung melompat setelah menyadari pertarungan Sang Kusir sudah usai di sana. Dan ketika mereka tiba di atas samping kereta tandu, Sang Kusir yang juga merupakan pewushu handal itu telah tergeletak jatuh dengan dahi meretak.
Kusir pengawal lainnya segera menghela kekangan sepasang kuda unggul asal Mongol itu kuat-kuat diulahi dengan beberapa cambukan keras cemeti pada punggung kuda. Kuda-kuda itu melompat seperti terbang. Meninggalkan arena pertempuran yang berdarah.
Shan-Yu melompat dengan gerakan salto, hendak menyabetkan kembali pedang ular peraknya ke arah tenda kereta tandu. Tetapi ia sudah digebah oleh tohokan-tohokan tombak serupa angin puyuh Lu Shan. Dari arah belakang, kibasan-kibasan golok lebar Lu Shen juga mengobrak-abrik konsentrasi jenderal bermata tajam dengan sepasang alis bulan sabit itu.
Jenderal pemberontak Han tersebut geram luar biasa. Kereta kuda Sang Kaisar sudah cukup jauh meninggalkan Istana Da-du. Ia mengamuk. Menebas-nebas pedang ular peraknya dengan gerakan selicin ular. Mematuk-matuk cepat seperti kobra. Dan sesekali terbang rendah mengitari kedua lawannya yang mulai kelelahan.
Partikel debu beterbangan seperti gemawan dalam radius pertarungan. Gemurat leher Shan-Yu menegang, mengembangkan otot-ototnya yang sekuat baja. Pedang ular peraknya bergetar. Lalu kembali terkibas-kibas seperti propeler. Ia ingin menyudahi pertarungan dengan target delapan jurus agar dapat mengejar Sang Kaisar yang mumpung belum keluar dari perbatasan Ibukota Da-du.
Dari jarak tak seberapa, Shan-Yu berdiri menumpu pada satu kaki serupa bangau dengan paruh yang siap mematuk mangsa. Pedang ular perak di tangan kanannya terjulur ke depan. Sementara itu tangan kirinya membentuk lengkungan busur di belakang kepalanya seperti hendak memanah. Sesaat kemudian tubuhnya terlontar disertai satu teriakannya yang melengking keras membelah keheningan.
Jurus Pedang Danuh yang diperagakannya mendorong tubuh Lu Shen sampai terseret tiga tindak ke belakang. Golok besar yang menahan tusukan pedang ular perak Shan-Yu itu membilur, memancarkan percikan lelatu setiap bersentuhan.
Lu Shan mencoba membantu saudara kembarnya dengan mengarahkan mata tombak ke bawah, ke arah kaki Shan-Yu. Namun Sang Jenderal Han itu rupanya sudah mengantisipasi serangan tersebut. Sepasang kakinya yang bersepatu alas baja menyepak-nyepak ujung mata tombak sehingga bergetar keras, menyebabkan badan Lu Shan terpelanting tanpa arah.
Peluh membanjiri tubuh sepasang pengawal kembar adikong terbaik Sang Kaisar. Terik matahari siang yang memancar dari langit seperti mengembuskan udara permusuhan bagi pendekar wushu dari Yin-tin tersebut. Empat jurus terlewati. Peluh-peluh yang menitik di dahi kedua pengawal kembar itu perlahan menjadi musuh dalam selimut. Tetesannya yang merembes ke mata memang menjadi salah satu kendala.
Shan-Yu memang sangat terkenal sebagai pendekar yang cerdik memanfaatkan situasi. Salah satu di antara pukulan taktisnya adalah gebukan pedang ular peraknya yang berat dan bertenaga, yang kerap menghabiskan tenaga-tenaga lawan yang menangkis gempuran membabi-buta darinya. Atau, semburan-semburan pasir ke mata lawan hasil kaisan-kaisan kakinya yang lincah di tanah. Juga kelengahan-kelengahan lawan yang sekecil apa pun.
Memasuki jurus kelima, Shan-Yu berhasil mematahkan tombak Lu Shan dengan kepitan kakinya di tanah. Si Golok Setan Lu Shen tampak kalap, berusaha menebas kepala Shan-Yu saat Sang Jenderal Han itu mendesak kakak kembarnya. Shan-Yu merunduk sekaligus memasuki fase jurus keenam. Pedang ular peraknya terulur ke depan bersamaan dengan kelitan tubuhnya yang serupa elang, mengepak ke belakang dengan paruh tetap di muka.
Beberapa helai rambut dari kucirnya tampak beterbangan kena tebas. Namun ia berhasil merobek paha Lu Shen sebagai balasan sehingga pengawal itu terundur, dan jatuh di tanah dengan lutut menopang badan. Lu Shan masih berusaha melawan meskipun tombaknya telah patah. Sejengkal mata tombak yang masih dipegangnya dihunus ke wajah tirus Shan-Yu. Tetapi kepala Sang Jenderal Han itu terlalu sulit dijangkau hanya dengan mengandalkan patahan tombak.
Ia licin serupa kobra.
Lu Shen bangkit berdiri dengan ringisan kesakitan. Ia tertatih-tatih, mengacung-acungkan goloknya dengan jurus terakhirnya, Golok Pembunuh Naga - temurun silat Selatan ciptaan pendekar golok kesohor, Tio Sam Hong. Amukannya disertai sebuah teriakan yang membahana. Auman Singa Siluman, sebentuk paduan tenaga dalam yang sangat kuat dan bertenaga. Golok yang dihunuskan ke tanah tampak membelah disertai beberapa ledakan kecil serupa lelatu. Shan-Yu melompat dan terbang dengan jurus Pedang Ular Terbang-nya, menghindari belahan tanah seluas setengah depa yang siap menelan tubuhnya.
Jurus ketujuh segera mengakhiri pertarungan. Masih beterbangan di udara, dihunuskannya pedang ular peraknya dengan sebuah dorongan chi gaib hasil persekutuannya selama ini dengan kekuatan hitam para arwah. Ada bolide sebesar biji kenari berderet keluar dari ujung mata pedang ular peraknya, menghunjam berkali-kali dada Lu Shen. Pendekar Golok Setan itu terhuyung dengan mulut memuntahkan darah. Dan Shan-Yu menyudahi pertarungan dengan totokan pedang ular peraknya di dahi pendekar jago golok dari Yin-tin tersebut setibanya ia di tanah.
Lu Shen menghambur ke arah Shan-Yu dengan hanya mengandalkan patahan tombaknya. Shan Yu yang sudah menginjak tanah kembali mengambang tiba-tiba. Pendekar jago tombak itu terperangah. Patahan tombaknya hanya menikam udara. Shan-Yu sudah berada simetris di atasnya, menatapnya dengan secuil senyum ganjil. Lalu dengan sebuah gerakan refleks, ia menukik seperti anak panah yang terlepas dari tembakan busur. Menikam tepat di batok kepala Lu Shan. Dan pendekar itu terkulai tak bernapas ke tanah.
Sertamerta Sang Jenderal bengis itu melompat ke atas kudanya tanpa menapak sanggurdi. Dikebutnya lari kuda dengan gebahan sepasang tumitnya ke perut kuda. Ia harus mengejar Kaisar Yuan Ren Zhan, membunuh lalu memenggal kepalanya untuk diserahkan sebagai upeti keberhasilan pemberontakan kepada pemimpin pemberontak Han, Han Chen Tjing. Salah satu generasi puak terpandang Han yang ambisius ingin merebut takhta kekaisaran menjadi kaisar dengan imbalan kursi perdana menteri bagi Shan-Yu - seorang jenderal pembangkang yang terbuang oleh kaisar generasi ketiga Dinasti Yuan, Yuan Ren Zhan. Kaisar yang kini menjadi incarannya, yang melarikan diri ke Kamp Utara pimpinan prajurit handal dan loyal, Kapten Shang Weng dan asistennya yang cerdik, Fa Mulan!


BAO LING

LIONG

***

Waktu itu musim gugur di Tionggoan.
Rerumpun bambu tampak merontokkan dedaunan, memetafora tetanah selaksana hamparan karpet beledu raksasa berwarna marun dari kejauhan.
Lalu, ada derap-derap langkah kaki kuda memecah kesunyian hutan bambu. Bangkai dedaunan beterbangan di belakang penunggang kuda dengan sampiran pedang di belakang punggungnya. Shan-Yu masih berusaha mengejar Kaisar Yuan Ren Zhan. Inilah upaya terakhirnya untuk menunaikan dendam yang telah berkecamuk sekian tahun di benaknya.
Lima tahun lalu, ia merasa dikhianati oleh Kaisar Yuan Ren Zhan. Jenderal perang yang sudah mengabdi selama puluhan tahun itu, bahkan pada saat kekuasaan masih dipegang oleh ayahanda Sang Kaisar, Yuan Ren Xing - penerus kekaisaran Dinasti Yuan dari generasi kedua. Ia merasa Kaisar Yuan Ren Zhan telah berlaku tidak adil terhadapnya. Pembagian wilayah kekuasaan per provinsi yang dipimpin oleh seorang puak Istana - yang biasa disebut Kaisar Kecil di Tionggoan - itu ternyata tidak menyenangkan hatinya.
Shan-Yu merasa telah disepelekan dengan pemberian wilayah kekuasaan daerah-daerah tandus di sebelah utara. Sementara Pangeran Yuan Ren Qing, adik Sang Kaisar mendapat tempat daerah-daerah subur sebagai wilayah kekuasaannya di sebelah selatan.
Dianggapnya hal itu merupakan ketidakadilan yang menimbulkan kecemburuan status. Padahal menurutnya, selain berfoya-foya dan berhura-hura, Pangeran Yuan Ren Qing tidak memiliki kapabilitas apa-apa sebagai abdi negara yang baik. Ia mengajukan protes kepada Sang Kaisar, yang ditingkahi dengan pembangkangannya melalaikan tugas menjaga binara-binara di pos pengawasan Tembok Besar dari gangguan militan nomad Mongol. Saat itu Dinasti Yuan memang tengah menghadapi pemberontakan kecil dari musuh gurun pimpinan Temujin dan anak angkatnya, Kao Ching, yang masih mengembara dengan kekuatan kecil. Juga suku-suku Han yang mengklaim Tionggoan sebagai negara moyang dan leluhur mereka, yang terpampas oleh bangsa Yuan.
Kaisar Yuan Ren Zhan murka luar biasa. Tembok Besar yang berhasil dilintasi oleh beberapa pemberontak karena kurangnya pengawasan para prajurit pimpinan Shan-Yu telah mencoreng nama baik Dinasti Yuan. Selama ini Tembok Besar dianggap merupakan benteng terkuat di dunia. Tidak ada kerajaan manapun yang pernah berhasil melewati bangunan mahapanjang yang menutupi perbatasan Tionggoan dengan Mongolia itu.
Namun kejadian memalukan itu telah meruntuhkan martabat Sang Kaisar. Terlebih-lebih ketika pejabat dan petinggi di negara-negara putih Barat telah mendengar kejadian miris itu. Pasti akan menjadi bahan gunjingan dan tertawaan di seluruh dunia. Maka dengan legitiminasinya sebagai panglima tertinggi angkatan perang Yuan, juga sebagai kaisar dari generasi ketiga Dinasti Yuan, maka Shan-Yu diberhentikan dari tugasnya sebagai jenderal dan pemimpin Angkatan Perang Tionggoan!
Tetapi mengingat jasa-jasa pengabdiannya selama ini, Shan-Yu masih diberi muka dengan ditugaskan sebagai wedana di pusat logistik militer Yuan di Yunan. Dengan begitu, praktis ia tidak punya kendali apa-apa atas militer Yuan lagi.
Shan Yu mendendam.
Dan ia menyusun siasat makar untuk melumpuhkan militer Yuan dengan bergabung diam-diam ke pihak pemberontak pimpinan Han Chen Tjing. Selama beberapa tahun, ia tetap sabar menjalankan tugasnya sebagai wedana di Yunan. Karena dari tugasnya tersebut, ia dapat dengan leluasa mengatur dan memainkan pasokan logistik bagi prajurit-prajurit Yuan di Ibukota Da-du dan daerah-daerah perbatasan Tionggoan-Mongolia.
Bukan itu saja. Ia pun telah bersekongkol dengan kalangan pemberontak Han untuk mencuri beras-beras berkualitas unggul, dan hanya menyisakan beras-beras bermutu rendah untuk prajurit-prajurit Yuan.
Pangkal pembelotannya telah menyebabkan melemahnya fisik prajurit-prajurit Yuan secara tidak langsung. Dan justru sebaliknya, merupakan kekuatan untuk kaum pemberontak Han yang mulai mengatur strategi penyerangan tak terduga suatu saat. Dalam masa-masa transisinya itulah Shan-Yu banyak memaparkan kelemahan militer Yuan. Juga titik-titik kekuatan dari prajurit-prajurit Kaisar Yuan Ren Zhan kepada Han Chen Tjing.
Shan-Yu juga menyerahkan peta-peta yang merupakan titik sentrum kekuatan militer Yuan. Kekuatan militer Yuan berasal dari atas bukit-bukit di sepanjang perbatasan Tembok Besar. Dari arah atas bukit, mereka memiliki dua ratus ribu prajurit Divisi Kavaleri Danuh yang bersenjatakan busur-busur dengan anak-anak panah beracun. Racun mahamematikan tersebut berasal dari Lembah Dewi Racun, daerah ngarai terpencil yang sudah lebih dari seabad ditempati oleh rahib-rahib perempuan beraliran Taoisme bernama Go Mei. Daerah lembah itu banyak ditumbuhi persik dari berbagai jenis, juga aneka tanaman berbisa seperti Mawar Berbisa dan Yang-liu Berbisa yang memiliki unsur racun mematikan.
Penyerangan dari lembah menuju bukit perbatasan Tembok Besar sama juga bunuh diri. Karenanya, ia menyarankan untuk tidak menyerang dari sana. Tetapi memutar arah ke utara, menyeberangi Danau Baikal di perbatasan Mongolia, dan menyerang dari arah belakang setelah melewati Sungai Onon.
Daerah titik penyerangan yang dimaksud memang tidak terlalu terkawal. Selain dianggap tidak strategis, gigir Sungai Onon juga diabaikan karena terlalu deras untuk dilalui. Pos-pos penjagaan di daerah itu hanya diawasi tidak lebih dari seribu prajurit Divisi Infanteri. Melumpuhkan prajurit jaga itu sama mudahnya dengan memitis mati seekor kutu. Strategi itulah yang akan digunakan untuk menyerang Dinasti Yuan tidak lama lagi setelah mereka berhasil menggalang dan menghimpun kekuatan besar.
Meski memiliki banyak sumber daya manusia, tetapi pasukan pemberontak Han tidak didukung oleh fasilitas persenjataan yang memadai. Untuk menghadapi prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh, mereka memang harus menerapkan strategi jitu. Bertarung secara frontal dan terbuka dengan pasukan berpanah tersebut sama halnya dengan mengirim nyawa.
Itulah yang dipikirkan Shan-Yu sebagai antisipasi sebelum menyerang Ibukota Da-du, di mana Kaisar Yuan Ren Zhan berdiam. Maka setelah merenung, ia mengusulkan kepada Han Chen Tjing sang Pemimpin Han untuk menyiapkan dan membuat zirah tameng buat pasukan Han nantinya. Zirah yang dimaksud adalah baju-baju seragam yang terbuat dari lempengan-lempengan kulit kayu pohon mahoni, yang menutup nyaris seluruh tubuh kecuali wajah para serdadu.
Cara itu dianggap efektif dan efisien untuk melawan prajurit Yuan, khususnya dari Divisi Kavaleri Danuh yang berdeterminasi tinggi. Selain itu, zirah tersebut bisa dibuat secepat mungkin dengan biaya sedikit. Semua serdadu Han dipersenjatai dengan tombak sepanjang dua meter, dan dilengkapi dengan sebuah tameng kayu elips yang terikat di lengan kiri sebagai penahan gempuran anak-anak panah beracun.
Tentu saja piranti persenjataan sederhana itu dianggap terbaik untuk dapat menandingi kehebatan prajurit Yuan dari Divisi Kavaleri Danuh. Pasalnya, lesatan anak-anak panah beracun tersebut tidak akan langsung menembusi tubuh pasukan Han.
Selain diharapkan meleset, anak-anak panah yang ditembakkan itu akan menancap pada zirah pasukan Han. Memang itulah sebagian dari strategi yang telah dipikirkan Shan-Yu jauh-jauh hari. Setelah itu, perlahan tetapi pasti mereka akan bergerak maju sembari menghabiskan semua persediaan anak-anak panah prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh tersebut.
Shan-Yu tersenyum dengan rupa menang.
Tepat pada saatnya nanti, pasukan Han akan menyerang frontal dan besar-besaran seperti sekawanan semut merah yang merayapi Tembok Besar dan mengarungi Sungai Onon - kemudian mendaki bukit-bukit Tung Shao untuk memangsa dengan ganas prajurit-prajurit Yuan.
Ia terbahak dengan suaranya yang khas.
Melengking menembusi dinding-dinding angkasa.
Diangkatnya pedang ular peraknya tinggi-tinggi. Diacung-acungkan dan diputar-putarkannya seperti propeler sampai dedaunan yang mengerontang di tanah beterbangan membentuk pusaran selebar kubah Istana Da-du.
Kaisar Yuan Ren Zhan pasti tamat!


BAO LING

ELEGI MAHARANA

***

Bersama Shang Weng, Fa Mulan baru saja berhasil memukul mundur pasukan Han yang menyemut di sebelah utara perbatasan Mongolia, di daerah gigir Sungai Onon. Mulanya, prajurit-prajurit Yuan dari Divisi Infanteri sudah tidak sanggup membendung kekuatan musuh yang terus membengkak. Untung bala bantuan dari Ibukota Da-du datang meskipun telat seminggu. Berkat kecerdikannya pula, Fa Mulan berhasil mengelabui musuh dengan taktik kamuflasenya. Kuda-kuda tanpa penunggang berjumlah ribuan ribu dengan prajurit-prajurit Divisi Kavaleri Danuh di depan membentuk pagar betis, telah menakuti pihak musuh. Taktik okhlosofobia yang jitu. Pasukan pemberontak Han mundur, menyangka Fa Mulan telah membentengi Tung Shao dengan ratusan ribu prajurit Yuan.
Sebelumnya, kurang lebih lima bulan lalu, di sebelah selatan dekat perbatasan Tembok Besar, prajurit-prajurit Divisi Kavaleri Danuh sudah dilumpuhkan oleh pemberontak Han pimpinan Han Chen Tjing. Mendengar kabar tersebut dari seorang prajurit intelijen, Fa Mulan nyaris berputus asa kala itu. Sama sekali tidak menyangka kekuatan raksasa prajurit Divisi Kavaleri Danuh dapat takluk dengan mudah. Tentu ada kekuatan tersembunyi pasukan pemberontak Han yang tidak diketahui para jenderal pakar stategi perang Yuan.
Mereka kecolongan!
Ia menggeram. Ia sendiri sebetulnya sudah kewalahan menghadapi pasukan Han yang dipimpin Shan-Yu di kaki bukit Tung Shao, sebuah daerah perbukitan yang ditimbuni salju setiap menjelang musim gugur. Selain karena hanya memiliki jumlah prajurit yang sedikit, daerah di sebelah utara perbatasan Mongolia itu sama sekali tidak terkawal oleh prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh - yang termasuk dalam jajaran pasukan elit Yuan. Di bukit-bukit Tung Shao hanya terlihat barak-barak prajurit Divisi Infanteri yang tidak terlalu tangguh. Menyadari hal itu, ia segera mengambil inisiatif melalui Shang Weng untuk meminta pusat militer di Ibukota Da-du mengirimkan prajurit elit guna melapisi zona tempur Tung Shao.
Jenderal Gau Ming di Ibukota Da-du mulanya menolak permintaan pimpinan Kamp Utara itu. Alasannya, daerah selatan perbatasan Tembok Besar lebih memerlukan kehadiran prajurit-prajurit elit tersebut. Dengan dimutasikannya beberapa ribu prajurit dari daerah perbatasan itu, maka kekuatan yang diprakirakan dapat membendung gempuran pasukan pemberontak Han akan kewalahan.
Satu bulan kawat yang dikirimkannya melalui Bao Ling, Prajurit Kurir gesit berwushu tinggi mengambang tanpa balas. Rupanya jenderal pakar strategi perang itu tidak menyetujui permintaannya. Namun pada bulan kedua, setelah prajurit-prajurit Yuan mulai kewalahan, maka dikirimlah bala bantuan para prajurit elit tersebut. Bukan mutasi dari medan pertempuran di perbatasan Tembok Besar. Tetapi langsung dari Ibukota Da-du dengan risiko kekuatan tempur di Ibukota Da-du berkurang!
Jenderal Gau Ming sama sekali tidak menyangka pasukan pemberontak Han akan menyerang dari arah belakang melalui gigir Sungai Onon. Pasukan pemberontak Han pasti memiliki penasehat militer yang berotak cemerlang, pikirnya. Berlapis-lapis prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh dapat tumbang hanya dalam tempo enam bulan. Sesuatu hal yang rasanya muskil bagi pemberontakan rakyat jelata pimpinan Han Chen Tjing yang, tidak memiliki fasilitas memadai untuk membentuk militer handal.
Para pakar strategi perang Yuan memang tidak menyadari hal sepele tersebut. Fa Mulan sejak jauh-jauh hari telah menyadari kalau hal sepele itu dapat mendatangkan masalah besar. Hal itu terbukti ketika pasukan pemberontak Han perlahan-lahan telah menapak masuk ke wilayah kekuasaan Yuan.
Dan ketika permintaannya untuk menambah lapisan kekuatan di zona tempur utara tidak dipenuhi, bersama Shang Weng ia kembali mengambil inisiatif menghadang laju pasukan pemberontak Han yang mulai merayap ke Tung Shao.
Dipimpin Langsung oleh Shan-Yu di barisan depan, pasukan pemberontak Han mulai menduduki dusun-dusun pinggir hutan bukit. Mereka berhasil merebut seperempat daerah terpencil di wilayah kekuasaan Yuan. Menduduki lumbung padi. Dan beberapa dusun dijadikan sebagai markas dan pusat logistik militer.
Beberapa ribu pasukan pemberontak Han yang berhasil sampai di zona tempur dijebak oleh Fa Mulan ke dalam rimba salju. Jalur-jalur penting penitian pun telah dihancurkan oleh Fa Mulan dan pasukannya. Ribuan pasukan lapis pemberontak yang menyusul dari belakang ditimbun dengan longsoran salju dari puncak bukit melalui serangkaian ledakan dinamit.
Shan-Yu geram luar biasa.
Ia tidak menyangka akan mendapat perlawanan yang cukup sengit oleh para prajurit wamil berbau kencur seperti Fa Mulan. Tung Shao yang merupakan jalan pintas menuju Ibukota Da-du telah diblokir oleh gadis mantan wamil Fa Mulan. Suatu hal yang sama sekali jauh dari rencananya. Ia gagal mengaplikasikan strateginya yang taktis itu. Tiga bulan pasukannya tertahan di bawah bukit. Sementara di daerah selatan perbatasan Tembok Besar, pasukan pemberontak Han yang dipimpin langsung oleh Han Chen Tjing malah sudah berhasil sedikit demi sedikit melewati Tembok Besar yang angker!
Tiga bulan pasukannya hanya meladeni prajurit dari Divisi Infanteri pimpinan Shang Weng yang mulai turun dari bukit, dan bertempur secara gerilya di dusun-dusun. Pada minggu terakhir dari tiga bulan pertempuran itu, pasukannya berhasil memukul mundur Shang Weng yang kabur kembali ke atas bukit. Itu pun berkat bantuan pasukan yang dikirim oleh Han Chen Tjing dari perbatasan selatan Tembok Besar.
Pada bulan keempat, pasukan pemberontak Han seperti tidak dapat dibendung lagi. Tiga ratus ribu pasukan pemberontak Han sudah menyemuti daerah bukit. Fa Mulan terdesak mundur sampai tiga puluh mil mendekati perbatasan Ibukota Da-du. Tung Shao hampir pasti akan direbut oleh Shan-Yu. Fa Mulan tidak dapat berbuat apa-apa lagi setelah persediaan dinamit sudah habis. Sementara bala bantuan dari Ibukota Da-du belum kunjung tiba. Ia gamang. Dan berpikir keras untuk mencari taktik lain agar dapat menghalau pasukan Shan-Yu yang mulai memasuki Tung Shao.
Shang Weng pulang kembali ke barak Kamp Utara ketika ia kehilangan sebagian besar prajuritnya. Ia sendiri terluka parah. Sementara itu Fa Mulan sudah nyaris berputus asa. Pasukan pemberontak Han kian hari bertambah banyak. Mereka memiliki persediaan logistik yang seolah tidak ada habis-habisnya. Suplai beras dan makanan mereka terus berjalan lancar dipasok dari dusun-dusun yang mereka rebut serta duduki empat bulan lalu. Dari pihak intelijen Yuan, ia mendengar kabar kalau tumpukan persediaan logistik militer pasukan pemberontak Han itu merupakan hasil korupsi dan curian Shan-Yu sekian tahun selama menjadi wedana di Yunan - salah satu lumbung padi terbesar di Tionggoan.
Beberapa hari kemudian Bao Ling datang menyampaikan kawat balasan yang dikirimkan oleh Jenderal Gau Ming. Ia menyetujui permintaan Kamp Utara untuk membentengi Tung Shao dari serbuan pasukan pemberontak Han dengan prajurit-prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh. Fa Mulan kini yang sepenuhnya mengatur komando kepemimpinan di zona tempur, setelah Shang Weng terkapar dan dirawat di tenda Kamp Utara.
Ia gusar dan sedih.
Setelah sekian lama terdesak, barulah ada tanggapan dari para jenderal di Ibukota Da-du.
Setelah segalanya sudah di ambang kehancuran!


FA MULAN

REFLEKSI PADA SEBUAH EKSEKUSI

***

Fa Mulan menikmati bakpao terakhirnya dengan lahap. Bakpao itu terbuat dari tepung gandum berkualitas rendah. Kekuning-kuningan dan berbau apak. Biasanya berisi daging babi cincang. Tetapi kali ini negara tengah menghadapi kesulitan sehingga para prajurit hanya dijatahi beberapa buah bakpao yang berisi jenang kacang hijau. Tidak terlalu lezat dan bergizi. Tetapi ia sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu kalau perutnya sudah kelaparan di medan peperangan.
Setelah Shan-Yu membelot ke kaum pemberontak Han, Kekaisaran Yuan mulai mendapat masalah serius. Menurut data intelijen Yuan, setengah dari rahasia negara telah jatuh ke tangan Han Chen Tjing, pemimpin pemberontak yang ingin mendirikan dinasti baru dengan meruntuhkan Dinasti Yuan di bawah kepemimpinan Kaisar Yuan Ren Zhan. Dan tak dapat disangkali bahwa Shan-Yu-lah yang memiliki andil besar raibnya data penting negara tersebut.
Lalu kini ia mulai menggalang kekuatan di kubu pemberontak Han dengan membeberkan kelemahan-kelemahan militer Yuan. Selain data-data urgensi negara Yuan yang raib, persediaan logistik pangan kemiliteran seperti beras dan gandum bermutu bagus untuk prajurit-prajurit Yuan pun telah berpindah tangan ke kaum pemberontak Han. Pada saat musim salju, prajurit-prajurit Yuan tidak mendapat suplai makanan yang memadai. Lumbung logistik Yunan hanya dapat menyuplai gandum dan beras berkualitas rendah untuk jangka waktu yang tidak lama. Semua itu karena ulah batil Shan-Yu selama menjadi wedana di sana. Kaisar Yuan Ren Zhan memang telah kecolongan. Memelihara seekor harimau yang perlahan-lahan menerkam tuannya sendiri!
Fa Mulan masih menyendiri.
Ia duduk di dekat unggun yang sudah nyaris redup, menyisakan bara dari kayu yang sudah mengarang. Dihelanya napas panjang. Gemintang di atasnya masih berkelap-kelip. Dipandanginya satu bintang yang paling benderang di belahan langit barat. Semasa kanak-kanak dulu, bintang tersebut selalu bercokol pada petang hari di situ. Bahkan ia pernah menamai bintang yang, sebenarnya Planet Venus tersebut dengan nama Mata Dewa. Sudah beberapa hari ini ia tidak dapat tidur. Galau memikirkan nasib prajurit-prajurit yang terbantai. Juga pasukan pemberontak Han yang tinggal menghitung hari untuk dapat merebut daerah dan perbukitan Tung Shao.
Dipandanginya manuskrip dari Jenderal Gau Ming yang masih digenggamnya. Diserahkan Bao Ling senja tadi. Lima hari menjelang prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh akan tiba membantu prajurit Divisi Infanteri Kamp Utara. Fa Mulan menggeleng sedih. Terlambat. Shang Weng juga sudah terluka parah. Tidak dapat berbuat banyak untuk menghalau pasukan pemberontak Han yang semakin mengganas.
"Apa yang meresahkan Anda, Asisten Fa?"
Bao Ling menyibak daun tenda, tampak menongolkan kepalanya. Ia keluar dari tendanya. Menghampiri Fa Mulan yang masih duduk di salah satu tebangan batang pinus. Sejak Fa Mulan diangkat oleh atase militer Yuan sebagai asisten Kapten Shang Weng, sahabat-sahabatnya - baik yang sudah menjadi Prajurit Madya maupun yang masih berstatus prajurit landai - memanggilnya dengan 'Asisten Fa'. Sebuah panggilan formal dalam kemiliteran Kekaisaran Yuan. Fa sendiri adalah nama marga Fa Mulan.
Fa Mulan tidak menggubris. Ia benar-benar resah. Mungkin besok atau lusa mereka akan tertawan oleh Shan-Yu. Dipandanginya kembali gemintang di atas langit kelam setelah mendongak sebagai bentuk kegelisahannya.
Bao Ling masih menegur pelan. "Asisten Fa...."
Namun belum ada sulih atas sapanya yang melantun di antara bunyi kerak unggun tadi. Bao Ling turut duduk di ujung batang pinus yang lembab berambun tanpa berpikir untuk mengganggu dengan sapanya yang satin meski ia prihatin. Hanya dipandanginya wajah keras gadis asal Chengdu itu. Maharana memang telah menuakan rona manis parasnya. Beberapa kerut-merut yang membentuk garis di sekitar kantung matanya membuktikan perjuangan yang telah dilewatinya dengan keras.
"Tidurlah. Kamu memerlukan istirahat yang cukup. Lima hari lagi pasukan pemberontak Han pasti sudah sampai di sini. Kita mesti punya cukup tenaga untuk melawan mereka," balas Fa Mulan akhirnya, tanpa menoleh. Ia menyimak lidah unggun yang sesekali menggemeretak dan menimbulkan lelatu kecil.
"Justru Andalah yang seharusnya perlu banyak beristirahat. Sudah tiga hari ini saya lihat Anda tidak pernah tidur," tolak Bao Ling sembari melembar sebilah kayu bakar ke lidah unggun.
Fa Mulan mengembuskan napas keras. "Saya sedang memikirkan taktik apa untuk dapat menaklukkan mereka!"
"Tapi, tidak seharusnya Anda yang memusingkan urusan strategi pertahanan seperti itu, Asisten Fa. Bukankah itu urusan para jenderal di Ibukota Da-du?" sanggah Bao Ling, kembali melemparkan sebilah kayu bakar ke lidah unggun.
Fa Mulan tersenyum sinis. Salah satu ujung bibirnya terangkat sedikit ke atas. Dan ia menatap sepasang mata sipit Bao Ling dengan mimik protes setelah menoleh ke wajah tirus tersebut.
"Jenderal?!" tanyanya, juga dengan nada sinis. "Kalau memang itu urusan mereka, tentu kita di sini tidak akan terjebak menunggu maut menjemput!"
"Tapi...."
Fa Mulan berdiri dari duduknya. Dielusnya spontan gagang pedang bersarung embos naga yang tersampir di pinggangnya. Mushu, pedang pusaka para leluhurnya. Itulah pedang turun-temurun yang secara satria pernah dipakai oleh para leluhurnya untuk membela Negeri Tionggoan. Terakhir sebelum dipakainya, pedang itu pernah menyertai ayahnya dalam perang saudara di Tionggoan. Sampai suatu ketika ayahnya terluka parah dalam sebuah pertempuran. Mengalami cacat permanen pada kaki kirinya akibat tebasan pedang musuh. Pincang. Lalu meletakkan pedangnya di meja hyang para leluhur Fa.
"Bao Ling, sampai mati pun saya tetap akan berusaha menaklukkan pasukan pemberontak Han pimpinan Jenderal Shan-Yu itu!"
Prajurit yang juga merupakan penyair itu menggigit bibir. Ia tahu loyalitas Fa Mulan terhadap Kekaisaran Yuan. Ia tahu dedikasi macam apa yang telah diaplikasikannya selama menjadi prajurit wamil. Fa Mulan merupakan satu-satunya orang berjiwa heroik yang pernah dikenalnya, bahkan melebihi para jenderal yang berada di belakang meja strategi!
"Tapi, tidak sepatutnya Anda yang memikul semua tanggung jawab ini!"
"Semestinya! Tapi, di mana nurani saya bila melepaskan tanggung jawab di Tung Shao ini, sementara prajurit-prajurit Yuan sahabat-sahabat kita tumbang satu per satu, terbantai di zona tempur ini!"
Bao Ling terdiam.
Sahabatnya, Fa Mulan, adalah prajurit paling tangguh yang pernah diakrabinya. Ia pantang menyerah. Berbekal dari replikasi semangatnya itu pulalah sehingga ia mengurungkan niatnya kabur dari Kamp Utara, pulang ke rumah istananya yang damai di Ibukota Da-du. Menjalani hari-harinya sebagai sastrawan yang berkutat dengan kuas dan kertas. Bukannya pedang yang setiap hari dilumuri darah!
Patriotisme macam apa yang dimilikinya bila lari dari kenyataan?!
"Bao Ling, saya bukan menyesali kenapa harus terlibat dalam perang ini! Kenapa harus terjebak menunggu ajal di tempat sedingin ini. Bukan. Bukan itu semua. Tapi yang saya sesali adalah, lambannya para jenderal untuk bertindak menyelamatkan situasi. Para jenderal di pusat sangat egosentris! Mereka lebih mementingkan menyelamatkan aset-aset dan kekayaan pribadi mereka saja. Padahal, kamu tahu, di sini kita sudah terkepung. Dan mungkin besok atau lusa kita sudah berada di ujung golok penggal algojo musuh!"
Bao Ling menundukkan kepalanya.
Didengarnya isi hati Fa Mulan dengan takzim. Ia mengangguk tanpa sadar. Para pejabat di Istana Da-du memang selalu mementingkan dirinya sendiri. Buktinya, permintaan Fa Mulan dan Shang Weng agar militer pusat mengirimkan bala bantuan prajurit Divisi Kavaleri Danuh tidak diindahkan. Dan baru mengirimkan bantuan tersebut setelah situasinya tidak memungkinkan lagi!
Sudah terlambat!
"Jadi, apa yang akan kita lakukan besok, Asisten Fa?!"
"Kita bertempur habis-habisan. Lebih baik mati syahid di sini ketimbang kembali ke Ibukota Da-du dengan wajah tercoreng malu!"
"Ja-jadi, maksud Anda� Anda tidak mau mundur?!"
"Kalau saya ingin mundur, sejak mula dalam perekrutan wamil dulu saya sudah melarikan diri!"
"Ta-tapi, bukankah dengan memaksakan diri bertahan sama juga dengan bunuh diri, Asisten Fa?!"
Fa Mulan mengusap wajahnya.
Bibirnya terkunci. Pertanyaan Bao Ling barusan menohok hatinya. Mengurai serangkai ragu yang membabur. Jujur diakuinya kalau sekarang ia memang tengah putus asa. Hanya menanti ajal menjemput!
Tiga ratus ribu pasukan pemberontak Han akan merayapi Tung Shao! Sebuah kekuatan mahabesar yang akan memporak-porandakan Kamp Utara, yang saat ini hanya memiliki jumlah prajurit tidak lebih dari seperempat pasukan pemberontak Han!
Ia kembali mengusap wajah.
Angin yang bertiup semilir dari puncak bukit menggeraikan rambutnya yang sudah sedikit memanjang. Ia selalu memotong pendek rambutnya untuk menyamarkan identitas keperempuanannya. Tetapi sekarang tidak perlu lagi. Karena semua pejabat dan jenderal Yuan sudah mengetahui kalau Fa Mulan ternyata seorang perempuan.
Langit timur sudah sedikit menerang. Jingga baur di horizon kelam semakin menggalaukan hatinya. Mudah-mudahan pasukan pemberontak Han kesulitan meniti bukit licin bersalju besok, harapnya. Persediaan amunisi dinamit sudah habis. Sudah tiga bulan bahan peledak itu efektif menghambat laju pasukan pemberontak Han. Sekarang persediaan dinamit itu tidak dapat disuplai lagi karena Jenderal Gau Ming lebih memilih menghemat dinamit tersebut untuk dipergunakan mempertahankan Ibukota Da-du dari serangan musuh suatu saat.
Pandangannya mengabur oleh tabir uap salju yang mengkristal di hamparan bukit Tung Shao. Tenda-tenda masih berdiri, dinding-dindingnya yang terbuat dari kulit kempa lembu tampak hitam keperakan disinari cahaya bulan, yang muncul separo simetris di atas kepalanya. Disandarkannya matanya ke istal tenda. Beberapa ratus ekor kuda prajurit mungkin juga sudah terlelap karena kelelahan.
Ia menghela napas pendek.
Banyak kuda yang mati terkena tombak pasukan pemberontak Han yang sepanjang ular sawah. Senjata sederhana namun sangat efektif melumpuhkan lawan dari jarak jauh pada saat bertarung jarak dekat.
Bagaimanakah keadaan Khan?
Ia mengusap wajah.
Khan sudah cukup menderita selama ini. Khan merupakan pahlawan keluarganya. Ia telah banyak berjasa menyertai beberapa peperangan yang dilalui ayahnya selama menjadi prajurit kekaisaran dari generasi kedua Yuan. Dan sekarang, Khan-lah yang menyertainya membela Kekaisaran Yuan dari generasi ketiga. Mengiringi langkahnya ke mana saja. Bersamanya dalam suka dan duka.
Setelah ayahnya, Khan kuda tuanya itu merupakan makhluk yang paling dicintainya. Bahkan melebihi ibunya! Kuda hitam itu telah berjasa menyertai perjalanan hidupnya. Selama ia masih kanak-kanak sampai ia menjadi prajurit wamil. Ah, entah kapan Khan dapat beristirahat dengan tenang, dan tidak terlibat dalam medan peperangan lagi!
Dan....
"Siapa bilang begitu?!" Fa Mulan berkacak pinggang seperti kebiasaannya. Mengurai senyum sumringah. Ada satu keyakinan teguh yang terpancar di wajah tirusnya. "Tentu saja kita tidak akan mati sia-sia!"
"Maksud Anda?!"
Entah dari mana datangnya ide taktik yang secerlang gemintang di langit. Ia masih tampak tercenung dengan wajah sumringah. Seolah tidak percaya atas apa yang melintasi benaknya sendiri barusan. Sama sekali tidak menyangka akan mendapat ilham agung dari Dewata. Rupanya, para leluhur Fa masih menyertai langkahnya!
Ayah juga masih mendoakan keselamatannya!
"Bao Ling, sekarang kamu kebut kudamu ke Istana Da-du! Minta Jenderal Gau Ming untuk mengumpulkan semua kuda yang ada di Ibukota Da-du dan sekitarnya. Kalau perlu suruh Jenderal Gau Ming menyisir semua istal dan peternakan kuda yang ada di perbatasan Mongolia Setelah itu, kirim segera kemari. Secepatnya!"
"Un-untuk apa?!"
"Jangan banyak tanya! Cepat laksanakan! Ini perintah atasan!"
"Tapi...."
"Eit, tunggu!"
Fa Mulan berlari masuk ke tendanya. Di dalam, ia langsung menggabruk rehal untuk menulis manuskrip yang akan disampaikan Bao Ling kepada Jenderal Gau Ming. Dirogohnya sebuah kotak persegi panjang dari tas kulit rusanya. Dikeluarkannya asbak tinta yang terbuat dari batu granit, juga pit dan selembar kertas berwarna putih kekuning-kuningan.
Dalam penerangan pelita berbahan bakar minyak samin di sebuah wadah perak berbentuk teratai, tangkas tangannya yang jenjang membubuhkan huruf kanji di atas kertas setelah mencelupkan pit ke asbak tinta. Ia tersenyum setelah selesai menuliskan pesan untuk Sang Jenderal. Keluar dengan wajah sumringah. Diceritakannya taktik kamuflase yang akan menjadi penangkal serbuan musuh begitu tiba di hadapan Bao Ling.
Hanya beberapa patah kata saja, Bao Ling sudah dapat menangkap makna siasat yang membutuhkan banyak kuda tersebut. Ia mengangguk paham. Diam-diam mengagumi kecerdikan Fa Mulan.
"Saya tidak ingin membuang-buang waktu untuk menjelaskan siasat apa yang menjadi gagasan saya ini kepada para atase militer di Ibukota Da-du. Kita sudah terdesak. Nanti saya akan menjelaskan segalanya. Jadi, sekarang tugas kamu adalah mengirim kawat ini segera," jelas Fa Mulan sembari mendesak, dan menyodorkan gulungan kawat yang ditulisnya barusan begitu tiba di hadapan Bao Ling, yang masih berdiri dengan rupa terlongong. "Tolong sampaikan cepat! Ini menyangkut nyawa ratusan ribu prajurit Yuan. Juga jutaan rakyat Tionggoan!"
"Tapi...."
Tak ada gubrisan sebagai tanggapan. Hanya kibasan tangan Fa Mulan yang terayun, dan membungkam kalimat Bao Ling yang separo terlontar.
"Nah, berangkatlah! Hati-hati!"
Prajurit kurus bertubuh tinggi itu memacu kudanya seperti terbang. Derap-derap langkah kaki kudanya terdengar riuh membelah keheningan dini hari di Tung Shao. Menjauh dan menghilang ketika horizon di belahan timur sudah menjingga.


BAO LING

KEKASIHKU YANG MAJAS

***

Pertempuran di perbatasan Tung Shao masih berlangsung sengit. Karena kehabisan dinamit, Fa Mulan terpaksa bergerak taktis dan manualistik. Gelindingan bongkahan kristal salju yang mengarah cepat dan menurun ke arah bawah setelah dilontarkan dari arah atas bukit, dijadikan senjata pelumpuh. Meski sama sekali tidak efektif, namun semuanya dimaksudkan untuk menghalau dan mengacaukan pergerakan pasukan pemberontak Han.
Tetapi hal itu tidak terlalu banyak membantu. Hanya dapat menghambat laju musuh untuk satu-dua hari saja. Fa Mulan masih menunggu kiriman ribuan kuda yang dimintanya dari Ibukota Da-du untuk menerapkan taktik kamuflasenya.
"Shan-Yu sudah bergerak cepat, dan kini maju lima belas mil dari perbatasan!" teriak Chien Po gemas. Ia masih menghimpun prajurit-prajurit bawahannya untuk menggali terus bongkahan-bongkahan salju.
"Hambat mereka saja! Kita masih menunggu Bao Ling yang akan membawa kuda-kuda itu!"
"Tapi, prajurit kita di garis depan sudah habis! Saya tidak tahu apakah Yao masih hidup atau tidak, Asisten Fa!"
Hujan salju masih turun di Tung Shao. Fa Mulan merapatkan baju hangat tebal serupa jubah dari perca kulit rubahnya. Ditangkupinya kepalanya dengan tudung stola dari bulu binatang serupa. Sementara itu Chien Po, sahabatnya semasa wamil masih berteriak-teriak panik, memerintah prajurit-prajurit bawahannya yang tampak kelelahan. Prajurit Madya yang berbadan raksasa itu turut memikul beberapa bongkahan salju yang berat-berat, mengangkutnya dengan lori, lalu digelindingkannya dari gigir bukit.
"Yao sudah seharian di perbatasan! Saya khawatir dia...."
"Chien Pao, jangan gegabah!"
"Tapi, saya harus menyelamatkan dia!"
"Shan-Yu sangat berbahaya. Kapten Shang Weng yang berpengalaman saja belum mampu menandinginya!"
"Tapi...."
Chien Pao membuang gelondongan salju yang tengah dipikulnya. Ia hendak melangkah, menuruni bukit ke perbatasan Tung Shao, menyusul Yao di zona tempur depan. Fa Mulan menghentikan langkah prajurit berbadan raksasa itu. Rasionalitas kalimat yang berdenyar di benaknya sontak menggerakkan tangannya meraih pundak bidang Yao. Ditahannya langkah prajurit raksasa itu pada satu titik di tengah hamparan salju.
Prajurit Madya berbadan besar itu berbalik dengan menahan geram yang menggemeletukkan gerahamnya. Sepasang tangannya masih mengepal ketika Fa Mulan menarik kerah seragamnya. Ditatapnya nanar sepasang mata bola yang memicing di hadapannya. Mungkin gadis itu benar. Memang sangat berbahaya bila ia turun ke bawah bukit, berhadapan langsung dengan Shan-Yu. Apalagi ia bakal dihadang oleh ratusan ribu pasukan pemberontak Han.
"Kapten Shang Weng tidak bakal terluka parah bila Shan-Yu bukan pendekar hebat!"
"Yao...."
"Mudah-mudahan dia tidak apa-apa!"
Fa Mulan melepaskan cekalannya. Chien Po mengendur. Mundur setindak ke belakang. Ia menundukkan kepala, seperti menyesali keputusannya yang babur.
"Kita tunggu sampai Bao Ling datang membawa bala bantuan!"
Fa Mulan memejamkan mata.
Disesalinya Yao yang turun dari bukit fajar tadi. Prajurit Madya berbadan kekar itu memang tidak dapat menahan emosi dirinya. Tanpa sepengetahuannya, bersama beberapa ratus prajurit tangguh, ia turun dari bukit. Menghadang pergerakan pasukan pemberontak Han. Semalam Fa Mulan memang bertengkar dengan Yao.
Yao menilai Fa Mulan terlalu lamban bergerak sehingga musuh dapat kembali menghimpun kekuatan. Ketika mereka masih memiliki banyak persediaan dinamit, Fa Mulan tidak bertindak tangkas mengejar pasukan pemberontak Han yang mundur beberapa mil dari perbatasan Tung Shao. Fa Mulan menolak menekan musuh karena sama sekali belum tahu seberapa besar sebenarnya kekuatan musuh. Shan-Yu mundur dari perbatasan bukan karena sudah melemah. Mungkin saja itu taktik untuk menjebak prajurit-prajurit Yuan yang turun bukit mengejar dan menyusul mereka. Apalagi pihak Yuan tidak memiliki data intelijen yang akurat. Data-data intelijen yang lama bisa saja invalid. Aktualisasi di lapangan memang berbeda dengan di atas kertas!
Karena inakurasitas data intelijen Yuan itu pulalah sehingga Shang Weng terluka parah. Sewaktu mereka membombardir pihak musuh dengan dinamit, beberapa data intelijen menyebutkan kalau Shan-Yu sudah kewalahan dan mundur dari zona tempur.
Berbekal dari data itu juga maka Shang Weng turun bukit, bermaksud mengambil alih kembali kantong-kantong yang pernah diduduki musuh. Tujuannya adalah untuk membebaskan rakyat dari kekangan musuh, juga agar dusun-dusun yang dulu dikuasai oleh Shan-Yu itu dapat dijadikan lumbung logistik untuk para prajurit Yuan.
Namun pada kenyataannya, praduga itu meleset. Bahkan tindakan Shang Weng yang turun bukit nyaris menghilangkan nyawanya sendiri. Di bawah bukit, pasukan pemberontak Han sama sekali belum mundur. Pasukan pemberontak Han lalu mengurung Shang Weng dan prajurit-prajuritnya. Mereka akhirnya terjebak di dalam pertempuran-pertempuran dusun, yang pada akhirnya banyak menelan korban dari pihak Yuan.
"Yao keras kepala!" sembur Fa Mulan gusar. Dielus-elusnya kembali gagang Mushu-nya seperti kebiasaannya jika tengah resah.
"Bantuan dari pusat belum datang!" Chien Po turut gusar. "Itu yang bikin kita mati di sini!"
"Betul! Jenderal Gau Ming terlalu lamban!"
"Jenderal Gau Ming terlalu menganggap remeh sebuah masalah."
"Hal yang banyak menghancurkan dinasti-dinasti pendahulu!" sesal Fa Mulan berkacak pinggang, mengawasi prajurit-prajurit yang masih mengangkuti bongkahan salju. "Rupanya Kaisar Yuan Ren Zhan tidak belajar dari pengalaman sejarah!"
"Makanya orang jahat seperti Jenderal Shan-Yu selalu memanfatkan kesempatan mengail di air keruh!"
"Kalau semua orang memiliki hati sebusuk Jenderal Shan-Yu, entah apa jadinya dengan dunia ini!"
"Dan seandainya saja semua orang memiliki hati sebaik Asisten Fa, betapa damainya dunia yang kacau-balau ini!"
Fa Mulan tersenyum mendengar sanjungan Chien Po. Chien Po merupakan sahabat yang bersahaja. Meskipun tubuhnya sebesar gajah, tetapi hatinya lembut seperti salju. Halus seperti sutra. Dalam masa-masa berat pelatihan militer di Kamp Utara dulu, Chien Po-lah yang paling banyak membantunya. Sumbangsih tenaga besar Chien Po jugalah yang kerap meringankan beban hukumannya lantaran dianggap membangkang perintah atasan - diam-diam Chien Po sering membantunya mengangkati karung-karung pasir ke zona-zona tempur sebagai sanksi hukuman.
Chien Po adalah anak sulung pasangan petani di Yunan. Ia memasuki kehidupan militer sesuai amanat Kaisar Yuan Ren Zhan yang berkuasa di Dinasti Yuan, yang mengharuskan setiap keluarga mewakilkan seorang laki-laki untuk menjalani wajib militer. Selain karena mewakili Keluarga Chien menjalani kewajiban kenegaraan tersebut, ia juga menyimpan dendam lama terhadap Han Chen Tjing - pemimpin pasukan pemberontak Han.
Menurutnya, Han Chen Tjing merupakan musang berbulu domba. Ia menghasut rakyat jelata untuk memberontak terhadap Kekaisaran Yuan. Memaparkan segala kebobrokan pemerintah yang korup dan tiran. Padahal, semua itu merupakan ambiguitas ambisinya yang terselubung untuk menduduki takhta kekaisaran. Ia membodohi rakyat miskin di pedesaan. Juga merampas dan merampok tanah serta harta benda beberapa rakyat jelata melalui kaki-tangannya, Kelompok Topeng Hitam. Keluarga Chien Po termasuk salah satu korban lelaki ambisius tersebut. Sawah ayahnya yang hanya sepetak dirampas untuk dijadikan sangu membentuk sebuah milisi.
Chien Po mendaftarkan dirinya sebagai prajurit di Kamp Utara tepat bersamaan dengan Fa Mulan, Yao, dan Bao Ling. Karenanya, mereka bagai pinang yang dibelah empat. Masing-masing bahu membahu menjalani kerasnya kehidupan di barak militer dalam suka maupun duka, dengan karakter dan kepribadian yang berbeda-beda.
Di dalam Kamp Utara, selain Shang Weng, Fa Mulan-lah yang kerap dianggap sebagai pemimpin para prajurit. Ia mewakili para prajurit menyampaikan gagasan, juga kritikan yang dianggap merugikan mereka. Selain karena cerdas dan gigih, Fa Mulan juga dianggap jujur menyikapi suatu masalah. Ia arif menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan bentrok fisik di antara para prajurit. Ia juga sangat berani mengungkapkan kebobrokan dan penyimpangan beberapa pejabat militer di Kamp Utara.
Lantaran sikap kritisnya itulah maka Fa Mulan selalu berselisih paham dengan beberapa atase militer. Bahkan beberapa kali pula ia berduel dengan Shang Weng karena silang pendapat. Fa Mulan sama sekali tidak takut dieliminasi dari kemiliteran, atau menjalani serangkaian hukuman yang tidak ringan karena dianggap indisipliner - membangkang perintah atasan.
"Kapan bala bantuan itu tiba, Asisten Fa?"
Chien Po bertanya, menggugah lamunan Fa Mulan yang masih terkesima melihat pasukan musuh serupa sekawanan semut merah, yang merombong masuk ke perbatasan Tung Shao.
"Seharusnya siang ini!"
"Tapi, saya khawatir Bao Ling yang membawa kawat ke Ibukota Da-du di hadang di tengah perjalanan oleh jasus pasukan pemberontak Han, Asisten Fa!" Chien Po mengurai kekhawatirannya. "Kita semua akan mati kalau kawat itu ternyata belum sampai di Istana Da-du!"
"Bao Ling prajurit tangguh."
"Tapi...."
"Saya yakin kemampuan Bao Ling. Jangan khawatir. Dia pasti sudah menyampaikan kawat yang saya tulis itu kepada Jenderal Gau Ming, dan tiba dengan selamat di sini!"
Bao Ling merupakan prajurit berdeterminasi tinggi.
Pemuda bertubuh jangkung itu memiliki banyak keahlian sebagai saka diri. Selain berilmu silat tinggi, ia juga cendekia serta memahami banyak prosa dan epik para sastrawan di Tionggoan. Setahun mengabdi di Kamp Utara , ia sudah diangkat sebagai kurir penghubung antara Istana Da-du dan militer. Sudah beberapa kali eksistensi adiwidianya menggagalkan usaha pencurian paket yang dikirim Istana Da-du untuk pihak militer Yuan di Kamp Utara. Menyelamatkan data-data penting negara dari hadangan para jasus pasukan pemberontak Han.
Seperti juga ihwal muasal kehadiran prajurit lainnya yang memenuhi kewajiban kenegaraan, Bao Ling pun menunaikan panggilan moral itu mewakili keluarganya. Bao Ling merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Dan hanya ia saja satu-satunya laki-laki selain ayahnya di keluarga mahardika Bao di Ibukota Da-du.
Semula ayah Bao Ling, Bao Nang, menghubungi pihak atase militer Yuan agar keluarga mereka diberi kompensasi untuk tidak terlibat dalam kewajiban kenegaraan yang telah diamanatkan oleh Kaisar Yuan Ren Zhan. Alasannya, ia hanya memiliki satu-satunya putra sebagai penerus keturunan Keluarga Bao. Lagipula, Bao Ling masih berstatus pelajar. Sama sekali tidak memiliki dasar apa-apa untuk menghadapi perang kecuali puisi dan karya sastra yang diakrabinya selama ini - padahal diam-diam Bao Ling belajar wushu pada seorang guru tanpa sepengetahuan ayahnya. Bahkan pengusaha kaya tersebut mencoba menyuap beberapa atase militer tersebut.
Ketika Bao Ling mengetahui ayahnya menempuh cara kotor begitu, ia langsung melarikan diri dari Ibukota Da-du, dan bergabung dengan calon-calon wamil lainnya di Kamp Utara pimpinan Shang Weng. Ia malu terhadap kelakuan ayahnya yang tidak memiliki jiwa patriotisme pada saat negara sedang dirundung masalah.
"Saya malu atas tindakan tidak terpuji Ayah itu!" gusar Bao Ling terhadap ayahnya ketika itu.
"Nyawa kamu lebih penting dibandingkan apa pun juga, A Ling!"
"Tapi nyawa saya menjadi tidak berharga lagi akibat kasus suap itu, Ayah. Saya malu, Ayah!"
"Mengertilah, A Ling. Semua yang Ayah lakukan demi kebaikan kamu juga. Ayah tidak mau putra Ayah satu-satunya gugur di medan pertempuran. Ayah rela kehilangan semua harta-benda asal tidak kehilangan kamu. Tahukah kamu, betapa berarti dan berharganya kamu bagi Ayah dan Ibu."
"Saya tidak ingin dianggap anak pengecut, Ayah. Ayah boleh saja meluputkan saya dari keharusan wamil maklumat Kaisar Yuan Ren Zhan itu dengan menyuap beberapa pejabat tinggi militer. Ayah boleh saja menggunakan bahkan seluruh kekayaan Ayah supaya saya terbebas dari kewajiban negara tersebut. Tapi, di manakah patriotisme kita sebagai anak bangsa?!"
"Tidak peduli apakah Ayah akan dianggap pengkhianat sekalipun. Yang penting Ayah tidak kehilangan orang-orang yang Ayah cintai."
"Tidak ada hal yang lebih mulia dan membanggakan apabila mati demi negara."
"Puih! Apa andil negara bagi kita?! Selama ini, pada kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Rakyatlah yang selau menjadi sapi perah bagi pemerintah. Tidak ada manifestasi penting negara untuk perbaikan dan perkembangan nasib rakyat. Selama ini, janji-janji kaisar-kaisar Tionggoan selalu jauh dari harapan rakyat. Korupsi merajalela di mana-mana. Kolusi mendarah daging di kalangan Istana. Sekarang, jangankan memikirkan negara yang di ambang perang, bahkan tidak sedikit di antara pejabat negara kita ini tidak peduli terhadap nasib bangsa. Tidak peduli terhadap penderitaan rakyat. Mereka terus saja memperkaya diri mereka sendiri. Jadi, untuk apa lagi kamu bersikeras ingin mematuhi maklumat wamil itu?!"
"Lalu, apa bedanya Ayah dengan pejabat-pejabat korup itu kalau Ayah menghalalkan segala cara untuk menyelamatkan diri - lari dari tanggung jawab bela negara?! Bukankah itu egois, Ayah?!"
"Merekalah yang egois A Ling! Mumpung kita masih memiliki kemampuan finansial, kenapa tidak kita pergunakan saja untuk mengelabui mereka? Bukankah mereka juga selalu mengelabui rakyat?! Mereka adalah maling yang berteriak maling!"
"Justru karena itulah saya tidak ingin menjadi seperti mereka. Apa jadinya negara kita ini kalau semua kader dan komponen bangsa berlaku apatis, dan selalu ingin menang sendiri. Bukannya saya sok patriotik, Ayah. Bukan. Saya hanya ingin menjadi seseorang yang berguna. Seseorang yang, bila tiba saatnya menutup mata untuk selama-lamanya nanti, akan dikenang sebagai pahlawan. Bukannya sebaliknya. Sebagai penjahat!"
"Oya?! Lantas, apakah sedemikian berharganya sebuah pengakuan itu sementara kamu hidup tersiksa di medan rana, diperalat dan dijadikan budak perang oleh para pejabat negara yang licik itu?! Huh, betapa ironisnya pemikiran suci-mulia yang mengisi benak mudamu itu, A Ling! Kamu masih terlampau hijau. Dunia politik Istana sarat dengan kepicikan!"
"Justru Ayahlah yang picik. Ayah egois dan hanya mementingkan diri sendiri!"
"Cukup, A Ling!"
Namun tidak ada kata cukup di hati dan benak Bao Ling. Ia sudah membulatkan tekad untuk mengikuti maklumat wamil tersebut. Demi harga diri dan rasa patriotisme terhadap nasib bangsa yang dirundung maharana.
Bao Ling merupakan pemuda yang cerdas. Sayang ia tidak tahan banting. Kehidupan militer yang keras dan buruknya prasarana kamp nyaris memaksanya hengkang. Sekian belas tahun hidupnya dibuai kemewahan. Sehingga nestapa yang menjadi lafaz para prajurit tidak sanggup dijalaninya. Hidupnya yang nyaman di rumah istananya dahulu selalu menggodanya untuk pulang.
Namun entah dari mana datangnya kesadaran moral itu. Tiba-tiba ia membatalkan niatnya untuk kembali ke rumah istananya yang teduh di Ibukota Da-du. Hal itu memang tidak terlepas dari refleksitas presensi patriotik Fa Mulan yang dicermininya. Ia malu ketika bercermin. Rasanya terlalu kerdil bila masalah sepele itu membuatnya lari terbirit-birit sebelum bertempur. Ia tidak ingin dikatakan pengecut!
"Apa jadinya bangsa kita kalau diisi oleh manusia-manusia berhati dangkal, Bao Ling!"
"Selama ini saya yang salah, Mulan. Ayah ternyata benar. Pejabat-pejabat negara hanya memperalat kita untuk mencapat tujuan mereka sendiri. Militer adalah sarana mereka menuju cita-cita inferior mereka."
"Jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk lepas dari tanggung jawab. Lagipula, kesimpulanmu tentang pejabat negara yang batil itu hanyalah oknum. Kamu tidak dapat menyamaratakan semua orang. Masih banyak pejabat negara yang baik di Tionggoan ini!"
"Mungkin. Tapi saya merasa misi militer ini tidak membawa manfaat apa-apa kecuali kesengsaraan."
"Prajurit dan militer Yuan serta rakyat adalah manunggalis. Di saat rakyat di ambang maharana, maka militer akan tampil sebagai tameng untuk melindungi rakyat itu sendiri. Militer dan rakyat harus sehati. Militer berasal dari rakyat juga. Kita ini prajurit yang berasal dari rakyat, bukan?"
"Tapi, saya merasa kita sebagai rakyat kecil hanya diperalat. Masuk militer menjadi prajurit hanya untuk menjadi jongos pejabat-pejabat negara."
"Jongos atau bukan, kalau seseorang memiliki kontribusi yang besar bagi negara, maka mati sekalipun dia akan tetap dikenang sepanjang masa. Sebagai pahlawan. Ya, sebagai pahlawan."
"Hah, sebagai pahlawan?!"
"Ya, sebagai pahlawan. Pahlawan yang memiliki reputasi nama seharum semerbak bunga. Pahlawan yang akan terus menerus hidup di sanubari bangsa. Bukankah hal tersebut merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya? Jauh melebihi jauhar yang ada di muka bumi ini."
"Kamu mirip saya sewaktu bersikeras mematuhi maklumat wamil itu. Saya menyampaikan aspirasi yang seperti kamu katakan barusan ketika menentang Ayah, yang selalu berusaha membujuk saya agar melalaikan kewajiban negara tersebut. Namun, apa yang telah kita peroleh dari serangkaian pengorbanan yang telah kita berikan?! Huh, jangankan menjadi pahlawan, jangan-jangan bila kita meninggal kelak, kita hanya akan menjadi bangkai yang membusuk dipenuhi belatung."
"Saya tidak menyalahkan pendapatmu, Bao Ling. Tapi rasanya terlalu picik kalau di saat rakyat membutuhkan kita, kita justru lari karena tidak mampu meneruskan perjuangan yang semakin berat ini."
"Jangan membujuk saya untuk tinggal lebih lama di sini, Mulan. Percuma. Kamu hanya membuang-buang waktu saja. Bagaimanapun, saya sudah memutuskan untuk meninggalkan tempat ini!"
"Saya tidak berhak melarang kamu. Kalau kamu memang mau meninggalkan Kamp Utara ini, ya silakan saja. Saya hanya memberi saran dan pandangan. Saya tidak memiliki legitimasi melarang kamu pergi."
"Terima kasih."
"Tapi, cobalah renungi sekali lagi. Rakyat sangat membutuhkan kita. Siapa lagi yang dapat membela mereka kalau bukan kita? Kamu pikir apa arwah para leluhur kita akan hidup kembali dan bertempur dengan musuh-musuh itu?"
"Tapi...."
"Coba enyahkan kecengengan kita itu, Bao Ling. Dulu, saya juga seperti kamu. Saya sempat dilemahkan oleh naifnya kekerdilan-kekerdilan hati. Saya bahkan pernah menyesali mengapa harus terlibat di dalam misi kemiliteran ini. Kenapa harus mematuhi kewajiban kenegaraan itu. Bukankah lebih baik kalau saya menuruti perintah ibu saya yang menginginkan saya menikah dan bersuami saja. Bukankah merupakan hal yang menggembirakan kalau memiliki anak-anak yang lucu dan montok. Bukankah hal itu jauh lebih menyenangkan ketimbang harus terlibat dalam perang terkutuk ini? Tapi, pada akhirnya saya sadar. Perasaan-perasaan semacam itu merupakan hal yang sangat manusiawi. Kita tidak boleh larut dalam sentimentil semacam itu."
"Ta-tapi saya...."
"Tegarlah, Bao Ling. Inilah masa-masa suram dalam hidup kita yang mesti dilalui dengan tabah."
"Tapi, saya hanya orang biasa, Mulan."
"Saya pun orang biasa, Bao Ling. Saya bukan manusia yang luar biasa. Pada dasarnya, saya bukan orang yang tahan banting. Saya bukan gadis bermental baja. Saya juga merasakan betapa beratnya beban kita sebagai prajurit wamil. Gemblengan-gemblengan keras di Kamp Utara ini, pada mulanya serasa tak memiliki makna apa-apa selain pembentukan budak perang. Saya juga sempat beranggapan kalau semua yang kita lakukan di sini merupakan kesia-siaan belaka. Kenapa?! Karena kita adalah tameng Yuan! Kenapa?! Karena kita adalah tameng yang notabene merupakan alat perang semata. Tapi, sudahlah. Saya sadar, saya dan kamu, juga sahabat-sahabat kita hanyalah orang biasa yang, memiliki banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan sehingga tidak dapat mencerapi makna sesungguhnya di balik apa yang telah kita lakukan selama ini. Kita tidak pernah tulus beraltruisme. Kita terlalu egois dan anani, itu masalahnya. Tapi, bukankah dari kekurangan dan ketidaksempurnaan itu kita dapat belajar supaya kelak menjadi lebih baik dan sempurna? Bukankah kita dapat memetik hikmah dari kekurangan dan ketidaksempurnaan tersebut?"
"Tapi...."
"Lepas dari semua itu, saya sadar ada makna hakiki yang dapat kita peroleh suatu saat. Bukan untuk Yuan, tapi untuk diri kita sendiri. Tahu tidak, Bao Ling. Setiap saya bercermin, saya selalu ingin melihat ada seraut wajah orang yang berguna. Bukannya seraut wajah asing yang tidak mampu menghadapi kenyataan hidup ini. Seraut wajah asing yang lari dari tanggung jawab. Itulah yang memotivasi saya sehingga sampai sekarang masih bertahan sebagai prajurit wamil. Nah, sejujurnya saya pun ingin kamu dapat bercermin. Bercermin untuk melihat seraut wajah yang, suatu saat kelak dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa! Yah, saya ingin melihat Bao Ling yang tangguh!"
Ketika itu Bao Ling tersentak.
Tanpa terasa airmatanya menitik. Diresapinya serentetan kalimat Fa Mulan sebagai sebuah kontemplasi. Sebuah renungan panjang yang pada akhirnya mengubah dirinya menjadi manusia yang terlahir dengan jiwa baru. Dan memutuskan untuk tetap meneruskan perjuangan membela Kekaisaran Yuan.
Fa Mulan tersenyum.
Lintas kenangan semasa wamil itu melamur dari benaknya bersamaan dengan menguncupnya bibirnya sesaat setelah Chien Po bertanya, dan menggugah semua kisah silam yang sarat dengan kenangan itu.
"Berapa pasukan yang akan dibawa Bao Ling, Asisten Fa?"
"Tidak tahu. Jenderal Gau Ming tidak menyebutkan berapa ribu prajurit Divisi Kavaleri Danuh yang akan mereka kirim," jawab Fa Mulan sembari mengedikkan bahu.
Wajah Chien Po mengerut. "Melihat besarnya jumlah musuh di bawah sana , saya pesimis kalau prajurit Divisi Kavaleri Danuh yang hanya segelintir itu dapat mengalahkan mereka, Asisten Fa!"
Fa Mulan membeliak. "Jangan menakar kekuatan dari besarnya jumlah prajurit!"
"Tapi...."
"Kita harus belajar dari Sun Tzu. Kekuatan itu ada pada semangat. Bukan pada sejumlah armada perang."
"Mungkin. Tapi kenyataannya kita memang sudah terdesak mundur karena tidak memiliki prajurit sebanyak mereka!"
"Prajurit-prajurit itu tidak mesti berupa orang. Orang per orang, atau manusia...."
"Maksud Asisten Fa?!"
Fa Mulan kembali berkacak pinggang. Keyakinannya untuk mengalahkan musuh terbit kembali. Dielus-elusnya gagang Mushu, pedang berukir naga di pinggangnya. Sebenarnya, Mushu bukan pedang istimewa. Hanya pedang biasa temurun dari para leluhurnya, yang memiliki sugesti kemenangan pada setiap pertempuran. Selama ini Mushu memang seperti belahan jiwanya. Seolah pusaka beroh para arwah Fa yang setiap saat melindunginya dari mara bahaya.
"Chien Po, kunci sebuah kemenangan sejati terletak pada dedikasi dan loyalitas. Bukan pada kemenangan itu sendiri. Kemenangan yang lazim kita kenal semisal; membunuh musuh-musuh, merebut benteng lawan, atau mengusai dan menduduki daerah kekuasaan mereka. Bukan itu. Kemenangan itu sebenarnya fiktif. Untuk sementara mungkin kamu dapat mengalahkan musuh, mengusainya. Tapi, sampai kapan kamu dapat bertahan? Besok atau lusa, mereka akan datang dengan segenap kekuatan baru untuk melumpuhkan kamu. Begitu seterusnya."
"Jadi, maksud Asisten Fa kita harus bertindak bagaimana untuk dapat mengalahkan pasukan pemberontak Han itu?!"
"Gunakan hati dan pikiran!"
"Gunakan hati dan pikiran?!"
"Ya. Di dalam sebuah pertempuran, musuh itu tidak hanya berupa pasukan lawan, tapi juga ketakutan-ketakutan yang berasal dari dalam hati. Juga kecemasan, kekhawatiran, pesimistis, dan masih banyak lagi hal sepele lainnya."
"Jadi...."
"Jadi segenting apa pun situasi dan keadaan di medan pertempuran, kita tetap harus tenang."
"Ta-tapi, bagaimana saya bisa tenang kalau melihat jumlah pasukan pemberontak Han yang begitu besar seperti semut merah!"
"Nah, itulah salah satu musuh majasi yang harus kamu lawan."
"Tapi...."
"Chien Po, kadang-kadang musuh majasi itu jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh jasadi itu sendiri."
Chien Po diam menyimak.
Titik-titik salju yang tertiup semilir angin dari puncak bukit menusuk-nusuk kulit arinya. Kematian yang sudah di ambang napas menggamangkan hatinya. Tetapi gadis bertubuh ringkih di hadapannya tak sedikit pun merasa gentar. Ia laksana gergasi yang menghadang musuh tanpa rasa takut. Patriotismenya memang seteguh karang!
"Seperti juga musuh majasi, prajurit sebagai sebuah personil pun juga begitu."
"Maksud Anda...."
"Jangan takut tidak memiliki prajurit! Semua lanskap alam yang ada di sini dapat menjadi prajurit majasi yang akan melindungi kita dari maut! Batu, pepohonan, salju, iklim, dan masih banyak lagi faktor alam lainnya. Semuanya itu menjadi prajurit kita. Dan musuh bagi mereka."
"Maafkan kelancangan saya, Asisten Fa! Mungkin Anda terlalu mengada-ada bila mengingat kekuatan musuh yang sebenarnya!"
"Saya tahu, Chien Po! Saya tahu seberapa besar kekuatan musuh. Saya tahu berapa jumlah pasukan pemberontak Han itu. Jumlah prajurit kita tidak lebih dari seperempat pasukan mereka. Tapi ingat, musuh yang seperti saya bilang tadi bukan hanya terdiri dari prajurit majasi dan pasukan jasadi. Namun, juga problema-problema batin. Ambisi mereka yang menggebu-gebu untuk segera menaklukkan Ibukota Da-du juga merupakan musuh dalam selimut. Yang tanpa mereka sadari akan melumpuhkan kekuatan mereka sendiri."
"Tapi...."
"Sudahlah, Chien Po. Kekompakan kita, serta kesatuan prajurit kita yang solid ini juga merupakan armada perang yang tangguh untuk memukul mundur musuh. Yakinlah!"
Chien Po melanjutkan mengangkuti bongkahan-bongkahan salju. Fa Mulan masih berdiri dengan rupa baur. Ia cemas karena bala bantuan dari Ibukota Da-du belum pula kunjung tiba. Dari kejauhan, di bawah bukit perbatasan Tung Shao, dilihatnya noktah-noktah hitam yang menyemut merayapi dinding-dinding salju. Waktunya hanya dua puluh empat jam. Besok fajar, jika bantuan yang diharapkan belum juga kunjung tiba, maka hampir dipastikan pihak Yuan akan hancur menjadi abu!


BAO LING
ELEGI YANG-NIU
***

Embusan napasnya terdengar memberat. Masalah yang dipikulnya kali ini tidak ringan. Lebih berat dari jubah berajut benang emas yang sering diantipatinya semasa kanak-kanak dulu. Setiap ritual kenegaraan, Ayahanda Kaisar Yuan Ren Xing selalu memaksanya untuk mengenakan jubah naga tersebut. Jubah yang selalu memegalkan pundaknya seusai mengikuti ritual yang menjenuhkan. Satu bentuk rutinitas formal sebagai putra mahkota yang senantiasa dikutuknya semasa kanak-kanak dulu.
Kepalanya memening.
Diempaskannya punggungnya ke sandaran kursi tembaga berukir naga. Kadang-kadang ia berpikir tidak ingin menduduki takhta ini. Sebuah kursi yang diperebutkan banyak orang dari zaman ke zaman. Darinya, telah tertumpah begitu banyak darah anak manusia. Ia lelah. Dan sejenak ingin beristirahat dari dunianya yang penuh gejolak!
"Yang Mulia...."
Perempuan muda itu memanggilnya dengan suara lunak. Pelan serupa desisan. Seolah-olah suara yang dilantunkannya dapat memecahkan kepala Kaisar Yuan Ren Zhan yang terbuat dari porselen.
Kaisar Yuan Ren Zhan masih memejamkan matanya dengan rupa cua. Tidak ada sahutan sebagai tanggapan atas sapaan Permaisuri Niang Xie Erl barusan. Balairung basilika istana masih dipenuhi partikel sunyi. Perempuan berkulit halus itu mendekat, duduk di seberang meja. Menatap suaminya dengan wajah mangu. Lelaki penguasa Tionggoan itu memang tengah menggamang.
"Yang Mulia, hamba sudah menyiapkan sup sarang burung walet...."
Kelopak mata Kaisar Yuan Ren Zhan membuka.
Ditatapnya Permaisuri Niang Xie Erl yang menyeduhkan secawan sup dari teko emas di hadapannya. Embusan udara dari hidungnya terdengar konstan, simultan dengan suara separo serak yang keluar dari kerongkongannya yang jakun. Dari sekian banyak perempuan yang menemaninya di Istana Da-du, hanya Permaisuri Niang Xie Erl-lah yang paling baik dan setia kepadanya. Puluhan garwa tak ada yang dapat menandingi ketulusan hati rani pertamanya itu.
"Saya sudah banyak menyusahkan kamu, Erl!"
Canting di tangan kanan Permaisuri Niang Xie Erl menyandar pada gigir cawan. Adukannya berhenti pada ujung kalimat Sang Kaisar. Ia mengangkat wajah. Mengurai pelepah bibir. Tersenyum tulus.
"Yang Mulia jangan sungkan. Semua permasalahan Yang Mulia, juga merupakan masalah saya."
"Akhir-akhir ini saya dipusingkan oleh masalah besar pembelotan Jenderal Shan-Yu!"
"Yang Mulia diberkati oleh Dewata. Semua masalah itu pasti akan terselesaikan."
"Ah, kurang apa yang Istana berikan pada Shan-Yu?!" Kaisar Yuan Ren Zhan menggabruk meja pelan. "Sekian puluh tahun dia mengabdi kepada Kekaisaran Yuan, semasa Ayahanda Yuan Ren Xing dulu sampai saya sekarang, tak sedikit andil Istana yang telah diberikan kepadanya sebagai imbal jasa. Betapa piciknya Shan-Yu kalau berpikir kita telah bertindak tidak adil kepadanya mengingat bagaimana mahardikanya marga Shan berkat peran Istana!"
"Yang Mulia jangan memikirkan masalah itu terus. Hamba khawatir...."
Kaisar Yuan Ren Zhan mengibaskan tangannya.
Membungkam kalimat yang belum rampung puan tertua para rani dan selir Istana Da-du itu. Permaisuri Niang Xie Erl menunduk. Tak berani merangkai kata-kata sekalipun subtil untuk kebaikan Sang Kaisar.
"Selama masalah Shan-Yu itu belum teratasi, seumur hidup saya tidak dapat hidup tenang!"
Permaisuri Niang Xie Erl menggigit bibir.
Sejak pembelotan dan pemberontakan Shan-Yu pecah enam bulan lalu, amarah Kaisar Yuan Ren Zhan memang kerap meletup-meletup selaksana dinamit. Emosinya melabil. Entah sudah berapa ribu narapidana yang telah dipancungnya tanpa proses pengadilan sebagai reaksi amarahnya.
Bulan sabit masih bertengger di puncak langit. Biasnya yang keperakan menyentuh tubir jendela kamar. Kaisar Yuan Ren Zhan masih memaku dirinya dalam diam. Hanya sesekali menatap bulan separo, juga bintang kemukus yang melintas cepat di kekelaman langit malam melalui daun jendela yang terpentang. Ia belum bicara sepatah kata pun ketika sehelai daun yang-liu rontok diembus angin, masuk menelusup dan tergeletak di lantai samping meja. Dihelanya napas panjang.
Mungkinkah kebesaran Tionggoan akan rontok di tangannya?!
Ada aubade menggugah kesunyian.
Kasim Liu berteriak dengan suara khasnya dari balik gerbang balairung basilika istana. Memberitahukan kedatangan seseorang untuk menghadap Sang Kaisar.
"Suruh masuk!" perintah Kaisar Yuan Ren Zhan, masih menyandar di kursi tembaganya.
Daun pintu terpentang.
Tiga orang masuk bersamaan. Kasim Liu dan Jenderal Gau Ming membungkukkan badannya. Tampak seorang pemuda di samping mereka, langsung berlutut setelah mengempas-empaskan lengan seragam prajuritnya yang memanjang menutup punggung telapak tangan - salah satu prosedur penghormatan saat menghadap kaisar, dan kowtow di hadapan kaisar.
"Hormat saya, Bao Ling - Prajurit Kurir Yuan dari Kamp Utara, terhadap Yang Mulia Paduka Kaisar junjungan langit dan bumi."
"Bangunlah," ujar Kaisar Yuan Ren Zhan, mengaba dengan tangannya.
Pemuda itu berdiri.
Jenderal Gau Ming maju setindak dari tempatnya berdiri, lalu mengatupkan tangannya ke depan memberi hormat sebelum mengurai alasan kedatangannya menghadap Sang Kaisar.
"Yang Mulia, maksud kedatangan hamba beserta Prajurit Kurir dari Kamp Utara ini hendak menyampaikan keadaan dan perkembangan pasukan Yuan di zona pertempuran."
Kaisar Yuan Ren Zhan memajukan badannya, mengangkat punggungnya dari sandaran kursi tembaga. Menatap bergantian pada dua sosok perwira tinggi dan prajurit madya di hadapannya.
"Sejauh ini perkembangannya bagaimana?"
"Yang Mulia, prajurit-prajurit di Kamp Utara mulai terdesak mundur karena berkurangnya pasokan amunisi dinamit dari pusat. Selain itu, pasukan pemberontak Han terus menambah personel mereka di perbatasan Tung Shao. Pimpinan Kamp Utara, Kapten Shang Weng meminta bantuan beberapa ribu prajurit Divisi Kavaleri Danuh untuk menghalau musuh yang mulai merangsek masuk ke sana . Mereka mengambil jalan pintas ke bukit Tung Shao agar dapat segera menaklukkan Ibukota Da-du. Menurut data strategi, kalau daerah Tung Shao dapat diduduki pasukan pemberontak Han, maka otomatis Ibukota Da-du akan jatuh ke tangan mereka!"
Kaisar Yuan Ren Zhan sontak berdiri.
Ia menggabruk meja di depannya dengan keras sampai pontoh giok di tangan kanannya menggemeretak. Permaisuri Niang Xie Erl terlonjak kaget. Kasim Liu bergidik, memeluk tongkat cemeti serabutnya dengan rupa gelisah. Jenderal Gau Ming menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena tidak berdaya menghadapi kekuatan armada perang musuh di zona tempur. Bao Ling bersikap wajar, berdiri dengan tegap.
"Kurang ajar! Apa jadinya negeri ini kalau semua pejabat di sini seperti berpangku tangan!" maki Kaisar Yuan Ren Zhan. "Jenderal Gau, cepat kerahkan semua armada perang sebelum pasukan pemberontak Han itu merebut Ibukota Da-du!"
"Baik, baik, Yang Mulia!" balas Jenderal Gau Ming gugup dengan wajah memucat. "Ta-tapi, kita tidak memiliki cadangan amunisi dinamit lagi, Yang Mulia."
"Saya tidak peduli kalian mau menggunakan cara apa!" teriak Kaisar Yuan Ren Zhan murka. "Saya hanya mau tahu, pasukan pemberontak Han itu enyah dari Tionggoan!"
"Ba-baik, Yang Mulia!"
"Jenderal Gau, Anda yang paling bertanggung jawab atas keselamatan negeri ini!"
"Hamba mengerti, Yang Mulia."
Jenderal berbadan tambun itu hanya mengangguk-angguk dengan sepasang mata lunaknya yang menekuri lantai balairung basilika istana. Ia seperti kehilangan akal. Sejak Perdana Menteri Shu Yong memulai lawatannya ke Eropa dalam rangka kunjungan bilateral tujuh bulan lalu, ia seperti kehilangan partner yang dapat diandalkan.
Memang, selama ini Perdana Menteri Shu Yong-lah yang menjadi penentu kebijakan militer pasca pemecatan Jenderal Shan Yu lima tahun lalu. Dan ketika negara dalam keadaan genting akibat pembelotan dan pengkhianatan mantan Jenderal Shan-Yu, maka ia seperti jenderal muno yang tidak tahu harus berbuat apa.
Sebagai pemimpin atase militer pusat, ia telah menerapkan strategi dan taktik yang salah dalam menghadapi serbuan pasukan pemberontak Han. Daerah yang seharusnya rawan seperti di Tung Shao luput dari perhatiannya. Daerah Tung Shao praktis tidak terkawal kecuali kehadiran prajurit-prajurit dari Kamp Utara yang memang berbarak di daerah itu.
"Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba Bao Ling, menyampaikan pesan dari Kapten Shang Weng dan Asisten Fa Mulan untuk segera meminta militer pusat mengirimkan sebanyak mungkin kuda yang ada di Ibukota Da-du," Bao Ling maju setindak, mengatupkan kedua tangannya menabik, lalu menyampaikan pesan yang diperintahkan Fa Mulan kepadanya. "Hamba Bao Ling, sudah menyampaikan manuskrip dari kedua pemimpin di Kamp Utara itu kepada Jenderal Gau Ming. Permintaan disetujui apabila ada referensi dari Yang Mulia!"
Kaisar Yuan Ren Zhan melangkah sedepa dari meja, menuruni satu undakan lebar di depan, berdiri dengan tangan mengepal di situ. Ditatapnya Jenderal Gau Ming yang masih menundukkan kepala.
"Referensi dari saya?!" teriaknya dengan suara letup, membahana membelah partikel sunyi. Suaranya nyaring membentur dinding-dinding bervinyet teratai, memantul membentuk gaung. "Apakah untuk urusan sepele itu pun saya harus turun tangan?!"
"Mo-mohon am-ampun, Yang Mulia," ujar Jenderal Gau Ming dengan tubuh gemetar. "Mak-maksud hamba, hamba tidak ingin melangkahi keputusan mutlak Yang Mulia...."
"Alasan mati!" teriak Kaisar Yuan Ren Zhan dengan nadi yang mengurat di sekujur lehernya. "Anda memang tidak becus, Jenderal Gau!"
Bao Ling melihat gelagat yang berbahaya akibat radang amarah Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia kembali mengatupkan tangannya menghormat. Menyergah santun sebelum emosi Sang Kaisar mematikan rasionalitas berpikirnya. Bertindak di luar kendali. Memancung kepala Sang Jenderal yang dianggapnya tidak becus.
"Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba Bao Ling, menganggap kegagalan prajurit Yuan menghadang pasukan musuh memang disebabkan oleh faktor yang tidak dinyana. Misalnya adalah, jumlah pasukan pemberontak Yuan yang jauh di luar prakiraan sebelumnya akibat partisipan rakyat jelata terutama di daerah pesisir. Jenderal Gau Ming dan beberapa atase militer tidak menyangka hal demikian akan terjadi. Makanya, pasokan logistik dan pengadaan prajurit di Tung Shao agak terlambat sebagai antisipasi penghadangan pasukan musuh!" tuturnya mengurai dalih. "Jadi, memang sebelum segalanya terlambat, Tung Shao selayaknya diblokir untuk memblokade musuh yang menyemut di tepi Sungai Onon. Itulah sebabnya Asisten Fa membutuhkan banyak kuda untuk mengelabui pihak musuh sebagai bagian dari taktik kamuflasenya."
"Taktik kamuflase?!"
"Mohon ampun, Yang Mulia. Taktik itu dipakai untuk mengantisipasi kekurangan prajurit di pihak kita. Tiga ratus ribu pasukan pemberontak Han sudah hampir menapaki Tung Shao. Untuk melawan mereka, tentu diperlukan pasukan yang berjumlah lebih besar. Tapi, kita tidak memiliki banyak prajurit untuk menandingi mereka meskipun seluruh prajurit yang ada di Ibukota Da-du ditarik ke sana. Asisten Fa Mulan tidak memiliki strategi lain kecuali menggunakan siasat okhlosofobia. Taktik tersebut diharap dapat menjatuhkan mental musuh, dan mundur dari perbatasan Tung Shao karena menyangka pihak kita memiliki pasukan lebih besar dari mereka."
"Hebat!" Kaisar Yuan Ren Zhan melonjak, seperti kegirangan. Matanya berbinar-binar setelah sedari tadi menyipit karena menggeram. "Laksanakan semua strategi yang dianggap paling baik untuk menghalau pasukan Si Biram Shan-Yu itu!"
"Baik, Yang Mulia!" angguk Jenderal Gau Ming lega.
"Sekarang, kirim semua prajurit yang ada di Ibukota Da-du ke Tung Shao!" titah Kaisar Yuan Ren Zhan dengan otot leher yang sudah mengendur. "Bentengi semua jalan masuk ke Ibukota Da-du! Dan, kumpulkan semua kuda yang ada di sini!"
"Baik, Yang Mulia," angguk Jenderal Gau Ming kembali, melirik Kaisar Yuan Ren Zhan yang sudah melembut dari balik tepi caping perwira bertulisan kanji Yuan di atasnya.
"Dan mengenai amunisi dinamit yang habis, saya sudah bersurat ke Perdana Menteri Shu Yong untuk meminta Sir Arthur Jonathan di London mengirimkan paket-paket tambahan amunisi yang baru. Juga beberapa Fo Liong buatan Kerajaan Inggris."
"Fo Liong?!" Kalimat itu nyaris bersamaan keluar dari mulut ketiga orang di hadapan kaisar.
"Fo Liong merupakan persenjataan canggih mutakhir Kerajaan Inggris. Lebih cepat dari lesatan anak panah. Lebih hebat dari ledakan dinamit. Fo Liong seperti senjata Dewata. Seperti semburan api dari mulut naga yang sangat dahsyat," ungkap Kaisar Yuan Ren Zhan berkonotasi dalam nada bangga. Wajahnya sedikit sumringah setelah sedari tadi memerah menahan amarah. "Fo Liong dapat melumpuhkan lawan satu peleton dari jarak jauh dengan hanya sekali tembakan."
"Mohon ampun, Yang Mulia," Kasim Liu memberanikan diri bertanya dengan suara kemayunya setelah sedari tadi hanya diam menyimak. "Apakah Fo Liong sehebat itu?"
"Kamu meragukan apa yang telah saya katakan tadi, Kasim Liu?!" Kaisar Yuan Ren Zhan seperti menggeram, memelototi orang tua ringkih yang bertugas mengurusi keperluan dalam Istana Da-du itu dengan tajam menusuk.
Kasim Liu mundur setindak, membungkuk lalu mengatupkan kedua tangannya dengan sikap kaku. "Ham-hamba tidak berani berpikir begitu, Yang Mulia!" ulasnya lekas dengan kalimat menggagu.
"Kami yakin Fo Liong dapat menghancurkan musuh, Yang Mulia!" timpal Jenderal Gau Ming dengan nada menjilat. "Tidaklah salah apabila tanah Tionggoan ini dipimpin oleh seorang cendekia berotak cemerlang seperti Anda, Yang Mulia!"
Kaisar Yuan Ren Zhan mengangguk-angguk dibelai pujian.
Ada secuil senyum mengembang di sepasang pelepah bibirnya yang kecoklat-coklatan. Dialihkannya edaran sepasang mata ekuatornya ke arah Bao Ling. Mengangguk mengagumi kejeniusan taktik Fa Mulan di Tung Shao yang telah disampaikan oleh anak muda di hadapannya.
"Nah, Jenderal Gau, sekarang Anda saya delegasikan melaksanakan strategi apa saja yang akan diterapkan oleh Kapten Shang Weng dan Asisten Fa Mulan di Kamp Utara, termasuk fasilitas kemiliteran yang mereka minta. Segera laksanakan!"
"Terima kasih, Yang Mulia!"
Ketiga pengabdi Istana Da-du itu undur diri setelah bertabe seperti biasa. Bao Ling sekali lagi melakukan kowtow sebelum meninggalkan balairung basilika istana. Wajahnya menyumringah. Ia akan memacu kudanya segera ke Tung Shao membawa kabar gembira untuk Fa Mulan. Bahwa permintaan mereka dikabulkan.
Jenderal Gau Ming memang selamban kura-kura. Pasti negara akan hancur di tangannya seandainya Dinasti Yuan tidak memiliki orang-orang berdedikasi tinggi seperti Fa Mulan dan Shang Weng. Sekian lama permintaan pasokan prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh tidak dipenuhi. Lebih memilih mempertahankan aset-aset Istana Da-du ketimbang daerah Tung Shao yang sudah di ujung tanduk.
Di luar gerbang Istana Da-du, setelah diantar oleh Kasim Liu, Bao Ling dan Jenderal Gau Ming segera menunggangi kuda mereka yang diikat di sebuah istal kecil berkanopi rumbia - khusus untuk menitip kuda-kuda tetamu. Dikawal sepuluh prajurit berjaksi dan bersenjata tombak yang berlari di belakang kuda-kuda, mereka pun melarikan kuda masing-masing ke markas besar atase militer Yuan yang terletak tidak terlalu jauh dari Istana Da-du.
"Prajurit Bao, cepat kirim kawat balasan ke Asisten Fa Mulan hari ini, bahwa permintaan mereka akan segera dikirim besok. Saya sudah menyiapkan seratus ribu prajurit Divisi Kavaleri Danuh, dan ribuan kuda sesuai permintaan Asisten Fa Mulan!" ujar Jenderal Gau Ming di atas punggung kudanya. Diperlambatnya laju kudanya, menyejajari kuda berwarna kelabu yang ditumpangi oleh Bao Ling yang mengekor di belakang. "Sekarang kita ke markas besar atase militer Yuan, di sana saya akan menulis kawat untuk Asisten Fa Mulan."
"Baik, Jenderal Gau!"
"Bagaimana keadaan Kapten Shang Weng?"
"Kami belum tahu seberapa parah luka di dadanya. Tapi, Kapten Shang Weng sudah siuman."
"Saya akan mengutus seorang tabib istana untuk merawat luka Kapten Shang Weng. Sertai dia ke barak Kamp Utara. Mudah-mudahan tabib istana dapat segera menyembuhkan lukanya."
Mereka tiba di depan markas besar atase militer ketika hari sudah mulai menggulita. Beberapa prajurit pengawal yang sedari tadi berlari di belakang kuda langsung membentuk barisan pagar betis di bahu kiri dan kanan gerbang utama markas besar atase militer Yuan. Di dalam halaman markas, beberapa prajurit Yuan yang tengah melakukan latihan tombak sasar, menghentikan latihan serta sontak berdiri tegap membentuk defile begitu Jenderal Gau Ming dan Bao Ling masuk melewati mereka.
Setiba di dalam ruangan besar tempat pertemuan para atase militer, tabib Istana Da-du bernama Ma Qhing sudah menunggu dengan beberapa perbekalan obat yang akan dibawanya ke zona tempur Kamp Utara. Setelah mengetahui Shang Weng terluka parah dalam pertempuran melawan Shan-Yu, Jenderal Gau Ming sertamerta berinisiatif mengirimkan tabib terbaik dari Istana Da-du ke zona tempur Tung Shao. Eksistensi Shang Weng sangat dibutuhkan oleh Kekaisaran Yuan. Pemuda itu telah menunjukkan dedikasi dan loyalitas yang tinggi selama mengabdi pada Dinasti Yuan.
Bao Ling diserahi manuskrip balasan oleh Jenderal Gau Ming yang ditulisnya kesusu di atas meja kerjanya - yang penuh dengan peta-peta strategi dan diorama daerah-daerah zona tempur. Di diorama tersebut tampak tancapan-tancapan panji miniatur pada tanah liat yang membentuk teksur bukit, sungai, danau, dan barak-barak militer.
Bao Ling mengemas manuskrip tersebut ke dalam sabuk pinggangnya yang terbuat dari kulit ular - dengan kancing kepala sabuk dari bahan perak berembos sepasang naga yang mengapit sebuah bolide. Ada kaligrafi berharafiah Yuan di bawah naga setengah melingkar tersebut.
"Tabib Ma, Prajurit Kurir Bao Ling ini yang akan mengawal Anda ke Kamp Utara," ujar Jenderal Gau Ming kepada tabib istana tua itu, lebih menyerupai seruan perkenalan ketimbang informasi nama orang yang akan mengawalnya ke zona tempur. "Prajurit Bao, ini Tabib Ma Qhing yang akan merawat Kapten Shang Weng."
Bao Ling mengurai senyum simultan dengan sepasang tangannya yang mengatup ke depan, menghormat lebih dulu kepada lelaki berjanggut panjang itu sebagai orang yang lebih muda.
"Hormat saya pada Tabib Ma Qhing," sapanya santun.
Tabib tua yang mengenakan stola beledu biru bermute delima di tengahnya itu mengangguk, membalas hormat Bao Ling. Setelah berdiri menyambut penghormatan Bao Ling barusan, ia pun duduk kembali di salah satu kursi jati dengan pilar sandaran yang berhias vinyet yang-liu di belakang meja pertemuan.
"Tabib Ma, tolong juga sampaikan kotak ini kepada Asisten Fa Mulan," sodor Jenderal Gau Ming setelah mengambil sesuatu dari laci bawah mejanya. "Titip pesan bahwa, ini merupakan simbolitas penghargaan dari Istana Da-du untuknya."
"Apa ini, Jenderal Gau?" tanya Tabib Ma Qhing berbasa-basi setelah menerima kotak berwarna hitam dari bahan kayu tersebut. Ia berdiri kembali dari duduknya.
Jenderal Gau Ming menjawab. "Pil Naga."
"Pil Naga?!" Bao Ling mendesis dari seberang meja. Ia mencondongkan badannya seperti hendak mengetahui apa isi kotak hitam yang kini telah berada dalam genggaman Tabib Ma Qhing. Rasanya, ia pernah mendengar kepopuleran Pil Naga tersebut. Pil Naga memang bukan obat biasa.
"Ramuan obat dari ginseng berkualitas unggul berusia seribu tahun dari seorang diplomat Korea. Sebenarnya ginseng ini diberikan Kaisar Yuan Ren Zhan pada hari ulang tahun saya setahun lalu. Tapi saya pikir, Asisten Fa Mulan lebih memerlukan obat kebugaran ini untuk kekuatannya menghadapi serangan musuh di Tung Shao," jelas Jenderal Gau Ming, memaparkan tanpa ditanyai.
Bao Ling menyergah. "Tapi, Pil Naga ini merupakan barang berharga, Jenderal Gau...."
Pil Naga adalah obat mujarab untuk kebugaran. Merupakan obat langka seberharga emas permata Istana. Ribuan tahun Pil Naga tersebut telah menjadi komsumsi kesehatan para kaisar dari generasi ke generasi.
Bao Ling sering mendengar kalau puak bangsawan Istana selalu menggunakan obat tersebut untuk menambah vitalitas libido. Tetapi sesungguhnya Pil Naga lebih dari sekedar itu. Konon Pil Naga tersebut pernah menyembuhkan luka dalam seorang pendekar handal Tionggoan yang terkena pukulan tenaga dalam. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa lagi selain fungsi keperkasaan dan kejantanan.
Jenderal Gau Ming berdeham. "Sudah tidak berarti buat saya. Justru Asisten Fa Mulan-lah yang lebih membutuhkan Pil Naga ini," alasannya menjawabi pertanyaan Bao Ling. "Sudahlah. Buat apa dipikirkan lagi. Barang berharga ini tidak ada apa-apanya dibandingkan pengorbanan Asisten Fa Mulan, yang sudah menyabung nyawa di zona tempur. Anggap saja sebagai ungkapan terima kasih Istana Da-du kepadanya."
Bao Ling dan Tabib Ma Qhing mengangguk bersamaan. Diam-diam Bao Ling memuji sikap welas asih kepemimpinan Jenderal Gau Ming. Sayang, sebagai pemimpin tertinggi atase militer Yuan, jenderal separo baya itu kurang tanggap dan tangkas memimpin. Sehingga cuai melakukan terobosan penting menyelamatkan negara. Sekarang negara tengah berada di ujung tanduk. Dan Kaisar Yuan Ren Zhan terpaksa mengeluarkan maklumat ke segenap jajaran rakyat Tionggoan untuk menjalani wajib militer.
Bersama Tabib Ma Qhing, ia meninggalkan markas besar atase militer Yuan setelah malam menangkup. Tanpa membuang-buang waktu, dipacunya kudanya menuju Tung Shao. Tabib Ma Qhing menyertainya dengan menggunakan kereta tandu, dikawal oleh sepuluh prajurit yang mengekor di belakang dengan kuda mereka masing-masing.
Mudah-mudah Fa Mulan masih dapat bertahan, harapnya cemas. Mudah-mudahan bala bantuan prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh dan beberapa ribu kuda yang, telah disepakati akur oleh Jenderal Gau Ming atas titah Kaisar Yuan Ren Zhan dapat segera dikirim ke Tung Shao.


FA MULAN
REFLEKSI PEDANG MUSHU

***

Napasnya terdengar konstan. Ia terbaring dengan sejumlah kain kasa yang membebati badannya. Punggungnya tercacah. Dadanya kirinya terkena tohokan tombak. Parah. Namun tak sedikit pun ia melenguh kesakitan. Pemimpin prajurit dari Kamp Utara di Tung Shao itu memang telah menunjukkan dedikasi dan determinasi yang tinggi, sehingga tak sedikit pun bayang-bayang maut menggentarkannya. Tak sedikit pun besar kekuatan armada darat musuh pimpinan Shan-Yu membuatnya lari tunggang-langkang. Ia tetap menyongsong dan menghadang meski aura kematian serupa bayang hitam renkinang telah menaunginya.
Wajahnya mengeras. Cahaya redup dari pelita minyak samin menonjolkan rahangnya yang kokoh. Mata elangnya sesekali memejam menahan rasa sakit yang menggigit di dadanya.
Fa Mulan menatap pemuda itu dengan wajah murung. Digigitnya bibir. Serangkaian pertempuran yang telah dilaluinya bersama pemuda itu telah mendewasakannya. Ia dapat meresapi kuintesens tentang arti hidup. Di mana batas hidup dan mati hanya setipis sutra. Dan laki-laki yang tengah terluka itu banyak berjasa dalam pembentukan identitas dirinya yang sejati. Memberinya inspirasi dan warna dalam hari-harinya.
"Bagaimana, Tabib Ma?!"
Tabib tua itu mengangguk-angguk. Dielus-elusnya janggutnya yang memanjang dan berwarna keperakan, seperti cemeti serabut senjata khas para rahib perempuan Taoisme Go Mei di bawah kaki bukit Wudan. Dijawabinya pertanyaan prihatin Fa Mulan dengan mengurai senyum lunak.
"Tabib...."
"Tidak usah khawatir. Kapten Shang tidak apa-apa. Denyut nadinya teratur, menandakan kalau tidak terjadi sesuatu hal yang membahayakan pada organ vital dalam tubuhnya. Hanya saja luka luarnya cukup parah. Tapi tidak akut. Dua minggu lagi luka di dada kiri Kapten Shang Weng pasti menutup."
"Tapi...."
"Biarkan Kapten Shang beristirahat. Jaga dia agar tidak banyak bergerak. Itu obat yang paling mujarab kalau ingin pemimpin kalian sembuh."
"Tabib...."
"Asisten Fa, Anda jangan terlalu mengkhawatirkan keadaan Kapten Shang. Saya pikir, justru Andalah yang harus bersikap mawas, bijak menyikapi diri Anda sendiri. Lihat, sepasang kantung mata hitam di seputar mata Anda. Anda pasti sudah lama tidak tidur, bukan?"
"Tapi, saya tidak bisa lepas tangan begitu saja. Saya harus bertanggung jawab atas keselamatan semua prajurit!"
"Tentu. Tapi, Asisten Fa tidak boleh menyiksa dan memaksakan diri begitu. Kalau badan Anda melemah, itu sama saja berarti Anda tidak punya kekuatan untuk melawan musuh."
"Terima kasih, Tabib Ma. Tapi, dalam keadaan genting begini saya rela berkorban...."
"Asisten Fa, kami tahu loyalitas Anda."
"Tapi...."
Tabib Ma Qhing merogoh tas kain tebal sejenis goni yang menyampir di pundaknya. Dikeluarkannya sebuah kotak kayu mahoni. Mengangsurkan kotak kayu persegi tersebut di bawah perut Fa Mulan.
"Ini untuk Anda, Asisten Fa."
"Apa ini, Tabib Ma?!"
"Ambillah. Di dalamnya ada beberapa butir Pil Naga. Terbuat dari akar ginseng berusia seribu tahun. Pil Naga ini merupakan ramuan kesehatan dan kekuatan tubuh untuk Kaisar Yuan Ren Zhan. Sebelum kemari, Jenderal Gau Ming menitipkan pil-pil ini untuk diserahkan kepada Anda, Asisten Fa."
"Ta-tapi, saya tidak bisa menerimanya, Tabib Ma! Saya tidak pantas menerima penghormatan setinggi ini!"
Fa Mulan mengatupkan tangan memberi hormat. Ditolaknya pemberian istimewa dari pihak Istana Da-du untuknya. Tetapi Tabib Ma Qhing mendesaknya untuk menerima Pil Naga tersebut.
"Terimalah, Asisten Fa. Pihak Istana Da-du menghargai perjuangan Anda. Makanya, pil-pil ini merupakan simbolitas pengungkapan terima kasih mereka untuk Anda."
"Tapi...."
"Saya tidak berani kembali ke Istana Da-du kalau Anda tidak mau menerima titipan Jenderal Gau Ming ini, Asisten Fa!"
"Saya bukan pahlawan yang mesti dihargai dengan hadiah istimewa, Tabib Ma!"
"Anda sudah berjuang mempertaruhkan nyawa di sini."
"Semua prajurit di sini juga mempertaruhkan nyawa mereka."
"Tapi tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah Anda lakukan untuk Kekaisaran Yuan!"
"Anda terlalu berlebih-lebihan, Tabib Ma!"
Tabib tua itu terbahak. Mengelus-elus kembali janggutnya yang kelihatan terawat dengan baik. Fa Mulan bersikukuh. Belum mau menerima kotak kayu hitam berisi pil-pil mujarab Istana Da-du yang diangsurkan kepadanya dengan setengah memaksa tadi. Ia menghampiri meja kayu yang terletak di tengah tenda milik Shang Weng. Menuang arak dari guci tembikar ke dua buah cawan ceper. Diangsurkannya satu cawan arak itu ke Tabib Ma Qhing yang sudah menghentikan tawanya.
"Silakan minum, Tabib Ma. Hanya arak kampung. Sekedar menghangatkan badan."
"Terima kasih."
"Tentu tidak selezat arak anggur Istana Da-du."
"Anda terlalu merendah. Padahal, siapa yang tidak mengenal Fa Mulan yang termashyur itu? Keindahannya melebihi kecantikan mekarnya yang-liu di taman bunga Istana Da-du. Sejak menghebohkan kalangan Istana Da-du satu tahun lalu dalam kasus manipulasi identitas wamil, nama Fa Mulan terus melegenda. Sekarang, saya baru berjumpa dengan Anda. Ternyata, legenda itu bukan isapan jempol belaka."
Fa Mulan terkekeh. Pipinya memerah. Ia menatap orang tua berbaju dari bahan kain satin itu dengan sikap jengah. Disibaknya kenangan silam dalam benaknya. Setahun lalu penyamarannya memang terbongkar oleh satu peristiwa miris. Ketika bertarung dengan beberapa gerombolan pengacau keamanan Mongol di perbatasan Tembok Besar, ia terluka kena panah salah seorang barbarian Mongol. Dalam masa perawatan, identitasnya terbongkar. Tabib yang memeriksa dan merawatnya terkejut karena pasien prajuritnya ternyata adalah seorang perempuan.
Shang Weng gusar. Ia merasa telah dikelabui selama ini. Maka sesuai dengan hukum kemiliteran yang berlaku, kepala Fa Mulan mesti dipenggal!
Waktu itu Fa Mulan sudah pasrah. Ia hanya dapat berharap semoga pengorbanannya selama ini dapat menjadi sumbangsih yang berharga buat kemakmuran di Tionggoan. Juga berdoa semoga ayahnya, Fa Zhou, dan juga ibunya, Fa Li, dapat diberikan kekuatan oleh Dewata untuk tetap bertahan di negeri yang tengah kisruh ini.
Sebenarnya ia kecewa dengan prinsip keras politik Kekaisaran Yuan. Bukan karena menyesali keputusan penggal kepala yang ditimpakan kepadanya. Bukan. Tetapi semata karena ia merasa Kekaisaran Yuan tidak adil bersikap, lantaran lebih memilih menutup rasa malu atas kecolongan kasus manipulasi identitas wamil dengan kompensasi hukum penggal ketimbang mengambil hikmah dari kejadian miris tersebut.
Dan pada suatu petang sebelum eksekusi mati, entah dari mana datangnya keajaiban itu. Bao Ling datang dari Ibukota Da-du, membawa manuskrip berisi titah yang ditandatangani oleh Kaisar Yuan Ren Zhan. Maklumat tersebut merupakan amar untuk membatalkan hukuman pancung yang ditimpakan kepada Fa Mulan, sekaligus mengampuni semua kesalahan Fa Mulan mengingat jasa-jasanya selama menjadi prajurit Yuan - yang berjuang gigih melawan para pemberontak Mongol di perbatasan Tembok Besar, dan menggagalkan beberapa aksi pemberontak Mongol tersebut yang hendak melintasi Tembok Besar.
Fa Mulan menghirup araknya dengan sekali teguk. Dingin yang menusuk-nusuk melalui celah-celah pada tenda hanya dapat diatasinya dengan arak yang menghangati nadinya. Dilihatnya tabib suruhan Istana Da-du itu minum dengan mimik ringis. Mungkin keasaman. Tidak semanis arak anggur Istana Da-du yang gurih. Tetapi hanya air api itulah yang dapat dijadikan penghangat badan selain unggun.
"Maaf, kami sudah menyusahkan Tabib Ma," ujar Fa Mulan santun. Mengapresiasikan rasa terima kasihnya dengan merendah. "Perang ini memang sudah banyak menyusahkan orang."
"Asisten Fa jangan terlalu sungkan," balas Tabib Ma Qhing tidak kalah hormatnya. "Ini semua sudah menjadi tugas dan tanggung jawab saya."
"Tolong sampaikan terima kasih saya untuk Jenderal Gau Ming. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, Pil Naga tersebut saya kembalikan kepada beliau. Tolong Tabib Ma mengantarnya kembali ke Istana Da-du. Serahkan kepada Jenderal Gau Ming. Saya menghargai pemberian beliau!"
Fa Mulan kembali mengatupkan kedua tangannya ke muka. Ditatapnya tegas sepasang mata kelabu Tabib Ma Qhing yang lunak dan berair. Seolah-olah meminta orangtua itu untuk tidak bersikeras dengan keputusannya.
"Tapi, Anda tidak boleh menolak Pil Naga ini, Asisten Fa!"
"Kenapa?"
"Merupakan sebuah penghinaan besar di kalangan Istana Da-du bila Anda menampik pemberian mereka."
"Saya hargai pemberian mereka...."
"Tapi bukan dengan cara menolaknya, Asisten Fa! Terus terang, saya tidak berani pulang ke Istana Da-du apabila Anda masih bersikeras menolak simbolitas penghargaan Kaisar Yuan Ren Zhan yang diberikan untuk Anda!"
"Tapi...."
"Anggap saja saya sedang memohon!"
"Ta-tapi...."
"Asisten Fa, Anda jangan keras kepala! Rasanya lebih baik kepala saya dipenggal ketimbang Anda menolak simbolitas penghargaan yang diberikan Kaisar Yuan Ren Zhan secara tidak langsung kepada Anda!"
Fa Mulan tersenyum. Dielus-elusnya gagang pedang Mushu-nya yang tersampir di pinggangnya. Sementara itu Tabib Ma Qhing sudah hampir menangis, menundukkan kepala dengan ekor mata bergerak galau. Ditatapnya tanah yang tengah dipijaknya di dalam tenda dengan rupa gelisah.
Fa Mulan mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Saya terima pemberian istimewa Istana Da-du ini demi menghindari hukuman pancung untuk Tabib Ma Qhing yang telah banyak berjasa bagi kami, prajurit-prajurit di Kamp Utara," ujarnya, mengulum senyum menahan tawa.
Tabib Ma Qhing sertamerta terbahak. Dielus-elusnya janggutnya yang berwarna keperakan. Kesedihannya sontak melenyap seolah-olah ditelan dingin udara malam. Seketika orang tua itu mengatupkan kedua tangannya ke muka. Mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada gadis keras kepala Fa Mulan, sehingga ia dapat terbebas dari hukuman Istana Da-du.
Mungkin bukan hukuman penggal seperti yang dikatakan Fa Mulan barusan. Tetapi siapa yang dapat menebak isi hati Sang Kaisar penguasa segala kemuliaan di Tionggoan ini bila sedang murka?!
Tentu hanya Dewata di langitlah yang tahu!


SUN TZU
REFLEKSI SENI RANA

***

Rembang petang baru saja menyingkir diganti malam. Bukit Tung Shao menggelap tanpa gemintang di langit. Hujan masih menyisakan partikel salju yang menusuk-nusuk kulit dengan giris dinginnya. Rambun memaksa Fa Mulan meringkuk, dan duduk di tempat biasa. Menghangatkan dirinya pada sebuah lidah unggun sembari menghitung detik-detik pertarungan hidup mati yang sudah di ambang batas.
Dihelanya napas resah.
Yao belum kembali ke barak setelah ia nekat menyongsong musuh di perbatasan Tung Shao. Masih disesalinya keputusan emosional Yao. Sahabat seangkatannya semasa wamil itu memang memiliki temperamental panas. Setiap permasalahan disikapinya dengan berapi-api. Satu kebiasaan buruknya yang masih terbawa sampai sekarang meskipun ia telah diangkat menjadi prajurit madya.
Yao merupakan anak dari pasangan gembala di dusun gigir Sungai Onon. Meski ia berdarah Tionggoan, tetapi lingkungan dan adat istiadat yang diakrabinya sedari kecil berbeda dengan kebanyakan orang Tionggoan lainnya. Keluarganya hidup menomad. Berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya di perbatasan Tionggoan-Mongolia. Sedari kecil pula hidupnya telah ditempa oleh iklim dan alam yang keras di pegunungan serta beberapa gurun di daerah dekat Mongolia. Yao tumbuh menjadi pemuda yang keras, berpendirian tegas, dan menjunjung harkat serta harga diri setinggi-tingginya.
Karena tidak ingin berkubang terus di dalam kemiskinan, maka Yao pun menanamkan satu tekad dalam dirinya. Bahwa tidak selamanya keluarga mereka akan hidup menomad tanpa tempat tinggal yang tetap dan layak. Ia lantas bekerja keras dan banting tulang, hidup dari modal otot. Setiap hari ia mengikuti adu gulat bercapa - sebuah perjudian adu tarung yang marak dan mendarah daging di Mongolia. Menghidupi orangtuanya yang sudah uzur dengan uang hasil kekerasan.
Beberapa tahun kemudian ia mengelana ke Ibukota Da-du. Menjadi centeng salah seorang tauke kelontong kaya di sana. Sampai keluarnya amanat dari Kaisar Yuan Ren Zhan agar seluruh warga Tionggoan harus menjalani wajib militer di Kamp Utara. Di sanalah awal mula perkenalannya dengan Fa Mulan yang selalu dilandasi ketidakharmonisan.
Ia dan Fa Mulan sebenarnya seperti dua orang musuh yang bertarung dalam satu selimut. Setiap hari mereka bertengkar dan adu jotos. Itulah sebabnya di Kamp Utara, Fa Mulan dan Yao sering diganjar hukuman oleh Shang Weng. Yao yang kelewat keras diantipati oleh Fa Mulan yang selalu ingin membela prajurit-prajurit lemah jajahan Yao. Setiap memalaki prajurit-prajurit lemah tersebut, Fa Mulan selalu tampil sebagai pahlawan. Menentang Yao yang lebih besar tiga kali lipat dari tubuhnya.
Meski kasar tetapi Yao sebenarnya memiliki sifat baik yang jarang ditampakkannya. Ia setia kawan. Selalu menolong kaum jelata yang tertindas puak terpandang, bahkan mengorbankan nyawanya sekalipun. Sayang ia selalu mengambil tindakan tanpa nalar. Dan menempuh jalan kekerasan reaksi amarah yang berkobar di dalam hatinya.
Fa Mulan masih menghangatkan tubuhnya di samping unggun.
Sejenak diisinya tadi benaknya yang lowong dengan kenangan silam. Yao, Chien Po, dan Bao Ling merupakan sahabat terbaiknya. Dan ia tidak ingin salah satu dari mereka ada yang gugur sia-sia. Hal itulah yang kerap meresahkannya. Terutama Yao yang beremosi labil.
Ia mengusap wajah.
Pasukan pemberontak Han yang sudah semakin dekat dan berada beberapa mil dari barak meresahkannya. Besok fajar pasti sudah sampai di sini. Sementara bala bantuan belum kunjung tiba. Apa boleh buat, pikirnya. Hidup mati manusia memang sudah ditentukan dari langit. Itulah takdir kematian seseorang yang bernama ajal. Dapat terjadi di dalam situasi apa pun juga. Kalau ia memang harus terbantai dalam peperangan besok, maka ia tidak akan pernah menyesali kematiannya yang menyakitkan itu. Sebab ia merasa telah membela kebenaran. Dan tidak mati dengan sia-sia.
Baru saja ia akan menikmati bakpaonya ketika beberapa prajurit berjalan tertatih-tatih dengan tubuh membujur luka. Mereka adalah prajurit-prajurit yang diperintah ikut serta ke perbatasan Tung Shao bersama Yao fajar kemarin.
Fa Mulan berdiri.
Ia mendekati prajurit-prajurit tersebut. Dan membantu memapah seorang prajurit yang tertebas golok ke dalam tenda tabib. Beberapa prajurit dalam tenda keluar dan turut membantu rekan mereka yang terluka.
"Mana Prajurit Madya Yao?!" tanyanya cemas pada seorang prajurit yang tidak terluka.
"Sudah masuk ke tendanya, Asisten Fa."
"Bagaimana keadaan kalian?"
"Hampir semua rekan-rekan yang berangkat bersama Prajurit Madya Yao gugur di perbatasan. Kami yang selamat tidak sampai dua puluh orang. Pasukan pemberontak Han sangat banyak, Asisten Fa! Kami tidak sanggup menghadang mereka!"
"Baik, baik. Terima kasih. Kamu istirahat saja dulu. Kalau luka, segera ke tenda tabib."
Prajurit bawahan itu mengangguk.
Fa Mulan meninggalkan prajurit itu dengan wajah gusar. Dilangkahkannya kakinya dengan gerak gegas ke tenda Yao. Meminta pertanggungjawaban lelaki bertubuh kekar itu.
"Yao!" teriaknya keras di muka tenda Yao.
Yao menyibak daun tenda. Ia keluar dengan wajah bengis. Tampak segar bugar, tidak mengalami luka sedikit pun. Fa Mulan sedikit lega. Tetapi tak mengurungkan kemarahannya yang sudah mengubun sejak fajar kemarin.
"Apa-apaan kamu, Yao!" sembur Fa Mulan berkacak pinggang. "Sok jagoan begitu!"
Yao mendekat.
Ia berdiri persis sejengkal di hadapan Fa Mulan. Ditatapnya ke bawah dengan sikap tidak bersalah. Gadis atasannya itu mendongak, masih belum menyurutkan tatapan matanya yang setajam pedang.
"Sudah sedari dulu saya bilang, saya ingin menghalau Jenderal Shan-Yu di bawah bukit sebelum dia dan pasukannya mendapatkan kekuatannya kembali, lantas menyerang kemari dan merobek-robek tubuh kita di sini!"
"Saya tahu kita semua ingin dia enyah dari muka bumi ini! Semua prajurit di sini ingin memenggal kepalanya! Tapi belum saatnya, Yao! Dia masih terlalu tangguh untuk ditaklukkan!"
"Kita dapat menaklukkannya, Asisten Fa!" balas Yao dengan kasar. "Tapi selama ini Anda yang terlalu lamban!"
"Kita butuh waktu yang tepat!"
"Waktu yang tepat?!" Yao mendengus. "Sampai kapan?! Sampai kita lengah dan dia datang dengan seabrek pasukannya yang ganas lalu mencincang tubuh kita?!"
"Saya punya strategi lain. Bukannya dengan cara emosional begitu, Yao!"
"Strategi apa?!" tanya Yao geram. "Strategi mengulur-ulur waktu?!"
"Kalau itu memang merupakan strategi jitu, kenapa tidak?!"
Yao kembali mendengus keras.
Ia mengibaskan tangan dengan jumawa seolah-olah Fa Mulan bukan atasannya. Diputarnya tumit hendak masuk kembali ke dalam tendanya. Tetapi Fa Mulan mencekal pundaknya. Menghentikan langkahnya. Masih ingin meminta tanggung jawab prajurit madya itu atas hilangnya hampir seratus nyawa prajurit Yuan dengan sia-sia.
"Yao, kamu sudah bertindak gegabah!"
"Paling tidak saya memiliki keberanian daripada hanya berpangku tangan seperti Anda, Asisten Fa!"
"Apa yang telah kamu lakukan itu sangat berbahaya, dan mengancam keselamatan nyawa kamu sendiri!"
"Saya tidak takut!"
"Saya hargai keberanian kamu. Tapi, tindakanmu itu sama juga dengan mengantar nyawa. Untung kamu masih dilindungi Dewata sehingga dapat kembali ke sini. Tahu tidak, perbuatanmu yang menyongsong ke markas musuh itu seperti anjing yang masuk ke kandang macan!"
"Saya bukan prajurit pengecut!"
"Tapi bukan dengan begitu kamu boleh bertindak gegabah. Saya tidak ingin ada prajurit Yuan yang mati konyol!"
"Maaf, semoga prakiraan saya ini tidak benar! Bahwa apa yang telah Asisten Fa uraikan barusan hanya sebentuk dalih untuk menutupi sepotong rasa takut!"
Fa Mulan terkesiap.
Ia sama sekali tidak menyangka Yao dapat selancang itu. Ia merasa tidak punya wibawa dan harga diri sebagai pemimpin. Ditariknya lengan kokoh Yao dengan sekali entak. Lelaki berwajah keras itu terantuk. Mendekat sejurus setelah menjauhi Fa Mulan tadi.
"Yao! Kalau saja saya sendiri memiliki kemampuan untuk mengalahkan Jenderal Shan-Yu dan ratusan ribu pasukan pemberontak Han itu, maka detik ini juga saya akan menantang mereka di bawah bukit! Detik ini juga saya akan bertarung dengan mereka! Tapi, saya tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Kita lemah, Yao. Lemah! Karenanya, saya tidak ingin bertindak tanpa melalui seleksi otak! Kenapa?! Karena saya tidak ingin mati sia-sia. Tanpa kita, siapa lagi yang akan membela rakyat Tionggoan?! Apa kamu mengharap para arwah di alam baka untuk menghalau mereka?! Coba kamu renungkan hal itu, Yao!"
Namun Yao tidak mau tahu.
Ia malah menatap sepasang mata Fa Mulan dengan bias menantang. Mencibirkan bibirnya dengan bahasa cemooh. Membuang mukanya kemudian dengan sikap pongah. Berkacak pinggang seperti tokoh protagonis Eng Tay dalam opera mashyur Sam Pek Eng Tay, yang sering dipertunjukkan salah satu kelompok opera keliling di Ibukota Da-du.
"Kalau takut bilang saja!"
Yao sudah mengarah kasar.
Kalimat-kalimatnya sudah tidak terkontrol. Fa Mulan tidak dapat membendung amarah yang mengubun di kepalanya. Diterjangnya Yao yang memiliki tubuh tiga kali lebih besar darinya dengan wushu tingkat dasar.
Yao mengelak.
Tangan kanannya menangkis satu tendangan ke arah dadanya. Ia terundur sedepa menahan tendangan Fa Mulan yang bertenaga. Sedikit terkesiap. Sama sekali tidak menyangka tubuh sekecil itu memiliki chi sekuat kuda. Dikembangkannya otot-ototnya. Tubuhnya memekar seperempat kali lipat dari ukuran tubuhnya yang biasa. Mengangkang dengan tubuh sedikit membungkuk. Siap menangkap tubuh lawan, serta meremukkan tulang-tulangnya saat berada dalam pelukan dan telikung kedua tangannya yang sekokoh baja. Gulat Mongolia memang mengerikan.
Fa Mulan mencecar dengan tusukan-tusukan telapak tangannya. Sambil melompat-lompat dan sesekali bersalto menghindari kaitan kaki Yao, dihujaninya tubuh kekar lawannya itu dengan pukulan telapak. Beberapa menerpa dada dan pundak. Tetapi tubuh besar itu tak bergeming. Kokoh seperti tembok. Yao tetap berdiri memaku pada tanah. Hanya sesekali menggebah pukulan-pukulan telapak Fa Mulan dengan kibasan-kibasan cakarnya.
Suasana di barak Kamp Utara mulai meriuh. Para prajurit keluar dari tenda masing-masing. Keheningan malam yang dipecahkan oleh suara pertarungan menyita perhatian mereka.
Shang Weng menyimak suara gaduh di luar. Ia terbangun dari amben tenda. Berjalan dengan langkah rangkak - tidak dapat sepenuhnya bangun karena lukanya yang belum purna sembuh. Disibaknya daun tenda dari dalam. Di balik api unggun yang meranggas, dilihatnya sepasang prajurit yang berkelahi. Perseteruan masih berlangsung sengit. Api unggun yang terletak tidak jauh dari arena pertarungan tampak melelatu, memercikkan bunga-bunga api akibat embusan angin hasil perkelahian.
Yao masih berusaha menangkap tubuh mungil lawannya. Satu pelukannya yang secepat lesatan anak panah meleset. Fa Mulan merunduk, dan berdiri dengan kedua belah telapak tangannya di tanah sebagai penyangga tubuh kala kakinya mengentak, menendang kepala Yao yang sekeras batu di atas. Yao terundur tiga tindak dengan langkah sempoyongan. Tetapi kakinya masih terlalu kuat untuk dibuat terkulai. Ia masih berdiri dengan sikap kuda-kuda setelah pusingnya hilang.
Pemuda kekar bercambang itu semakin kalap.
Ia berteriak menghimpun tenaga. Ditubruknya tubuh Fa Mulan yang baru saja mendaratkan sepasang kakinya yang menendang tadi. Fa Mulan nyaris terjatuh ke belakang, tetapi satu kakinya menumpu seperti tongkat pada tanah bersalju, kemudian mendorong sekuat tenaga tubuh kekar yang menelikungnya dari depan itu dengan dengan bahu kanan dan kiri bergantian.
Taichi Chuan yang dipergunakan Fa Mulan mampu mendorong tubuh besar itu sehingga terlepas, lalu satu lesatan tendangan putarnya yang mengarah ke dahi Yao pun telak mengena. Yao tersepak tumit Fa Mulan dari jurus Kibasan Ekor Hong - salah satu gerakan dari kungfu ciptaannya, Tinju Hong Terbang. Ia pun terempas dan jatuh ke tanah dengan pandangan melamur.
Yao berusaha bangkit.
Tetapi kepalanya memening. Disekanya bibirnya yang berdarah. Fa Mulan menghampirinya. Menyudahi pertarungan dengan melontarkan kalimat-kalimat bijak.
"Yao, saya tidak bermaksud bertarung denganmu. Saya tidak bermaksud melukaimu. Kamu bukan musuh saya. Kamu adalah sahabat saya. Tapi, saya terpaksa melakukan semua itu tadi karena tidak ingin dianggap lemah. Saya ingin kamu sadar bahwa pertempuran itu tidak hanya melawan musuh jasadi. Tidak hanya dengan pedang dan tombak. Tapi pertempuran itu juga dilakukan untuk melawan angkara murka yang berasal dari dalam tubuh kita sendiri. Emosi dan amarah yang berasal dari dalam hati dan pikiran kita itu juga merupakan musuh yang harus dilawan dalam sebuah pertempuran!"
Yao meringis kesakitan.
Ia menggoyang-goyangkan kepalanya seolah-olah hendak mencari keseimbangan, menumpu kalibrasi pandangannya yang mengganda akibat tendangan sekeras godam Fa Mulan barusan.
"Yao, andai saja saya ingin membunuhmu, sedari tadi pedang Mushu ini sudah menancap di dadamu!" Fa Mulan mengelus-elus gagang pedang Mushu-nya seperti kebiasaannya. "Tapi tidak saya lakukan karena kamu sebenarnya tengah bertempur dengan amarahmu sendiri. Bukan dengan saya. Amarahmu itu merucahmu, Yao. Kalau tidak lekas kamu singkirkan dalam sebuah pertempuran batin, maka musuh dalam hati dan pikiranmu itu akan membunuhmu!"
Yao terduduk memeluk lutut di tanah.
Ia diam menyimak. Menundukkan kepala dengan hati berkecamuk malu. Ia memang harus memboko rasionalitas dalam benaknya yang hilang tercuri oleh musuh muasal diri. Dan ia harus bertempur dengan musuh yang berasal dari dalam dirinya sendiri itu. Membelasahnya sehingga kabur dari batinnya.
"Cepat ke tenda tabib, Yao. Basuh lukamu dengan obat. Beristirahatlah setelah diobati. Besok fajar kita pasti bertempur lagi dengan musuh yang sudah menapaki Tung Shao. Lupakan kejadian barusan. Anggap saja kita sedang berlatih kungfu!"
Fa Mulan melangkah ke arah tenda Shang Weng untuk mengontrol keadaan atasannya itu. Lima tindak melangkah ia menoleh ke belakang. Yao masih terduduk memeluk lutut. Lelaki kekar yang telah ditundukkannya tadi mengangkat kepala. Mendongak menatap hampa pada langit tak berbintang.
Yao menghela napas panjang.
Samar dilihatnya punggung gadis yang telah mengalahkannya tadi menirus, lalu menghilang di balik daun tenda setelah mengalihkan pandangan dari layar lebar langit.
Ia menggigit bibir.
Gadis itu memang tangguh. Ia seperti perempuan jelmaan para dewa, dirida segala purna yang tidak diradi pada sembarang orang. Kekalahannya ini bukan birang. Bukan sesuatu yang pantas disesali.
Gadis itu telah menyadarkannya.
Musuhnya memang bukan hanya pasukan pemberontak Han. Bukan hanya Shan-Yu. Bukan hanya sebentuk musuh-musuh jasadi. Tetapi juga jahiliah yang bermuasal dari dalam dirinya sendiri.
Diam-diam ia bersyukur memiliki sahabat sekaligus pemimpin seperti Fa Mulan.
Gadis itu memang prajurit jelmaan Dewata, prajurit garda langit!


FU MULAN

NYANYIAN PEDANG MAHARANA

***

Fa Mulan melangkah hati-hati, masuk melewati beberapa sangu tempur di dalam tenda Shang Weng. Penerangan di dalam tenda membias temaram. Pelita di atas meja sudah meredup, nyaris kehabisan bahan bakar minyak samin. Merupakan rutinitas hariannya setiap petang untuk mengisi dan menambah bahan bakar penerangan di dalam tenda Shang Weng tersebut.
Kondisi pemuda itu sudah lebih membaik setelah dirawat khusus oleh Tabib Ma Qhing. Luka pada kulit luar di alur iga ketiga dada kirinya sudah sedikit menutup meski belum mengering benar.
Fa Mulan berhenti di meja kayu tenda. Duduk di salah satu bangku. Menuang minyak samin dari botol tembikar bekas arak kampung ke wadah perak berbentuk teratai pelita. Sejenak ditatapnya wajah tampan Shang Weng yang sudah setengah terjaga setelah selesai menuang.
"Mulan...."
Fa Mulan berlari setengah tergopoh ke samping amben atasannya itu. Dipapahnya punggung lelaki berbadan tegap itu yang hendak berdiri dan berjalan ke arah meja.
"Kapten Shang...."
"Saya sudah tidak apa-apa."
"Anda perlu banyak beristirahat. Jangan banyak bergerak dulu."
Shang Weng bersikeras melangkah. Ia terhuyung. Fa Mulan menyangga tubuh pemuda itu dengan bahunya. Wajah mereka nyaris bersentuhan. Fa Mulan memalingkan wajahnya dengan rupa jengah. Shang Weng mengurai senyum simpul.
"Kenapa Anda tersenyum?!" tanya Fa Mulan setelah mendudukkan tubuh Shang Weng di salah satu bangku kayu.
"Tidak apa-apa," elak Shang Weng, menggeser sedikit posisi pelita minyak samin di atas meja. "Hanya...."
"Hanya apa?" cecar Fa Mulan, masih menyembunyikan wajahnya yang kemerah-merahan.
"Hanya saya baru menyadari kalau ternyata Fa Mulan itu sebetulnya cantik!"
Fa Mulan nyaris terjatuh dari bangkunya. Sanjungan mendadak dari Shang Weng melambungkan hatinya. Ia serasa tak berpijak di tanah. Inilah pujian terindah dalam hidupnya selain pujian yang selalu didengungkan oleh ayahnya.
"Sa-saya...."
"Saya berkata apa adanya, Mulan."
"Ta-tapi...."
"Kenapa? Tidak mau mengakui bahwa kamu sebetulnya cantik seperti bunga yang-liu?"
Fa Mulan menahan senyumnya.
Pipinya semakin memerah seperti buah persik yang meranum. Baru kali ini pulalah ia merasa menjadi perempuan. Segenap kegarangannya hilang ditelan litani. Pemuda itu memang telah menyayapinya dengan sanjungan sehingga ia seolah terbang ke negeri para dewa. Di mana keindahan yang tiada tara dihamparkan di depan matanya. Maharana yang bakal memporak-porandakan mereka besok mendadak lenyap benaknya. Cinta telah menyaput keresahan hatinya.
"Luka Anda bagaimana, Kapten Shang?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan!"
"Tapi...."
"Hei, dahimu berjelaga!"
Shang Weng sporadis mengeluarkan saputangan dari saku seragamnya. Disekanya dahi dan kening Fa Mulan yang ditempeli jelaga arang. Fa Mulan termangu. Sesaat serupa arca. Mematung lama sampai pemuda yang diam-diam dicintainya itu selesai menyeka.
"Kamu berkelahi lagi, bukan?"
"Ti-tidak!"
"Jangan bohong! Tadi saya mengintip dari balik daun tenda. Pasti dengan Yao!"
"Kami sedang latihan kungfu."
"Kalau berdalih, coba cari alasan yang lebih tepat."
"Tapi...."
Shang Weng kembali mengurai senyum. "Untung saya terluka, jadi tidak punya tenaga untuk menyambuk punggung kalian berdua sebagai hukuman."
Fa Mulan tersenyum, lalu menundukkan kepalanya. Merasa bersalah telah membohongi pemimpin tertinggi di Kamp Utara itu.
Shang Weng bertanya perihal perkelahian gadis itu barusan. "Persoalan apa lagi?!"
Fa Mulan menggigit bibirnya.
Seorang prajurit sejati memang pantang mengurai dusta. Apapun persoalannya. Seberat apapun kasusnya. Toh pemuda itu sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri perkelahiannya dengan Yao tadi. Ia tidak dapat mengelak cecaran pertanyaan Shang Weng itu dengan mengatakan tidak ada apa-apa. Pasti bukan tanpa sebab kalau ia bertarung sengit dengan Yao barusan. Dan akhirnya diputuskannya untuk lugas berterus terang setelah menimbang-nimbang sejenak.
"Yao tidak dapat menahan amarahnya," jawab Fa Mulan tanpa sedikit pun terdengar nada mendiskreditkan atau mengadu. "Dia nekat menyongsong Jenderal Shan-Yu di perbatasan."
"Yao keras kepala. Dari dulu...."
"Saya menegurnya. Tapi dia tidak terima!"
"Anak itu mesti diganjar pelajaran!"
"Makanya, kami berkelahi."
"Saya tidak dapat menyalahkan kamu kalau begitu."
"Terima kasih, Kapten Shang."
"Lalu, bagaimana nasib prajurit-prajurit lainnya?"
Fa Mulan menghela napas sampai dadanya dipenuhi oksigen. "Nah, inilah yang membuat saya kalap tadi!"
"Kenapa?!"
"Nyaris seratus prajurit pilihan yang menyertainya gugur sia-sia di perbatasan!"
"Kurang ajar Si Yao itu!"
Shang Weng menggabruk meja.
Fa Mulan terlonjak. Sama sekali tidak menyangka atasannya itu akan mengguntur gusar. Ia sedikit menyesal telah menceritakan kejadian yang sesungguhnya di saat pihak Yuan sudah di ambang kehancuran. Tetapi ia tidak bisa mengarang kisah di hadapan sang pemimpin. Ia tidak bisa merangkai utopia sehingga tercipta ketenangan di benaknya yang babur.
"Maaf, Kapten Shang!" Fa Mulan mengatupkan tangannya menghormat. "Ini insiden. Yao sudah menyesali perbuatannya. Sebenarnya bukan maksud dia untuk bertindak gegabah. Hanya saja dia menganggap saya lamban mengeksekusi pasukan pemberontak Han beberapa bulan lalu saat terdesak mundur di gigir Sungai Onon."
"Tapi...."
"Mohon Kapten Shang jangan menghukumnya!" Fa Mulan masih mengatupkan tangan di muka wajahnya. "Dia sudah sangat terpukul dengan kejadian di perbatasan itu. Semua yang dia lakukan itu demi kebaikan Kekaisaran Yuan juga. Dia bernafsu membunuh Jenderal Shan-Yu. Cuma sayang dia tidak memikirkan akibat yang ditimbulkannya, yang memakan banyak korban di pihak kita."
Shang Weng mengatupkan gerahamnya.
Amarahnya mengubun. Dipejamkannya mata sesaat untuk menetralisir darah yang berdesir di sekujur nadinya. Fa Mulan menggigit bibir. Ia khawatir dan menggamangkan Yao yang mungkin akan mendapat hukuman pancung!
Ia tahu watak keras Shang Weng.
Pemuda itu seperti tidak pernah mengenal bahasa kompromi. Ia menjunjung sebuah prinsip yang sampai mati pun akan terbawa dalam kubur. Bahwa harga diri melebihi segalanya!
Sekian tahun ia mengabdi pada Kekaisaran Yuan, sekian tahun pula ia menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan para leluhurnya, para pewarga marga Shang yang sudah meninggal namun tetap hidup dengan gaung moralitas dan kebajikan sejatinya.
Pemuda itu adalah pemburu ektoterm.
Ia sangat membenci kezaliman. Tidak ada tempat di hatinya untuk para rudapaksa, yang korup dan tiran seperti Shan-Yu. Yura harus ditegakkan demi keadilan zamin. Supaya bijana yang telah dipijaknya sejak kali pertama menghirup lafaz kehidupan terbebas dari segala angkara. Salah satu bentuk bakti moral untuk para leluhurnya!
"Setelah pertempuran ini, Yao harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang tidak berotak itu!" ancam Shang Weng gusar. "Pembangkangannya itu harus mendapat ganjaran hukuman yang seberat-beratnya!"
Fa Mulan langsung menjatuhkan dirinya ke tanah.
Ia berlutut di hadapan Shang Weng. Sepasang tangannya mengepal di muka. Memohon dengan hormat di bawah kaki pemuda yang masih mengatupkan gerahamnya itu. Agar mengurungkan niatnya menghukum Yao yang sudah melakukan pelanggaran berat dalam kemiliteran.
"Saya yang salah, Kapten Shang!" serunya dengan suara memarau. "Saya yang tidak becus mengawasinya sehingga bertindak di luar kendali. Seharusnya saya yang bertanggung jawab atas kejadian miris di perbatasan itu! Kalau Anda hendak menghukum Yao, maka hukumlah saya terlebih dahulu. Dipancung pun saya rela, Kapten Shang!"
Shang Weng mengibaskan tangannya. Sikapnya sedikit melunak termakan iba. Diam-diam dikaguminya Fa Mulan yang memiliki solidaritas setinggi langit. Ia memang layak menjadi pemimpin para prajurit.
"Bangunlah," perintahnya. "Yah, sudahlah...."
Fa Mulan sontak berdiri dengan wajah sumringah. "Jadi, Kapten Shang sudah memaafkan Yao, bukan?!"
Pemuda itu diam. Tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Namun suaranya tidak mengguntur lagi ketika ia menjawabi pertanyaan antusias Fa Mulan yang masih menggaung euforis tadi.
"Siapa yang bilang begitu?! Apa kata prajurit-prajurit lainnya nanti? Di mana letak keadilan itu kalau saya membebaskan Yao tanpa syarat?"
Wajah Fa Mulan mengerut. "Jadi?!"
"Yao tetap akan dijatuhi sanksi administratif. Mungkin dia dipecat dari dinas militer, atau pangkatnya diturunkan setingkat."
Urat syaraf Fa Mulan mengendur. Rengsanya menguap. Badannya menegak. Respirasinya normal kembali. Ia lega. Sangat lega. Yang pasti, Yao tidak akan dipancung! Ia duduk kembali ke bangkunya. Menatap sepasang mata elegan di hadapannya dengan sakinah.
"Kamu agak kurusan," ujar Shang Weng lembut, menggeser amarahnya dengan topik lain.
"Kapten Shang...."
"Mulan, kamu sudah banyak menderita!"
"Saya...."
"Tidak sepantasnya gadis seperti kamu menempuh bahaya, menyabung nyawa untuk mempertahankan negara."
"Urusan mempertahankan negara merupakan kewajiban setiap orang, Kapten Shang. Tidak dibeda-bedakan oleh jenis kelaminnya."
"Tapi...."
"Saya tidak merasa istimewa karena dalih satu-satunya perempuan yang menjadi prajurit Yuan, Kapten Shang! Sekarang, pada saat negara sedang di ujung tanduk, siapa pun dapat mengaplikasikan diri bela negara. Tidak mesti hanya di kemiliteran. Gadis-gadis lain yang menyiapkan segala keperluan logistik misalnya, juga otomatis telah ikut bersumbangsih mempertahankan negara. Para perempuan yang membantu suaminya di sawah di daerah Yunan pun turut berjasa secara tidak langsung. Jadi, jangan bedakan saya dengan para prajurit lainnya."
"Makanya saya simpati sama kamu, Mulan. Padahal, gadis-gadis sebayamu pasti sudah disunting orang. Melahirkan anak bagi suami mereka. Hidup damai di bawah naungan rumah besar. Bukannya tenda reyot di barak militer bikin sengsara ini."
"Kalau tidak salah sudah seribu kali Anda mengatakan hal yang sama, Kapten Shang."
"Kenyataannya...."
"Kenyataannya saya tidak setegar sangkaan Anda, Kapten Shang!"
Shang Weng terbahak. "Tentu. Soalnya kalau tidak, pasti pipi kamu tidak akan terbakar seperti tadi saat saya mengatakan kamu cantik!"
"Anda...."
"Kamu tetap perempuan."
"Maaf, Kapten Shang. Saya tidak suka diolok-olok begitu!" Fa Mulan mendengus, melipat tangannya di dada pura-pura sewot.
"Saya tidak mengolok-olokmu. Tapi, memujimu!"
"Apa bedanya?!"
Shang Weng terbahak sampai terbatuk. Dielus-elusnya dadanya yang menyeri. Fa Mulan prihatin. Mengangkat tubuhnya dari bangku. Hendak menyentuh bahu pemuda itu tanpa sadar.
"Saya kualat!" aku Shang Weng setelah meredakan tawanya.
"Kualat kenapa?" Fa Mulan mengernyitkan dahinya. Mengempaskan kembali pinggulnya di bangku.
"Dewata di langit marah karena gadisnya dipermainkan."
"Kapten Shang!"
Pemuda berwajah aristokrat itu kembali mengurai tawa. Fa Mulan menyambut tawa atasannya itu dengan memberengutkan bibir. Sejak kehadiran dirinya diterima seutuhnya sebagai seorang prajurit - bukannya gadis yang menyamarkan identitas dirinya, Shang Weng tampak lebih akrab dengannya. Dulu, selain dengan Yao, Fa Mulan paling sering bertengkar dengan Shang Weng. Bahkan mereka sering berduel di luar barak setelah melepas simbol-simbol Yuan. Bertarung atas nama pribadi. Lepas dari strata jabatan, antara atasan dan bawahan. Dan hasilnya selalu berimbang!
Berimbang, karena seorang Fa Mulan tidak pernah menggunakan kekerasan untuk menyadarkan sahabatnya yang dianggap infair. Sekelumit pertarungannya dengan Yao saat masih berstatus prajurit wamil dulu masih mengiang di benak.

"Saya tidak memiliki alasan untuk menaklukkan Yao di depan banyak orang, Bao Ling. Dia bukan musuh Yuan."
"Saya tahu kamu mengalah, Mulan. Tapi kalau terus-menerus mengalah, maka anak itu akan semakin besar kepala. Padahal, saya tahu kalau kualitas wushu-mu jauh di atas Yao."
"Apa lantas dengan begitu saya dapat mempermalukan dia di muka umum?"
"Bukan begitu...."
"Sudahlah, Bao Ling. Sejahat bagaimanapun Yao, toh dia tetap adalah sahabat kita."
"Saya tahu. Tapi, kalau tidak kamu kasih pelajaran dengan menundukkannya sekali-dua, maka dia tidak akan berhenti dengan ulahnya yang suka 'menjajah' orang kecil."
"Selama perbuatannya belum keterlaluan, saya tidak akan bertindak apa-apa."
"Tapi, dia akan semakin menjadi-jadi!"
"Dibunuh pun percuma. Menyadarkan Yao bukan dengan menaklukkan fisiknya, tapi yang terutama adalah hati dan pikirannya."
"Saya tidak yakin anak itu akan menjadi baik."
"Seseorang dapat berubah. Beri dia kesempatan untuk sadar."
"Dia akan sadar kalau sudah ditundukkan."
"Dia tidak akan pernah sadar dengan semua kesalahannya jika dikasari dan disakiti. Boleh jadi malah Yao akan menyimpan dendam."
"Tapi kalau tidak...."
"Dendam dan benci tidak akan pernah berhenti bila dibalas dengan dendam dan benci. Namun sebaliknya, dendam dan benci dapat berakhir bila dibalas dengan cinta dan kasih."
"Anak itu tidak pernah mengenal yang namanya cinta dan kasih. Sikapnya bukan prajurit, tapi barbar."
"Untuk itulah Yao tidak saya kasari, Bao Ling. Bukannya saya mengalah, tapi saya hanya ingin menyadarkannya dengan pekerti. Menundukkannya dalam perkelahian bukanlah cara yang tepat dan efektif untuk menyadarkannya. Hal itu malah akan menambah runyam masalah. Saya masih berprinsip bahwa, lidah seorang pebijak lebih tajam ketimbang pedang dan tombak manapun."
"Jadi, kamu masih berusaha membujuknya supaya menjadi baik?"
"Itu kewajiban kita sebagai teman."
"Tapi anak itu tidak pernah menganggap kita sebagai teman."
"Untuk itulah menjadi tugas kita menyadarkannya."
"Menyadarkan anak itu sama juga berhadapan dengan batu."
"Sekeras apa pun, batu juga dapat aus dan hancur bila digerus oleh air yang bersifat lembut."
"Kamu terlalu membelanya, Mulan."
"Demi persaudaraan, dengan mengorbankan jiwa pun saya siap untuk itu."
Apakah patriotisme itu selaksana partitur yang telah tertuangi nada-nada miris, dan dimainkan oleh sitar kematian dedewi atas maharana ini?! Lantas di manakah letak irama keadilan yang senantiasa menyejukkan jiwa-jiwa nan kerontang?!

Itulah yang kerap menghantuinya.
"Jangan marah," sergah Shang Weng separo tertawa, menggugah lintas kenangan silam gadis itu semasa menjadi prajurit wamil dulu. "Fa Mulan memang jelmaan para dewa di langit!"
"Semoga Dewata mau mengampuni pemimpin Kamp Utara, Kapten Shang Weng," Fa Mulan mengatupkan telapak tangannya cepat, memohon seperti sedang berdoa. Matanya memejam dengan mulut kemu. "Bukan maksud dia...."
"Mulan...."
"Kapten Shang Weng!" desis Fa Mulan perlahan, seperti berbisik. "Anda sudah keterlaluan!"
"Kenapa?"
"Kalau Dewata mendengar apa yang telah Kapten Shang ucapkan tadi, bisa kualat kita! Besok dalam pertempuran kita akan mendapat musibah! Sebuah bencana akan ditimpakan Dewata kepada kita karena murka!"
Shang Weng menahan tawanya. Ia terkikik. Fa Mulan melototinya sambil menempelkan jari telunjuk tangan kanannya di bibir.
"Mohon Dewata mengampuni," Fa Mulan kembali berkomat-kamit dengan mata memejam serupa maharesi. "Besok kami akan bertempur. Tolong Dewata lindungi dan berkati kami semua."
"Maaf," sahut Shang Weng setelah melihat kelopak mata Fa Mulan membuka dan selesai dengan upacara ritualnya.
"Untuk apa?!"
"Lupa kalau besok kita bertempur dengan pasukan pemberontak Han."
"Makanya...."
"Makanya saya tidak ingin mengolok-olokmu lagi. Nanti Dewata tidak memberkati kita."
Shang Weng pura-pura serius. Padahal tawanya sudah hampir menyeruak. Tetapi masih tertahan di tenggorokannya. Sama sekali tidak menyangka Fa Mulan yang demikian tangguh dapat sereligius itu. Sangat menyanjung fenomena tentang Sang Pencipta! Ia kelihatan jadi lain. Bukannya Fa Mulan yang gagah dengan pedang Mushu-nya. Bukannya Fa Mulan yang berjiwa pemimpin. Ia seperti kanak-kanak kini.
Fa Mulan terkesiap.
Nyaris kembali jatuh dari duduknya di bangku. Kali ini ia tidak tengah berada di hamparan nirwana, tetapi tengah menyaksikan bayangan hamparan salju yang dilumuri dengan darah. Ia memekik tanpa sadar. Besok adalah hari maharana!
"Kapten Shang, besok pasukan pemberontak Han pasti sudah sampai di sini! Saya khawatir dengan kondisi Anda yang belum pulih. Sekarang saya akan minta Bao Ling mengantar Anda mengungsi ke Ibukota Da-du! Mumpung masih ada waktu untuk kabur, maka malam ini juga Kapten Shang harus keluar dari zona tempur ini!" Fa Mulan bangkit dari bangkunya, hendak melangkah keluar tenda. Menyiapkan segala keperluan dan sekedar bekal dalam perjalanan kabur Sang Komandan.
Namun langkahnya terhenti. Shang Weng menarik tangannya.
"Mulan, kamu pikir saya ini pengecut apa?!" sembur Shang Weng dengan wajah cua. "Prajurit macam apa saya ini kalau melarikan diri begitu?!"
"Tapi, Anda sedang terluka!" balas Fa Mulan, masih berusaha melangkahkan kakinya. "Kalau Anda tetap bersikeras di sini, itu sama juga Anda memasang tubuh untuk dibantai percuma!"
"Tidak, Mulan!" Shang Weng berdiri, memegangi bahu Fa Mulan. "Saya tetap di sini! Sebagai pemimpin Kamp Utara, meskipun kepala saya terpenggal besok, saya akan tetap di sini menyertai kalian!"
"Saya sudah menggantikan posisi Anda, Kapten Shang!" teriak Fa Mulan bersikeras mengungsikan Shang Weng ke Ibukota Da-du. "Saya sudah memiliki strategi untuk menghalau mereka. Anda jangan khawatir. Keselamatan Anda lebih penting untuk moralitas prajurit-prajurit yang akan bertempur di kemudian hari."
"Tidak!" tolak Shang Weng emosional. "Saya tetap di sini!"
"Kenapa Anda bersikeras kepala batu begitu, Kapten Shang?!" Fa Mulan panik, tidak dapat mengendalikan emosinya.
"Saya tidak mau dianggap pengecut!"
"Tidak ada yang menganggap Kapten Shang begitu!"
"Tapi...."
"Kapten Shang tetap seorang satria meskipun tidak harus menumpahkan darah di zona tempur ini!"
"Kalau saya kabur ke Ibukota Da-du, maka sama juga saya telah mati berkalang malu!"
"Kapten Shang!" Fa Mulan menjerit. "Semua ini demi kebaikan Kapten Shang! Semua ini demi kebaikan Kekaisaran Yuan! Saya tidak ingin prajurit-prajurit Yuan tanpa pemimpin! Kita tidak boleh berharap terlalu banyak pada atase militer Yuan, para jenderal yang egosentris di pusat itu!"
"Kamu jangan mendesak saya, Mulan!" Shang Weng bersikukuh untuk tetap tinggal di zona tempur. "Ini perintah atasan!"
"Saya tidak peduli Anda siapa, Kapten Shang! Saya tidak peduli sekalipun Anda Kaisar!" Fa Mulan masih menentang tanpa digentari strata jabatan. "Kalau demi kebaikan Kapten Shang tetap juga menolak, maka saya tidak akan segan-segan lagi, meskipun berlaku kasar terhadap Kapten Shang!"
"Ka-kamu...."
"Coba berpikir rasional, Kapten Shang!" Fa Mulan menatap nanar sepasang mata bagus di hadapannya dengan benak merompa. Inkarserasi kebatuan sikap Shang Weng seperti mengurungnya dalam satu kalpa inkarnasi yang melelahkan. "Kalau kita berdua terbantai di sini, siapa lagi yang dapat memimpin pasukan di Kamp Utara?! Makanya, saya harap Kapten Shang dapat bijak mengenyahkan sepotong kalimat yang bernama satria itu, jika pada kenyataannya hanya menjadi korban penggal di zona tempur ini!"
"Saya masih punya harga diri!"
"Kalau harga diri itu tidak dapat membawa manfaat apa-apa, apalah artinya harga diri Anda itu, Kapten Shang?!"
"Sa-saya...."
"Anggap saja saya sedang memohon, Kapten Shang!"
"Tapi...."
"Kapten Shang, saya mohon!" Fa Mulan menjatuhkan dirinya. Sepasang lututnya berdebum di tanah. Untuk kedua kalinya ia berlutut memohon. Keadaan segenting ini memang harus diantisipasi secepat mungkin. Harga diri, prisnsip, dan martabat seperti menjadi pranata. Membentuk idealisme getas. Sehingga menjadi beban rasionalitas.
Pemuda yang masih dibebati kain kasa itu terperangah. Tidak menyangka Fa Mulan akan sengotot begitu. Ia merunduk. Mengangkat tubuh mungil di hadapannya, dan menuntunnya berdiri. Tetapi ia belum mau mengalah untuk mengungsi.
Harga diri lebih dari segalanya!
"Berdirilah, Mulan!" bentaknya. "Sampai seratus tahun pun kamu berlutut meminta saya mengungsi, saya tidak akan pernah melakukan hal sepengecut begitu!"
"Kapten Shang!"
"Saya tetap akan menjunjung nilai-nilai luhur para leluhur marga Shang. Seorang satria tidak boleh menyembunyikan kepalanya seperti kura-kura! Saya akan melawan mereka, meskipun kedua tangan dan kaki saya dipotong!"
Mata Fa Mulan memerah.
Diusapnya wajah. Entah harus berbuat apa untuk melunakkan kekerasan hati Shang Weng. Gengsi dan harga dirinya lebih tinggi dari Hwasan. Andai saja pemuda tidak terluka, maka ia pasti akan berusaha menaklukkan kekerasan hati pemimpinnya itu dalam sebuah pertarungan.
"Pergilah, Kapten Shang!" usir Fa Mulan dengan suara paruh tangisnya. "Sebelum segalanya terlambat!"
"Saya tidak bisa berpangku tangan melihat kamu terbantai di sini!"
"Saya bisa jaga diri."
"Saya tidak akan dapat memaafkan diri saya sendiri seandainya kamu terbantai di sini sementara saya tidak berbuat apa-apa di Ibukota Da-du!"
"Arwah saya tidak akan menuntut apa-apa dari Kapten Shang seandainya tewas dalam pertempuran besok!"
"Saya tidak ingin kamu mati!"
"Semua orang pasti mati. Tinggal menunggu waktunya saja. Kalau saya takut mati, sedari dulu saya tidak akan mendaftarkan diri saya sebagai wamil. Sedari dulu saya pasti telah melarikan diri dalam penggemblengan yang keras di Kamp Utara ini!"
"Ta-tapi, saya tidak ingin kamu mati!"
"Saya tidak takut mati! Ini risiko prajurit!"
"Saya ingin menyertai kamu bertempur besok! Saya akan mengawal kamu!"
"Apa?!" Fa Mulan meledakkan tawa kecilnya dalam nada sinis. "Kapten Shang bermaksud mengawal saya?! Jangankan membantu saya, mengangkat pedang pun mungkin Kapten Shang tidak sanggup!"
"Ka-kamu...."
"Saya hargai keputusan Kapten Shang yang tulus ingin membantu saya. Tapi, saat ini tidak mungkin Kapten Shang dapat mengaplikasikan suri teladan sebagai seorang pemimpin yang baik! Situasinya tidak memungkinkan. Bagaimana Kapten Shang dapat menolong orang lain kalau diri sendiri saja tidak dapat ditolong?!"
"Kita bertempur bersama-sama."
"Saya tidak ingin dibebani oleh pesakit!" tegas Fa Mulan tanpa rasa sungkan, berterus terang. "Maaf, Kapten Shang!"
Shang Weng melotot. "Kamu harusnya sudah dipenggal!"
"Seharusnya. Seharusnya, Kapten Shang. Namun sayang negara dalam kondisi chaos," bela Fa Mulan enteng, "sehingga saya dapat meluputkan diri dari hukuman penggal Anda itu, Kapten Shang! Saya akan berasumsi di hadapan Kaisar Yuan Ren Zhan bahwa, apa yang telah saya lakukan itu demi kebaikan Dinasti Yuan. Kaisar Yuan Ren Zhan pasti dapat menakar keadilan, mana yang benar dan mana yang salah. Karena apa yang telah saya perbuat, yang bagi Kapten Shang mungkin dianggap pembangkangan ini, semata-mata demi keselamatan aset negara! Saya berusaha menyelamatkan aset potensial Dinasti Yuan. Aset potensial itu adalah Anda, Kapten Shang!"
"Ta-tapi...."
"Kapten Shang sudah berkontribusi banyak dalam pertempuran besok kalau menuruti saran saya mengungsi ke Ibukota Da-du!"
"Sampai mati pun saya akan tetap di sini!"
Rambun masih menyelimuti barak Kamp Utara. Fa Mulan menggigil. Maharana di depan mata. Tetapi lelaki berpendirian setegar karang itu tak juga luluh. Malah menebarkan partikel gamang serupa laksa jarum yang menusuk-nusuk hatinya.
Dewata seperti mengabaikan doa-doanya!
Sudah dua hari Bao Ling datang membawa kawat balasan dari Jenderal Gau Ming. Namun bala bantuan yang termaktub akur dalam manuskrip belum kunjung tiba. Penantiannya lebih menyakitkan ketimbang musuh itu sendiri!
Fa Mulan melangkah dengan putus asa.
Moralitas yang hendak diaplikasikannya terbentur dinding pondik. Pemuda itu adalah benteng keangkuhan. Ia tak sanggup meruntuhkan jumawitas Shang Weng. Lelaki itu kokoh tak tergoyahkan.
"Fa Mulan...."
Ada satu cekalan keras menariknya kembali, mendekat nyaris berbenturan wajah. Shang Weng memeluknya. Tiba-tiba. Jantungnya serasa tertombak! Napasnya seolah berhenti, putus di kerongkongan seperti mati!
"Sa-saya tidak ingin kamu mati!" seru pemuda itu dengan nada gugup. "Saya mencintai kamu!"
Ada sayap yang mengambangkannya dari tanah. Gerbang svargaloka seperti terpentang kembali. Hamparan sejumlah bunga telah terlihat indah di sana. Namun diurungkannya untuk terbang. Sebab masih banyak tugas yang menantinya di tanah para pendosa. Menanti kehadiran sepasang tangannya untuk membilas sempelah darah merah yang menyelubung bumi.
"Kapten Shang...."
"Kalau kamu mati, saya juga ikut mati! Saya menyertaimu sampai mati!"
Fa Mulan menggeleng. Pelukan melepas. Pemuda itu terpana seperti terpanah!
"Maaf, Kapten Shang! Saya merasa tidak etis Anda membahas masalah pribadi di saat keadaan negara sedang genting."
"Mungkin besok saya tidak punya kesempatan lagi!"
Fa Mulan mengusap wajah.
Sejenak mematung sebelum melanjutkan langkahnya yang tertunda. Ia sudah sampai di daun tenda ketika sebuah teriakan memaku sepasang kakinya di tanah.
"Saya tidak ingin dua kali kehilangan orang yang saya cintai, Mulan!"
"Mak-maksud Kapten Shang...."
"Shiaw Ing telah dipampas oleh pembatil Han! Saya tidak ingin kamu mengalami nasib yang sama dengan gadis itu!"
Fa Mulan terkesima.
Sebuah pangkal kisah menyedot serupa besi sembrani. Seperti lektur filsuf Konfusius yang asyik ditelusuri dengan kontemplasi. Menarik untuk disimak lebih jauh.
"Shiaw Ing?!"
Seperti sudah mengetahui pertanyaannya, pemuda berbadan tegap itu langsung menjawab.
"Dia kekasih saya. Sudah meninggal tujuh tahun lalu. Sebuah kelompok perompak bernama Kelompok Topeng Hitam telah menghancurkan segalanya. Kaki tangan Han Chen Tjing itu bukan saja merampok harta benda keluarga saya di Tiangjin, tapi juga menggagahi Shiaw Ing yang saat itu berkunjung ke rumah. Sebuah kebiadaban telah merampas kesuciannya. Dia menghabisi nyawanya sendiri karena tak kuasa menanggung malu. Tragedi itu memicu amarah saya sehingga menjadi predatoris. Saya masuk militer. Saya telah bersumpah untuk menumpas Han Chen Tjing dan antek-anteknya! Saya ingin menumpas kebatilan! Demi Shiaw Ing, juga demi tegaknya ketenteraman di negeri Tionggoan ini!"
Fa Mulan melepas secuil senyum tanpa sadar. Entah karena dorongan apa. Tetapi tidak ada sinisme yang membasa dari pelepah bibirnya yang rekah. Mungkin gejala takjub. Kisah sepat yang sama sekali jauh melakon dari benaknya.
Pemuda itu memang terluka!
Selama ini ia tidak pernah mengetahui kalau jalinan kisah masa lalu Shang Weng mengalun getir. Setahunya, pemuda itu lahir dari keluarga biasa-biasa saja di Tianjing - sebuah daerah kabupaten di Tionggoan Selatan. Masuk militer jauh sebelum keluarnya maklumat wamil Kaisar Yuan Ren Zhan. Reputasi akademiknya luar biasa. Ia merupakan kader di kemiliteran. Orang kepercayaan Jenderal Gau Ming. Sangat menonjol dalam strategi perang, namun tidak memiliki ilmu silat istimewa kecuali keterampilannya memainkan hampir semua alat dan senjata organik perang serta keunggulan insting tempurnya. Ia sangat memuja Sun Tzu. Bukan religius dan tidak agamis. Tetapi senang membaca lektur Konfusius yang bijak.
Serangkaian pertempuran telah membentuk sosoknya menjadi momok. Ia adalah gergasi perang. Predator bagi semua mangsa. Tidak ada pengampunan bagi lawan yang sudah takluk. Ia mencacah kebatilan. Melawan kejahatan dengan kekerasan. Pedangnya senantiasa berlumuran darah. Namun ia heroik. Selalu membela rakyat jelata yang tertindas. Sulung dari sembilan bersaudara itu memang menyimpan sekelumit misteri. Ia introver.
Ia sangat kejam terhadap prajurit cuai. Digemblengnya wamil sehingga sekeras baja. Mentalitas yang telah dibentuknya sebelum berperang telah mendatangkan antipati semua wamil. Ia serupa ektoterm. Tetapi ia sangat arif memutuskan suatu masalah. Idealisme. Gigih dan tidak gampang menyerah.
"Dendam, bahkan lebih jahat dari pembatil itu sendiri, Kapten Shang!"
"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya sakit kehilangan orang yang dikasihi!"
"Mungkin. Tapi dendam yang membara di hati Kapten Shang akan menikam seumur hidup. Sakitnya jauh lebih sakit ketimbang pada saat Kapten Shang menerima kenyataan tragis itu!"
"Saya tidak ingin terluka untuk kedua kalinya!"
Fa Mulan menggigit bibir.
Ia mengerti makna kalimat itu. Namun tak diterjemahkannya karena mungkin besok mereka memang tidak memiliki waktu lagi karena diberangsang maharana menjadi abu. Dan ia lebih memilih menyimpannya sebagai cerita indah tak berbingkai.
Fa Mulan kembali melangkah tepat ketika sebuah teriakan menggema di gendang telinganya.
"Asisten Fa!" Bao Ling menguak daun tenda. Wajahnya sumringah. "Bala bantuan sudah datang!"
Di luar, terdengar riuh derap-derap langkah kaki kuda serupa guruh. Fa Mulan berlari keluar tenda. Menyambut prajurit Divisi Kavaleri Danuh yang menyemut di luar barak. Juga ribuan kuda tanpa penunggang. Ia tersenyum. Mengelus-elus gagang pedang Mushu-nya yang menyampir dengan gagah di pinggangnya.
Dewata mengabulkan doa-doanya!


KAO CHING

TEMUJIN SUATU HARI

***

Gumpalan awan menghitam di bujur ekuator langit. Beberapa walet beterbangan mengitari barak-barak di bawah kaki bukit Tung Shao. Di antaranya menelusup di rimbunan daun bambu. Sesekali melesat sangat rendah, mendekati beberapa pasukan Han yang sedang mengaso.
Ada meja hyang yang ditata menghadap sebelah timur. Dialasi satin kuning telur dengan seperangkat alat pemuja, meja kayu persegi itu tampak angker mengundang pewaka. Jenderal separo baya, Shan-Yu, mengenakan jubah kelabu menjuntai menyisir tanah. Mengibaskan pedang perak ularnya di atas kepala, sejurus mengarahkannya ke depan, menusuk selembar fu yang tergeletak di samping paidon bersetanggi ladan.
Diangkatnya fu itu ke atas api lilin yang sedang mengobar. Bibirnya bergetar kemu. Serangkaian mantra mengalir bersamaan dengan mengabunya jimat dari kertas tersebut. Sebasung manekin jerami berdiri di depan paidon yang masih menyembulkan tabir asap. Simbol-simbol aneksorsis, wujud kasatmata dalam manekin yang ia buat dan diurapi dengan roh-roh para arwah gentayangan.
Ritual bulanannya. Ia hidup dari autotrop hawa dingin tsar chi. Ilmu Telapak Penghancur Tengkorak ciptaan Auw Yang Pei San yang ia dalami mesti dialiri dengan tenaga negatif yang berasal dari makhluk-makhluk halus dimensi lain. Setiap rembulan memurna gelap, ia akan mengundang arwah-arwah untuk bersekutu. Menghimpun kekuatan gelap demi mewujudkan ambisinya. Agar suatu saat kelak tidak ada pendekar manapun di Tionggoan mampu mengalahkannya.
Ia akan menjadi penguasa di negeri itu!
"Jenderal Shan-Yu...."
Ada sapaan yang melantun tepat ketika ia telah menyelesaikan ritualnya. Ia melepas jubah kelabu bersulam emas membentuk gambar anominitas di belakangnya. Disampirkannya pedang ular peraknya di punggung setelah memasukkannya ke dalam sarung ukir bambu kuning. Sebilah tali serupa pita merah mengikat pada pundak sebagai pegangan pedang ular peraknya.
"Ada utusan dari Mongol yang ingin bertemu, Jenderal Shan," jawab salah seorang pasukan Han yang mengenakan lemena.
Jenderal bermata elang itu mengangguk, mengaba dengan tangannya supaya orang itu menyingkir. Ia berjalan perlahan menuju tenda induk. Tempat pertemuan dan rapat militer biasa dilakukan.
"Hormat saya, Kao Ching, utusan Pemimpin Agung Mongolia, Genghis Khan!" sapa seorang pemuda bertubuh terbilang kecil untuk orang-orang Mongol menyambut kehadirannya di tenda induk. Tampak mengepalkan tangannya ke muka wajah. Menghormat lebih dahulu.
Shan-Yu mengangguk sebagai balasan. Tangannya mengaba, menunjuk sebuah kursi guci tembikar yang mengelilingi meja persegi porselen. Pemuda berkostum gembala dengan busur yang menyampir di punggungnya itu duduk di salah satu bangku berembos burung hong.
"Senang berjumpa dengan Anda, Pendekar Kao," balas Shan-Yu berformalitas dengan wajah dingin. "Ada angin apa yang membawa Anda kemari?"
Ia sudah mendengar nama mashyur Kao Ching. Seorang anak gembala berayah Mongol dan beribu Han yang dipelihara oleh kaum nomad Mongol. Jawara memanah itu dijuluki Si Pendekar Danuh. Akurasitas bidikan anak panahnya tak tertandingi oleh siapa pun. Mampu menjatuhkan dua burung dalam satu kali bidikan. Selama beberapa tahun sepeninggal ayah kandungnya, ia dipelihara oleh Genghis Khan. Tetapi kemudian berpisah karena Kao Ching diambil kembali oleh ibu kandungnya, dan hidup bersama di Provinsi Kiangsu, Tionggoan Utara. Di Tionggoan, Kao Ching sangat populer karena kerap memenangi sayembara memanah yang sering diadakan oleh puak terpandang dan kalangan bangsawan di Istana. Namun beberapa tahun kemudian ia menghilang dari Provinsi Kiangsu, kembali tanpa ibunya ke Ulan Bator.
Kao Ching tersenyum. "Hanya ingin menyampaikan salam Genghis Khan untuk Anda, Jenderal Shan."
Shan-Yu terbahak. "Temujin selalu begitu. Pantas dia disegani banyak lawan."
Kao Ching tersenyum mengikuti derai tawa Shan-Yu. Temujin adalah nama kecil Genghis Khan, pemimpin kaum nomad Mongol yang berusaha mencari identitas diri dengan menaklukkan negara lain. Merebut wilayah kekuasaan negara lain taklukannya supaya rakyat Mongol dapat menetap dan bertempat tinggal.
"Kalau boleh tahu, mungkin ada hal lain yang ingin disampaikannya kepada saya di balik titipan salamnya?" Shan-Yu bertanya, hendak langsung ke pokok masalah. Ia sudah tahu benar tabiat pemimpin nomad Mongol itu. Ia tidak ingin membuang-buang waktu berbasa-basi. Fajar nanti pasukannya akan memulai penyerangan besar-besaran ke puncak bukit Tung Shao. Membantai prajurit-prajurit Yuan pimpinan mantan prajurit wamil Fa Mulan dan atasannya, Kapten Shang Weng.
Pemuda jago danuh itu kembali mengatupkan kedua tangannya ke muka wajah. "Maaf, Jenderal Shan. Pemimpin kami menyampaikan kalau sudah beberapa bulan ini pasukan Han pimpinan Anda yang berada di gigir Sungai Onon telah meresahkan penduduk sekitar. Mereka kadang-kadang merampok dan memperkosa warga di dusun perbatasan. Itulah sebabnya saya diutus kemari untuk menyampaikan keresahan rakyat Mongol kepada Anda."
Wajah Shan-Yu memerah. Sesaat. Tetapi ia kemudian terbahak seolah tidak termakan singgungan. Kao Ching mengangguk-angguk seolah membiramai tawa lelaki beralis bulan sabit tersebut.
"Saya baru mendengar hal itu dari Anda, Pendekar Kao," sahut Shan-Yu dingin. "Tentu saja saya akan memenggal kepala prajurit saya itu bila memang bertindak arogan seperti yang Anda katakan tadi!"
"Genghis Khan akan sangat berterima kasih bila Anda turun tangan menangani masalah itu," tutur Kao Ching santun.
"Tentu, tentu. Saya tidak ingin mengecewakan Temujin. Kedua kubu kita seharusnya bersatu, karena sama-sama memiliki tujuan menggulingkan Kekaisaran Yuan!"
Kao Ching mengangguk. Ia melenguh dalam hati. Tentu saja kalimat dari Shan-Yu itu hanya perona manis. Sebab ribuan tahun kaum nomad Mongol tidak pernah akur dengan suku Han. Namun memang kali ini kedua kubu yang sering bertikai itu memiliki tujuan yang sama. Merebut wilayah kekuasaan Kaisar Yuan Ren Zhan yang sangat luas dan gembur!
"Sampaikan salam balik untuk Temujin. Tolong katakan supaya beliau tidak usah khawatir," ujar Shan-Yu, masih berusaha bersikap manis. "Saya akan mengawasi pasukan Han lebih ketat!"
"Terima kasih, Jenderal Shan," balas Kao Ching. "Pasti akan saya sampaikan pesan Anda."
Shan-Yu mengangguk-angguk. Ekor matanya menatap sinis pada pemuda di depannya. Ia mengatupkan rahang menahan amarah. Wibawanya teremehkan oleh kaum nomad pimpinan Genghis Khan. Huh, dipikirnya siapa dia?! makinya dalam hati. Suku gembala temurun peternak kuda di gurun. Bisa apa dia selain bergerombol memanjat Tembok Besar?!
Suasana dalam tenda induk yang diambangi kebisuan seperti menyebarkan atmosfer permusuhan. Dua sosok itu mengarca. Seolah bertempur di alam benak masing-masing. Kao Ching mengedarkan mata, menyusuri benda-benda di bawah tenda kempa kulit seukuran lima kali tenda biasa prajurit. Tatapannya memusat pada satu titik. Di belakang sebuah meja kerja tampak selembar lukisan monokrom tujuh ekor kuda dengan grafiti kanji di bawahnya. Di lantai tanah, tampak selembar kulit kempa macan tutul menengkurap dengan kepalanya yang masih utuh - diawetkan.
Shan-Yu mengelus-elus pedang ular peraknya di hadapan Kao Ching. Sebuah simbolitas penantangan. Selama menjadi kakitangan Han Chen Tjing, ia pernah sekali terlibat bentrok dengan beberapa barbarian Mongol. Terutama untuk daerah bagian selatan dekat perbatasan Tembok Besar, kedua kubu itu sering berpapasan. Kaum nomad Mongol memang sangat membencinya. Sewaktu masih menjabat di militer Dinasti Yuan, Shan-Yu banyak membinasakan barbarian Mongol yang berusaha melewati Tembok Besar. Genghis Khan sangat dendam kepadanya.
"Saya tidak mau berlama-lama mengganggu Jenderal Shan lagi."
Shan-Yu mengangguk membalas pamitan anak muda peranakan Mongol itu, masih dengan wajah sedingin salju. Seekor walet nyaris menabrak pucuk tenda ketika Kao Ching bertabe pamit. Tidak banyak hal yang dapat ia lakukan untuk meraba kekuatan pasukan Han yang terdiri dari kumpulan rakyat jelata. Mirip dengan barbarian Mongol, pikirnya. Mereka memang menggunakan kekuatan jelata. Tinggal mana yang lebih cerdik dan memiliki strategi taktis untuk dapat merebut negeri Tionggoan yang subur.


SUN TZU

REFLEKSI SENI RANA

***

Aroma kemenangan memang sudah selenggang. Kurang lebih seratus ribu prajurit Divisi Kavaleri Danuh membentuk pagar betis, merangkai rantai manusia yang menutup Tung Shao dari sebelah timur sampai barat. Di belakang rantai manusia, ribuan kuda tanpa penunggang telah berbarikade serupa defile. Kurang lebih sepuluh ribu prajurit Divisi Infanteri yang masih tersisa memegang panji-panji dan umbul-umbul Dinasti Yuan bertiang tombak. Mereka melangkah perlahan menuruni bukit, seolah hendak menyongsong pasukan pemberontak Han di bawah bukit.
Fa Mulan telah mendelegasikan masing-masing Pati memegang kendali atas seratus ribu kuda tanpa penunggang beserta prajurit di garda depan. Bao Ling bertanggung jawab atas barikade selatan. Chien Po pada barikade utara. Sementara Yao dan ia sendiri memegang kendali perintah di barikade timur dan barat. Dari kejauhan kesatuan barikade tersebut membentuk asumsi kekuatan tetralogi yang sangat tangguh. Sebuah empat mata rantai yang saling mengikat, dan mendukung antara satu dengan lainnya.
"Yao, Chien Po, Bao Ling!" Fa Mulan berteriak, memimpin di garis depan. "Kerahkan semua armada untuk merangkak perlahan! Semua prajurit Divisi Kavaleri Danuh dan Divisi Infanteri merengsek maju, berteriak sekeras-kerasnya!"
Maka yang terjadi berikutnya adalah puncak Tung Shao menyemut oleh prajurit Yuan. Menghitam seperti arak-arakan gemawan yang siap menjelma menjadi badai hujan. Dari kaki bukit, Shan-Yu terpana. Tubuhnya menggigil. Ia serasa tak percaya. Teriakan-teriakan yang menggema sampai ke bawah bukit bagai raungan halilintar. Ia serasa berhadapan dengan avalans. Siap melumat dan menguburnya di dalam endapan salju yang akan membekukan tubuhnya. Napasnya seketika tercekat.
"Mundur! Mundur semuanya! Mundur kembali ke barak Utara!"
Tiga ratus ribu pasukan pemberontak Han mundur cepat dari zona tempur. Shan-Yu menggeram dengan wajah memerah menahan malu. Ia telah dikalahkan oleh prajurit wamil, Fa Mulan. Digebahnya pasukannya kembali ke gigir Sungai Onon, menyeberangi derasnya gelombang air. Dan pulang ke kamp mereka setelah melintasi Danau Baikal di perbatasan Mongolia.
"Keparat! Bala bantuan Yuan lebih besar dari jumlah pasukan kita!" gusar Shan-Yu pada asistennya, Ta Yun.
"Da-dari mana mereka dapat memperoleh tambahan prajurit sedemikian cepatnya, Jenderal Shan?!"
Shan-Yu menggeleng di atas punggung kuda putihnya. "Tidak tahu. Tapi, saya rasa Kaisar Yuan Ren Zhan telah menghimpun rakyat di pesisir untuk menjadi wamil."
"Tapi, bukankah rakyat di pesisir telah bersimpati pada kita, Jenderal Shan?" tanya Ta Yun yang mengenakan bandana dari bahan mohair di atas kepalanya yang berambut lebat sepinggang.
"Tidak, tidak semuanya!" jawab Shan-Yu separo membentak. "Kaisar Berengsek itu sudah menyuap orang-orang itu supaya mau ikut dengan mereka!"
Daerah pesisir yang dimaksud adalah semenanjung Hainam. Sebuah negeri kepulauan kecil dengan penduduk padat. Masih independen. Orang-orang dari negeri putih baru saja meninggalkan daerah itu karena dianggap tidak memiliki lahan apa-apa yang dapat digarap kecuali ikan dan garam.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan, Jenderal Shan?!" tanya Ta Yun, sang pendekar bertubuh karang berohkan senjata trisula. Dadanya yang menggelembung telah menggambarkan kekuatan fisiknya yang sekuat banteng.
"Untuk sementara kita kembali ke kamp dulu. Setelah itu, saya akan berkonfirmasi dengan Pimpinan Han yang masih berada di perbatasan Tembok Besar. Mungkin kita himpun kekuatan baru lagi. Lalu kembali menggempur pihak Yuan."
"Tapi, apakah kita telah membuang-buang waktu, Jenderal Shan?"
"Maksudmu, kita tetap melawan prajurit Yuan yang berjumlah kurang lebih satu juta personel itu?!"
"Bukan...."
"Kalau saya meladeni mereka bertempur tadi, sama juga saya bunuh diri!"
"Ten-tentu...."
"Jadi selagi ada waktu untuk lolos, lebih baik kita kabur dulu. Sampai suasana kondusif untuk melakukan penyerangan kembali."
"Ya-ya! Seharusnya memang begitu, Jenderal Shan!"
Ta Yun tergagap.
Trivialitas berpikirnya mengubunkan amarah Shan-Yu. Segera diakurinya dalih Shan-Yu untuk menarik diri dari zona tempur. Aversinya itu memang demi keselamatan semua pasukan Han.
"Mungkin pasukan yang berasal dari Tung Shao ini akan membantu pasukan Pemimpin Han di perbatasan Tembok Besar. Mungkin kita akan mendobrak pertahanan musuh yang sedikit melemah di sana. Beberapa ribu pasukan kita di sana telah berhasil menaklukkan prajurit Yuan," ujar Shan-Yu menuai harapan. "Apa boleh buat. Ternyata strategi kita gagal di Tung Shao. Padahal, mulanya daerah itu telah diprakirakan akan dapat dengan mudah kita rebut. Justru sebaliknya dengan daerah di perbatasan Tembok Besar yang sama sekali tidak menjadi target kemenangan, kecuali untuk membuyarkan konsentrasi pakar strategi perang Yuan! Huh, saya tidak menyangka Fa Mulan dapat mengkoordinir semua prajurit Yuan secepat dan setangkas itu!"
Ta Yun mengepalkan tangannya di atas punggung kuda ketika melewati daerah paya di gigir Sungai Onon.
"Keparat Si Anak Kampung Fa Mulan itu! Akan saya bunuh dia kalau ketemu!" teriaknya tertahan menahan geram.
Shan-Yu mengangguk. "Padahal beberapa waktu lalu, saya sudah nyaris membunuh pemimpin Kamp Utara, Shang Weng, di dusun Nio. Untung dia dapat kabur. Tapi saya yakin dia terluka parah. Bahkan mungkin tewas di atas bukit sana!"
"Jangan khawatir, Jenderal Shan," Ta Yun menghibur. "Saya sudah menyusupkan beberapa orang jasus di Ibukota Da-du. Mereka akan membunuh perwira-perwira Yuan bila tidak terkawal nanti!"
"Bagus!"
"Bahkan beberapa di antaranya sudah menelusup ke dalam lingkungan Istana Da-du, meskipun belum sampai ke Area Terlarang Kaisar Yuan Ren Zhan karena ketatnya pengawalan."
"Tinggal menunggu waktu saja, kepala Kaisar Yuan Ren Zhan akan saya serahkan kepada Han Chen Tjing!"
Shan-Yu terbahak.
Mafelanya yang berwarna coklat tanah mengibar diembus angin sungai. Ratusan ribu serdadu mengekor di belakangnya. Beberapa ribu pasukan mengusung peralatan tempur di pundak mereka. Sebagian lagi duduk di pedati dan muntit kuda yang mengangkut logistik militer.
Keciprat air yang mengirama oleh sapuan ratusan ribu pasang kaki di tepi sungai menimbulkan bunyi mayor. Burung-burung gereja beterbangan dari dahan-dahan rerimbunan daun bambu. Merasa terusik oleh sekelompok makhluk pengganggu. Mereka ketakutan, menjauh ke arah bukit. Dan hinggap di belantara pinus yang sudah tak berambun.
Pagi baru saja disaput oleh siang ketika mereka tiba di dermaga Sungai Onon. Dermaga tersebut merupakan dermaga darurat yang sengaja dibangun sewaktu penyerangan ke bukit Tung Shao. Di sana masih menyandar ribuan perahu dan rakit bambu. Dermaga itu dijaga oleh seribu orang serdadu Han, yang khusus bertugas mengawasi keselamatan transportasi air sederhana itu. Tidak ikut menyerang ke kaki bukit Tung Shao.
Shan-Yu turun dari punggung kudanya.
Langkahnya diikuti Ta Yun yang mengekor hendak mengaso. Mereka duduk di rerimbun bambu, menyandarkan punggung pada batang bambu sembari menunggu barkas khusus untuk para perwira tinggi yang sedang disiapkan oleh beberapa serdadu. Kali ini air sungai tidak terlalu menderas. Jadi mereka dapat menjauh dari kejaran prajurit Yuan dengan mudah. Sewaktu mereka melakukan penyerangan beberapa bulan lalu, air sungai sedikit meluap karena avalans salju dari bukit Tung Shao.
Shan-Yu tidak mau menempuh risiko masuk bersembunyi menelusup ke dusun-dusun. Cepat atau lambat mereka pasti akan tertawan. Apalagi penduduk dusun-dusun sekitar juga sudah mengantipati kehadiran pasukan Han, yang dianggap telah mengganggu ketenteraman mereka. Bahkan beberapa dusun telah mereka hancurkan, dijadikan markas militer dan lumbung logistik.
"Jenderal Shan, apa tidak ada cara lain untuk menghadapi kekuatan besar mereka selain kolaborasi pasukan dari daerah perbatasan Tembok Besar?" Ta Yun bertanya, lebih menyerupai bahan pemecah kebisuan ketimbang pertanyaan strategi.
"Maksudmu...."
"Maksud saya, apakah kita tidak dapat bekerja sama dengan Temujin...."
Shan-Yu sontak berdiri dari duduknya. Ditatapnya sepasang mata sipit di hadapannya dengan tubuh membahang. Suaranya menggelegar. "Saya tidak sudi bekerja sama dengan kaum nomad!"
Ta Yun terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Ada dalih yang hendak diutarakannya. Tetapi urung terucap karena tergebah amarah Shan-Yu yang sudah meledak-ledak. Tentu saja bukan bekerja sama harafiah. Namun hanyalah bagian dari strategi pinjam tangan. Artinya, kaum barbarian Mongol dibiarkan bertempur di garis depan dengan prajurit Yuan sampai kedua belah pihak melemah. Dan ketika itu mereka akan masuk menyerang dari belakang memanfaatkan keadaan.
"Temujin terlalu angkuh!" damprat Shan-Yu. "Bagaimana mungkin kita dapat bekerja sama dengan orang seperti itu! Apalagi, kita memiliki kepentingan politik yang sama. Huh, mustahil Si Mongol Tua ingin berbagi tanah Yuan yang gembur."
"Maafkan atas kelancangan saya tadi, Jenderal Shan!" Ta Yun bangkit berdiri, mengatupkan sepasang tangannya cepat di pangkal kalimat tabiknya. "Saya memang belum berpengalaman. Mohon Anda memaklumi."
"Lebih baik kita pikirkan strategi lain ketimbang harus bekerja sama dengan orang yang maneris begitu!"
Ta Yun mengangguk. Diakurinya dengan terpaksa kalimat Shan-Yu yang mangkas. Dihelanya napas. Sebaiknya ia tutup mulut saja. Para perwira tinggi selalu merasa tinggi. Jarang mau menerima masukan dan usul bawahannya. Sifat laten Shan-Yu itu setali tiga uang dengan pemimpin tertingginya, Han Cheng Tjing. Selain keras kepala, mereka juga sama-sama ambisius!
"Maaf, Jenderal Shan," sapa seorang serdadu yang membungkuk dalam-dalam. "Barkas untuk Anda sudah siap. Apakah kita dapat berangkat sekarang?"
Shan-Yu mengangguk.


FANG WONG

REFLEKSI TAICHI CHUAN

***

Keberhasilan Fa Mulan memukul mundur musuh disambut gegap gempita oleh pihak Istana Da-du. Kaisar Yuan Ren Zhan tidak pernah segembira kali ini. Berkali-kali ia memuji kecerdikan strategi dan taktik kamuflase Fa Mulan di Tung Shao. Para atase militer di markas besar militer pusat sama sekali tidak menyangka Fa Mulan dapat menerapkan strategi jitu untuk menggentarkan lawan tanpa terjadi pertumpahan darah. Mereka sepakat untuk menaikkan pangkat Fa Mulan pasca pemberontakan Han nanti.
Sementara itu berita tentang mundurnya pasukan Han pimpinan Jenderal Shan-Yu dari zona tempur Tung Shao menjatuhkan moral pasukan Han lain, yang beberapa di antaranya sudah melintasi Tembok Besar. Han Chen Tjing kecewa. Karena daerah yang dianggapnya lemah dan hanya dijaga prajurit Divisi Infanteri, justru dapat menaklukkan serdadunya yang berkekuatan sangat besar.
Ia sekarang seperti mati kutu.
Di perbatasan Tembok Besar sendiri sudah tidak mudah mereka lewati lagi. Kaisar Yuan Ren Zhan telah menambah armada perangnya dengan satu divisi baru yang sangat tangguh, Divisi Kavaleri Fo Liong. Prajurit-prajurit Yuan itu dibekali dengan Fo Liong. Sebuah senjata pemusnah massal. Dapat menghancurkan lawan satu peleton dari jarak jauh dengan sekali tembakan.
Keparat, makinya dalam hati.
Persekutuan dengan Setan Putih! Kaisar Yuan Ren Zhan memang harus dipenggal. Kepalanya akan dipersembahkan untuk para leluhur Han, sumpahnya.
Han Chen Tjing melompat seperti terbang.
Ditumpahkannya amarahnya dengan serangkaian jurusnya yang memukul angin. Kibasan-kibasan Telapak Tangan Besi-nya berdesing-desing. Membelah beberapa dahan-dahan pohon cemara udang tanpa senjata, hanya dengan telapak tangannya yang sekuat sangkur baja.
Mantan biksu itu berputar-putar sesaat seperti propeler, menghamburkan pasir ke segala arah. Beberapa dari partikel pasir itu melubangi dedaunan akasia di dalam halaman rumah.
Ia masih berputar, berkelebat seperti kepak-kepak elang, lalu berhenti pada satu titik ketika tangannya yang kokoh seperti beton itu menghantam satu batang pohon cemara udang. Tenaga dalam Kingkong-nya membekas di pohon. Lalu selang berikutnya batang pohon tersebut berderak, membelah dan patah.
Sepuluh tahun yang lalu ia dikeluarkan dari biara Shaolin setelah bertarung dan melukai Fang Wong. Di biara Shaolin, Han Chen Tjing sering melakukan keonaran. Ia juga indisipliner. Selain itu ia diam-diam selalu belajar ilmu silat dari perguruan hitam. Biksu Pha Tou mengusirnya dengan paksa setelah berduel di halaman biara.
Pertarungan tersebut berlangsung seimbang. Pada waktu itu Biksu Pha Tou sama sekali tidak menyangka Han Chen Tjing dapat menandinginya. Padahal ia sudah mengerahkan seluruh kemampuan kungfunya. Bahkan kungfu yang belum diajarkan kepada murid-murid baru.
Dalam akhir pertarungan itu, Han Chen Tjing dapat ditaklukkan. Tetapi Biksu Pha Thou terluka parah. Dan akhirnya meninggal dunia setahun kemudian akibat akumulasi pukulan Telapak Tangan Besi Han Chen Tjing, yang menghancurkan organ dalam tubuh biksu tua wakil pemimpin biara itu.
Han Chen Tjing kabur dari biara Shaolin dengan menanggung malu. Ia tidak rela. Dan berniat membalas dendam suatu hari. Berbekal kesumat itulah ia semakin giat mempelajari beberapa ilmu silat yang ada di Tionggoan. Ia ingin membalas kekalahannya saat bertarung dengan Biksu Pha Tou.
Tiga tahun setelah kejadian miris itu, ia kembali ke Shaolin hendak menantang Biksu Pha Tou. Namun alangkah kecewanya ia saat mendapati kenyataan bahwa Biksu Pha Tou ternyata sudah meninggal. Karena tidak mungkin dapat bertarung lagi dengan biksu tua yang mengalahkannya dulu, maka ia mengobrak-abrik seluruh ruangan biara.
Ia hendak mengalihkan tantangannya ke Biksu Yang Fei - pemimpin tertinggi biara. Wong Qi Bei dan Huan Chen-Liang yang saat itu sedang berguru di Shaolin mencegah niatnya dengan bertarung di luar biara. Mereka menghadang Han Chen Tjing yang ingin menantang Biksu Kepala pemimpin tertinggi Shaolin tersebut setelah sebelumnya mendapat legitimasi untuk menjaga Shaolin, dan mematuhi amanat agar tidak seorang pun dapat mengganggunya bermeditasi di ruang bawah tanah biara.
Pertarungan tidak seimbang itu dapat dimenangkan dengan mudah oleh Han Chen Tjing. Setelah mengalahkan Wong Qi Bei dan Huan Chen-Liang, Han Chen Tjing kembali mengaduk-aduk biara. Ketika itu ia hendak mencari Fang Wong, saudara seperguruannya yang dikalahkannya beberapa tahun lalu.
Rupanya ia masih menyimpan dendam kepada Fang Wong, yang memergokinya belajar ilmu silat hitam - sebuah pantangan besar bagi para biksu Shaolin - dan menganggapnya sebagai biang pengadu yang menyebabkan dirinya diusir dan dikeluarkan secara tidak hormat dari Shaolin.
Fang Wong yang masih terluka akibat pertarungannya dengan Han Chen Tjing tiga tahun lalu, ternyata sudah meninggalkan biara sejak setahun lalu. Pemuda itu kabur ke sebuah dusun di sebelah tenggara Tionggoan. Di sana ia mengalami masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Pukulan Telapak Tangan Besi dan Kingkong Han Chen Tjing memang telah membuatnya menjadi orang setengah lumpuh.
Di dusun itu ia diobati oleh seorang tabib tua yang tinggal beserta seorang putrinya. Selama hidup sebagai petani, Fang Wong selalu dihantui oleh peristiwa tragis yang hampir merenggut nyawanya. Sosok Han Chen Tjing selalu membayanginya. Setahun kemudian ia mengidap skizofrenia. Tidak lama berselang menjelang penyembuhan, ia diilhami sebuah fenomena alam sehingga dapat menciptakan wushu unik, Taichi Chuan.
Dalam masa-masa penyembuhan luka dalam dan trauma psikisnya, ia mengajari anak-anak kampung wushu ciptaannya. Salah satu muridnya yang paling menonjol adalah Fa Mulan. Satu-satunya anak gadis yang belajar wushu kepadanya secara sembunyi-sembunyi.
Setelah biara Shaolin diobrak-abrik oleh Han Chen Tjing, Wong Qi Bei melarikan diri ke Guandong. Di sana ia hidup madani. Menjadi tabib setelah belajar medika tradisional Tionggoan - akupuntur dan Totok Nadi, dan membuka sebuah kedai obat.
Sementara itu Huan Chen-Liang hijrah ke Shandong. Di sana ia mengikuti jejak Wong Qi Bei. Membuka kedai tekstil, menjual aneka kain dan benang yang dibeli dari pedagang-pedagang Mongol yang sudah mengelilingi berbagai negeri melalui Jalan Sutra. Mereka memang menghindari hiruk-pikuk dunia persilatan yang babur.
Han Chen Tjing pun pulang kembali dengan tangan kosong dan dendam tanpa balas. Selama masa transisi batinnya yang penuh dengan angkara dan amarah itu, ia pun melibatkan dirinya di dalam kancah politik. Ia membentuk klan Kelompok Topeng Hitam yang antipemerintah dan bergerak klandestin melawan Kekaisaran Yuan. Namun pada kenyataannya, klan bentukannya tersebut telah melenceng jauh dari misinya yang semula. Kelompok Topeng Hitam lebih dikenal sebagai kelompok garong dibandingkan klan klandestin yang bertujuan menggulingkan Kekaisaran Yuan.
Gerakan-gerakan Han Chen Tjing berhenti seketika ketika Shan-Yu berdiri di ambang pagar halaman. Lamunannya pun membuyar oleh selantun kalimat bariton lelaki itu.
Shan-Yu mengabari dengan suara sayup. "Saya membawa kabar buruk!"
"Saya sudah tahu!" seru Han Chen Tjing dingin. Disekanya peluh yang membanjiri tengkuk dan lehernya dengan sapuan ujung lengan bajunya.
"Saya tidak menyangka Fa Mulan dapat secepat itu merangkum banyak prajurit di Tung Shao!" Shan-Yu mengurai alasan.
Han Chen Tjing mengibaskan tangannya. "Sudahlah. Yuan Ren Zhan memang cerdik. Dia lebih berbahaya dari ayahnya, Yuan Ren Xing."
"Ketua Han, jadi apa selanjutnya rencana Anda untuk menghancurkan Dinasti Yuan?" Shan-Yu melangkah. Berhenti simetris dengan sebatang cemara yang tumbang oleh pukulan dahsyat Telapak Tangan Besi Han Chen Tjing.
"Kita tidak memiliki serdadu sebanyak mereka!" urai Han Chen Tjing ragu. "Menyerang mereka secara frontal di Tembok Besar sudah tidak mungkin kita lakukan lagi!"
"Apa Fo Liong mereka begitu hebat, Ketua Han?!"
"Anda sudah mendengarnya juga, Jenderal Shan?"
"Dari jasus yang sudah menyelinap ke Ibukota Da-du."
Han Chen Tjing berdeham.
Ia menarik napas panjang. Mengembuskannya kemudian, juga dengan birama panjang. Shan-Yu mengelus ujung janggutnya yang menghitam seperti ekor bekisar. Ia masih menanti jawaban.
"Kalau tidak hebat, pasukan kita tidak mungkin mundur dari perbatasan Tembok Besar!" jawab Han Chen Tjing akhirnya setelah berhasil mengusai emosinya.
"Saya tidak menyangka Yuan Ren Zhan dapat menggalang kekuatan dengan Setan Putih!" Shan-Yu menimpali, matanya memicing bengis.
"Semua itu karena andil Perdana Menteri Shu Yong," sahut Han Chen Tjing, melangkah sedepa dari tempatnya berdiri. "Dia memiliki banyak relasi dengan Negeri Putih. Setan Putih-Setan Putih itu membantu mereka, memasok Fo Liong untuk menghancurkan kita!"
"Keparat!" Shan-Yu meninju telapak tangannya sendiri.
"Untuk saat ini saya tidak tahu harus berbuat apa-apa. Semua rencana kita gagal. Pasukan kita yang berhasil melewati Tembok Besar sudah dibabat habis oleh prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong. Kecuali gerilya dan menelusup di Ibukota Da-du, saya sungguh tidak tahu rencana apa lagi yang akan dapat kita terapkan!" imbuh Han Chen Tjing dengan rupa bingung.
Shan-Yu merapatkan gerahamnya. Dicengkeramnya keras-keras gagang pedang ular peraknya saat pemimpin tertinggi Han itu melangkah masuk ke ruang dalam rumah tanpa memedulikannya. Ia benar-benar merasa menjadi orang yang tidak berguna. Ia bersumpah untuk memenggal kepala Sang Kaisar suatu saat nanti. Dan menyerahkannya sebagai hadiah untuk lelaki berilmu silat tinggi itu.
"Jenderal Shan...."
Shan-Yu menoleh.
Di ambang pagar halaman tampak Ta Yun berlari ke arahnya. Tiba dua depa dari hadapannya disertai sebuah bungkukan tabe. Wajahnya menyumringah.
"Saya baru mendapat kabar dari beberapa jasus di Ibukota Da-du, Jenderal Shan," paparnya. "Mereka mengatakan kalau Kaisar Yuan Ren Zhan akan melakukan pesta kemenangan di Istana Da-du. Mereka akan mengadakan Festival Barongsai."
Shan-Yu mengerutkan dahinya. "Festival Barongsai?!"
Ta Yun mengangguk. "Ya, Festival Barongsai. Menurut jasus kita, acara Festival Barongsai tersebut akan dihadiri oleh seluruh peserta barongsai yang ada di Tionggoan. Pihak Istana Da-du sudah menyebarkan undangan ke seluruh penjuru negeri. Festival Barongsai itu direncanakan akan berlangsung pada saat purnama purna, awal dua bulan depan nanti!"
Tubuh Shan-Yu menegak. "Kalau begitu, siapkan orang-orang kita yang berwushu tinggi. Kita akan menelusup masuk sebagai peserta lomba barongsai. Segeralah berkemas, ikut saya ke Ibukota Da-du besok pagi. Samarkan identitas kita sebagai petani. Jangan sampai kepergok prajurit penjaga gerbang. Wajah kita pasti sudah disebar di seluruh pelosok negeri sebagai buronan!"
"Baik, Jenderal Shan!"


BAO LING

PRAJURIT GARDA LANGIT

***

"Prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong sudah memukul mundur pasukan pemberontak Han di perbatasan Tembok Besar!" Bao Ling menyampaikan kabar pemotivasi kepada Fa Mulan. "Saya juga mendapat kabar, Kaisar Yuan Ren Zhan akan segera mengirim beberapa ribu prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong untuk membantu kita, memperkuat pertahanan di Tung Shao ini."
Fa Mulan tidak menanggapi.
Diulurkannya sepasang tangannya di lidah unggun. Meskipun musim salju sudah mulai bergeser, tetapi partikel dingin belum lagi hilang benar dari puncak bukit. Noktah-noktah putih salju masih terlihat menangkup di sana-sini seperti teratai. Indah sekali.
Sudah sebulan momentum fenomenal itu lewat. Tetapi Fa Mulan tetap mawas. Tidak mau lengah barang sekejap. Karenanya, ia menolak undangan Jenderal Gau Ming agar dirinya hadir dalam seremoni keberhasilan yang akan diselenggarakan di Istana Da-du.
Lagipula, ia masih menyertai Shang Weng yang masih dalam tahap penyembuhan, setelah terluka parah dalam sebuah pertempuran di dusun bawah bukit kurang lebih satu setengah bulan lalu.
"Kaisar Yuan Ren Zhan juga akan mengadakan Festival Barongsai," tambah Bao Ling, turut menjulurkan tangannya ke lidah api. "Hampir semua pendekar hebat Tionggoan akan hadir di Istana Da-du
Fa Mulan mendengus. "Seharusnya Kaisar Yuan Ren Zhan tidak boleh bereuforia begitu!" ujarnya dengan nada tidak senang.
Kabar gembira yang disampaikan Bao Ling barusan malah menggundahkan hatinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengurungkan ekspresifitas euforia Kaisar Yuan Ren Zhan di Ibukota Da-du.
Bao Ling terbahak.
Deretan giginya yang gading menyembul indah. Ada pancaran intelektualitas di sana. Tidak bernada melecehkan. Fa Mulan melirik sesaat, lalu memalingkan kembali kepalanya ke arah lidah unggun, seperti tak mengacuhkan kehadiran pemuda itu dengan menggosok-gosok telapak tangannya di lidah unggun.
"Saya kagum sama Anda, Asisten Fa," ujar Bao Ling, lalu menderaikan tawanya kembali di ujung kalimat.
"Kagum kenapa?"
Fa Mulan menelengkan kepalanya, seolah memosisikan indera pendengarannya agar dapat menangkap desibel suara lawan bicaranya dengan jelas tanpa harus memalingkan wajah.
"Selama ini tidak ada yang berani mengeritik Kaisar Yuan Ren Zhan."
"Apa tidak boleh?"
"Boleh saja," Bao Ling tersenyum. "Tapi...."
"Tapi apa?!" Fa Mulan menghentikan aktivitas menghangatkan badan. Menatap pemuda berwajah bersih di hadapannya yang kini sudah terkikik.
"Tentu saja kalau bernyali besar, siap-siap kehilangan kepala," lanjut Bao Ling, menaruh telapak tangan di lehernya, lalu menariknya untuk menggambarkan kalimat penggal yang ia maksud.
"Kalau semua orang memiliki sifat megalomania begitu, apa jadinya dengan dunia ini?!" Fa Mulan menyergah, merapatkan baju hangat kulit rusanya.
"Kalau tidak ada orang yang seperti kaisar atau Jenderal Shan-Yu, dunia ini akan terasa sepi," tepis Bao Ling, duduk di salah satu akar tebangan batang pinus. "Tawar seperti air di Sungai Yangtze."
"Dalih keesepian tidak boleh dijadikan alasan untuk saling membunuh!" Fa Mulan mengerutkan wajahnya seperti kurang senang dengan alasan Bao Ling. "Tidak ada kedamaian. Hanya diisi dengan perang dan perang!"
"Mungkin itulah seninya hidup."
"Itu asumsi. Padahal, di luar dari pertumpahan darah, banyak hal yang dapat memperindah hidup. Banyak hal yang dapat mengusir sepi yang menjadi asumsimu tadi."
"Saya tidak paham, Asisten Fa. Saya hanya belajar dari fenomena alam. Seperti siklus hidup. Sesuatu yang radiah untuk mempertahankan hidup. Merupakan rantai karnivora dan herbivora pada hewan misalnya. Bukankah kita juga begitu. Hanya seorang prajurit. Digembleng, latihan, dan berperang. Kalau tidak ada perang, apa gunanya kita sebagai prajurit?!"
"Tapi, manusia dibekali dengan akal!" Fa Mulan membantah. "Agar kita dapat memilah mana jalan yang baik, dan mana yang salah. Seperti manusia, hewan pun begitu. Hewan dibekali dengan insting. Mereka diberi naluri untuk mengendus, mana jalur terbaik memperoleh makanan dan tempat yang cocok untuk berkoloni sebagai eksistensi kehidupan."
"Tapi...."
"Bao Ling, eksistensi kehidupan itu tidak sesederhana apa yang kamu bayangkan."
"Maksud Asisten Fa?!"
"Denyut nadi dunia tidak hanya terletak pada bagaimana makhluk hidup itu berkembang biak dan mempertahankan hidup. Tapi lebih dari itu, bagaimana kehidupan makhluk hidup itu dapat berselaras dengan alam. Sehingga akan terbentuk keharmonisan. Seperti Tao Te Cing."
"Saya tidak menyangka Asisten Fa dapat memahami filsuf Tao."
"Sewaktu di kampung, saya diajari banyak hal oleh Guru Fang Wong."
"Fang Wong?!"
Fa Mulan mengangguk. "Selain wushu Taichi Chuan, beliau juga mengajarkan saya banyak filsafat indah Tao. Tentang harmonisasi dan inharmonisasi hidup kita dengan alam."
"Hebat!" Bao Ling berdecak kagum. "Pantas Taichi Chuan begitu dahsyat. Padahal, hanya mengandalkan tenaga lawan sendiri sebagai senjata kita."
"Tentu. Karena sesungguhnya alam telah memberi kita beragam arteri. Inharmonisasi tentu akan mengacaukan siklus. Sehingga terjadi disfungsi yang mereduksi diri sendiri," papar Fa Mulan, mereplikasi kalimat bijak yang pernah didengarnya dari gurunya, Fang Wong, semasa kecilnya di kampung dulu. "Kamu pernah mendengar tentang pendekar Auw Yang Pei San?"
Bao Ling mengangguk. "Pendekar Telapak Penghancur Tengkorak, pendekar batil dari Pulau Bunga!"
"Betul. Dia merupakan contoh nyata tentang inharmonisasi, absurditas negatif yang mencelakakan dirinya sendiri."
"Bukankah dia sudah meninggal, Asisten Fa?"
"Meninggal termakan oleh ketamakan dirinya sendiri. Sesungguhnya, Auw Yang Pei San adalah pendekar hebat. Sayang dia sangat ambisius untuk dapat mengalahkan semua pendekar yang ada di dunia ini. Dia mempelajari semua ilmu silat. Apa saja. Tanpa memilah-milah ilmu silat tersebut. Tanpa menyeleksi dari golongan dan kalangan apa ilmu silat itu berasal, hitam atau putih."
"Pantas...."
"Suatu hari dia mencuri Kitab Aurora ciptaan Chie Pek Tong ketika pendekar tua itu sedang bertapa. Auw Yang Pei San mengaplikasikan ilmu silat Aurora yang, sebenarnya belum rampung ditulis oleh Pendekar Kekanak-Kanakan terebut. Karena terjadi disinteraksi antara ilmu Aurora tersebut dengan karotis dan serabut kelabu di otaknya, maka dia pun mengalami paranoia. Setahun kemudian dia meninggal karena pecahnya pembuluh darah di kepalanya," papar Fa Mulan berpanjang-lebar. "Itulah kompensasi inharmonisasi dengan alam."
Bao Ling mengangguk mafhum.
Sewaktu masih berstatus pelajar, ia memang banyak mempelajari filsafat dari filosofi besar Konfusius dan Lao Tzu. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memperkaya Tionggoan dengan khazanah budaya. Pemikiran mereka selaras dalam damai, jauh dari pikuk pertumpahan darah yang bermuasal dari ambiguitas ambisi.
Dan apa yang telah didengarnya dari Fa Mulan telah mengsingularis sebuah pemahaman tentang kuintesens alam di benaknya. Satu hal yang belum disadarinya betul. Satu hal yang belum tentu dapat diperolehnya dari serangkaian hari yang dilaluinya di bangku perguruan.
Gemintang masih membenderang.
Titik-titik yang memutih keperakan itu bagai pusar quasar yang menghitung peradaban manusia. Tanah tua yang ringkih dan lelah bernama bumi itu pasti jenuh menyaksikan pembantaian anak-anak manusia yang memijaki dan membasuhnya dengan kucuran darah seolah tanpa henti.
Fa Mulan masih mengarca. Masih pula menghangatkan sepasang tangannya yang jenjang pada bara abnus. Bao Ling mengisi benaknya dengan kalimat subtil. Mungkin semacam sangu untuk kearifannya kelak.
"Asisten Fa, menurut Anda, apakah Kaisar Yuan Ren Zhan bijak atau tidak?" Bao Ling bertanya, memecah kebisuan. Suaranya ditelan kesunyian malam.
"Menurutmu bagaimana?" Fa Mulan balik bertanya, mencoba menambah bara unggun yang mulai meredup dengan kayu bakar baru.
"Yang jelas, Kaisar Yuan Ren Zhan tidak sebengis ayahnya!"
"Perubahan ke arah yang lebih baik, itu kemajuan. Meski hanya sebuah langkah kecil, tapi itu merupakan kemajuan besar bagi terciptanya kedamaian di Tionggoan ini."
"Tapi, musuh-musuh seperti terus-menerus merongrongnya. Saya khawatir hal itu membuat Kaisar Yuan Ren Zhan menjadi bengis seperti ayahnya, Kaisar Yuan Ren Xing."
"Tergantung bagaimana Kaisar Yuan Ren Zhan menyikapi semuanya itu."
"Maksud Asisten Fa?!"
"Musuh selalu ada. Kebatilan dan kebajikan senantiasa seiring di dunia ini. Musuh adalah iblis yang selalu bersemayam di benak dan pikiran kita. Kalau kita menuruti hawa nafsu, maka musuh akan bertambah kuat. Jadi genosida atas musuh atau lawan kita sama juga menjadikan kita musuh di mata musuh. Balas dendam akhirnya seperti tanpa batas."
"Jadi menurut Asisten Fa, harus bagaimana kita menyikapi musuh-musuh kita?"
"Fenomena alam telah mengajarkan kepada kita, bahkan jauh sejak belum terbentuknya kehidupan di bumi ini."
"Apa itu, Asisten Fa?"
"Air."
"Air?"
"Ya. Air merupakan contoh nyata tentang kekuatan yang mahadahsyat. Air dapat mengikis karang. Tapi air merendah. Bahkan air menghidupi semua makhluk hidup tanpa pandang bulu."
"Saya sama sekali tidak dapat menduga kalau Asisten Fa dapat sedetil itu menghayati fenomena alam."
"Saya hanya mereplikasi fenomena alam tersebut."
"Tapi hal itu sudah membawa banyak manfaat besar dalam kehidupan Anda, Asisten Fa."
Fa Mulan mengangguk. "Manusia berhati luhur, rendah hati, dan tidak sombong merupakan personifikasi air. Setiap orang dapat mengejawantah serupa air. Sebab, setiap manusia membawa benih-benih dan nilai-nilai kebajikan pada saat terlahir. Begitu pula sebaliknya. Semuanya itu terkandung di dalam setiap nurani manusia."
"Apakah Kaisar Yuan Ren Zhan dapat mengaplikasikan sifat alamiah air itu, Asisten Fa?"
"Kenapa tidak? Kaisar Yuan Ren Zhan memiliki potensi itu. Jauh lebih besar ketimbang rakyat jelata."
"Saya belum terlalu paham, Asisten Fa."
"Dengan autokrasi yang dimilikinya, Kaisar Yuan Ren Zhan dapat mengejawantahkan kebajikan seluas-luasnya. Mula-mula mungkin di lingkungan keluarga dan Istana. Kemudian berkembang ke lingkup yang lebih luas, rakyat dan negara."
"Tapi, sejauh ini saya jarang mendapati ada tokoh kaisar semacam itu dalam lektur filsuf manapun, Asisten Fa. Kebanyakan kaisar di Tionggoan merupakan figur-figur tiran dan lalim."
Fa Mulan mengangguk. "Benar. Mayoritas kaisar yang berkuasa di Tionggoan memang seperti yang kamu katakan tadi."
"Kenapa, Asisten Fa?" tanya Bao Ling penasaran.
Fa Mulan menjawab dengan memantominkan kalimatnya. Kedua tangannya terangkat memperagakan maksud yang hendak disampaikan dengan jelas kepada Bao Ling.
"Karena mereka telah terikat oleh benang merah masa lalu. Masa lalu yang melilit mereka dalam angkara. Maka, yang terjadi adalah penggulingan kekuasaan dan kudeta dari waktu ke waktu!"
Bao Ling manggut-manggut. "Saya harap hal miris tersebut tidak terjadi terhadap Kaisar Yuan Ren Zhan!"
"Tentu. Supaya ada kemajuan dalam langkah peradaban!" tukas Fa Mulan tegas.
Bao Ling kembali mengangguk.
Ada intensitas rasio yang menerang dalam benaknya seperti pancaran gemintang dari hasil nova. Setapak kecil langkah bijak manusia, merupakan langkah besar peradaban dunia. Pulsar subtil itu sampai ke dasar hatinya. Membentuk sebait arif pemahaman.
"Malam ini saya mendapat satu pengalaman batin yang sangat berharga melalui Asisten Fa," aku Bao Ling jujur.
Fa Mulan tersenyum. "Kamu banyak membaca lektur Konfusius, bukan?"
Bao Ling mengangguk. "Sering, Asisten Fa."
"Nah, kalau begitu kamu pasti akan memahami apa yang telah saya katakan," ujar Fa Mulan.
"Terima kasih, Asisten Fa. Sungguh, saya sama sekali tidak menyangka Asisten Fa dapat seserba bisa seperti ini."
"Maksudmu...."
"Maksud saya, Fa Mulan adalah seorang gadis yang luar biasa."
Fa Mulan terbahak. "Semuanya hanya replikasi. Saya hanya menyampaikan apa yang telah saya dengar dan baca. Selebihnya, tidak ada. Jadi, tidak ada yang patut dibanggakan pada diri saya."
"Anda terlalu merendah, Asisten Fa!"
"Itulah sifat air!"
Fa Mulan kembali terbahak.
Bao Ling turut melepaskan tawanya mengiramai tawa gadis atasannya itu.
Di balik celah daun tenda, sepasang mata menatap dengan rupa ganjil.


Shang Weng
Elegi Suatu Malam

***

"Kapten Shang...."
Pemuda itu menepis secawan teh yang telah diseduhkan Fa Mulan untuknya. Cawan yang masih mengepulkan asap panas itu terpelanting. Pecah di tanah. Gadis itu terkesiap. Wajahnya memerah. Nila tingkah pemuda itu menghadirkan gulana. Kerongkongannya mengerontang. Ia serasa di tubir curam.
"Kapten Shang, apa luka Anda menyeri?"
"Saya tidak perlu dibelaskasihani!"
Fa Mulan lunglai. Terduduk lemas di bangku. Secawan teh dan kenangan raib oleh sekibas tindak sarkastis. Sesaat ia mengharap ini mimpi. Tetapi ia memang tidak tengah bermimpi. Pemuda itu Shang Weng. Memang Shang Weng yang sesaat tadi telah berubah menjadi sosok lain. Secarik tabula rasa telah ternoktah. Pemuda itu asing di matanya!
"Ada apa sebenarnya, Kapten Shang?!" tanyanya menggugat setelah tidak berhasil membendung amarah. "Apa saya telah melakukan sebuah kesalahan besar sehingga secawan teh ini pun menjadi sasaran amukan tanpa dalih?!"
"Tidak ada yang perlu dijelaskan," sahut Shang Weng, duduk memunggungi Fa Mulan yang berdiri dengan rupa galau. "Keluarlah!"
"Saya perlu penjelasan Kapten Shang sebelum angkat kaki dari sini!" tantang Fa Mulan dengan suara bergetar samar. Deferensnya menguap. Ia tidak peduli kini tengah berhadapan dengan siapa.
"Penjelasan apa?!"
"Penjelasan tentang kenapa Kapten Shang bertindak vulgar begitu!"
"Ini perintah atasan," Shang Weng menghardik. "Mau keluar atau tidak?!"
"Dipenggal pun saya tidak akan keluar sebelum Kapten Shang bersikap satria mengatakan ada apa sebenarnya!" Fa Mulan melototkan mata. Ia tidak ingin ditekan tanpa salah.
"Kamu sudah tahu jawabannya saat di luar berduaan dengan Bao Ling tadi!" Shang Weng mengarahkan telunjuknya ke daun tenda simultan dengan teriakannya yang tenor. "Apa perlu saya jelaskan lagi!"
Fa Mulan terundur setindak ke belakang. Perutnya mual. Tiba-tiba ia ingin tertawa sekaligus menangis. Ia benci melihat wajah tampan itu! Ia benci melihat seringainya yang bacar! Ia benci mendengar jeritannya yang ideofon!
Ia benci semuanya!
"Saya sudah mengerti!"
"Saya tidak suka kamu bergaul dengan Bao Ling!"
"Atas dasar apa Kapten Shang melarang saya bergaul dengan Bao Ling?!"
"Saya mencintai kamu!"
Fa Mulan mengibaskan tangannya.
Kalimat barusan hanyalah sebentuk pluralistis pokta yang tidak ingin didengarnya saat ini! Sebab segenap simpatinya sudah runtuh hanya oleh satu perkara. Seorang satria dan romantika cengeng!
Hah, sebuah perpaduan ironi!
"Mau ke mana?!" Shang Weng menarik lengan gadis yang sudah melangkah dua tindak setelah kibasan tangannya menguncup.
"Saya malas membahas masalah pribadi," jawab Fa Mulan apatis. "Maaf, saya ingin istirahat di dalam tenda saya!"
"Tunggu. Bukan maksud saya...."
"Tidak ada yang perlu Kapten Shang jelaskan lagi. Saya tidak marah. Saya hanya kecewa terhadap sikap Kapten Shang yang kekanak-kanakan begitu!"
"Saya menyesal. Tapi semua yang saya lakukan tadi karena saya mencintai kamu. Saya tidak ingin ada orang lain yang merebut hati kamu!"
"Maaf, Kapten Shang. Jangan memusingkan saya dengan hal-hal cengeng begitu!"
Shang Weng tergeragap. Kalimat Fa Mulan menohok hatinya. Ia terkapar tidak berdaya oleh kekuatan cinta. Sesuatu yang lebih menyakitkan dari tombak musuh yang menghunus dada kirinya satu setengah bulan lalu!
Hatinya tercacah!
"Ka-kamu mencintai Bao Ling?!" desak Shang Weng, memegang erat bahu Fa Mulan, dan mengguncang-guncangkannya perlahan. "Kamu mencintai dia, bukan?!"
Fa Mulan menatap nanar sepasang mata yang berkaca-kaca itu.
Tiba-tiba ia merasa muak dengan romantisme babur tersebut. Ia ingin menyudahi semuanya. Sebab kenangan tentang sosok satria dan pertempurannya yang heroik di Tung Shao mendadak melenyap bagai kemarau semusim diguyur hujan sehari!
Dan ia akhirnya mengangguk dengan sebilur luka yang langsung menganga di hatinya!
"Ja-jadi...."
"Tolong hargai hak saya untuk tidak ingin diganggu, Kapten Shang!"
"Tapi...."
"Negara Yuan lebih membutuhkan perhatian kita. Rasanya belum pantas kita mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan negara!"
"Mulan...."
"Maaf, Kapten Shang," Fa Mulan mengentakkan bahunya. Sepasang tangan kekar Shang Weng terkulai. "Selamat malam!"
Fa Mulan melangkah.
Shang Weng mengekorinya dengan mata. Ia tidak tahu harus bertindak apa. Gadis itu melebihi seribu musuh yang pernah ditaklukkannya. Digigitnya bibir. Tungkainya melemas. Ia terjatuh di tanah dengan sepasang lutut yang menopang tubuh.
Cinta Fa Mulan yang sakral telah mengalahkannya.
Ia tersungkur tak berdaya.
Sepasang mata elangnya membasah!


Bao Ling

Prajurit Jelmaan Para Dewa

***

Tubuhnya seperti mengambang. Terbang tinggi. Berhenti pada suatu tempat nan gulita. Lalu ada cahaya yang menerobos cepat seperti lesatan anak panah. Benderang di sekelilingnya. Sesaat ia termangu, tidak tahu tengah berada di mana. Ada mayat-mayat yang bergelimpangan. Darah berceceran di mana-mana.
"Yang Mulia...." Ada suara yang menyapanya lunak. Suara yang diakrabinya semasa kanak-kanak dulu.
"An-Anda si-siapa?!" tanyanya dengan suara menggamang.
"Saya penasehat Fang Tui, Yang Mulia."
Ia teringat kisah silam masa kecilnya. Orang tua berjanggut putih itu selalu menemaninya bermain-main di taman Istana, mengejar kupu-kupu dan memetik daun yang-liu
"Maafkan saya, Yang Mulia. Maksud kedatangan saya adalah untuk memberitahukan kepada Yang Mulia agar waspada terhadap musuh-musuh di perbatasan. Terutama kaum nomad Mongol.
"Apa?!"
"Suku nomad itu menggunakan kuda-kuda sebagai prajurit, dan sekawanan nasar sebagai kutukan Dewata dari langit!"
"Lalu, saya harus mengambil tindakan apa?!"
"Anda harus memiliki sepasang pedang kembar nova."
"Sepasang pedang kembar nova?!"
"Ya. Sebelum mereka menghancurkan Kekaisaran Yuan!"
"Di mana saya harus mencari pedang-pedang tersebut?!"
"Ada di sekitar Anda, Yang Mulia."
"Di sekitar saya?"
"Ya. Sepasang pedang kembar nova merupakan pedang Dewata. Bilah pedangnya dibuat dari gemintang hasil ledakan besar di langit, supernova. Satu kalpa yang lalu, sepasang pedang kembar itu telah melanglang dalam samsara. Sepasang pedang kembar nova itu telah ditakdirkan untuk menyatu melawan kebatilan. Anda harus menemukannya, Yang Mulia!"
"Tapi...."
"Maaf, Yang Mulia. Saya tidak dapat berlama-lama di sini. Saya harus kembali...."
"Penasehat Fang Tui!"
Kaisar Yuan Ren Zhan terjaga. Dahinya memeluh. Napasnya masih menyengal. Ia telah bermimpi buruk.
"Ada apa, Yang Mulia?!" Permaisuri Niang Xie Erl terbangun. Dahinya mengerut. Ia duduk dari berbaring. "Apa Yang Mulia sakit?!"
Kaisar Yuan Ren Zhan menggeleng.
Temaram di sekeliling. Tidak ada mayat-mayat bergelimpangan. Tidak ada darah yang berceceran. Tidak ada mendiang penasehat tua Fang Tui di hadapannya. Tidak ada sekawanan kuda Mongol yang menerjang Tembok Besar. Tidak ada sekawanan burung nasar yang menghitami langit.
Sepasang pedang kembar nova?! batinnya.
"Saya panggilkan tabib untuk memeriksa Yang Mulia!"
"Tidak usah," Kaisar Yuan Ren Zhan menyergah. "Saya tidak sakit!"
"Tapi...."
"Saya hanya bermimpi buruk. Tapi...."
"Kenapa, Yang Mulia?!"
"Saya melihat Fang Tui, mantan penasehat Ayahanda dulu. Dia bilang, Tionggoan dalam bahaya besar!"
"Yang Mulia jangan risau. Apa yang Yang Mulia mimpikan barusan hanyalah bunga tidur. Yang Mulia kelelahan sehingga bermimpi buruk."
"Tapi, itu mungkin isyarat kalau Tionggoan memang dalam bahaya besar!"
"Yang Mulia jangan khawatir. Untuk urusan keamanan negara, Yang Mulia delegasikan saja kepada para atase militer. Mereka pasti sudah tahu tanggung jawab masing-masing."
"Ah, saya tidak menyangka akan terus dirongrong oleh musuh-musuh di perbatasan. Setelah lepas dari serbuan pasukan pemberontak Han, kini diganggu lagi oleh Genghis Khan!"
"Yang Mulia...."
"Erl, sebelum pesta barongsai diadakan, saya akan menghancurkan barbarian Mongol di perbatasan!"
"Tapi...."
"Besok saya akan menyuruh Jenderal Gau memutasikan Shang Weng dan Fa Mulan ke daerah selatan perbatasan Tembok Besar!"
"Yang Mulia...."
"Supaya hidup saya bisa tenang!"
Kaisar Yuan Ren Zhan menengadah ke arah jendela dengan daun pintu yang sengaja dipentangkannya untuk berangin-angin. Bulan sabit masih menyampir di layar langit. Beberapa gemintang menggelayut di sampingnya.
Sepasang pedang kembar nova?! batinnya kembali.
Ia menggeleng galau.
Ah, rencana apa lagi yang hendak dijatuhkan Dewata kepadanya!


Fa Mulan

Refleksi Tinju Hong Terbang

***

"Siapa itu?!"
Fa Mulan melompat dari salah satu binara Tembok besar.
Sesaat ia seperti kelelawar di rimba malam, mengepak dan terbang sebelum tiba di tanah. Dikejarnya sesosok berpakaian hitam-hitam yang sedari tadi menyender di dinding Tembok Besar. Matanya jeli menangkap orang yang mencurigakan tadi.
Pasti salah seorang jasus musuh! pikirnya.
Sosok hitam-hitam itu melesat. Menapaki udara dengan gingkang. Menjauhi Fa Mulan yang masih gesit mengejarnya, juga dengan menggunakan gingkang seringan kapuk.
"Berhenti!"
Fa Mulan menendang dinding Tembok Besar, memantul dan salto, lalu berhenti di depan sosok berpakaian hitam-hitam itu setelah melangkahinya sedepa dari atas udara tadi. Sosok berbadan sedang itu menghentikan langkahnya. Fa Mulan berkacak pinggang di hadapannya. Menahan lajunya yang secepat kijang.
"Mohon jangan menyulitkan saya, Nona!" ancam sosok bersuara bariton itu, melepas kedok hitamnya. "Tentu saja kalau Anda tidak ingin mendapat masalah!"
Fa Mulan menatap mawas.
Wajah lelaki itu menyembul purna. Sepasang mata bundar dan kulitnya yang secoklat jati itu telah menyimpulkan kalau ia bukan berasal dari suku-suku bangsa yang ada di Tionggoan.
"Saya tidak akan menyulitkan Anda bila menjelaskan apa tujuan Anda ke perbatasan Tembok Besar ini!" jawab Fa Mulan dengan sikap bersiaga, masih menentang lelaki berwajah aristokrat tersebut.
"Ini urusan dalam negeri kami, Nona! Saya kira tidak etis apabila Nona mencampuri urusan kami!"
"Tentu saja saya akan ikut campur bila Anda mengganggu stabilitas di wilayah kekuasaan kami!"
"Maaf kalau begitu," sahut lelaki berkostum lotong itu, sedikit membungkuk dengan tangan kanan menyampir punggung bawah, mengisyaratkan hormat. "Saya tidak akan segan-segan lagi terhadap Nona!"
Lelaki itu merangsek maju, mengarahkan telapak tangannya ke arah wajah Fa Mulan. Fa Mulan mengelak, menggoyangkan kepalanya ke kanan bersamaan dengan satu tangkisan tangan kirinya yang membentur keras tinju telapak lelaki itu. Lelaki bertubuh sedang itu melayangkan satu tendangan keras, mencangkul dari arah kiri ke kanan. Namun Fa Mulan sudah mengantisipasi, kembali mengelak dengan gerakan salto satu langkah sehingga tendangan keras itu hanya menerpa angin.
Pertarungan masih berlangsung sengit dan seimbang.
Lelaki itu mengeluarkan jurus asing, gerakan tangannya bergerak diagonal, memutar beberapa saat sebelum jurus tersebut mengokoh dengan kaki membentuk kuda-kuda, seperti menghimpun tenaga dari dalam perut dan menyalurkan tenaga ke dalam kedua tangannya yang berotot. Dalam hitungan sepuluh detak jantung, tiba-tiba lelaki itu mengentakkan sepasang telapaknya ke arah Fa Mulan.
Fa Mulan terdorong tiga tindak ke belakang.
Ia terempas oleh embusan angin tenaga dalam lelaki itu, sebelum akhirnya tubuhnya berhenti dan refleks berdiri stabil dengan jurus Menara Burung Hong-nya, salah satu gerakan dinamis dari jurus Tinju Hong Terbang ciptaannya. Satu kakinya membentuk tongkat galah menahan limbung tubuhnya, seperti cakar burung hong yang mencengkeram erat tanah. Telapak kakinya membekas di tanah. Satu bukti bagaimana kuatnya tenaga dalam lelaki asing itu yang mendorong tubuhnya sehingga bergeser sejauh lima kaki.
Menyadari dirinya terdesak, Fa Mulan pun mengeluarkan jurus andalannya. Tinju Bunga Matahari siap meladeni jurus asing lelaki itu. Tinju Bunga Matahari yang luwes tetapi bertenaga itu memang sepadan untuk melawan tinju-tinju keras semacam itu. Selain karena memiliki serangkaian elastisitas gerakan-gerakan bunga, Tinju Bunga Matahari juga mengandalkan telapak tangan sebagai penumbuk dan penangkis.
Lelaki berkucir sebahu digelung dengan tali ekor rubah itu melemparkan badannya ke udara. Ia bergulung-gulung seperti puting-beliung, menukik tajam horizontal pada tubuh Fa Mulan dengan sepasang kepalan tangan yang mengarah ke bagian kepala. Namun secepat kilat Fa Mulan mengembangkan kakinya, menyelonjorkan punggung betis dan pahanya ke tanah dengan gemulai, otomatis merunduk dari terkaman lawan. Lelaki itu hanya menghalau angin. Sasarannya hampa. Dan ia nyaris terpelanting karena gasingan keras tubuhnya sendiri.
Fa Mulan berdiri dengan gemulai setelah berhasil menghindari serangan dahsyat lawan. Sepasang kakinya menguncup ke atas serupa dua bilah dahan yang-liu yang bergeletar tertiup angin. Matanya mawas mengekori tubuh lelaki itu yang sudah sampai di tanah, dan berdiri seimbang dengan sikap kuda-kuda.
Fa Mulan mengambil inisiatif untuk menyerang. Diangkatnya sebelah kakinya mencangkung di depan dada serupa kaki belalang, siap mematuk seperti bangau dengan kelepak bentangan sayap tangannya. Tidak lama kemudian, tanpa disangka-sangka lelaki itu kembali mengibas-ibaskan tubuhnya saat Fa Mulan baru saja hendak menyerang. Kali ini ia berputar lebih hebat seolah golok yang sedang mencacah angin.
Fa Mulan meluruskan lengkungan kakinya, menyepak cepat. Namun tendangannya meleset. Hanya terdengar derau embusan. Gelungan kucir lelaki itu terlepas karena sambaran tendangan Fa Mulan yang sangat keras. Rambut lelaki itu terburai.
Sementara itu terdengar suara riuh dari kejauhan. Puluhan prajurit Yuan datang menyerbu, langsung dipimpin oleh Shang Weng dari salah satu binara penjagaan di Tembok Besar. Lelaki itu terkesiap. Mengendurkan otot-ototnya. Ia mengatupkan sepasang tangannya ke depan.
"Maafkan saya, Nona!" sahutnya. "Saya sudah menyusahkan Anda."
"Anda siapa?!" tanya Fa Mulan penasaran.
"Saya Kao Ching dari Mongolia. Sebenarnya bukan maksud saya untuk memata-matai kubu Yuan di perbatasan Tembok Besar ini. Tapi, saya hanya ingin tahu seberapa banyak pasukan ayah saya di sini!"
"Pasukan ayah Anda?!"
"Pemimpin Agung Genghis Khan!"
"Jadi...."
"Saya datang kemari justru bermaksud untuk menghalau mereka kembali ke barak. Saya tidak setuju dengan perang. Perang sudah banyak menyengsarakan rakyat Mongol. Saya yakin, Anda pun pasti sepaham dengan saya, bukan?!"
Fa Mulan terlongong.
Ia mematung sampai prajurit Yuan pimpinan Shang Weng sudah berada lima belas depa darinya. Lelaki yang bernama Kao Ching itu menabik sebelum ratusan prajurit Yuan sampai di tempatnya berdiri.
"Kungfu Anda hebat, Nona!" teriaknya, lalu melesat cepat seperti terbang. Ia menghilang di rimba malam bersamaan dengan melamurnya teriakan pertanyaannya. "Hei, nama Anda siapa, Nona?!"
Fa Mulan masih membeku di tempatnya berdiri. Tetapi spontan tanpa sadar ia menjawabi pertanyaan pemuda aneh yang sesaat barusan bertarung dengannya.
"Saya Fa Mulan, Asisten Kapten di Kamp Utara Yuan!"
Lalu semuanya menghilang begitu saja. Hanya malam yang memekat dalam birama sunyi bertabuh ratusan derap sepatu para prajurit Yuan, serta teriakan-teriakan bising dari kerongkongan mereka yang serupa racau. Lelaki Mongol itu sudah menghilang tak terkejar.
Fa Mulan masih terlamun.
Sungguh. Ia sungguh-sungguh terkesima. Pemuda Mongol itu merupakan musuh aneh yang seumur hidup baru ditemuinya!
Dan ia baru terjaga dari lamunan ketika matanya membentur sebuah belati bersarung emas di tanah. Milik musuh aneh itu. Gegas tangannya memunguti belati yang tercecer itu. Dibantu penerangan lamur bulan yang menggantung di langit, ia dapat menangkap sebaris huruf kanji tergraver di sarung belati tersebut.
Fa Mulan menyipitkan mata.
Diejanya tulisan itu. Harafiahnya, 'Rajawali Satu'. Dimasukkannya belati bersarung emas itu ke dalam ikat pinggangnya tepat ketika Shang Weng berdiri di hadapannya.
"Kamu tidak apa-apa, Mulan?!" Shang Weng bertanya dengan rupa cemas.
Fa Mulan menggeleng.
Sementara itu ratusan prajurit Yuan memencar mencari sosok yang bertarung dengan atasannya barusan.


Kao Ching
Elegi Rajawali

***

"Suku Mongol merupakan paradigma. Ribuan tahun mereka hidup menomad. Mereka mampu mengatasi kerasnya alam utara yang tidak ramah. Mereka membentuk koloni yang luar biasa di tanah tandus gurun. Tapi usaha agresi yang dilakukan Baba tidak dapat ditolerir sebagai pembenaran agar rakyat Mongol dapat memiliki tanah tetap untuk ditinggali!"
"Apa yang dilakukan oleh Pemimpin Agung Genghis Khan merupakan cita-cita rakyat Mongol, Pendekar Kao!"
"Jangan mengatasnamakan rakyat sebagai kolektivitas suara untuk mewujudkan ambisi pribadi!"
Kao Ching mengibaskan tangannya. Tidak lagi bersikap santun di hadapan jenderal kepercayaan ayah angkatnya itu. Kali ini ia sudah tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Mereka semua memang sudah dibahang ambisi.
"Tapi...."
Jenderal Thamu Khan sedikit terkejut atasi sikap sarkastis Kao Ching barusan. Namun ia masih berusaha tersenyum. Tidak larut dalam arus kemarahan. Bagaimanapun, ia sudah menang selangkah!
"Maaf atas kelancangan saya, Jenderal Thamu Khan. Bukan saya mendiskreditkan Baba dalam hal ini. Tapi, apa yang Baba lakukan akan menghimpun dendam pada rakyat Tionggoan!"
"Kekuatan armada perang kita sekarang tak terbandingi, Pendekar Kao! Inilah saat yang tepat untuk kembali mendapatkan hak kita. Inilah yang menjadi senjata pamungkas kita untuk merebut tanah Tionggoan! Dan sampai saat ini masih menjadi rahasia di kalangan militer kita, terlebih-lebih militer Tionggoan! Tak satu pun negara yang dapat menyangka kekuatan terselubung Mongol!"
"Justru itulah yang saya takutkan, Jenderal Thamu Khan! Bahwa, dengan kapabilitas lebih yang kita miliki membuat Baba jadi pongah dan jumawa!"
"Sudah ribuan tahun rakyat Mongol tak bertempat tinggal tetap!"
"Dalih itu tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan pemampasan. Perang akan menghancurkan kedua belah pihak!"
"Tapi kalau bukan sekarang, kapan lagi rakyat Mongol dapat hidup menetap dan tenang pada sebuah daerah?"
"Rakyat Mongol tidak pernah mengeluh, dan itu sudah berlangsung ribuan tahun. Kalau kepentingan pribadi sudah merecoki iklim politik Mongol, maka yang terjadi adalah kekisruhan. Perang dan perang!"
"Tapi...."
"Saya ini Mongol meski ibu Han, Jenderal Thamu Khan! Dan seperti rakyat Mongol umumnya, tidak ada yang suka perang! Semua penduduk Mongolia sudah hidup tenang di alam gurun yang keras, beradaptasi sejak turun-temurun. Itu stigma yang sudah mereka mafhumi sejak lama. Jadi, alasan atas nama rakyat Mongol itu hanya absolutisme Baba dan petinggi militer lainnya!"
"Mungkin...."
"Saya mohon Jenderal Thamu Khan mengurungkan niat untuk menyerang Tionggoan. Pikirkan matang-matang dampak negatif dari invasi itu. Saya sengaja datang kemari karena saya pikir Andalah orang terdekat dan kepercayaan Baba. Tolong pertimbangkan kembali keputusan untuk menyerang Tionggoan!"
"Keputusan untuk menyerang Tionggoan sudah bulat, Pendekar Kao. Dan hal itu juga merupakan harapan Pemimpin Agung Genghis Khan sejak dulu. Beliau gusar dan geram melihat tingkah suku-suku bangsa lain yang hidup makmur, dan berbuat semena-mena terhadap suku bangsa Mongol ratusan tahun lalu."
"Histori ratusan tahun lalu?! Maaf, Jenderal Thamu Khan! Betapa piciknya kita kalau mengungkit-ungkit kejadian silam, lalu diaplikasikan ke dalam bentuk revans. Hah, dendam?! Seberapa besar dendam masa lalu itu sehingga mampu merusak hati dan pikiran kita?!"
"Tapi...."
"Sampai kapan dendam itu akan bersemayam di hati mereka?!"
"Pendekar Kao ...."
"Dendam tidak pernah akan ada habis-habisnya!"
"Tapi...."
"Apa bedanya dengan mereka para korban pampasan nanti?! Mereka juga akan mendendam. Lantas, suatu saat bila ada kesempatan untuk revans, mereka akan balik menyerang Mongolia!"
"Anda masih terlalu hijau, Pendekar Kao!"
"Mungkin. Mungkin saya terlalu muda untuk mendalami pikiran Anda semua, para tetua. Mungkin saya masih belum banyak mengecap asam garam seperti Anda semua. Tapi paling tidak saya memiliki nurani dibandingkan dengan Anda semua yang merasa jauh lebih arif dan tua daripada saya! Saya bisa merasakan bagaimana destruktifnya perang itu!"
Kao Ching meninggalkan tenda atase militer Mongol. Ia keluar dengan langkah gontai. Tidak ada satu pun jenderal yang mendengarkan permohonannya. Terlebih-lebih ayah angkatnya, Genghis Khan!
Mungkin besok atau lusa, perang akan meletus di perbatasan Tionggoan-Mongolia. Ia tak punya daya apa-apa untuk dapat menghalau maharana yang bakal memakan banyak korban tersebut. Perang memang majas yang menakutkan sepanjang zaman.
Ia gamang.


Bao Ling
Angin Membawa Berkah

***

"Rajawali Satu?"
Bao Ling mengernyitkan dahinya. Memandang belati bersarung emas itu dengan beragam versi kalimat di benaknya. Entah sudah berapa kali dibolak-baliknya belati bermata tajam itu. Sebilah belati baja berwarna keperakan dengan vinyet sehalus sutra pada sarung emasnya selain huruf kanji berharafiah 'Rajawali Satu'.
"Rajawali Satu. Pasti julukan dalam kemiliteran. Orang Mongol biasanya menggunakan nama-nama julukan sejak lahir," timpal Fa Mulan, mengambil kembali belati berukir huruf kanji itu dari tangan Bao Ling.
"Betul. Temujin memiliki julukan Si Raja Gurun, Genghis Khan. Beberapa petinggi militer mereka juga memiliki nama-nama unik. Biasanya diambil dari nama bebatuan berharga semacam ruby. Jadi...."
"Jadi, Si Kao Ching itu pun...."
Bao Ling terlonjak, nyaris terlompat keluar dari dinding bahu Tembok Besar tanpa sadar. "Kao Ching?!"
Fa Mulan mengernyitkan dahi. "Ya. Memangnya kenapa?"
"Kao Ching merupakan pendekar terkenal di Kiangsu!"
"Pendekar terkenal?!"
"Asisten Fa tidak pernah mendengar kehebatan Kao Ching?"
Fa Mulan menggeleng. "Saya terlalu sibuk...."
Sesaat kedua punggawa handal militer Yuan itu terdiam dengan masing-masing benak dipenuhi beragam tanya. Hanya desau angin yang sesekali memecah kebisuan di antara mereka. Fa Mulan yang masih diliputi kebingungan saat bertarung dengan salah satu jasus Mongol, dan Bao Ling yang masih mengamati lamat belati milik musuh yang bertarung dengan Fa Mulan semalam.
"Si Pendekar Danuh!" desis Bao Ling dengan wajah memias, matanya belum lepas dari graver indah pada sarung belati emas tersebut.
Fa Mulan bertanya, mendadak menegakkan kepalanya seperti kobra. "Si Pendekar Danuh?!"
"Dia adalah simbol danuh, pakar dalam hal memanah," terang Bao Ling bersemangat. "Dia merupakan pendekar peranakan Mongol-Han yang sering mengikuti sayembara memanah, yang diadakan pada pesta-pesta akbar para pangeran dan kaisar-kaisar kecil di istana-istana kecil."
"Apakah...."
"Kao Ching adalah anak angkat dari Temujin, Genghis Khan - Si Raja Gurun Mongol!"
"Pantas dia bilang begitu kemarin...."
"Memangnya...."
"Sebelum kabur dari sini, dia sempat mengemukakan alasan keberadaannya di perbatasan Tembok Besar ini."
"Apa itu, Asisten Fa?"
"Dia bilang kalau kehadirannya di Tembok Besar bukan bermaksud memata-matai pihak Yuan. Malah sebaliknya...."
"Sebaliknya?! Sebaliknya... apa maksudnya, Asisten Fa?!"
"Sebaliknya, dia justru datang memata-matai pasukan Mongol!"
"Aneh!"
"Justru itulah yang membingungkan saya, Bao Ling."
"Padahal...."
"Padahal ayah angkatnya adalah Genghis Khan, salah satu tokoh tertinggi Mongol yang hendak menjatuhkan Dinasti Yuan!"
"Makanya...."
Bao Ling kembali mengernyitkan dahinya. Tak merampungkan kalimatnya, mencoba menghimpun buliran waktu silam dalam kenangan di benaknya. Kao Ching tidak terlalu asing dalam hidupnya. Lelaki peranakan Mongol-Han itu pernah bersamanya dalam sebuah sayembara ketangkasan dan prosa, yang diselenggarakan oleh Pangeran Yuan Ren Qing untuk merayakan hari jadi ketigabelas putri sulungnya, Putri Yuan Ren Xie, di Provinsi Kiangsu lima tahun lalu.
"Saya masih bingung dengan ambivalensi sosoknya, Bao Ling," ujar Fa Mulan, sedikit menelengkan kepalanya dengan rupa bingung.
"Saya ingat!" seru Bao Ling keras, sertamerta menegakkan kepala Fa Mulan yang meneleng tadi. "Saya pernah bersamanya dalam sebuah sayembara ketangkasan di Istana Kiangsu."
Fa Mulan mengalihkan tatapannya dari serumpun ilalang yang meranggas di tepi Tembok Besar. "Kamu mengenalnya?"
"Tahu. Tapi kami tidak akrab. Kami masing-masing hadir sebagai peserta dalam sayembara di hajatan Putri Yuan Ren Xie, anak sulung Pangeran Yuan Ren Qing yang berulang tahun ketiga belas pada saat itu. Dia mengikuti sayembara memanah dan berkuda, sementara saya mengikuti sayembara prosa dan puisi."
"Tapi dia Mongol, bukan?!"
"Betul. Tapi, ibunya Han. Asisten Fa tahu bukan, kalau suku Han dominan berdomisili di daerah-daerah pinggiran dan perbatasan Mongolia. Jadi meskipun dia Mongol, namun Kao Ching sebetulnya juga masih berdarah Tionggoan. Makanya, setelah beranjak dewasa, dia kembali ikut dengan ibunya di Kiangsu. Dari data intelijen, baru beberapa tahun ini dia pindah kembali ke Ulan Bator dan ikut Temujin. Nah, selama berdomisili di Tionggoan itulah dia kerap mengikuti dan memenangi sayembara memanah. Di situlah awal mula dia dijuluki Si Pendekar Danuh."
"Cuma anehnya...."
"Di situlah letak keanehannya, Asisten Fa. Saya sama sekali buta tentang sosok misteriusnya. Kenapa dia malah menentang rencana perang ayah angkatnya!"
"Justru...."
"Justru itulah yang harus kita selidiki, Asisten Fa!"
"Tentu."
"Jangan-jangan...."
"Lebih baik kita selidiki lebih mendetail, Bao Ling. Meraba dengan asumsi malah merunyamkan masalah. Karena ini menyangkut taktik militer. Tentu kita tidak ingin kecolongan lagi, bukan?"
"Tentu, Asisten Fa!" Bao Ling mengangguk tegas. "Atau, apakah pengaruh subtilitas dari ibu kandungnya lebih kuat ketimbang ambisi politik Temujin sehingga dia terpengaruh...."
"Betul!" Fa Mulan sontak menegakkan badannya. Kali ini kalimatnya menyalibi praduga Bao Ling yang terlontar ragu. "Intuisi kebaikan yang terpancar dari seorang perempuan!"
"Maksud Asisten Fa...."
"Perempuan diyakini mewakili suara dari langit, Bao Ling. Perempuan di sini yang saya maksud tentu saja ibu kandung Kao Ching. Dan sebagaimana layaknya perempuan biasa Tionggoan, dia pasti juga tidak menyetujui perbuatan segelintir petinggi militer yang bernama perang tersebut."
"Betul, Asisten Fa," Bao Ling mengangguk akur. "Meski dia dipelihara dan dibesarkan oleh Temujin, tapi dia masih lebih dekat dengan ibu kandungnya. Dia itu lebih Tionggoan ketimbang Mongol!"
"Pantas...."
"Dia tidak menyetujui rencana penyerangan pasukan Mongol ke Tionggoan."
"Mungkin karena ibunya orang Tionggoan."
"Salah satu faktor. Tapi, memang bukan perkara mudah menjelaskan alasannya yang terbilang aneh itu, Asisten Fa."
"Betul. Pasti ada alasan lain."
"Dan sampai kini masih menjadi misteri bagi kita."
"Sungguh aneh!"
"Tapi, apakah itu bukan merupakan taktik Kao Ching agar kita lengah, Asisten Fa?!"
"Maksudmu...."
"Maksud saya, dia pura-pura menentang kehendak Temujin menyerang Tionggoan agar kita mengendurkan pengawasan di perbatasan Tembok Besar ini. Membingungkan kita, dan membuat kita bertanya-tanya perihal kontradiksi yang dilakukan oleh ayah-beranak itu!"
"Jadi...."
"Yah, mungkin saja itu strategi mereka, Asisten Fa."
"Tapi...."
"Kita mesti waspada."
"Tentu. Apa saja bisa menjadi musuh kita. Kawan bisa jadi lawan. Begitu pula sebaliknya. Lawan bisa jadi kawan. Tapi, tentu saja saya berharap Kao Ching merupakan pihak dalam alternatif terakhir itu. Lawan yang menjadi kawan."
Fa Mulan terbahak.
Bao Ling mengirami tawa kecil sahabat seintelektualnya. Satu-satunya gadis langka yang pernah ditemuinya seumur hidup. Perombak segala kultur turun-temurun ribuan tahun di Tionggoan!
"Ya, apa saja bisa terjadi dalam peperangan, Asisten Fa," tutur Bao Ling di ujung tawanya. "Tapi, selama bersamanya di dalam ajang sayembara di Kiangsu beberapa waktu lalu, saya memang tidak pernah melihat sosok Kao Ching yang mengarah jumawi. Maksud saya, dia merupakan pendekar yang tergolong defensif, dan sangat menghindari publisitas yang berkembang dalam dunia persilatan. Dia juga tidak tampak pongah ketika menjuarai sayembara memanah tersebut. Meskipun dia introver, tapi sosoknya cukup bersahaja."
"Semalam saat bertarung dengannya, saya merasa tidak sedang berduel dengan musuh. Saya yakin, dia tidak menggunakan seluruh kemampuannya saat berkelahi kemarin. Justru, pertarungan kami kemarin berawal dari saya sendiri. Sayalah yang memicu pertarungan tersebut. Sayalah yang mendesaknya agar mau membeberkan identitas dirinya sehingga dia terpaksa meladeni saya berkelahi karena menolak."
"Pendekar langka."
"Salah satu pendekar paling unik yang pernah saya tahu."
"Betul, Asisten Fa. Dia seperti perpaduan harmonis alam gurun yang buas dengan keindahan selatan Tionggoan. Ketangkasannya berkuda sembari melesatkan anak panah ke titik sasaran danuh merupakan keterampilan yang tiada tara."
"Hebat!"
"Konon dia juga dapat melesatkan sekali anak panah dengan dua sasaran rajawali di udara kena sekaligus jika sejajar seiringan. "
"Hah?!"
"Makanya, dia dijuluki Si Pendekar Danuh."
"Kalau begitu, saya termasuk orang yang beruntung dapat bertarung dengannya kemarin, Bao Ling."
"Padahal, dia jarang mau bertarung!"
"Oya?"
"Buktinya, dia tidak pernah mau mengikuti sayembara duel yang diselenggarakan sekaligus dengan sayembara memanah dan prosa."
Fa Mulan menikmati semilir angin yang bertiup dari bukit menyusur lembah perbatasan Tembok Besar. Sejenak dibiarkannya pipinya tertampar, enggan mengalihkan kepalanya dari serbuan angin. Gelungan rambutnya yang sebahu bergoyang-goyang, beberapa helai bilah rambutnya yang kecoklatan itu melambai-lambai. Dari kejauhan ia tampak anggun dengan pedang Mushu-nya yang kali ini menyampir di pundaknya.
Diam-diam Shang Weng melihatnya terpesona.
Sejak pertengkaran mereka seminggu lalu, memang ada jarak yang mengantarai mereka. Hubungan mereka tak lagi seakrab dulu. Shang Weng menyesal. Kadang-kadang ia menyadari dirinya memang terlalu kekanak-kanakan, egosentris, serta terlalu mementingkan gengsi dan harga diri.
"Jadi bagaimana dengan belati itu, Asisten Fa?" tanya Bao Ling, melirik belati bersarung emas yang menyampir di ikat pinggang Fa Mulan.
"Kalau berjodoh, belati rajawali ini pasti akan kembali lagi ke tangan Kao Ching."


Bao Ling
Titah Sang Naga

***

"Pasukan Han terpukul mundur, Khan Agung!"
Lelaki berbadan gempal itu berdeham.
Sesaat matanya tak bergerak menatap jenderal ringkih di hadapannya. Selang berikutnya ia kembali asyik membersihkan pedang sabitnya yang sudah lama tak terpakai, menyingkirkan debu yang sudah menyelubung tipis di sekujur sarungnya.
"Khan Agung...."
"Jenderal Thamu, saya percayakan pergerakan militer Mongol selanjutnya kepadamu!"
Satu anggukan membalasi kalimat Genghis Khan.
Lelaki separo baya itu takzim mengakuri. Ia sudah mendapat legitimasi untuk mengambil langkah-langkah cepat menaklukkan Tionggoan. Namun sayang tindakannya untuk menyerang Tionggoan dihalang-halangi oleh Kao Ching, anak angkat Pemimpin Tertinggi Mongolia, Genghis Khan!
"Ada masalah, Jenderal Thamu?"
Seperti bertepuk dua tangan, jenderal bertubuh kurus itu sontak mengangguk. Membungkukkan badan dengan sebilah tangan kanan yang menyampir di punggung bawah, menghormat lazimnya kaum nomad Mongol bertutur laku dalam santun.
"Maaf, Khan Agung. Saya tidak berani mengatakannya!" sahutnya, sebuah usaha basa-basi berefek bola salju. Mendatangkan serangkaian pertanyaan sebagai tawar penasaran.
Genghis Khan menghentikan aktivitasnya.
Diletakkannya senjata kesayangannya itu di atas meja. Menatap sepasang mata balar jenderal tua yang sudah mengabdi kepadanya sejak masih remaja. Seperti domba tua, ia tidak punya kapabilitas apa-apa lagi selain sejumlah jasa pengabdian dan loyalitas yang mengandili armada raksasa Mongolia.
"Ada apa sebenarnya?!"
"Maaf, Khan Agung. Saya belum berani menyerang perbatasan Tembok Besar karena masih terganjal kendala interen!"
"Jenderal siapa yang tidak sepaham denganmu?!"
"Tidak ada, Khan Agung. Semua jenderal sudah sepakat untuk menyerang. Namun...."
"Kenapa?!"
"Ananda Kao Ching masih belum sepakat...."
"Kao Ching?!"
"Maaf, Khan Agung. Mungkin Ananda Kao Ching masih terlalu muda terlibat dalam militer sehingga belum memiliki keberanian untuk bertindak. Ananda Kao Ching masih belum manda melihat pertumpahan darah!"
Genghis Khan menggabruk meja. "Dalih apa yang bikin dia kemayu begitu?!"
"Maaf, Khan Agung."
"Selalu saja ada penghalang!"
"Saya pikir, Ananda Kao Ching mungkin punya alasan sehingga tidak ingin menyerang...."
"Tidak bisa!" Genghis Khan kembali menggabruk meja sampai pedang sabitnya turut terempas dan mendentam di meja. "Sampai kapan kita harus menunggu?! Sudah ribuan tahun bangsa kita dijajah oleh kesombongan Tionggoan!"
"Tapi...."
"Demi langit dan bumi, tidak ada yang dapat menghalangi Genghis Khan!" teriak Genghis Khan dengan mata memicing. "Siapa pun orangnya!"
"Ananda Kao Ching...."
"Keparat!" bentak lelaki bernama kecil Temujin itu. "Kao Ching terlalu menyanjung tanah kelahiran ibunya - Kao Niang!"
"Mungkin...."
"Perempuan itu telah meracuni otak Kao Ching!"
"Mungkin...."
"Saya menyesal, rajawali itu tumbuh jadi nasar!"
"Mungkin...."
"Jenderal Thamu, eksekusikan segera penyerangan. Apa pun yang terjadi!"
"Tapi...."
"Jangan pedulikan amanat Kao Ching. Hari ini juga saya akan memanggilnya ke Ulan Bator, mencabut mandatnya sebagai Asisten Panglima Perang Mongolia."
"Baik, Khan Agung!"
Jenderal Thamu Khan menabe.
Ia meninggalkan tenda induk Panglima Tertinggi Mongolia itu.
Ia sudah diberi mandat penuh untuk melaksanakan penyerangan. Tinggal menunggu hari yang tepat saja, maka kurang lebih setengah juta pasukan Mongolia akan menyerbu Tionggoan.
Kao Ching tak lagi memiliki legitimasi untuk membatalkan penyerangan. Ia tersenyum picik. Kali ini Kao Ching akan tersingkir, dan ia bakal memegang tampuk kepemimpinan Mongolia setingkat di bawah Genghis Khan. Anak angkat Temujin itu sudah tersingkir.
Ia terbahak.


Bao Ling
Nyanyian Sunyi pada Pertempuran Suatu Malam

***

Kao Ching menghela napas panjang.
Sesaat menghentikan langkahnya menyaksikan dua bocah yang sedang asyik bermain di pasir. Anak laki-laki yang lebih jangkung dengan selempang kulit kambing di bahunya sesekali tertawa entah karena apa. Sementara itu bocah laki-laki lainnya, berbadan kurus dan pendek, tampak mewek dan mengentak-entakkan kakinya ke pasir. Stola beledu coklat tanah yang dikenakannya terpasang agak miring, dan nyaris menutupi ujung mata kirinya.
Kao Ching melangkah dengan dada sesak.
Dihindarinya langkah sekawanan kambing yang mengarah ke jalurnya. Ia menepi. Berhenti di samping jaro. Anak-anak Mongol yang dilihatnya bermain pasir tadi kini telah berdiri. Menepuk-nepuk tangan mereka yang berdebu. Lalu berusaha mengganggu sekawanan kambing yang berjalan lambat ke tengah gurun beroase. Anak berselempang kulit kambing itu tampak melompat-lompat kegirangan seusai menggebah seekor anak kambing yang tertinggal di belakang. Yang berlari terbirit akibat cambukan pelepah ilalang liar pada punggungnya.
Kenangan masa kecilnya terkuak.
Betapa damainya alam gurun. Sekian tahun diakrabinya sejumput aroma oase, embusan pasir yang basir, serta alunan tabuhan rebana yang mengiringi tarian para gadis Mongol berhidung bangir. Sehingga setiap jengkal tanah gersang itu telah mempolakan subtilitas nomadi di serabut kelabu otaknya. Kesederhanaan yang kini telah terpampas oleh sesosok makhluk majas yang bernama ambisi!
Temujin telah hilang dibawa oleh angin.
Ia telah dibuai oleh ambisi maya berpamrih takhta. Dimensi lain sang waktu telah membopongnya ke dalam lara majas buana. Sehingga terkungkunglah ia di dalam segenap ambiguitas mayor. Ia tak lagi baku. Seorang penggembala sejati, yang berbekal busur dan anak panah di atas punggung kuda Mongol. Lafaznya tak lagi sehangat dulu. Tak seramah embun pagi yang menyapa padang lalang di gurun.
Kao Ching mengusap wajah.
Kapabilitasnya telah terpampas. Kendali atas mobilitas pasukan Mongol tidak lagi berada di ujung lidahnya. Jenderal Thamu Khan telah merampasnya. Ia telah menggerakkan sekawanan nasar ke arah Tionggoan. Mengundang maharana. Pelantak damai di muka bumi!
Ia menyergah dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Maharana tidak boleh terjadi. Seluruh rakyat Mongol akan menderita. Ratusan, ribuan, bahkan mungkin jutaan keluarga di Mongolia akan kehilangan anak dan sanak saudara mereka yang menjadi korban dari perang laknat. Kematian yang sia-sia, dan tidak membawa faedah apa-apa.
"Jangan gegabah, Jenderal Thamu Khan!"
"Ini perintah Pemimpin Agung Genghis Khan!"
"Anda beserta beberapa atase militer dapat membatalkan penyerangan. Baba pasti akan mempertimbangkan keputusannya itu."
"Kalau bukan kita yang menyerang, maka Tionggoan-lah yang akan menyerang kita!"
"Lantas, apa bedanya dengan tindakan kita sekarang?! Kita menyerang duluan, lalu mereka akan membalasnya!"
"Tapi...."
"Jenderal Thamu Khan, saya hargai deferens Anda terhadap Baba. Saya hargai pengabdian Anda terhadap Mongolia. Tapi, untuk hal yang satu ini Anda mesti melihatnya dengan mata hati."
"Saya hanya pengabdi kecil, Pendekar Kao."
"Tapi Anda harus memiliki jiwa besar untuk masalah hajat hidup orang banyak. Ini masalah jutaan nyawa manusia!"
"Saya paham afeksi perasaan Pendekar Kao. Tapi, kadang-kadang memang ada yang mesti kita korbankan untuk dapat mencapai cita-cita yang luhur."
"Cita-cita luhur tersebut akan ternoda apabila Jenderal Thamu Khan tetap bersikeras dengan keputusan menyerang Tionggoan! Perang bukan solusi yang baik!"
"Tapi perang dapat menyelesaikan masalah Mongol, Pendekar Kao!"
"Tidak ada penyelesaian masalah dengan jalan kekerasan. Justru hal itu akan membawa masalah baru. Saya sangat tidak sepaham dengan pola pikir seperti itu."
"Maaf, Pendekar Kao. Ribuan tahun kaum nomad Mongol bertahan hidup dari kekerasan. Kalau tidak begitu, mana bisa ada Mongolia sampai sekarang. Sedari dulu kita tidak bertempat tinggal tetap. Terusir dari satu daerah ke daerah yang lainnya."
"Kalau itu sudah menjadi predestinasi, kita mau menggugat siapa?! Dan saya tidak ingin habitat yang sudah turun menurun diturunkan dari langit itu dijadikan dalih pemberontakan batin, dan mengkompensasikan keresahan itu dalam bentuk invasi ke negara lain."
"Masalahnya tidak semudah yang Anda pikirkan, Pendekar Kao."
"Dan penyerangan ke Tionggoan pun tidak semudah apa yang Anda bayangkan, Jenderal Thamu Khan! Banyak faktor yang mesti Anda pikirkan di luar dari strategi yang telah Anda susun dan rencanakan. Semangat yang menggebu-gebu dengan pasukan sebesar apa pun tidak cukup menjadi sangu untuk merebut wilayah orang."
"Tapi...."
"Bila Anda bersikeras, sama juga berarti Anda mengirimkan jenazah untuk keluarga prajurit Mongol!"
"Maaf, Pendekar Kao! Mungkin tidak etis Anda mengatakan hal itu di saat pasukan Mongol dalam persiapan penuh. Seharusnya Anda menjadi motivator. Bukan sebaliknya. Mengendurkan semangat tempur pasukan Mongol!"
"Saya berkata apa adanya. Tidak ada yang saya tutup-tutupi untuk urusan seurgen nyawa orang."
"Tapi...."
"Pasukan Han pimpinan Jenderal Shan-Yu dan Han Chen Tjing baru saja dipukul mundur. Bahkan ratusan ribu prajurit mereka tewas di perbatasan Tembok Besar oleh kedahsyatan prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong Dinasti Yuan. Apakah Jenderal Thamu Khan tidak belajar dari pengalaman?!"
"Kita sudah mengantisipasi hal itu! Kita memiliki strategi jitu untuk meredam prajurit dari divisi baru mereka!"
"Jangan takabur, Jenderal Thamu Khan! Meski divisi baru mereka itu jauh tidak sebanding dengan jumlah pasukan kita, tapi mereka tidak boleh diremehkan!"
"Atase militer sudah memikirkan cara untuk melumpuhkan divisi baru mereka itu, Pendekar Kao. Salah satunya adalah dengan penyerangan secara frontal dan terpadu pada satu titik lemah lawan."
"Kekuatan mereka tidak bisa dilihat dari satu sisi saja, Jenderal Thamu Khan!"
"Tentu. Tapi, berdasarkan data intelijen kita, mereka tidak akan dapat membendung pasukan Mongol yang datang bagai air bah!"
"Asumsi tidak dapat dijadikan landasan kekuatan Mongol!"
"Mungkin...."
"Tidak ada strategi yang paling jitu selain diplomasi, Jenderal Thamu Khan."
"Diplomasi tidak masuk dalam agenda strategi."
"Kalau begitu, Anda mesti bersiap-siap untuk kehilangan banyak nyawa!"
"Itu risiko perang!"
"Kalau risiko bisa dihindari, kenapa tidak?!"
"Maksud Pendekar Kao, apakah kita harus mengalah?! Dan membiarkan Tionggoan...."
"Mengalah adalah salah satu strategi. Mengalah untuk mencapai kemenangan merupakan sebuah siasat yang paling jitu dalam peperangan. Menghindari terjadinya pertumpahan darah adalah kemenangan gemilang dalam maharana! Jauh lebih jaya ketimbang kemenangan tentatif!"
"Penaklukan merupakan satu-satunya cara, Pendekar Kao. Armada besar, kemampuan dan semangat tempur yang menggebu-gebu sudah dimiliki oleh pihak kita. Pengenduran adalah kekalahan. Kalau bukan sekarang, selamanya Mongolia akan dianggap bangsa yang lemah!"
"Status bangsa besar tidak ditentukan dari seberapa besar negara itu menaklukkan negara lain. Tapi seberapa jauh kontribusi dan eksistensi kehadiran negara tersebut sebagai bagian dari dunia. Sayang Baba sudah bertindak terlampau jauh. Tidak memikirkan bagaimana seharusnya prospektif Mongolia ini ditempatkan."
"Kekuatan sebuah negara terletak pada angkatan perangnya, Pendekar Kao. Saya sangat tidak sepaham kalau Anda mengabaikan hal itu. Negara yang seperti Pendekar Kao maksud itu nantinya akan menjadi negara lemah. Negara pesakit yang setiap saat dapat menjadi sasaran empuk invasi negara kuat dan besar. Makanya, Mongolia mesti memiliki armada perang besar. Persis yang dibangun oleh Pemimpin Agung Genghis Khan sekarang!"
"Membangun kekuatan armada perang semata akan melemahkan sektor lain, Jenderal Thamu Khan! Sektor lainnya akan terlalaikan sehingga menghambat perkembangan ekonomi negara. Rakyat pulalah yang akan menderita nantinya!"
"Tapi...."
"Sekarang saya tidak memiliki kapabilitas apa-apa untuk mencegah penyerangan, Jenderal Thamu Khan! Tapi, saya hanya dapat meminta agar semua atase militer dapat membuka mata supaya bertindak benar. Bukannya jumawitas megalomania karena merasa telah memiliki legitimasi dan kemampuan tempur yang jauh di atas batas kemampuan negara lain!"
"Tapi...."
Maklumat penyerangan itu sudah jelas.
Tidak ada yang dapat menghentikannya lagi. Sekawanan nasar akan menghitami langit Tionggoan. Menyerang negara itu bertubi-tubi seperti gemawan yang mencurahkan rambun kematian. Satu nestapa kemanusiaan yang telah merimbun dalam rupa baur. Ia menggeleng sedih. Gamang dengan keputusan ayah angkatnya!
Kao Ching melangkah tanpa permisi.
Ia keluar dari tenda salah satu atase militer kepercayaan Genghis Khan itu. Ia ingin secepatnya pergi dari tempat para nasar beranak-pinak. Jauh ke suatu tempat terpencil. Melupakan semua kenangan yang pernah terjadi di sana.
Ia ingin mengobati luka hatinya.

Bao Ling
Anominitas Tanah Babur

***

Rindu merenda hari
ada bayang baur
pada lukisan wajah ayu

"Rindu merenda hari, ada bayang baur, pada lukisan wajah ayu. Pendek. Bao Ling, kamu yang menulis puisi alit ini?" Fa Mulan melambai-lambaikan kertas buram yang tengah digenggamnya.
Bao Ling mendekat. Mengambil kertas di tangan Fa Mulan. Lalu membacanya dengan dahi mengerut. Fa Mulan masih menanti jawaban. Ia berkacak pinggang seperti biasa.
"Rindu merenda hari..."
"Ada bayang baur," timpal Fa Mulan.
"Pada lukisan wajah ayu," ujar Bao Ling pelan, seolah sedang mengeja. Ia menggeleng di ujung kalimatnya. "Bukan karya saya."
"Jadi, puisi ini punya siapa?!"
"Dapat dari mana, Asisten Fa?"
"Di tanah, di depan tenda."
"Puisi siapa, ya?!"
"Kalau bukan punyamu, lalu punya siapa?"
"Saya juga bingung. Selama ini saya jarang menulis puisi cinta, Asisten Fa."
"Lalu...."
"Selain saya, setahu saya tidak ada prajurit yang bisa menulis puisi. Apa bukan karya Kapten Shang?"
"Tulisan dia tidak begini."
"Aneh."
"Mungkin diterbangkan angin hingga sampai kemari."
"Mungkin. Tapi, kenapa jatuh di depan tenda saya?!"
"Mungkin kebetulan."
"Mungkin. Tapi kalau membaca maknanya, seperti elegi...."
"Benar. Meresapi karya ini, kita seperti mendengar sebuah ratapan tentang keresahan batin."
"Makanya...."
"Puisi alit ini bagus. Selain berkaligrafi indah, makna yang tersirat di dalam tulisannya juga menyuarakan dramatisasi hati. Pasti bukan penyair biasa."
"Saya pikir juga begitu kalau menyimak huruf-hurufnya yang hidup dan tegas."
Fa Mulan mengambil kertas bertulis puisi alit itu dari tangan Bao Ling. Menyimaknya kembali seperti mengamati lektur tanpa tepi. Ia berjalan tiga langkah dari daun tenda. Mencoba mencari makna yang sebenarnya.
"Hei, lihat. Di sini ada kertas lagi, Asisten Fa. Tertancap dengan sebilah anak panah di tiang tenda!" Bao Ling spontan berteriak. "Rupanya sengaja dikirim melalui lesatan anak panah."
Fa Mulan mendekati Bao Ling yang tengah mencabuti beberapa lembar kertas di tancapan anak panah pada tiang kanan tendanya. Dibacanya kertas lembar pertama yang dipentang di telapak tangan Bao Ling.

Angin membawaku kemari
pada padang ilalang
Meski aku harus hilang
dari rimba rani

Fa Mulan mengeja huruf kanji yang ditulis dengan sentuhan indah. "Angin membawaku kemari. Pada padang ilalang. Meski aku harus hilang...."
Bao Ling menerusi, menamatkan puisi alit yang dibaca oleh Fa Mulan. "Dari rimba rani."
"Masih berlantun elegi," reka Fa Mulan, mengerutkan keningnya.
Bao Ling mengangguk.
Ia membuka lembaran kertas kedua. Kali ini ia tidak mendapati kaligrafi puisi. Tetapi sebuah surat biasa semacam manuskrip yang ditujukan untuk Fa Mulan.
"Surat untuk Asisten Fa," sahut Bao Ling, menyerahkan kertas-kertas buram tersebut kepada Fa Mulan yang masih mengernyitkan keningnya.
"Surat?!"
"Khusus ditulis untuk Anda, Asisten Fa," jawab Bao Ling. "Rupanya ada pesan penting yang hendak disampaikan oleh si Pengirim."
"Siapa?!"
Bao Ling mengerutkan dahinya.
Disibaknya lembaran kertas terakhir yang berada di tangan Fa Mulan. Dan ia terkesiap dengan pijar tegas yang sedari tadi melelatu dalam benaknya. Kao Ching. Si Pendekar Danuh!
"Kao Ching!" desis Fa Mulan.
"Pantas...."
"Akurasitas bidikan anak panah ini...."
"Tidak meleset saat ditembakkan, tepat menancap di tiang kanan bagian atas tenda Anda, Asisten Fa!"
"Luar biasa...."
"Pasti dilesatkan dari jauh. Kurang lebih seperempat mil dari perbatasan Tembok Besar ini!"
"Pendekar hebat!"
Bao Ling mengangguk mengakuri.
Diedarkannya pandangannya ke depan. Pada hamparan padang ilalang di bawah Tembok Besar. Jauh di sana, ia melihat lembah-lembah yang menubir. Hanya seseorang yang memiliki kemampuan luar biasalah yang dapat melakukan hal menakjubkan. Melesatkan anak panah dari kejauhan yang tak dapat diterima nalar. Seperti sambaran kilat dari angkasa.
"Si Pendekar Danuh!" Fa Mulan kembali mendesiskan kalimat. Menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa takjub dan heran dengan talenta danuh yang dimiliki pemuda peranakan Mongol-Han itu.
"Sejak mula melihat anak panah yang menancap di tiang tadi, seharusnya saya sudah dapat menduga kalau Si Pengirim surat ini adalah Kao Ching, Asisten Fa!"
"Tentu. Selain Kao Ching, siapa lagi yang memiliki talenta danuh sehebat itu?"
"Tapi, saya terlebih tidak menyangka kalau Kao Ching juga pandai menulis puisi."
"Bakat terpendam seorang anak dari padang gurun."
"Ya, itulah realita kebajikan seorang Kao Ching!"
"Dia serupa manusia bijak yang dimaksud Guru Fang Wong kepada saya semasa kanak-kanak dulu, Bao Ling."
"Dia memiliki banyak kelebihan. Selain talenta danuh, dia juga menguasi wushu yang tidak kalah baiknya. Tapi dia tidak pernah menyombongkan dirinya. Dalam beberapa sayembara, dia tidak pernah ikut sayembara adu tarung dan prosa. Padahal, dia mahir kungfu dan pandai berpuisi. Dia tidak kemaruk dengan hadiah sayembara ketangkasan lainnya. Bukankah itu replika air selaras Taichi Chuan seperti yang pernah Asisten Fa utarakan kepada saya?"
"Betul. Meski Kao Ching berada di pihak musuh, tapi saya tidak merasa dia sebagai lawan."
"Saya pun merasakan hal yang sama, Asisten Fa."
"Surat ini pasti penting."
"Tentu, Asisten Fa. Sepertinya, ada hal penting yang hendak dia sampaikan sehingga mengirimnya melalui lesatan anak panah tanpa sepengetahuan prajurit pengawas binara Tembok Besar."
Fa Mulan segera membaca surat yang telah dipaparkannya di telapak tangannya.

Prajurit Fa Mulan,
Maafkan saya karena lalai menyampaikan surat ini secara santun tindak. Namun terpaksa saya lakukan karena tidak memiliki jalan lain agar surat ini dapat sampai kepada Anda tanpa diketahui oleh prajurit pengawas binara Tembok Besar. Saya tidak ingin bertempur dalam kebimbangan ini. Duel kemarin sudah cukup meresahkan batin saya. Saya merasa bertemu dengan diri saya sendiri. Bertarung dengannya. Saling menyakiti sehingga masing-masing terluka. Saya tidak ingin hal itu terulang lagi.
Setelah berduel dengan Anda di bawah binara Tembok Besar, saya akhirnya menyadari satu hal. Bahwa saya harus menentukan sikap tegas dalam ambivalensi ini. Saya harus menentukan benar, mana kawan dan mana lawan dalam konsekuensi apa pun. Dan ketika semuanya telah tercetus dalam hati, maka rasanya saya terkapar lunglai tanpa jiwa. Kawan adalah lawan saya selama ini. Dan kawan adalah lawan saya, yang tanpa saya sadari telah menelusup ke setiap sendi dan urat nadi saya.
Duel kemarin adalah kontemplasi. Denyar subtil melelatu dalam nurani. Batas itu telah saya sentuh. Menyakitkan memang ketika saya mendapati diri saya terhimpit dalam dilematisasi ini. Bahwa saya tidak pernah menganggap Anda dan pihak Yuan sebagai musuh. Justru sebaliknya. Namun alangkah naifnya kalau menafsir hal itu sebagai skenario. Mungkin itu semua merupakan aplikasi takdir. Entahlah.
Saya sama sekali tidak mengetahui kalau Anda sebenarnya adalah Fa Mulan. Sebuah kembang Magnolia milik Tionggoan yang sangat berharga! Saya ketahui semuanya itu setelah mendengar dari Jenderal Thamu Khan - seorang panglima perang yang, entah besok atau lusa, akan menyerang negeri Anda. Ia telah menceritakan semua kedigdayaan Anda memukul pasukan Han. Anda bukan prajurit sembarangan.
Surat ini hanyalah pencurah lara hati. Mungkin tidak etis. Tetapi saya tidak memiliki waktu lagi untuk mengungkap semua karena besok atau lusa, dua negeri akan diberangsang maharana. Mungkin surat ini hanyalah romantisme baur. Keresahan hati saya yang terpendam selama ini!
Keresahan saya bukan karena bayang kematian yang mengikuti seorang prajurit seperti roda pedati mengikuti sang kuda. Tetapi saya galau melihat mawadah yang raib oleh sebuah ambisi bernama takhta. Saya tidak paham dengan segelintir Penguasa Mulia Mongolia. Mungkin juga puak terpandang di kalangan Anda. Apakah mereka mesti menumpahkan darah di tanah untuk menduduki Kursi Tunggal Sang Naga itu?!
Jika benar konspirasi batil yang telah meracuni otak para rani, maka saya tidak menyesal meninggalkan semua yang telah menyertai saya sejak lahir. Hutang-hutang jasa saya terhadap Temujin adalah belenggu terbesar yang telah memasung saya selama ini. Saya sadar, saya tak akan mampu melunasinya dalam kehidupan ini. Saya tidak ingin melunasi hutang-hutang jasa itu dengan tumbal darah dalam maharana. Membantai orang-orang tak berdosa.
Saya bersumpah untuk membalasnya pada kehidupan saya yang akan datang. Tidak pada kehidupan ini. Sebab saya tidak manda melihat tangisan anak-anak kecil yang kehilangan kasih sayang orangtuanya. Karena saya merupakan duplikasi dari durja itu. Nestapa yang telah dilahirkan dari rahim maharana. Saya kehilangan Ayah. Lalu sebuah takdir langit telah menggariskan saya dipelihara oleh Temujin. Ayah, pahlawan, sekaligus musuh saya sendiri!
Ini ironi!
Langit seolah menghukum saya. Saya dihadapkan pada sebuah dilema babur. Dua pilihan yang sungguh sulit untuk diputuskan. Namun demi yura, saya lebih memilih hengkang dari tanah yang telah meniupkan lafaz dalam napas saya.
Dan menentang sikap apriori Ayah saya sendiri....


Kao Ching
Kisah pada Busur dan Anak Panah

***

Seminggu menjelang Festival Barongsai kawasan Istana Da-du tampak riuh dengan segala aktivitas penyambutan. Ibukota Da-du mendadak meramai oleh nuansa euforia, selayaknya penyambutan tahun baru penanggalan lunar Imlek yang sudah turun-temurun dirayakan rakyat Tionggoan. Masyarakat antusias menyiapkan diri ikut perayaan besar yang diselenggarakan Kaisar Yuan Ren Zhan sebagai simbolis kemenangan Yuan atas pemberontakan Han. Sebagian penduduk dari kalangan terpandang berbondong-bondong untuk turut menjadi peserta lomba barongsai tersebut.
Perguruan silat ternama juga tidak mau ketinggalan. Mereka malah sudah mempersiapkan diri berlatih jauh-jauh hari. Selain karena acara Festival Barongsai tersebut akan disaksikan oleh Sang Kaisar sendiri, juga karena lomba dalam Festival Barongsai tersebut menyediakan hadiah yang sangat menggiurkan bagi para pemenang.
Festival Barongsai itu sebetulnya lapat-lapat terdengar sebagai ajang pencarian bakat pewushu handal di balik euforia kemenagan Yuan atas musuh pemberontak Han di Tung Shao dan perbatasan Tembok Besar. Karenanya, Festival Barongsai itu dapat diikuti oleh khalayak umum dari kalangan manapun. Namun di balik itu, ada hal yang sebenarnya paling mendasari diselenggarakannya acara akbar inisiatif Sang Kaisar tersebut. Bahwa acara yang terbilang megah itu bertujuan memploklamirkan Yuan sebagai penguasa tunggal Tionggoan. Tionggoan di bawah Dinasti Yuan yang telah melahirkan prajurit-prajurit handal dan loyal seperti Fa Mulan.
Namun Kaisar Yuan Ren Zhan tidak pernah berterus terang mengungkapkan empati bangganya terhadap aksi heroik Fa Mulan. Justru Jenderal Gau Ming-lah yang gamblang ingin memberikan tanda penghormatan pada tindakan penyelamatan gemilang gadis mantan wamil itu pada Dinasti Yuan. Dan secara pribadi ia selalu mengagung-agungkan sosok Fa Mulan di hadapan penguasa tertinggi Tionggoan tersebut.
Tetapi seminggu menjelang Festival Barongsai itu pulalah, jenderal ahli strategi itu digamangkan oleh sebuah kasus yang baru terungkap sekarang. Berita yang diperolehnya dari pihak intelijen Istana membuatnya sangat terpukul. Sama sekali tidak menyangka persiapan pesta besar Istana Da-du yang telah rampung sempurna itu akan direcoki oleh satu hambatan besar. Dan lagi-lagi berasal dari biang pengganggu ketenteraman negara. Pemberontak Han!
"Kami menemukan indikasi adanya penyusupan jasus musuh ke dalam Istana Da-du, Jenderal Gau!"
"Apa?!" Jenderal tua itu melotot. Matanya yang sebesar kuaci itu membolide. Terperangah untuk beberapa saat sebelum menormalkan peredaran hormon adrenalin yang tiba-tiba menjalar seperti lahar di sekujur nadinya.
"Maaf, Jenderal Gau!" Zhung Pao Ling mengepalkan tangannya dengan sikap hormat disertai sedikit bungkukan badan sebagaimana lazimnya. Prajurit Kepala Intelijen itu tampak merasa bersalah, menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap wajah tua di hadapannya.
"Seminggu lagi Festival Barongsai sudah dimulai! Saya tidak ingin acara yang diselenggarakan kaisar itu hancur berantakan gara-gara ada pengacau kecil!" geram Jenderal Gau Ming dengan mimik gamang.
"Maaf, Jenderal Gau. Saya siap menerima hukuman. Ini kesalahan saya!"
"Sekalipun kepala kamu dipenggal, hal itu tak akan mampu menghapus coreng malu di wajah kaisar apabila terjadi gangguan sekecil apa pun pada Festival Barongsai minggu depan!"
Zhung Pao Ling terdiam.
Entah harus menjawab apa menanggapi kegusaran Jenderal Gau Ming. Diedarkannya mata ke sekeliling ruangan markas strategi sebagai reaksi kegamangannya. Ruangan tersebut sudah menjadi lafaz kehidupan jenderal tua itu sekarang - sejak Kekaisaran Yuan diganyang oleh pemberontakan dari kaum jelata Han dan nomad Mongol, Jenderal Gau Ming saban hari duduk menyendiri di belakang meja strategi. Memang, tentu bukan perkara gampang kalau jasus musuh sudah sampai memasuki lingkungan Istana Da-du. Selain Jenderal Gau Ming, maka ialah yang merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan Sang Kaisar di Istana Da-du.
Seharusnya jauh-jauh hari ia sudah harus mengantisipasi hal itu. Namun memang tidak mudah mengawasi ribuan peserta Festival Barongsai yang berasal dari berbagai negeri. Dan ketika sehari sebelum tiba pada saat festival, ia baru mengetahui kalau di dalam lingkungan Istana Da-du sudah menelusup beberapa orang jasus musuh. Kali ini mereka ikut sebagai peserta Festival Barongsai.
"Sekarang, saya tidak peduli bagaimana cara kamu mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan! Lekas ambil tindakan pencegahan, serta perketat pengawasan kepada setiap peserta Festival Barongsai. Jangan sampai ada yang luput!"
"Baik, Jenderal Gau!"
Zhung Pao Ling kembali menghormat dengan takzim sebelum meninggalkan ruangan strategi. Ia melangkah setelah pamit lewat bahasa gerak tubuhnya. Tidak ada basa-basi lagi. Ia harus segera mengenyahkan jasus yang sudah mengendap masuk ke dalam Istana Da-du. Mereka pasti bukan orang biasa kalau dapat lolos dari penjagaan ekstra ketat di gerbang masuk kawasan Istana Da-du. Namun sebelum hal yang terburuk terjadi, maka ia rela mengorbankan nyawanya mulai dari sekarang.
"Tunggu."
Prajurit loyal bertubuh jangkung itu tertahan di bawah bingkai pintu keluar, lalu membalikkan badan oleh satu panggilan yang berdesibel tinggi di gendang telinganya.
"Hormat saya," ujarnya spontan. "Apa yang dapat saya lakukan lagi untuk Anda, Jenderal Gau?"
"Cepat sampaikan pesan saya ke Prajurit Kurir Bao Ling di luar markas. Segera hubungi saya di sini."
"Siap, Jenderal Gau."
"Nah, cepatlah. Saya ingin dia menyampaikan sekali lagi undangan pesta Festival Barongsai ke Asisten Fa Mulan. Saya ingin Asisten Fa Mulan hadir juga di Istana Da-du. Saya khawatir musuh sudah berada di sekitar Kaisar. Mungkin juga ada musuh dalam selimut. Entahlah. Saya dapat bernapas lega kalau sudah ada Asisten Fa Mulan di sini!"
"Siap, Jenderal Gau."
Zhung Pao Ling meninggalkan ruangan strategi dengan langkah gegas. Diayunkannya kaki secepat mungkin ke alun-alun markas. Menghubungi sesegera mungkin Prajurit Kurir Bao Ling yang sedang mengaso di sana.

***

Bao Ling sedang mengamati ratusan prajurit yang tengah berlatih. Kadang-kadang ia turut membetulkan gerak dan jurus-jurus yang salah diperagakan oleh beberapa prajurit. Akurasi tusukan tombak sangat penting untuk bekal dalam perang nantinya. Salah berarti maut. Makanya, ia yang sangat memahami dan ahli beladiri bersenjata toya serta tombak sangat memperhatikan kesalahan-kesalahan kecil yang kerap menjadi kendala di kemudian hari.
"Konsentrasi."
Bao Ling terdengar mengaba-aba, sesekali menyentuh lengan atau bahu seorang prajurit yang bermandi peluh.
"Ya, ya. Konsentrasi. Pusatkan mata kalian pada satu titik saat menombak!" tegasnya dengan setengah berteriak. "Ayo, kerahkan tenaga kalian. Dalam perang hanya ada dua pilihan. Hidup atau mati. Tidak ada yang namanya setengah-setengah. Kalian harus camkan itu semua. Ingat, nyawa kalian tergantung pada ketangguhan diri kalian masing-masing. Hidup mati kalian terletak di tangan kalian sendiri. Jadi jangan pernah berpikir untuk setengah-setengah. Menganggap remeh lawan karena lemah, ataupun sebaliknya. Jadi, jangan sampai lengah. Ingat, konsentrasi!"
Zhung Pao Ling menghampi prajurit kurir tangguh Yuan itu sesampainya di area latihan. Ternyata Bao Ling masih menyempatkan dirinya melatih beberapa ratus prajurit Kavaleri Infanteri setelah beristirahat sebentar seusai makan siang. Ia membantu instruktur kepala yang memiliki kemampuan beladiri setingkat di bawah dengannya.
"Maaf, saya mengganggu aktivitas Anda, Prajurit Kurir Bao."
"Oh, tidak apa-apa," balas Bao Ling, meninggalkan area latihan sampai beberapa langkah sembari menyeka keringat di dahinya. "Ada apa, Prajurit Zhung?"
"Jenderal Gau Ming memanggil Anda. Sekarang Anda sedang ditunggu di ruang strategi," tutur Zhung Pao Ling diplomatis. "Hm, kalau tidak ada apa-apa lagi, saya mohon pamit."
"Terima kasih, Prajurit Zhung," angguk Bao Ling sesaat sebelum lelaki bertubuh jangkung itu pamit dan berlalu dari hadapannya.
Bao Ling melangkah ke ruang strategi yang terletak tidak jauh dari area latihan setelah membetulkan dan merapikan gelungan seragamnya. Pasti ada hal penting yang hendak disampaikan mendadak kepadanya. Ia sudah tahu benar watak jenderal tua itu.
"Hormat saya kepada Anda, Jenderal Gau," sapanya santun saat memasuki bingkai pintu ruang strategi.
"Masuklah, Prajurit Kurir Bao."
"Terima kasih."
Jenderal Gau Ming berdiri dari duduknya. Ia melangkah menghampiri pemuda yang menjadi andalah Kekaisaran Yuan untuk hal-hal yang sangat urgensi seperti pengiriman kawat dan manuskrip kepada pihak berwenang.
"Saya ingin Prajurit Kurir Bao segera ke Tembok Besar, menyampaikan undangan Istana Da-du kepada Asisten Fa Mulan sekali lagi. Selain untuk menghargai jasa-jasanya menghalau pergerakan pasukan pemberontak Han di Tung Shao, kehadiran Asisten Fa Mulan juga diperlukan untuk mengantisipasi jasus yang sudah menyelinap di kawasan Istana Da-du."
"Ja-jasus?!"
"Ya. Menurut data intelijen yang telah kita peroleh, jasus dari pihak Han telah memasuki kawasan Istana Da-du, dan ikut sebagai salah satu peserta Festival Barongsai. Ada indikasi bahwa mereka menjadikan Kaisar Yuan Ren Zhan sebagai obyek sasaran pembunuhan. Belum jelas memang. Tapi kalau benar, maka hampir dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang suruhan mantan jenderal Yuan, Shan-Yu!"
"Jadi, apa yang mesti kita lakukan untuk mencegah rencana busuk pihak Han, Jenderal Gau?!"
"Itulah yang merisaukan saya saat ini! Makanya, saya harap Asisten Fa Mulan dapat hadir sebelum acara Festival Barongsai dimulai. Mungkin dengan kehadirannya, pihak Han ragu melaksanakan rencananya tersebut."
Bao Ling mengangguk-angguk.
Ia mafhum atas ketenaran nama Fa Mulan yang tiba-tiba melejit sejak aksinya yang terbilang heroik di Tung Shao. Kini semua mata seolah tertuju kepada gadis yang baru berusia belasan itu. Kecerdikan dan ketangkasan Fa Mulan menjadi buah bibir semua atase militer dan jenderal di Ibukota Da-du. Ia bahkan jauh melampaui kapabilitas beberapa petinggi militer Yuan, termasuk Kapten Shang Weng yang sudah lama mengabdi dan memimpin di Kamp Utara.
Tetapi perempuan yang terlahir sebagai anak tunggal di keluarga Fa itu memang bukan gadis biasa. Anugerah cerlang segemerlap bintang-bintang di belahan timur langit seperti menaunginya. Menyertai langkahnya yang terseok oleh sarat beban pranata. Kegigihannya sebagai prajurit paling sejati di antara prajurit Tionggoan telah menyibak sampur kelabu yang dinaungi bagi kaumnya turun-temurun.
Tak sadar Bao Ling tersenyum.
Fa Mulan adalah Magnolia. Ia seolah mewakili satu koloni yang dianggap lemah, dan hanya terlahir serta hadir sebagai penghias dunia yang telah dihuni oleh laki-laki. Kadang-kadang kalimatnya seperti racau kala menyuarakan kegelisahan batinnya.
Idealisme perempuan!
Hah, sesuatu yang perlu ia bangun seribu tahun lamanya lagi! batinnya.
"Tapi, apakah Asisten Fa Mulan bersedia menghadiri acara Festival Barongsai itu, Jenderal Gau?" tanya Bao Ling ragu, lebih terdengar kepada dirinya sendiri ketimbang sebuah kalimat tanya untuk lawan bicaranya. "Bukankah Asisten Fa Mulan pernah menolak undangan yang pernah saya sampaikan kepadanya sebulan lalu?"
Ia ingat bagaimana penolakan Fa Mulan terhadap undangan atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan sekalipun! Ia masih ingat bagaimana bersikukuhnya gadis itu terhadap prinsipnya yang keras. Dan mengatakan Festival Barongsai yang diselenggarakan Sang Kaisar itu merupakan euforia yang sepatutnya tidak pantas dilakukan pada saat situasi dan kondisi negara masih labil.
"Bujuk kembali Asisten Fa Mulan agar mau hadir dalam acara Festival Barongsai itu."
"Maaf, Jenderal Gau! Tapi saya skeptis dalam hal ini. Asisten Fa secara tegas telah menolak menghadiri acara tersebut. Berkali-kali saya membujuknya, tapi dia berasumsi kalau kehadirannya tidaklah lebih penting dibandingkan tetap waspada menjaga daerah perbatasan di pos pengawasan Tembok Besar. Lagipula, Kapten Shang Weng masih dalam tahap proses penyembuhan luka lamanya. Jadi, Asisten Fa belum dapat mendelegasikan tugasnya kembali kepada Kapten Shang Weng."
"Bagaimana mungkin dia menolak menghadiri acara atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan?!"
"Tapi...."
"Katakan ini perintah!"
Jenderal Gau Ming tampak emosional.
Amarahnya masih belum surut saat mendengar Zhung Pao Ling mengabarinya perihal penyusupan jasus Han itu. Kalimatnya mengguntur tanpa sadar. Namun selekas mungkin dihelanya napas panjang untuk menetralisir emosinya yang meletup dengan basuhan partikel udara yang sedikit mendinginkan dinding paru-parunya.
Bao Ling kembali mengatupkan kedua belah tangannya ke depan membentuk hormat.
"Baik, Jenderal Gau. Saya akan menyampaikan amanat Anda sesegera mungkin."
"Tolong katakan kepadanya, kehadirannya sangat dibutuhkan oleh Istana Da-du. Dia adalah simbol keberhasilan armada perang kita. Adalah penghormatan besar apabila Asisten Fa Mulan dapat hadir dalam acara Festival Barongsai nanti."
"Akan saya sampaikan, Jenderal Gau."
"Terima kasih. Nah, berangkatlah. Dan juga tolong katakan kepadanya, undangan ini atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan."
"Baik, Jenderal Gau."
Tak berapa lama setelah berada di luar ruang strategi militer, tampaklah seekor kuda melesat bagai anak panah membelah udara senja keluar dari Ibukota Da-du. Bao Ling kembali mendapat amanat yang tak kalah kurang pentingnya.
Atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan ia mesti dapat mengajak gadis itu ke Istana Da-du!
Apa pun yang terjadi!


Bao Ling
Lagu Magnolia

***

Ia dapat merasakan betapa naifnya jiwa dalam kekerdilan ini. Ratusan pasang mata selaksana mambang mengawasinya dari renggang dedaunan yang setipis bilah rambut. Setiap saat ia dapat ditikam dari belakang sampai pangkal pedang musuh tertancap dan memboyak punggungnya. Keringatnya menitik seperti bulir padi. Jatuh satu-satu.
Rengsanya menegak kala diresapinya ketakutan itu sebagai hal yang lumrah. Sisa-sisa kegentaran yang menghinggapinya seperti mambruk pada dahan rapuh, tergebah oleh satu kekuatan bermuasal dari naluri kependekarannya. Dipacunya langkah kuda lebih cepat dari semula. Melewati beberapa rintangan bambu runcing yang dipasang untuk menjebak dan membinasakannya di tengah hutan.
Sebilah anak panah melesat melewati ceruk dagu dan tenggorokannya. Lesatan anak panah lainnya datang susul menyusul ditangkisnya dengan kibasan-kibasan tombaknya yang berputar serupa propeler.
Ia masih memacu laju kudanya dengan beragam kisah yang membebani benaknya. Suatu saat nyawa yang mengaliri nadi-nadi dan urat-urat syarafnya akan tercabut dari raganya. Dimafhuminya hal itu sebagai konsekuensi tugas moral yang diembannya kini. Mungkin di hutan ini. Mungkin juga bukan di hutan ini. Tetapi pada suatu tempat di mana maharana meranggas seperti padang lalang yang menusuk-nusuk kafilah.
Telah lebih dari seribu kejadian. Ketangkasan hanyalah keahlian yang dapat meluputkan ia sesaat dari maut. Kepasrahan pada kematian adalah hal terpenting dalam meringankan batinnya.
Tiga belas mil telah ditempuhnya menjauhi Ibukota Da-du menuju daerah perbatasan Tionggoan-Mongol di pos pengawasan Tembok Besar. Satu rintangan telah dilaluinya. Dan ia sadar akan menghadapi rintangan-rintangan berikutnya. Nyawanya hanya selembar. Sepantasnya memang diisi dengan hal-hal yang berguna bagi kemanusiaan. Bukankah itu merupakan warna terindah bagi kehidupan?
Ia tersenyum.
Masih memacu kudanya secepat lesatan anak panah. Ia teringat Fa Mulan yang sebentar lagi akan ditemuinya di pos pengawasan Tembok Besar. Magnolia itu telah memperindah serumpun lalang dan rumput di tanah yang kerontang. Bukankah hal tersebut sudah diwujudkan gadis Fa Mulan pada Tionggoan yang mawai oleh maharana?
Lamunannya buyar oleh sekelebat sosok hitam yang mengambang di atas kepalanya. Seperti terbang, sosok itu mengepak-epakkan kakinya serupa sayap kelelawar. Menyambar dan meliuk sangat dekat sampai-sampai kucirnya mengibas terkena angin yang mendesau dari arah depan. Sosok hitam itu seolah kelelawar yang hendak mematuk dengan sepasang gigi taringnya.
Bao Ling mengelak, salto dan berguling-guling ke tanah menghindari sayatan pedang yang tiba-tiba keluar dari balik jubah hitam si Penyerang Misterius yang mengganggu perjalanannya. Kudanya mengikik dan berhenti mendadak tidak jauh dari tempatnya memijak.
Sosok hitam-hitam tersebut terus mendesaknya saat sepasang kakinya yang menyepak-nyepak udara tadi menjumput tanah. Tusukan-tusukan pedangnya yang mengilap dan terpantul sinar jingga rembang petang masih meliuk-liukkan badan obyek sasarannya seperti trenggiling.
Bao Ling bangkit berdiri dengan satu gerakan memutar setelah memantulkan kakinya ke sebatang bambu. Setelah sigap berdiri, ia mengangkat dirinya dengan gaya terbalik menghindari tusukan bertenaga pedang musuh. Tubuhnya melayang ditopang sebilah tombaknya yang bertumpu vertikal di tanah. Kini ia sudah berada di atas kepala musuh dengan tubuh terbalik.
Di atas ia lebih leluasa melancarkan balasan. Dan kepala musuh menjadi titik terbaik untuk pelumpuhan. Sejurus saat masih mengambang di udara, Bao Ling melancarkan satu totokan jari telunjuk untuk mengikat mati simpul syaraf tepat di ujung ubun-ubun penyerang misterius tersebut. Namun seperti sudah mengetahui niat lawannya, sosok berpakaian hitam-hitam itu menangkis jari telunjuk Bao Ling dengan kepitan jari telunjuk dan jari tengahnya. Seperti sepasang sumpit bambu yang mengapit erat sebatang sosis.
Menyadari kegagalan serangannya yang mematikan itu, Bao Ling pun sesegera mungkin melancarkan tendangan bertubi-tubi ke wajah lawannya ketika tubuhnya memutar normal. Jari telunjuknya terlepas dari kepitan jemari lawan yang sekeras kepit kepiting karena konsentrasi sang lawan yang terburai saat menghindari tendangan sekuat sepak kudanya.
Si penyerang misterius itu sedikit terdesak oleh serangan Bao Ling yang akurat dan bertubi-tubi. Namun rupanya ia bukan orang berilmu beladiri rendah. Buktinya tendangan cangkul dari Prajurit Kurir Yuan itu yang biasanya ampuh menyepak titik sasaran dahi dengan tepat dapat dihindarinya dengan satu kelitan badan seluwes walet.
Seperti menyadari beberapa falsafah silat yang pernah dipelajarinya bahwa, salah satu pertahanan terbaik ada dalam bentuk penyerangan, maka Bao Ling pun tak mengendurkan serangan-serangannya yang keras dan bertenaga. Tubuhnya yang tinggi dan jangkung memang senantiasa mendistribusikan energi potensial, sehingga lawan-lawan yang kerap dihadapinya kewalahan menahan pukulan-pukulan dari arah atas ke bawah. Dan biasanya setelah melewati serangkaian jurus yang memakan waktu cukup lama, maka tenaga lawan yang hanya dapat menangkis dan menangkis akan terkuras dengan cepat.
Tetapi meski agak terdesak mundur, sosok berbalut jubah hitam dengan sampur gelap senada yang menutupi kepalanya itu tetap menyimpan marabahaya. Dan sesekali menyulitkan Bao Ling dengan tohokan-tohokan pedang bajanya yang tajam. Beberapa saat terdengar dentingan mata tombak dan ujung pedang yang beradu. Nada dentingan benda logam itu diikuti oleh merebaknya dedaunan kerontang di radius pertempuran. Sesaat laga dua pendekar itu masih berimbang.
"Siapa kamu?!" teriak Bao Ling sebagai upaya taktik memecah konsentrasi musuhnya.
"Tidak perlu kamu tahu sebab ajalmu sudah di ujung pedang saya," balas si Penyerang Misterius itu.
Bao Ling tidak terpancing mendengar kalimat satir musuhnya. Ia masih berkonsentrasi mengoyak pertahanan lawan dengan menusuk-nusuk tombak ke bagian vital badan lawan. Si Penyerang Misterius itu masih menangkis dengan mengibas-ibaskan pedangnya serupa propeler.
"Oya?" umpat Bao Ling, balas memancing amarah lawannya saat senjata mereka saling menyilang di udara. Pergerakan mereka menjeda. Saling tatap dengan mata mawas dan menantang. "Kalau begitu, keluarkan semua kekuatanmu!" lanjut Bao Ling saat senjata mereka kembali berdenting-denting di udara, dan sesekali mendesing-desing di dekat kepala masing-masing.
"Nah, bersiap-siaplah untuk mati!" teriak si Penyerang Misterius itu sembari balik menyerang dengan sepenuh tenaga sampai urat-urat di sekujur lehernya tampak menegang. "Awas! Rasakan pedang ini!"
"Baik kalau kamu tetap bersikeras untuk membunuh saya. Saya akan ladeni."
"Jangan banyak bicara, Keparat!"
"Silakan. Tunjukkan seluruh kemampuan silat yang kamu miliki!"
"Kurang ajar!"
"Ayo!"
"Mampus kamu!"
"Ayo, jangan buang-buang waktu lagi. Saya tidak ingin meladeni cecunguk seperti kamu. Rasanya terlalu mahal waktu saya untuk dipakai bertarung dengan pesilat pemula semacam kamu! Masih ada hal penting yang harus saya kerjakan selain meladeni manusia pengecut seperti kamu!"
Si Penyerang Misterius itu akhirnya terpancing. Ia kalap. Menyerang secara membabi-buta dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.
"Saya bunuh kamu! Saya bunuh kamu!" teriaknya histeris, merasa frustasi karena tak satu pun sabetan pedangnya mengenai tubuh lawannya.
"Ayo, cepat! Saya tidak punya banyak waktu lagi untuk melayani orang pongah seperti kamu!"
"Awas kamu! Saya bunuh kamu!"
Bao Ling masih bersabar dan tidak kesusu menyudahi duelnya.
Ia hanya menggunakan ilmu silat dasar pada awal pertarungan, bermaksud melumpuhkan dan bukan untuk membunuh lawannya. Namun si Penyerang Misterius tersebut masih saja berusaha merangsek maju meski terdesak mundur. Musuhnya itu memang sangat bernafsu menghabisi nyawanya.
Pertarungan kali ini memang menyita banyak waktunya.
Meski tidak memiliki ilmu silat yang tinggi dan istimewa, tetapi si Penyerang Misterius itu sangat gesit dan lincah. Tohokan-tohokan tombak panjangnya dapat dihindarinya dengan hanya memutar-mutar kepala dan sedikit badannya tanpa harus menyeret kaki. Lalu sesekali ia melompat-lompat seperti kera.
Bao Ling sudah meningkatkan serangannya dengan menggunakan jurus-jurus maut. Tongkat Naga merupakan salah satu jurus andalannya. Tombaknya jadi lebih bertenaga, seperti mengandung kekuatan bertenaga dalam yang tersalur melalui lengannya yang kokoh. Tombaknya bergerak sangat cepat dari tangan kanan ke tangan kiri. Sesekali menggantung di badannya, berputar untuk beberapa saat sebelum gagang tombaknya mengarah menonjok ke dada lawannya tersebut.
Lelaki misterius itu terentak ke belakang.
Namun ia masih dapat menahan limbung tubuhnya dengan berdiri seimbang pada sepasang kakinya yang tegap. Bao Ling tidak ingin melepaskan peluang saat melihat musuhnya terdesak - mengendurkan pertahanan karena menahan sakit akibat tohokan gagang tombaknya barusan. Dilemparkannya tombaknya ke atas kepalanya. Tombaknya memutar serupa propeler dan melayang di udara. Sekedip mata tombaknya sudah berada kembali di tangannya. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi karena refleks telah mengecoh mata dan perhatian lawannya, ia melemparkan tombak tersebut dengan sekuat tenaga. Tombaknya bergerak secepat kilat, lurus dan terarah menghantam kembali ke dada lawannya itu.
Sepasang mata si Penyerang Misterius itu membeliak lewat celah pada sampurnya. Dan ia terlongong dengan mulut menganga saat tombak Bao Ling sudah menancap di dada kirinya. Darah tampak mengucur dari dadanya bersamaan dengan ambruknya tubuhnya yang melimbung. Ia pun terempas jatuh ke tanah. Menelentang mati dengan tombak yang masih menghunus di dada kirinya.
Bao Ling mendekat.
Mencabut tombaknya dari jasad lelaki yang menyerangnya secara misterius tersebut. Setelah itu ia membungkuk, duduk melutut di sisi mayat lelaki itu. Disibaknya sampur yang menutupi wajah lelaki yang sudah dilumpuhkannya itu kemudian. Dan alangkah terkejutnya ia saat melihat wajah si Penyerang Misterius yang sudah memucat itu.
"Zhung Pao Ling?!"
Bao Ling menahan napasnya.
Dahinya mengerut. Sama sekali tidak menyangka kalau si Penyerang Misterius tersebut adalah salah satu pemimpin prajurit intelijen Istana Da-du yang sudah dikenalnya lama. Tetapi, untuk apa Zhung Pao Ling ingin membunuhnya?! Bukankah mereka sama-sama prajurit Yuan, yang mengabdi dan berjuang untuk Kaisar Yuan Ren Zhan?! tanyanya membatin.
Sesaat Bao Ling menggeleng sebelum menutup kelopak mata mayat sahabat seperjuangannya itu dengan sekali sapuan telapak tangan. Tak ada bukti yang dapat menunjukkan siapa dalang sebenarnya dari usaha pembunuhan dirinya setelah tubuh jenazah diperiksa sebentar tadi. Ia berdiri. Menghela napas panjang.
Ah, konspirasi apa lagi yang akan terjadi untuk menggulingkan kekuasaan Kaisar Yuan Ren Zhan?!
Bao Ling membatin getir sebelum melompati punggung kudanya tanpa menapaki sanggurdi, dan memacu langkah hewan bertenaga serta bernapas kuat itu dengan gebahan sepasang tumitnya pada perut kuda. Ia mesti cepat-cepat ke pos pengawasan Tembok Besar. Menyampaikan maklumat Kaisar Yuan Ren Zhan untuk Fa Mulan yang dimutasikan di sana setelah kemenangan gemilangnya atas penumpasan pemberontakan Han di Tung Shao.
Mumpung masih ada waktu.


Fa Mulan
Refleksi Nyanyian Cinta

***

Fa Mulan menghela napas panjang.
Dinikmatinya udara yang melingkar hangat di paru-parunya. Angin yang berembus lembut setelah melewati lembah-lembah dan bukit-bukit beriklim basah nun jauh di sana telah pula membasuh sekujur tubuhnya dengan nyaman. Seperti selubung selendang satin yang terbuat dari kepompong ulat sutra. Menyenangkan sekali.
Jarang-jarang ia memiliki banyak waktu luang untuk berleha-leha. Melepas sejenak penat akibat maharana yang amat meresahkan dan melelahkan. Seminggu belakangan ini ia tidak pernah diganggu lagi dengan ulah kaum nomad dan beberapa jasus misterius yang hendak melompat serta melewati Tembok Besar.
Diam-diam ia selalu bersyukur untuk itu.
Betapa sejuk dan damainya Tionggoan tanpa perang. Betapa indahnya alam yang merupakan anugerah langit untuk kehidupan beraneka ragam makhluk hidup beranak-pinak kalau saja dunia tempat berpijak ini tidak dirundung maharana. Andai saja suasana dunia terus seteduh begini!
Ia ingin semua nadir ulah manusia lekas berlalu. Ia ingin dunia menjadi sebuah rumah tangga raksasa, di mana semua manusia saling bersaudara di bawah naungan dan perlindungan kaisar dan permaisuri sebagai orangtua yang bijak.
Tetapi apakah ia terlalu naif menyikapi semua itu? Sementara nyaris semua pemimpin di tanah Tionggoan ini seperti tidak peduli atas sikap mereka yang loba. Semuanya berlomba-lomba merebut kekuasaan. Saling menjatuhkan satu sama lainnya sehingga pertumpahan darah menjadi satu-satunya alternatif dalam mewujudkan ambisi mereka. Lalu pada akhirnya pedang dan tombak menjadi wahana, penopang cita ambigu yang telah mematikan nurani. Syak wasangka dan intrik menjadi lafaz para pangeran di Istana. Saudara sedarah akan saling membunuh demi Kursi Tunggal Sang Naga. Tidak ada lagi keharmonisan dan keselarasan.
"Kapan Tionggoan dapat damai sejahtera?"
Suatu waktu semasa wamil dulu, ia pernah membuncahkan keresahannya kepada Chien Po. Ia tidak pernah dapat memendam perasaannya yang galau terhadap ulah batil beberapa penguasa Istana.
"Hah, kapan? Kapan katamu?"
"Memangnya kenapa?"
"Hei, sadar tidak, Mulan. Kita ini hanya prajurit wamil. Huh, tahu apa kita tentang politik Istana?"
"Kalau efek perbuatan batil mereka berimbas kepada kita sebagai rakyat kecil, bukankah hal itu akan menjadi urusan kita juga? Ya, urusan kita. Urusan saya, juga urusan kamu."
"Saya mengerti. Tapi, kontribusi apa yang dapat kita lakukan terhadap perbaikan dan pengembangan negara ke arah yang lebih baik? Apa yang dapat dilakukan jongos Yuan seperti kita ini? Sudahlah, Mulan. Sekarang, kerja kita hanya bertempur. Itu saja. Jangan berpikir macam-macam. Dan, ingat! Jangan bertingkah macam-macam."
"Tapi kalau kebatilan dibiarkan berkembang di Tionggoan, rakyatlah yang akan semakin menderita. Rakyat jugalah yang akan semakin sengsara. Bencana perang dan kelaparan di mana-mana. Rakyat tidak punya tempat berteduh lagi. Dunia jadi seperti neraka."
"Neraka? Hahaha. Jangankan neraka, surga pun dapat mereka buat. Itulah predestinasi bagi putra langit."
"Kamu picik!"
"Hahaha. Jadi, harus bagaimana lagi? Bukankah absoluditas ada di tangan mereka?"
"Memangnya kamu tidak punya hati, Chien Po?!"
"Hahaha."
"Kenapa tertawa?"
"Kamu lucu!"
"Lucu kenapa?!"
"Yah, lucu."
"Kamu aneh."
"Bukan saya yang aneh. Tapi kamulah yang aneh, Mulan."
"Saya? Kenapa saya?!"
"Iya. Pikir dengan otak, Mulan. Bagaimana kamu dapat memperbaiki Tionggoan kalau kamu tidak sadar dengan keterbatasan diri kamu itu?"
"Memangnya...."
"Kamu itu perempuan."
"Memangnya kenapa kalau saya perempuan?! Apa perempuan tidak bisa berbakti dan mengabdi untuk negara?!" tuntut Fa Mulan tersinggung. "Apa perempuan demikian lemah sehingga harus terpinggirkan oleh laki-laki?!"
"Hahaha. Saya tidak merendahkan kaummu."
"Tapi, saya tidak bisa menerima hal tersebut yang, bahkan sudah meluri. Pendiskreditan kaum perempuan terus menerus dan sepanjang masa merupakan dosa besar bagi saya. Dan camkam satu hal, Chien Po! Perempuan tercipta setara dengan laki-laki. Semuanya, baik laki-laki maupun perempuan mulanya fitrah. Namun dalam perjalanan hidup mereka, para laki-laki menganggap diri mereka 'lebih' di atas kaum yang lainnya. "
"Mungkin, mungkin, Mulan. Tapi, dalam kenyataannya laki-lakilah yang selalu memegang peranan penting dalam berbagai bentuk pemerintahan. Kepala rumah tangga, contohnya. Untuk tampuk pimpinan kemiliteran, dan bahkan kaisar sebagai tokoh tertinggi pemerintahan."
"Ka-kamu...."
"Hahaha...."
"Lantas, bagaimana dengan Kaisar Wu Zetian pada Dinasti Tang dulu?! Apakah beliau bukan perempuan?!"
"Wu Zetian?"
"Ya, Wu Zetian."
Wu Zetian yang dimaksud Fa Mulan adalah kaisar perempuan pertama di Tionggoan. Naiknya perempuan itu sebagai kaisar menggantikan mendiang suaminya penuh dengan intrik dan darah. Sepeninggal suaminya, Kaisar Taizong, Wu Zetian pun memimpin Tionggoan dengan kekuasaannya yang dianggap absolut oleh lawan-lawan politiknya. Ia dianggap kejam dan tiran. Menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang menghalangi ia menduduki takhta di Kursi Tunggal Sang Naga sebagai kaisar Dinasti Tang.
"Wu Zetian memiliki posisi yang berbeda dengan kamu, Mulan," sahut Chien Po menanggapi ulasan Fa Mulan tentang kaisar perempuan pertama di Tionggoan itu.
"Berbeda bagaimana? Toh kami sama-sama perempuan!"
"Saya tahu. Tapi ingat, Wu Zetian adalah permaisuri utama Kaisar Taizong. Beliau dekat dengan puncak kekuasaan Dinasti Tang. Beliau juga sudah turun-temurun hidup di dalam lingkungan Istana sebagai perempuan yang terlahir dalam keluarga berdarah biru. Kehidupan beliau tidak dapat dilepaskan dari politik Istana. Jadi kamu jangan samakan beliau dengan kamu."
"Tapi...."
"Maaf. Bukannya saya mengecilkan arti keberadaan kamu. Tapi, berhasil masuk ke Kamp Utara ini dengan menyamarkan identitas diri saja rasanya sudah lebih dari cukup. Jadi, jangan berpikir yang muluk-muluk lagi untuk dapat memperbaiki politik kisruh Tionggoan. Lagipula, hal itu bukan urusan kita. Jenderal-jenderal di Ibukota Da-du saja mungkin acuh tak acuh terhadap persoalan negara. Beberapa di antara mereka malah hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat."
"Makanya saya...."
"Makanya apa? Makanya kamu ingin menjadi pahlawan Tionggoan? Menjadi figur penyelamat rakyat yang tertindas oleh kezaliman penguasa batil? Lalu, memimpin Tionggoan dengan bijaksana? Begitu?"
"Kalau iya, memangnya kenapa?"
"Hah, apa kamu mau bersaing dengan pangeran-pangeran di Istana Da-du untuk menggantikan Kaisar Yuan Ren Zhan bila mangkat kelak?"
"Hei, siapa bilang begitu?!"
"Hahaha."
"Ka-kamu...."
"Maaf. Jangan marah, Mulan. Tapi sebagai seorang perempuan, apa yang menjadi cita-cita luhur kamu itu mungkin hanyalah fatamorgana."
"Tapi kalau bukan kita yang peduli terhadap nasib bangsa, harus siapa lagi?! Memangnya mengharap arwah para leluhur yang sudah berada di alam baka?! Untuk persoalan besar negara, bukannya sok pahlawan, tapi saya tidak ingin bakhil moral. Sebisa mungkin saya akan mengkontribusikan tenaga dan pikiran saya untuk perbaikan tatanan politik Yuan. Apa pun bentuknya. Sebab nasib rakyat harus lebih baik dari sekarang. Mereka harus hidup makmur dan sejahtera."
"Hahaha."
"Ah, sudahlah, Chien Po! Kamu bukannya memotivasi saya, malah menjatuhkan semangat."
Fa Mulan terjaga dari kenangan silam masa lalunya ketika angin sepoi menampar-nampar pipinya. Ia tersenyum tanpa sadar. Setiap petang, ia memang selalu mengangin-anginkan dirinya. Berdiri di atas Tembok Besar setelah lebih memilih keluar dari tenda ketimbang baringan seperti yang dilakukan oleh banyak prajurit - yang jarang memiliki cukup waktu tidur. Biasanya ia akan berdiri lama sampai gemintang mulai menampakkan diri, serta satu-dua di antara basir bintang tersebut berkelap-kelip seperti mata flamboyan sang penggoda yang tengah mengedip ke arahnya.
Tetapi bukan semata hal itu sebenarnya. Namun lebih pada memori masa kanak-kanaknya yang sarat dengan kenangan. Ingatannya terseret jauh ke belakang. Ada lelaki tua bersorot mata teduh yang senantiasa menemani malam-malamnya menjelang tidur. Membelai-belai pipinya dengan telapak tangannya yang ringsing. Menghadiahinya seperangkat cerita dan dongeng sebelum ia benar-benar terpulas, dan bertemu tokoh-tokoh berhati baik di langit lewat mimpi-mimpinya yang indah.
Namun setiap kali ia terbangun, semua mimpi indahnya itu akan menjelma menjadi mimpi buruk yang melantakkan hati kecilnya. Seorang ibu bernama Fa Li adalah mimpi buruk itu.
"Mulan...."
Dulu ia selalu diantipati oleh ibu kandungnya sendiri. Ia dianggap biang petaka seorang ibu yang mendambakan mendapat seorang anak lelaki penerus marga Fa. Ia dianggap iblis kecil yang memangsa janin laki-laki yang dikandungnya.
"Dia iblis yang memangsa janin laki-laki kita, Fa Zhou!"
"Kamu terlalu percaya pada ramalan Peramal Tua itu, Fa Li!"
"Percaya atau tidak percaya, anak perempuan ini merupakan jelmaan iblis yang menghancurkan impian kita untuk memiliki anak laki-laki!"
"Saya tidak percaya dengan omong kosong itu. Tidak peduli dia laki-laki atau perempuan, yang penting dia adalah anak kita. Darah daging kita!"
"Kamu naif, Fa Zhou! Lihatlah, apa yang dibawa oleh jelmaan iblis itu dalam keluarga kita. Sejak kelahirannya, dusun kita mengalami musibah bencana alam berturut-turut. Prahara datang silih berganti tanpa henti. Apakah itu bukan merupakan bukti kalau bayi jelmaan iblis ini bukan biang prahara bencana bagi kita semua?!"
"Kamu sudah keterlaluan! Dia bayi kita! Anak kita! Darah daging kita! Tega-teganya kamu bilang kalau Mulan adalah anak jelmaan iblis!"
"Memang iya. Dia menyebabkan saya tidak akan dapat melahirkan anak lagi. Iblis itu sudah bersemayam di rahim saya!"
Ketika itu Fa Zhou ayahnya sangat terpukul dengan keputusan ibunya yang tidak pernah menganggap Fa Mulan sebagai anak sahih, yang terlahir dari rahimnya sendiri. Yang menganggap Fa Mulan sebagai anak yang berasal dari darah dan dagingnya sendiri!
Maka sejak saat itu, ayahnyalah yang menjadi ibu dan ayah bagi dirinya. Selama bertahun-tahun menginjak pertumbuhan masa kanak-kanaknya, perempuan itu tidak pernah mau merawatnya. Ia masih saja terus mengutuk seorang Fa Mulan sebagai jelmaan iblis. Sampai-sampai ia terlantar, dan merasa tidak memiliki seorang ibu lagi.
Sampai sekarang ia merasa sangat sedih bila mengingat kenangan pahit hidupnya semasa kanak-kanak itu. Meski sekarang Ibu Fa Li tidak mengantipatinya sesarkastis dulu, tetapi ia masih melihat sisa-sisa kekecewaan di wajah perempuan tua itu, sebab tidak pernah dapat melahirkan seorang anak laki-laki. Laki-laki yang dianggap jauh lebih mulia dibandingkan perempuan. Karena hanya laki-lakilah yang dapat meneruskan kelangsungan marga Fa.
Tetapi bukan pilihannya untuk terlahir sebagai seorang perempuan. Juga sebaliknya, memilih untuk dilahirkan sebagai laki-laki. Toh hal tersebut sudah menjadi keputusan langit. Lalu, apakah predestinasi itu akan dikutuknya sebagai sebuah ketidakadilan?! Kenapa ibu kandungnya sendiri berlaku tidak adil padanya hanya lantaran ia terlahir sebagai seorang perempuan?! Sebegitu tinggi dan mahalkah harkat seorang laki-laki sehingga kaum itu disanjung setinggi langit?!
Fa Mulan menggeleng. Bibirnya bergetar kemu. Ada rasa sakit yang mengaduk-aduk hatinya sehingga membilurkan luka lama yang sampai sekarang masih meruyak batinnya.
"Fa Mulan!"
Lamunan Fa Mulan buyar seketika oleh sebuah panggilan tegas yang merunut namanya lengkap. Ia berbalik, melempar secuil senyum sebagai balasan dan tanggapan menutupi reaksi keterkejutannya. Shang Weng sedari tadi telah berdiri di belakangnya tanpa disadarinya. Entah sudah berapa lama.
"Kamu tidak apa-apa?"
Gadis berpipi sehalus pauh dilayang itu mengangguk. Ia berdeham sebelum membuka suara.
"Atau, apa kamu sakit?"
Fa Mulan menggeleng. "Tidak, Kapten Shang. Maaf, saya tidak menyadari kehadiran Anda," tuturnya sedikit jengah.
"Hm, tidak apa-apa," balas Shang Weng. "Kamu tidak beristirahat di dalam tenda?"
"Tidak. Saya belum dapat tidur. Lagipula, kalau sehari-harian di dalam tenda rasanya pengap sekali. Makanya, saya lebih memilih berada di luar tenda untuk mengangin-anginkan diri," jelas Fa Mulan sembari mengelus-elus gagang pedang Mushu-nya. "Eh, Kapten Shang sendiri belum beristirahat di dalam tenda?"
"Belum."
"Oo."
"Kamu tadi sedang memikirkan apa?" tanya Shang Weng, menyeret kalimatnya ke topik inti sembari melangkah menyenderi dinding bahu Tembok Besar. Menyejajari tubuh Fa Mulan yang juga sudah memunggungi dinding bahu Tembok Besar yang sudah berlumut.
"Tidak ada."
"Jangan bohong. Saya tahu seorang Fa Mulan tidak akan semurung tadi kalau tidak ada masalah," cecar Shang Weng.
"Apakah wajah saya tadi sekeruh air cucian...."
"Mulan," Shang Weng menghela napas, seperti menyesali tindakan pura-pura gadis yang telah lama dikasihinya itu. "Kalau ada masalah, saya harap kamu mau berbagi."
"Tapi saya memang tidak mempunyai masalah, Kapten Shang."
"Semua orang pasti memiliki masalah. Tinggal bagaimana mereka menghadapinya. Saya ingin kamu jujur. Kamu boleh bercerita apa saja kepada saya. Saya siap membantu sebisa mungkin."
"Saya tidak ingin menyusahkan orang lain."
"Justru, saya tidak ingin melihat kamu susah."
"Tapi...."
"Kamu tidak percaya sama saya, Mulan?"
"Bukan begitu."
"Lalu?"
"Saya tidak ingin melibatkan orang lain dalam kesulitan saya," Fa Mulan mengibaskan tangannya dengan lembut. "Lagipula, saya dapat menyelesaikan masalah pribadi saya sendiri. Tidak perlu bantuan orang lain. Ah, sudahlah, Kapten Shang. Lebih baik jangan membicarakan hal-hal pribadi. Mungkin lebih baik kalau kita berkonsentrasi saja pada urusan negara. Hm, saya harap tidak akan terjadi apa-apa pada saat Festival Barongsai di Ibukota Da-du minggu depan."
"Jangan mengalihkan pembicaraan."
"Tapi...."
"Mulan, saya harap kamu dapat menerima saya bukan hanya sebatas atasan."
"Maaf...."
"Mulan...."
"Saya kira, sebaiknya saya beristirahat...."
"Tunggu, Mulan!" Shang Weng tergopoh, mengurungkan niat gadis yang sangat dicintainya itu untuk melangkah pergi. "Saya harap hubungan kita ini dapat lebih dari sebatas teman. Sa-saya mencintai kamu!"
Fa Mulan kembali mengibaskan tangan.
Ditekuknya wajah lebih dalam ke ceruk dada. Sesaat memejamkan mata dan menggigit bibir sebelum mengembuskan napas keras-keras. Sungguh. Saat ini ia tidak ingin membahas soal-soal pribadi. Ia tidak ingin menanggapi kalimat cinta yang berungkali diucapkan oleh pemuda atasannya tersebut. Rasanya masih belum pantas dan terlalu dini memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan hati.
"Sudahlah, Kapten Shang. Saya...."
"Maafkan saya, Mulan."
"Maaf untuk apa?"
"Untuk sikap saya yang kekanak-kanakan di Tung Shao tempo hari. Saya sadari kalau saya memang terlalu cemburu terhadap hubungan pertemanan kamu dengan Bao Ling."
Fa Mulan kali ini menarik napas.
Sekali lagi memejamkan matanya sebelum mengembuskan udara kuat-kuat dari dalam paru-parunya. Tak sadar ada senyum bernada sinis yang menyembul di pelepah bibirnya.
"Saya sudah memaafkan Kapten Shang sejak saat itu. Jadi...."
"Mulan," Shang Weng meluruskan punggungnya, menjauh sedepa dari senderannya di dinding bahu Tembok Besar. Disentuhnya lembut sisi kanan bahu Fa Mulan, seolah mencetuskan penyesalan yang dalam lewat getaran nadi di telapak tangannya. "Ti-tidak. Saya tahu kamu masih membenci saya sejak kejadian itu. Kamu masih membenci sikap sarkastis saya. Tapi sungguh, semua saya lakukan karena saya sangat mencintai kamu."
"Maaf, Kapten Shang," Fa Mulan mengangkat telapak tangannya di hadapan Shang Weng. "Tolong jangan membicarakan hal-hal pribadi lagi!"
"Mulan...."
"Jangan mendesak, Kapten Shang. Saya tidak ingin, justru karena kekerasan hati Kapten Shang, membuat saya jadi tidak pernah akan memaafkan Kapten Shang lagi."
"Tapi...."
"Tolong, Kapten Shang!" Fa Mulan mendesis dengan rahang yang mengeras. "Tolong hargai keputusan saya untuk tidak mau membahas masalah-masalah pribadi!"
Fa Mulan menatap tajam ke sepasang mata yang tampak tengah memohon itu.
Terus terang, ia paling benci melihat kerapuhan seorang satria. Ia paling tidak suka melihat laki-laki yang menitikkan airmata cengeng. Terlebih ketika tangis itu tercurah untuk sesuatu yang bernama cinta.
Mungkin ia terlalu naif mengartikan ketulusan Shang Weng. Disadarinya hal itu sebagai bagian dari pergolakan batin. Di satu pihak, ia memang mencintai pemuda itu. Tetapi di pihak lain, ia telah dibentuk dan dikukuhkan oleh keadaan untuk senantiasa bersikap tegar serta mengenyahkan romantisme-romantisme cengeng begitu. Sebab ia mesti menjadi Fa Mulan yang tangguh. Yang sanggup menghadapi terjangan badai dan topan tanpa bantuan orang lain - terlebih-lebih kepada makhluk yang bernama laki-laki! Bukannya perempuan yang hanya dapat meratapi nasibnya yang tertindas oleh kultur turun-temurun ribuan tahun lampau!
Ya, Dewata!
Fa Mulan menggigit bibir keras-keras.
Apakah ia telah demikian berdosa telah menyakiti pemuda yang sesungguhnya dicintainya itu?! Bukankah ia telah bertindak apatis, dan tidak jujur terhadap nuraninya sendiri?!
Bukankah kejujuran harus dijunjung setinggi langit?! Bukankah kejujuran mesti ditaruh pada tempat teratas?! Lalu, kenapa ia harus berbohong dan menampik cinta pemuda itu?! Bukankah apa yang telah dilakukannya itu sama juga dengan menorehkan mata pedang di hatinya sendiri sehingga bergelimang darah?!
Ia menggeleng, masih menggigit keras pelepah bibirnya sehingga nyaris berdarah. Sungguh. Ia tidak ingin berada di dalam dilematisasi ini!
Shang Weng menundukkan kepala.
Ia sudah berputus asa. Tidak ada hal yang lebih baik ketimbang mundur perlahan meskipun hatinya terluka parah. Mungkin itulah satu-satunya jalan yang mesti ditempuhnya agar tidak ada yang lebih terluka lagi. Bagaimanapun, ia tidak bisa memaksakan kehendak cintanya pada gadis yang tidak mencintainya!
"Baiklah, Mulan. Mulai hari ini saya tidak akan mengganggu kamu lagi. Saya akan berusaha sekuat mungkin untuk melupakan kamu. Melupakan gadis yang paling saya cintai!"
Lalu pemuda itu memutar tumit.
Melangkah dengan gontai menuju tendanya di bawah kaki Tembok Besar. Sekali lagi hatinya terkoyak oleh kekerasan dan keteguhan hati gadis yang dikasihinya itu. Mungkin ia memang bukan terlahir untuknya. Matanya perlahan membasah.
"Kapten Shang!"
Shang Weng menghentikan langkahnya. Ia hanya berhenti di salah satu titik binar panggilan Fa Mulan tadi. Tidak menoleh. Dan hanya mematung dengan kepala yang masih terkulai lemas.
"Maafkan saya!"
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tidak bersalah."
"Tapi, saya telah menyakiti hati Anda, Kapten Shang."
"Itu karena kesalahan saya sendiri. Terlalu mengharap dan mencintai gadis yang sama sekali tidak mencintai saya."
"Kapten Shang...."
"Saya yang salah, Mulan. Maafkan saya yang terlalu mencintai kamu!"
"Sa-saya...."
"Sudahlah, Mulan. Saya harap hubungan kita ini tetap terjalin seperti biasa. Saya harap kamu jangan menyimpan benci terhadap sikap sarkastis saya yang selalu ingin memaksakan kehendak cinta saya. Anggap saja semua itu hanya masa lalu."
Terdengar derap langkah kaki yang berlari kecil di belakangnya, dan berhenti pada satu titik tepat sedepa dari punggungnya.
"Sa-saya sebenarnya juga cinta Anda, Kapten Shang!"
Ada gemuruh yang mendebum di hatinya. Shang Weng memutar tubuhnya, dan sertamerta merangkul gadis di hadapannya. Dirasakannya pipinya yang membasah oleh titik airmata gadis yang dikasihinya itu.
Mereka masih berangkulan ketika selaksa gemintang sudah bertabur di langit kelam. Di bawah kaki-kaki Tembok Besar, unggun-unggun jingga tampak bermekaran seperti yang-liu di penghujung musim. Gemeratak abnus dan kayu-kayu bakar mengiramai nada hati mereka yang sedang bernyanyi.
Cinta dan maharana memang hanya sebatas maya.


Fa Mulan
Nyanyian Asmara di Tembok Besar

***

"Kenapa tertawa?"
Shang Weng mengatupkan bibir. Berusaha menahan tawa yang masih meruap dari kerongkongannya. Gadis yang baru saja mengungkapkan perasaan hatinya itu mematung di hadapan. Seperti tidak percaya atas keterusterangannya barusan, ia mengulaikan kepala sebagai reaksi jengah keterkejutan. Sama sekali tidak menyangka dapat mengungkapkan isi hatinya. Entah dorongan kekuatan gaib mana yang mendesak-desaknya untuk berkata jujur. Jujur terhadap rasa cintanya kepada pemuda bermata elang itu, yang sudah lama dipendamnya semasa wamil dulu.
"Tidak apa-apa," jawab Shang Weng tersipu.
Fa Mulan masih tidak berani menatap wajah Shang Weng yang menyumringah. Bahkan ketika pemuda itu menggandeng tangannya untuk turun dari Tembok Besar dan masuk ke dalam tendanya, ia masih serasa bermimpi. Apakah ini emansipatif dan afeksiliasi yang kali pertama dilakukan seorang perempuan selama ditabukan ribuan tahun lamanya?!
Sungguh.
Ia merasa ajaib dengan kejadian barusan!
"Jangan bohong. Pasti ada apa-apa kalau Anda tertawa begitu, Kapten Shang."
"Sungguh. Tidak ada apa-apa," elak Shang Weng sembari menggayutkan sepasang tangannya yang kokoh di bahu Fa Mulan. Sesekali telapak tangannya menghapus titik-titik airmata yang masih basir menempel di pipi gadis satria itu.
"Tidak ada apa-apa?" cecar Fa Mulan, sekilas melirik Shang Weng yang masih menatapnya dengan lembut. "Kalau tidak apa-apa kenapa Anda tertawa?"
"Itu karena...."
"Karena apa?"
"Hm, saya pikir...."
"Anda pikir apa?!"
"Sa-saya pikir...."
Shang Weng tergeragap, menggantungkan kalimatnya sehingga tak rampung. Sesaat menekuk wajahnya dengan menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya yang sipu. Sementara itu Fa Mulan masih berusaha mencecar pemimpin tertinggi di Kamp Utara tersebut dengan beragam pertanyaan bernada penasaran.
"Pikir apa, Kapten Shang?!"
Tawa Shang Weng kembali meledak. Kali ini ia sudah tidak mampu membendung sesuatu yang menggelitik di hatinya. Gadis satria itu ternyata juga terdiri dari daging dan darah!
"Saya pikir seorang Fa Mulan yang perkasa pantang mengeluarkan airmata."
"Hah, Anda meledek saya, Kapten Shang?!" jerit Fa Mulan, tanpa sadar menepuk-nepuk lembut dada Shang Weng. "Anda jahat, ya?!"
"Bukan...."
Fa Mulan memberengutkan bibir.
Sedikit merasa jengah atas sikap Shang Weng yang gurau. Ia melototkan mata menggambarkan protes. Tetapi pemuda itu malah membahanakan tawanya sehingga tenda tempat mereka bernaung seolah hendak runtuh.
"Habis, tadi saya tidak melihat Fa Mulan yang tegar dan perkasa. Tapi Fa Mulan yang gemulai, menangis layaknya gadis-gadis lain."
"Anda sudah keterlaluan, Kapten Shang!"
"Saya tidak peduli apakah saya keterlaluan atau tidak. Yang pasti saya merasa sudah menang."
"Menang?! Menang kenapa?!"
"Menang karena berhasil membuat seorang gadis satria yang heroik di Tung Shao sampai menangis berlinang air bah!"
"An-Anda...."
Shang Weng belum melepaskan tangannya yang menyandar di bahu Fa Mulan. Tawanya sudah menjelma menjadi senyum. Ia menatap lekat-lekat wajah yang menyumringah jengah di hadapannya. Yang kini menunduk entah karena digolak rasa apa di hatinya.
"Tolong jangan panggil saya dengan nama Kapten lagi."
"Memangnya kenapa?"
"Kamu sudah menjadi milik saya."
"Saya tidak mau bersikap kurang ajar terhadap atasan saya atas alasan apa pun. Apa kata prajurit-prajurit lainnya bila menyaksikan tindakan saya yang tidak santun begitu pada Anda. Maaf, saya tidak bisa memberi contoh yang kurang baik pada prajurit-prajurit lainnya."
"Saya adalah kekasih kamu. Begitu pula sebaliknya, kamu adalah kekasih saya. Jadi kamu memiliki legitimasi untuk itu."
"Siapa bilang begitu?" Fa Mulan kembali melototkan mata. "Kalau saya cinta Anda, itu belum tentu berarti saya harus menjadi milik Anda, Kapten Shang. Jadi...."
"Tapi kamu sangat berarti bagi saya, Mulan. Saya ingin kita lalui hari-hari yang panjang ini bersama-sama. Saya ingin menikahi kamu!"
Fa Mulan terkesiap.
Sesaat seperti terentak oleh permintaan Shang Weng yang tulus untuk menikahinya. Namun diwajarkannya sikap dengan tersenyum. Seolah tidak terpengaruh oleh kalimat indah selantun litani dari svargaloka tersebut.
"Saya belum siap," tolaknya. "Masih banyak hal yang perlu kita lakukan selain urusan pribadi. Kaisar Yuan Ren Zhan masih membutuhkan kita sebagai abdi negara. Untuk saat ini, yang saya pikirkan hanya masalah negara. Lagipula, saya tidak dapat hidup tenang kalau keadaan negara terus dirongrong perang."
"Tapi sampai kapan, Mulan?!" protes Shang Weng, melepas tangannya dari bahu Fa Mulan. "Apa kamu lupa kalau suatu saat kita semua akan tua?!"
"Tentu saja semua orang akan menjadi tua. Saya juga tahu kalau tidak ada seorang pun yang dapat luput dari hukum alam tersebut. Tapi, alangkah bahagianya kalau dunia ini tenang tenteram tanpa perang. Sebagai prajurit, saya bertanggung jawab moral memikirkan masalah-masalah negara. Bukankah memerangi semua masalah keamanan negara merupakan tanggung-jawab semua warga? Terus terang, saya tidak dapat lepas tangan menyaksikan kekacauan-kekacauan yang terjadi. Saya tidak akan pernah dapat hidup tenang seandainya lari dari tanggung-jawab. Jadi, saya harap Anda bisa paham keputusan saya untuk tidak memberikan jawaban saat ini."
"Saya salut dengan keputusan kamu. Tapi, kapan kamu dapat memikirkan diri kamu sendiri?"
"Saya bahagia apabila negara kita tenteram, Kapten Shang."
"Tapi tidak mesti sampai sebegitu ekstrimnya mengorbankan diri, Mulan!"
"Mati untuk negara pun saya rela."
"Kamu keras kepala!"
"Mungkin. Tapi saya rasa apa yang saya korbankan belum ada apa-apanya bagi negara."
Shang Weng mendengus. "Kepentingan negara dan kepentingan pribadi dapat berjalan seiring, Mulan."
"Tidak mudah membagi dua kepentingan sekaligus secara adil dan berimbang, Kapten Shang."
"Tapi...."
Fa Mulan bangkit berdiri dari duduknya.
Sosoknya membayang sebesar gergasi di dinding kulit kempa lembu tenda disorot cahaya penerangan lampu minyak ketika ia sudah menjarak tiga kaki dari meja. Dijauhinya Shang Weng yang masih duduk dengan rupa gelisah di meja kayu persegi tendanya.
Kali ini ia memang harus menampik akumulatif cinta pemuda itu. Pernikahan merupakan momen indah yang masih serupa angan-angan di benaknya. Sungguh. Ia memang belum siap untuk menerima hal yang mengawang-awang tersebut meski cetusan akur darinya hanya sebatas menganggukkan kepala.
"Maafkan saya, Kapten Shang. Biarlah semua itu kita serahkan kepada Dewata di langit."
Shang Weng mengangguk getas.
Kalimat sanggahan yang hendak keluar dari tenggorokannya mendadak membeku di bibir. Angannya untuk membangun rumah tangga dengan gadis itu terempas jatuh ke tanah. Mungkin ia perlu belajar untuk bersabar. Menunggu sampai hati gadis itu terenyuh. Dan menerima utuh kehadiran dirinya.
Sebab maharana memang masih merisaukan hati gadis itu. Patriotismenya jadi tertantang. Memang benar. Bangsa ini memerlukan kepedulian. Jauh di atas kepentingan-kepentingan pribadi.
"Maaf kalau saya tadi sedikit memaksa," ujar Shang Weng lirih. "Semua saya lakukan karena saya sangat mencintai kamu."
"Tidak apa-apa, Kapten Shang," balas Fa Mulan, berbalik dari tatapannya yang terawang pada dinding kulit kempa lembu tenda. Seperti menyadari dirinya telah larut dalam kubangan durja, ia pun menyeret langkahnya dan duduk kembali di belakang meja. "Saya dapat memafhumi tindakan Anda yang progresif."
Shang Weng mencondongkan badannya lebih dekat ke arah Fa Mulan. Ditatapnya lamat lekuk garis wajah gadis itu yang kini menjingga keperakan ditimpa sinar lampu minyak. Ketegasan pada raut belia itu telah menggambarkan serangkaian perjalanan panjang yang telah dilaluinya. Juga pahit getir kenangan yang semakin mendewasakannya.
"Saya tidak perlu mendengar kalimat maafmu, Mulan."
"Kenapa?"
"Saya tidak merasa kamu pernah berbuat salah terhadap saya."
"Tapi, saya selalu membuat Anda gusar."
"Itu karena kesalahan saya sendiri."
"Kalau bukan permintaan maaf, lantas saya harus berbuat apa untuk menebus kesalahan saya kepada Anda, Kapten Shang?"
"Hei, untuk apa minta maaf kalau kamu tidak pernah berbuat salah sama saya."
"Lalu...."
"Saya cuma minta kamu jangan memanggil saya lagi dengan Kapten."
"Saya tidak bisa!"
"Harus bisa! Ini perintah!"
"Dipenggal pun saya tidak akan pernah mau."
"Kenapa?"
"Karena Anda adalah atasan saya."
"Hei, siapa juga yang bilang kalau saya ini merupakan bawahan kamu."
"Justru karena itu saya harus tetap memanggil Anda dengan Kapten. Kecuali...."
"Kecuali apa?"
"Kecuali saya yang Kapten, dan Anda yang Asisten."
"Hah?! Jadi, kamu bermaksud menggantikan posisi saya?"
"Memangnya kenapa kalau iya?"
"Hei, berarti kamu bermaksud makar ya?"
"Bukan makar. Tapi merebut kekuasaan dari tangan Anda."
"Hah, bernyali sekali!"
"Apa salah? Memangnya, hanya Anda yang dapat menduduki jabatan posisi atas?"
"Kalau begitu, saya memiliki alasan kuat untuk memenggal kepalamu!"
"Hah, sebegitu kejamnya?"
"Ya, masih lebih baik kalau cuma kepala kamu yang dipenggal. "
"Memangnya...."
"Tentu saja. Kalau hukuman untuk kamu itu 'harus segera menikahi saya', apa kamu mau?"
Fa Mulan terkikik.
Suram suasana serupa mendung tadi kini disaput senyum dan tawa. Shang Weng mengurai kalimat jenaka. Membiarkan gadis yang dikasihinya terbahak untuk sesaat.
"Hah, memangnya kita ini sedang membahas masalah apa? Memangnya Anda ini Sang Kaisar yang ingin saya kudeta apa?"
Mereka masih tertawa ketika terdengar derap-derap kuda yang menderas mengarah ke tenda, memecah kesunyian malam di Tembok Besar. Fa Mulan berdiri. Menyeret langkahnya ke ujung tenda. Menyibak salah satu daun tenda sebelum melongokkan kepala keluar. Dilihatnya lima prajurit jaga tengah mendekati sang Penunggang Kuda.
"Maaf mengganggu istirahat kalian," sahut sang Penunggang Kuda. "Saya Prajurit Kurir Bao Ling. Datang membawa maklumat atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan!"


Bao Ling
Refleksi Maklumat

***

Fa Mulan mengusap wajah.
Diamatinya wajah penasaran Bao Ling yang mengabarinya perihal undangan Istana Da-du kepadanya, sesaat setelah Shang Weng pamit keluar dan kembali untuk beristirahat ke dalam tendanya.
"Anda harus menghadiri undangan dari pihak Istana Da-du itu, Asisten Fa."
"Saya merasa tidak punya korelasi apa-apa terhadap acara kabir Kaisar Yuan Ren Zhan tersebut, Bao Ling."
"Justru karena kontribusi Anda yang besarlah sehingga Kaisar Yuan Ren Zhan, melalui Jenderal Gau Ming bersikeras menghadirkan Anda pada Festival Barongsai nanti."
"Untuk apa?"
"Saya tidak berani berasumsi. Tapi kalau bukan sebagai bentuk ungkapan terima kasih Istana Da-du kepada Anda, apa lagi yang mendasari sampai pihak Istana Da-du mengeluarkan maklumat untuk memanggil Anda?"
"Pihak Istana Da-du terlalu membesar-besarkan kemenangan kita atas pemberontak Han di Tung Shao. Padahal, pertempuran sama sekali belum berakhir. Mereka hanya terdesak mundur. Nah, suatu saat kalau mereka merasa sudah kuat, pasti mereka akan menyerang Ibukota Da-du kembali. Makanya, saya tidak ingin mengambil kesimpulan kalau kita ini sudah menang. Dan tidak perlu dirayakan secara besar-besaran begitu."
"Asisten Fa...."
Fa Mulan mengangkat sebelah tangannya ke hadapan Bao Ling yang masih membujuk dengan wajah cemas. Amanat Jenderal Gau Ming atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan mesti dipatuhinya sebagai sebuah keputusan mutlak. Sebagai prajurit Yuan, ia tahu sanksi apa yang akan dijatuhkan kepadanya apabila gagal menjalankan perintah tersebut.
"Sudahlah, Bao Ling," Fa Mulan menyalib sembari mengibaskan tangannya yang menggantung di udara tadi. "Sampaikan saja terima kasih saya yang sebesar-besarnya untuk pihak Istana Da-du."
Bao Ling tercengang dengan wajah lesi. "Tapi, mana boleh Anda tak mengacuhkan amanat yang merupakan maklumat Kaisar Yuan Ren Zhan, Asisten Fa?!"
Fa Mulan menghela napas panjang.
Euforia kemenangan atas pemberontak Han di Tung Shao menggamangkan hatinya. Bukan atas sanksi hukuman yang kelak dijatuhkan kepadanya bila menolak hadir pada Festival Barongsai tersebut. Bukan pula terhadap sebentuk pembangkangan yang melalaikan maklumat penguasa tertinggi Tionggoan.
Namun lebih dari semua itu.
Lebih dari semua itu. Bahwa perjuangan yang belum rampung dan maharana yang terus-menerus merundung tanah Tionggoan merupakan hal yang masih menggalaukan hati. Sukses penangkalan musuh belum pantas dianggap sebagai sebuah kemenangan. Segalanya masih membabur.
"Asisten Fa...."
"Sampaikan saja pesan saya itu."
"Ta-tapi, Anda tidak bisa semudah itu menampik undangan atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan, Asisten Fa. An-Anda tahu sanksi apa yang akan dijatuhkan kepada Anda bila menolak!"
"Bao Ling, tolong. Saya tahu ini berat. Tapi, saya juga punya alasan untuk tidak mengikuti undangan pihak Istana Da-du."
"Tapi, ini perintah, Asisten Fa!"
Fa Mulan menggigit bibir.
Inilah otoriterisasi tiran yang berlangsung turun-temurun. Berlangsung berabad-abad lamanya. Pemaksaan kehendak atas nama kekuasaan telah menyebabkan tanah Tionggoan menelangsa. Rakyat tertindas dan menjadi korban maharana yang menggembur.
"Apa saya akan dipancung hanya lantaran hal itu?" Fa Mulan terbahak. "Apa saya akan dipenggal hanya karena tidak mengikuti keinginan Kaisar Yuan Ren Zhan untuk menghadiri acara kabir tersebut? Naif, naif sekali!"
Bao Ling menelan ludahnya dengan susah-payah.
Ia masih menunduk, tak berani menatap nanar pada kedalaman sepasang manik mata bagus Fa Mulan. Hanya takzim mendengarkan desisan satu-satunya gadis yang berani menyaru menjadi laki-laki dan bergabung sebagai prajurit di Dinasti Yuan.
"Saya tidak berani berasumsi, Asisten Fa. Tapi...."
"Bukannya saya menolak undangan dari pihak Istana Da-du tersebut, Bao Ling. Tapi, ada kalanya saya memang harus menentang kehendak yang tidak sesuai dengan nurani saya. Bukankah lebih baik kalau biaya pesta kemenangan yang besar itu dibagi-bagikan untuk rakyat? Kaisar Yuan Ren Zhan bisa membeli beras yang sangat banyak untuk kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat miskin di dusun-dusun. Bukannya menghambur-hamburkan harta negara untuk Festival Barongsai yang tidak terlalu membawa faedah apa-apa bagi kepentingan rakyat, kecuali kepentingan politis semata."
"Ya, ya. Saya mengerti penolakan Anda, Asisten Fa. Tapi, bukankah tidak ada salahnya bila Anda menghadiri acara tersebut? Formalitas saja."
"Itulah yang tidak saya inginkan, Bao Ling. Menghadiri acara tersebut sama juga berarti saya menyetujui tindakan euforia Kaisar Yuan Ren Zhan. Lagipula, saya memang tidak ingin dianggap tokoh sentral keberhasilan Yuan menumpas pemberontakan Han."
"Tapi...."
"Keberhasilan kita menggagalkan pemberontakan Han itu tidak terlepas dari andil banyak pihak. Semua yang terlibat di dalam pertempuran Tung Shao memiliki jasa yang sama. Tidak ada yang lebih, dan tidak ada yang kurang. Bagaimana tanggapan orang-orang yang sudah turut bertempur dan berjasa dalam kemenangan Yuan apabila, Fa Mulan seorang dirilah yang dianggap kunci utama keberhasilan tersebut. Bukankah itu akan menyakiti hati mereka? Bukankah hal itu merupakan ketidakadilan bagi mereka? Nah, itulah salah satu alasan mengapa saya enggan menghadiri Festival Barongsai itu, Bao Ling."
Sesaat Bao Ling tidak tahu harus bagaimana lagi menanggapi kekerasan hati Fa Mulan yang menolak mengikuti undangan dari pihak Istana Da-du tersebut. Seumur hidupnya, ia belum pernah menemui gadis setegar Fa Mulan. Gadis itu tak gentar meski kelak menerima sanksi yang paling buruk sekalipun. Idealismenya yang sekokoh karang itu memang patut dijadikan teladan. Tetapi mengabaikan maklumat Kaisar Yuan Ren Zhan sama juga dengan bunuh diri. Entah kapan, seperti menunggu kelamnya sang malam, maka kematian pun tak dapat dihindarkan.
"Asisten Fa...."
"Maaf, Bao Ling. Saya sudah menyusahkanmu. Tapi, saya tetap memilih tinggal di sini demi keamanan Tionggoan. Masih banyak hal yang perlu saya lakukan di sini ketimbang mengikuti Festival Barongsai. Di sini, saya bisa berkontemplasi. Saya tidak mau memandang enteng musuh yang sudah mundur ke barak mereka."
"Tapi, perbatasan Tembok Besar ini sudah dibentengi dengan prajurit dari Divisi Kavaleri Fo Liong, Asisten Fa. Anda jangan terlalu mencemaskan soal musuh yang bakal kembali. Kekuatan mereka sekarang sama sekali tidak sebanding dengan kekuatan divisi kita yang baru."
"Saya tidak ingin takabur dengan kekuatan armada perang kita yang canggih. Karenanya, saya dan Kapten Shang Weng tetap mawas. Mungkin ada hal-hal yang luput dari perhatian. Barangkali mereka tengah menyusun taktik dan strategi baru untuk dapat menaklukkan Ibukota Da-du. Entahlah."
Bao Ling diam menyimak.
Dinalarinya inti kalimat yang barusan dikemukakan oleh Fa Mulan. Tak sadar ia mengangguk mengakuri. Mereka memang tidak boleh lengah barang sekedip mata pun. Kekuatan musuh tidak dapat ditakar dengan melihat armada perangnya. Hal itu telah terbukti di Tung Shao. Ketika prajurit Yuan terdesak oleh pasukan pemberontak Han, Fa Mulan yang sedang memimpin di garda depan sudah tidak memiliki kekuatan apa-apa lagi secara logis dengan kekuatan besar musuh. Toh pada akhirnya juga ia dapat memenangkan pertempuran berkat strateginya yang gemilang.
"Maaf, Asisten Fa. Saya tidak mengintervensi kehendak Anda. Tapi, saya tidak tahu harus berbuat apa atas maklumat Kaisar tersebut. Tentu saja keputusan Anda itu akan berefek buruk bagi penegakan kedisiplinan dalam militer. Maaf sekali lagi. Tindakan Anda itu akan dianggap pembangkangan!"
Fa Mulan mengusap wajah. "Saya tahu konsekuensi apa yang akan saya dapat jika menolak menghadiri undangan dari pihak Istana Da-du tersebut. Saya tahu. Sebagai prajurit, saya akan mempertanggung-jawabkan tindakan saya yang dianggap pembangkangan ini!"
"Asisten Fa...."
"Jangan khawatir, Bao Ling. Saya tidak akan melibatkan kamu. Kalau Kaisar Yuan Ren Zhan gusar dan murka soal ini, maka saya akan menyerahkan kepala saya dengan sukarela untuk dipenggal algojo Istana. Saya tidak akan melarikan diri. Saya siap mati untuk itu!"
"Ta-tapi...."
"Sudahlah, Bao Ling. Saya rela mati demi kebenaran. Mudah-mudahan kematian saya - bila dijatuhi hukuman penggal di kemudian hari karena dianggap membangkang, kelak dapat membuka mata hati Kaisar Yuan Ren Zhan supaya dapat melihat lebih jernih penderitaan-penderitaan rakyat. Saya siap menjadi tumbal demi kemakmuran di Tionggoan ini."
"Saya tidak berani berasumsi hukuman itu pasti dijatuhkan pada diri Anda, Asisten Fa. Saya menilai tidak ada alasan yang tepat kalau Kaisar Yuan Ren Zhan mengambil keputusan keliru itu. Rasanya terlalu mahal mengorbankan seorang patriot hanya lantaran dia indisipliner - tidak menghadiri undangan yang ditujukan kepadanya atas nama Sang Kaisar. Saya harap Kaisar akan mempertimbangkan hal itu bila Anda tetap bersikeras dengan keputusan Anda yang semula itu, Asisten Fa."
"Yah, saya harap juga begitu. Bagaimanapun, Kaisar Yuan Ren Zhan jauh lebih bijak dibandingkan dengan Kaisar Yuan Ren Xie, ayahandanya."
"Betul, Asisten Fa."
"Yah, mudah-mudahan saja ada pengampunan buat saya. Paling tidak, kalau Kaisar Yuan Ren Zhan pun menghukum saya, mudah-mudahan hukuman itu hanya sebatas sanksi administratif saja. Itu pun kalau beliau mengingat jasa-jasa saya di Tung Shao."
"Ya. Saya yakin Kaisar Yuan Ren Zhan pasti bertindak bijak. Hm, kalau begitu, saya tidak akan mendesak Anda lagi untuk menghadiri undangan Istana Da-du itu, Asisten Fa."
"Terima kasih atas pengertianmu, Bao Ling."
Bao Ling mengangguk.
Kali ini ia benar-benar mengakuri semua tindakan tegas Fa Mulan. Dan tidak dapat membujuk dan memaksa gadis itu lagi untuk menghadiri Festival Barongsai yang akan diselenggarakan di kawasan Istana Ibukota Da-du.
"Hm, kalau begitu, saya mohon pamit."
"Eh, tunggu," panggil Fa Mulan, menghentikan niat Bao Ling yang hendak beranjak dari kursinya. "Udara semakin dingin. Hm, sebentar. Saya akan menyeduhkan arak untuk kamu."
"Tidak usah repot-repot, Asisten Fa."
"Tidak. Cuma arak kampung."
Fa Mulan bergerak setelah terpaku beberapa lama di belakang meja tendanya. Dijawilnya dua cawan kecil yang menelungkup di atas meja. Membaliknya dengan sebuah gerakan tak lazim. Seperti menjentik, cawan tersebut terdorong mengarah tepat di depan Bao Ling. Lalu diangkatnya teko kecil yang terbuat dari tembikar itu dengan sebelah tangannya. Sementara tangannya yang lain menelapak di tengah badan teko. Dengan menggunakan tenaga dalam yang tersalur melalui telapak tangan kanannya, cairan arak yang hendak diseduhkannya untuk Bao Ling memancar keluar dan tepat tak luput dari bibir cawan tanpa harus dituangkan sebagaimana lazimnya.
"Hebat. Rupanya ilmu Telapak Fa masih sehebat dulu," puji Bao Ling kagum. "Saya salut."
Fa Mulan tersenyum. "Tidak juga. Di waktu-waktu luang begini, biasanya saya selalu menyempatkan diri untuk melatih ilmu-ilmu beladiri yang sudah saya pelajari dahulu. Mungkin saja saya dapat mengomposisikaannya dengan beberapa ilmu silat lainnya."
Bao Ling tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya di akhir kalimat Fa Mulan. Ia terkenang masa-masa pelatihan semasa wamil dulu. Fa Mulan adalah salah satu prajurit wamil Kamp Utara yang paling tekun dan disiplin. Tubuhnya yang terbilang kecil merupakan sebuah keterbatasan. Untuk itulah ia setiap hari melatih fisiknya seperti tanpa lelah. Ia pun berlatih jauh lebih banyak dari porsi latihan prajurit lainnya. Ia akan berusaha melakukan apa yang gagal dilakukannya dalam sebuah simulasi. Ia mengenyahkan keterbatasan fisiknya itu menjadi suatu kelebihan.
Dalam kurun waktu tak terbatas, ia menyiangi dirinya dengan tempaan-tempaan keras dan penderitaan-penderitaan yang satir menyakitkan. Namun selayaknya fenomena agrarisis, maka ketika masa tunas telah tumbuh, gadis itu telah menjelma menjadi salah satu pemimpin para prajurit di Kamp Utara. Kemenangan atas pemberontak Han di Tung Shao juga menjadi salah satu bukti keberhasilannya yang gilang gemilang.
Tentu saja semua itu tidak dapat diraih semudah membalik telapak tangan. Keberhasilan tersebut memang dibangun dari hasil kerja keras. Semangatnya yang pantang menyerah juga telah membentuknya menjadi prajurit paling tangguh di antara semua prajurit yang ada di Tionggoan!
"Anda masih seperti yang dulu, Asisten Fa. Ulet dan tekun. Pantas saja kalau hanya dalam beberapa tahun kungfu Anda sudah dapat disejajarkan dengan pesilat-pesilat tangguh di Tionggoan."
"Kamu terlalu melebih-lebihkan."
"Tapi kenyataannya...."
Fa Mulan terbahak. "Sudahlah, Bao Ling. Menjadi pesilat tangguh bukan cita-cita saya. Lagipula, saya mempelajari beragam dan menciptakan beberapa ilmu silat hanya sebatas beladiri saja. Tidak bermaksud apa-apa. Kalau kamu menyanjung-nyanjung saya terus, nanti saya bisa menjadi pongah."
"Tapi, Anda memang hebat. Ilmu silat Anda juga merupakan salah satu unsur kekuatan seorang Fa Mulan, patriot Yuan di Tung Shao. Bukankah begitu, Asisten Fa?"
"Aduh, Bao Ling. Kekuatan itu tidak dapat ditakar dengan ketangguhan dan kebolehan ilmu silat yang dimiliki seseorang. Seseorang yang dianggap tangguh dan satria, tidak hanya semata-mata lantaran dia memiliki kemampuan serta keterampilan beladiri yang lihai dan baik. Sebenarnya banyak faktor yang membentuk seseorang menjadi satria."
"Tapi, kalau bukan faktor kekuatan fisik seperti ilmu silat dan beladiri yang baik, memangnya seorang yang dianggap tangguh dan satria tersebut harus mengandalkan apa?"
Fa Mulan tersenyum. "Nah, kamu mulai seperti Yao."
"Yao?" Bao Ling mengerutkan dahinya. Ia teringat prajurit mantan wamil seangkatannya di Kamp Utara tersebut. "Memangnya ada apa dengan Yao, Asisten Fa?"
Fa Mulan meneguk araknya. "Yao dulu selalu mengandalkan kekuatan fisik. Salah satu kelebihan Yao adalah postur tubuhnya yang besar, kekar, dan tegap. Tapi, tahukah kamu, hal itu sama sekali tidak menjamin dia dapat mengalahkan lawannya yang bertubuh jauh lebih kecil darinya."
"Maksud Asisten Fa?"
"Yao pernah bertarung dengan saya di Tung Shao."
"Dan Asisten Fa dapat mengalahkannya?"
"Benar. Tapi, hal itu bukan karena saya memiliki kemampuan beladiri lebih dari dia. Kami sesungguhnya memiliki ilmu silat yang setara meski berbeda aliran. Namun pada kenyataannya, dia tidak dapat mengalahkan saya dalam pertarungan di Tung Shao tempo hari karena dia semata-mata mengandalkan kekuatan otot. Bukan disertai kekuatan otak."
Bao Ling mengangguk-angguk mafhum.
Ia tahu Yao memang memiliki tubuh sebesar beruang. Kekuatan fisiknya sungguh luar biasa. Kemam puan beladiri gulat Mongolnya juga sangat berbahaya. Ia dapat meremukkan tulang-tulang lawan hanya dengan satu telikungan.
"Yao mengandalkan kekuatan fisiknya semata-mata. Selain sebagai sebuah kelebihan, hal itu juga merupakan kelemahan Yao."
"Kelemahan?"
"Ya, kelemahan. Karena menganggap lebih kuat dari lawannya, maka dia akan merangsek terus-menerus tanpa menyadari kalau energi dari tenaga besarnya tersebut suatu waktu dapat habis. Biasanya, lawan yang cerdik akan memanfaatkan hal itu sebagai senjata taktik. Lawan akan berkelit dan mengelak terus sampai tenaga besar orang seperti Yao itu terkuras. Jika sudah begitu, maka lawan dapat dengan mudah mengalahkan petarung seperti Yao, yang hanya mengandalkan kekuatan fisik. Jadi intinya, kekuatan fisik itu dapat menjadi bumerang."
"Jadi maksud Asisten Fa, adalah lebih baik memadukan kekuatan otot atau fisik itu dengan kekuatan otak?"
"Benar. Karena kekuatan fisik itu memiliki keterbatasan yang bila sampai pada titik tertentu akan mengalami penurunan drastis. Sementara kekuatan otak itu nyaris tak terbatas. Kekuatan otak tersebut dapat hadir dalam keadaan paling genting sekalipun. Yah, seperti saat prajurit kita terdesak oleh pasukan pemberontak Han di Tung Shao tempo hari. Berkat ide taktik kamuflase dengan ribuan kuda tanpa penunggang, kita akhirnya dapat memukul mundur musuh yang menyemut di Tung Shao. Kekuatan otak itu di sini termasuk kecerdikan, strategi, taktik, gagasan maupun ide, dan banyak hal lain yang dapat dipergunakan sebagai senjata pamungkas seseorang dalam sebuah pertarungan."
"Wah, Anda benar-benar lihai, Asisten Fa."
Fa Mulan terbahak. "Ah, sudahlah, Bao Ling. Jangan memuji saya lagi. Saya tidak ingin menjadi pongah. Karena pongah juga merupakan salah satu bumerang bagi seorang pesilat dan petarung."
Bao Ling turut terbahak.
Sesaat diamatinya wajah tirus gadis seangkatannya semasa wamil dulu dengan rona kagum sebelum meneguk araknya. Sayang ia belum memiliki keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya kepada gadis manis itu.


Bao Ling
Elegi Enigma

***

"Lengan seragam kamu sobek, kenapa?"
Fa Mulan menangkap sobekan sebesar jari kelingking di lengan kanan seragam Bao Ling dengan ekor matanya saat pemuda itu tengah menenggak araknya. Senyum pemuda itu melamur di akhir pertanyaan Fa Mulan. Ia kembali teringat pada penyerangan misterius terhadapnya dalam perjalanan ke pos pengawasan Tembok Besar ini. Saat bertarung, lengan seragamnya sobek. Mungkin tersangkut ranting pepohonan saat ia bersalto dan bergulingan di tanah menghindari sabetan pedang penyerangnya. Entahlah. Mungkin juga lesatan anak panah yang mendesing di dekat tubuhnya ketika diserang pedanuh dari semak-belukar hutan.
"Saya dihadang oleh beberapa orang di hutan Hwa saat hendak kemari."
Fa Mulan membelalak kaget. "Kamu tidak apa-apa?!"
"Saya tidak apa-apa. Orang yang menghadang saya ternyata salah satu prajurit Istana," jelas Bao Ling, mengernyitkan keningnya karena masih penasaran dengan gelimun maksud pembunuhan dirinya. Tak sadar ia menggeleng. Semuanya masih serupa enigma di benaknya. "Namanya Zhung Pao Ling!"
"Zhung Pao Ling?!"
"Dia adalah Kepala Intelijen Yuan. Dia merupakan salah satu orang kepercayaan Jenderal Gau Ming. Saya tidak tahu apa maksud dia mencoba membunuh saya di hutan Hwa."
"Masalah pribadi?"
Bao Ling menggeleng. "Bukan. Meski sering bertemu di Istana Da-du, tapi saya tidak terlalu akrab dengan Zhung Pao Ling. Mungkin karena saya dan dia menjalani tugas-tugas yang berbeda. Jadi, saya rasa bukan karena masalah pribadi. Lagipula, saya tidak pernah merasa pernah menyinggung ataupun menyakiti hatinya."
"Aneh," desis Fa Mulan dengan sepasang alis yang nyaris bertaut. "Benar-benar aneh."
Bao Ling menghela napas. "Justru itulah yang meresahkan saya, Asisten Fa. Mungkin ada konspirasi yang berkembang di dalam Istana untuk mengganggu stabilitas Yuan."
"Maksudmu...."
"Saya tidak berani berasumsi. Tapi kalau benar, maka saya lebih berpraduga kalau hal tersebut didalangi oleh pihak jasus yang sudah memasuki lingkungan Istana," rekanya, lalu mengembuskan napasnya dengankeras, ekspresi kegalauannya perihal peristiwa miris yang dialaminya di hutan Hwa.
"Tapi, bukankah Zhung Pao Ling merupakan prajurit kepercayaan Jenderal Gau Ming?" tanya Fa Mulan penuh selidik. "Jangan-jangan...."
Bao Ling mengelus-elus dagunya dengan dahi mengerut. "Benar. Tapi, saya sama sekali tidak pernah berasumsi kalau aktor instabilator itu adalah Jenderal Gau Ming. Mana mungkin beliau yang sudah menjadi bagian dari keluarga besar Istana Da-du itu dapat membangkang begitu? Bukankah beliau sudah bersusah-payah bahu-membahu membangun Kekaisaran Yuan sejak ayahanda Kaisar Yuan Ren Zhan berkuasa dulu? Menciptakan instabilator dalam Kekaisaran Yuan itu sama juga berarti beliau meruntuhkan rumah tangganya sendiri yang telah dibangunnya dengan susah-payah. Bukankah begitu, Asisten Fa?"
"Tentu, tentu," Fa Mulan mengangguk-angguk, mengakuri dalih keyakinan Bao Ling terhadap Jenderal Gau Ming yang sudah lama mengabdi untuk Istana. "Meski saya jarang berada di Istana, tapi saya tahu dedikasi macam apa yang dimiliki Jenderal Gau Ming. Tidak mungkin beliau yang melakukan semua rencana busuk tersebut meskipun ada indikasi semacam itu yang mengarah kepada beliau."
"Saya justru khawatir jasus musuh sudah demikian jauh masuk ke Istana, sehingga keselamatan Kaisar Yuan Ren Zhan dan beberapa petinggi militer lainnya tidak dapat terjamin dengan baik lagi. Saya harus menyampaikan kasus ini secepatnya kepada Jenderal Gau Ming setiba di Istana Da-du nanti," tambah Bao Ling, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang kepada lawan bicaranya.
"Ya, saya rasa kamu harus secepatnya kembali ke Istana," desak Fa Mulan, turut merasa khawatir dengan perkembangan terakhir di Istana Da-du. "Situasi Istana pasti tidak kondusif. Bahaya dapat mengancam kapan saja. Di balik keberhasilan Yuan, ternyata kemenangan tersebut menyimpan banyak kelemahan serta hal-hal yang tidak terduga. Mungkin hal itu masih luput dan belum diketahui oleh pejabat intelijen kita. Euforia kemenangan Yuan atas pemberontakan Han membuat pejabat militer kita lengah. Yuan sebetulnya masih di ambang bahaya!"
"Betul, Asisten Fa," akur Bao Ling, menganguk-anggukkan kepalanya keras. "Makanya, paling tidak Anda bisa berandil menyelamatkan negara kembali dengan menghadiri acara Festival Barongsai tersebut," lanjutnya meminta.
Fa Mulan menimbang-nimbang. "Saya belum dapat memberikan jawaban sekarang. Tapi, saya pasti akan mengambil keputusan bila negara dalam bahaya. Mungkin saya akan menyusul kamu nanti ke Ibukota Da-du."
"Terima kasih, Asisten Fa," sahut Bao Ling dengan mata berbinar-binar. "Istana memang sangat membutuhkan atensi Anda."
Fa Mulan mengangguk. "Sayang kemenangan kita direcoki oleh euforia. Itu salah satu kelemahan dalam maharana. Musuh dapat menyusun kekuatan baru. Buktinya, Zhung Pao Ling yang loyal pun dapat berubah. Otak Zhung Pao Ling bahkan sudah dirasuki oleh niat jahat pihak musuh. Dan pasti dia telah bekerja sama dengan pihak lawan yang hendak menjatuhkan Kekaisaran Yuan."
"Saya kira memang begitu, Asisten Fa," yakin Bao Ling.
"Apakah Han Chen Tjing dan Jenderal Shan-Yu dalang semua itu, Bao Ling?" tanya Fa Mulan, lebih pada mempertegas orang-orang yang sedari tadi telah dianggapnya dalang dari konspirasi instabilator di Istana Da-du.
"Boleh jadi. Tapi tidak semudah itu menyuap seorang prajurit kepercayaan yang sudah mengabdi belasan tahun untuk Istana Da-du. Kecuali ada hal-hal yang sama sekali di luar dugaan kita," jawab Bao Ling lugas.
"Lantas, kenapa hanya kamu yang dijadikan target pembunuhan?" tanya Fa Mulan penasaran.
Bao Ling mengedikkan bahunya. "Entahlah. Saya tidak paham. Tapi mungkin ini ada kaitannya dengan Anda, Asisten Fa."
Fa Mulan terlonjak. "Saya?!" tanyanya, sesaat berdiri dari bangkunya tanpa sadar. Tidak lama kemudian ia duduk kembali dengan dahi yang mengerut.
Bao Ling mengangguk. "Ya."
"Korelasinya apa?" cecar Fa Mulan gelisah.
"Mungkin saja mereka tidak ingin Anda menghadiri acara Festival Barongsai tersebut. Sebagai Prajurit Kurir, saya merupakan kunci penyampaian maklumat Istana Da-du kepada Anda. Jadi, membinasakan saya merupakan tindakan penting untuk menggagalkan kehadiran Anda di Istana Da-du pada acara Festival Barongsai nanti," jelas Bao Ling, kali ini tidak terlalu yakin dengan prediksinya.
Fa Mulan menyentuh cawannya namun tidak meminum araknya. Hanya spontanitas keterkejutannya. "Kenapa?!"
Bao Ling menggerakkan kedua bahunya. "Karena mereka, entah siapa, ingin melamur simbol kemenangan Yuan. Kalau boleh, melenyapkan simbol itu untuk selama-lamanya."
"Maksudmu...."
"Sebenarnya, pembunuhan itu ditargetkan kepada Anda, Asisten Fa. Sementara saya hanyalah imbas dari rencana jahat mereka."
"Tapi, kita semua memang menjadi target pembunuhan. Itu konsekuensi kita sebagai prajurit, bukan?"
"Benar. Tapi, konspirasi misterius tersebut tidak semudah apa yang Anda bayangkan, Asisten Fa. Rencana pembunuhan itu sarat dengan muatan politis. Mengungkap siapa biang rencana inferior tersebut tidaklah semudah menyibak cadar. Dalam maharana, seperti yang Anda utarakan dulu sewaktu di Tung Shao bahwa, kawan dapat berubah menjadi lawan. Dan begitu pula sebaliknya, lawan dapat menjelma menjadi kawan."
"Hm, kalau begitu, ini pasti ada kaitannya dengan pejabat tinggi Istana Da-du. Atau paling tidak, petinggi-petinggi militer Yuan."
"Tepat. Kalau bukan begitu, mana mungkin orang-orang seperti Zhung Pao Ling dapat berubah menjadi serigala. Kawan menjadi lawan."
"Dan kalau saya mati misalnya, maka mereka telah melenyapkan salah satu simbol kemenangan Yuan di Tung Shao. Bukankah begitu prediksi skenario dari rencana musuh, Bao Ling?"
"Tepat."
"Tapi, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, kemenangan kita di Tung Shao itu andil kolektif. Bukan tindakan gagah berani orang per orang."
"Saya mengerti, Asisten Fa. Tapi ini semua menyangkut politik yang pelik, dan mungkin jauh dari segala prakiraan kita. Kadang-kadang simbol itu lebih penting dibandingkan sejumlah kekuatan bala militer. Buktinya, Divisi Kavaleri Fo Liong sangat ditakuti oleh kaum pemberontak karena melihat eksistensi keefektifan divisi baru Yuan tersebut, yang dapat melumpuhkan banyak musuh di dalam sebuah pertempuran. Padahal, Divisi Kavaleri Fo Liong hanya terdiri dari beberapa ribu prajurit saja. Nah, Anda bisa bandingkan dengan jumlah prajurit dari Divisi Infanteri atau Divisi Kavaleri Danuh yang memiliki prajurit bahkan sampai hampir setengah juta orang - sebelum banyak yang gugur dalam pertempuran melawan pemberontak Han."
Fa Mulan menjentikkan jarinya. "Saya sependapat soal itu. Dalam hal ini, bukan berarti Divisi Kavaleri Fo Liong tidak memiliki kelemahan. Hanya saja, mereka belum menemukan taktik dan cara untuk melumpuhkan armada tempur baru Yuan tersebut," ulasnya yakin.
"Ya. Itulah sebabnya mereka memilih untuk mundur karena dikalahkan oleh rasa gentar yang majas. Padahal, belum tentu kekuatan militer Yuan - Divisi Kavaleri Fo Liong - sekuat praduga mereka. Itulah yang saya katakan simbol, Asisten Fa. Simbol itu dapat berupa jargon, kisah patriotisme dan ketangguhan, dan banyak lagi hal lainnya. Ya, termasuk Anda. Anda adalah simbol kemenangan Yuan atas kubu pemberontak. Khususnya untuk pertempuran di Tung Shao," papar Bao Ling setelah menyimpulkan penyebab mundurnya musuh dari zona tempur di Tung Shao beberapa bulan lalu.
"Saya sama sekali tidak ingin menjadi simbol, Bao Ling. Apalah arti sebuah pengakuan bagi saya. Padahal, apa yang saya lakukan itu semata-mata hanya untuk menyelamatkan negara dari ambang bahaya. Jadi, selain atas nama negara dan rakyat, tidak ada inisiatif dan motivasi apa-apa lagi yang melatarbelakangi niat saya melakukan aksi-aksi - yang bagi kalian adalah tindakan patriotik dan fenomenal - tersebut. Semua itu hanya bela negara. Lagipula, saya ini prajurit yang berkewajiban membela negara, bukan? Hei, apa saya mesti berpangku tangan melihat negara kita diserang?"
"Saya mengerti, Asisten Fa. Tapi dalam Kenyataannya, simbol kemenangan itu sudah demikian melekat pada diri Anda. Sekarang, Anda sudah menghadapi dilematisasi. Musuh Anda sudah berada di mana-mana. Anda sekarang mesti waspada. Ingat, kawan bisa menjadi lawan. Demikian pula sebaliknya," tutur Bao Ling sembari mempermainkan jemari tangannya di atas meja, mengusap tetesan arak yang sedikit meluber dari bibir cawannya. "Hm, tapi saya yakin kalau seorang Fa Mulan dapat mengatasi semua itu dengan ketangguhannya," lanjutnya, lalu tersenyum di akhir kalimatnya.
Fa Mulan menyembulkan senyumnya mendengar pujian Bao Ling. "Tapi, sampai di mana batas kemampuan seorang Fa Mulan, Bao Ling? Apa memangnya Fa Mulan terlahir berbeda dengan manusia-manusia lainnya? Apa memangnya Fa Mulan memiliki otot besi dan tulang baja sehingga sekokoh karang. Hei, kamu pikir saya ini pemberani apa? Fa Mulan juga memiliki rasa gentar. Dalam pertempuran, Fa Mulan juga takut ditikam dengan pedang," ujarnya panjang-lebar. "Yang pasti, Fa Mulan itu tidak setangguh pradugamu."
"Tapi...."
"Sudahlah, Bao Ling. Saya ini prajurit murni. Bukan siapa-siapa. Kalau mereka menganggap saya ini simbol kemenangan Yuan, ya terserahlah. Tapi yang pasti saya merasa tetap sebagai prajurit biasa."
Bao Ling terdiam, mencerna semua kalimat bijak yang disampaikan Fa Mulan dengan kesungguhan yang berasal dari palung hati. Sesaat dipejamkannya mata. Menikmati keindahan batin tak terkira dari seorang perempuan satria.
Ia semakin jatuh hati padanya.
"Maaf, Asisten Fa. Mungkin saya harus pamit. Sudah jauh larut malam," pamit Bao Ling, berdiri lalu melangkah keluar tenda sebelum sekali lagi menatap sepasang mata telaga gadis yang diam-diam dicintainya itu.


Bao Ling
Elegi Putri Yuan Ren Xie

***

Pangeran Yuan Ren Qing memasuki balairung Istana Pangeran dengan rupa gerun. Suhu udara di Kiangsu yang mulai mendingin di penghujung musim semi malah menggerahkannya. Rencananya nyaris terbongkar. Untung jasus yang didelegasikannya untuk membunuh Bao Ling meninggal langsung saat pertarungan di sebuah hutan dalam perjalanan menuju pos pengawasan Tembok Besar. Kalau tidak, jasus yang tertawan dapat membuka mulut. Dan akibatnya, ia tahu sanksi apa yang akan dilakukan oleh Kakanda Kaisar Yuan Ren Zhan kepadanya. Hukum pancung!
Dihelanya napas galau.
Selama ini ia memang belum dapat menemukan orang-orang yang tangguh. Strateginya untuk merebut kekuasaan dari tangan kakaknya agaknya mesti dipikirkan matang-matang. Jangan sampai rencananya itu terbongkar sebelum ia dapat menduduki Kursi Tunggal Sang Naga di Istana Da-du.
Apalagi setelah meledaknya pemberontakan Han pimpinan Han Chen Tjing di Tung Shao dan perbatasan Tembok Besar, Kakanda Kaisar Yuan Ren Zhan jadi lebih mawas dan hati-hati. Tentu pengawalan Istana Da-du akan semakin diperketat dengan hadirnya prajurit-prajurit dan pengawal-pengawal tangguh.
Untuk itulah ia mesti bersikap sabar, menunggu perkembangan berikutnya. Menurut data intelijen Yuan, jasus-jasus Han yang dikoordinir oleh mantan Jenderal Shan-Yu telah menyusup ke dalam Istana Da-du untuk membunuh Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia berpikir, ada baiknya dua pihak itu saling menghancurkan sebelum ia mengambil alih kekuasaan dari tangan kaisar.
Hal itu jauh lebih mudah ketimbang ia harus mengkudeta kakaknya tersebut. Lagipula, kekuatan militer pengikutnya belum menunjukkan eksistensi dapat mengalahkan militer sahih Yuan pimpinan Jenderal Gau Ming dan Perdana Menteri Shu Yong. Selain itu, militer Yuan telah memiliki beberapa prajurit berdedikasi tinggi seperti Fa Mulan dan Shang Weng yang berasal dari Kamp Utara. Kehebatan kedua orang itu telah ia dengar jauh-jauh hari sesaat sebelum kemenangan gemilang mereka menggagalkan pemberontakan Han di Tung Shao.
Saat ini ia memang harus bekerja keras bila hendak menduduki takhta tertinggi di Tionggoan. Satu-satunya cara yang paling tepat agar memuluskan langkahnya ke puncak kekuasaan adalah, menyingkirkan satu per satu orang-orang kepercayaan Kakanda Kaisar Yuan Ren Zhan. Salah satunya adalah Perdana Menteri Shu Yong dan Prajurit Kurir Bao Ling yang cerdas. Sebab mereka merupakan kekuatan utama Kakanda Kaisar Yuan Ren Zhan.
Sementara itu, Jenderal Gau Ming sendiri belum dapat dianggap berbahaya karena eksistensi militer Yuan yang dipimpinnya selama ini mengalami pasang-surut. Keberhasilan menumpas pemberontakan Han pun bukan karena andil orang tua itu. Jadi jika menilik sepak terjangnya, jenderal tua itu memang bukan merupakan kendala besar kendati ia sangat terbantu oleh kecerdikan Fa Mulan di garda depan pertempuran.
Ia duduk di salah satu kursi.
Menggabruk tanpa sadar meja kecil persegi di sampingnya sampai cawan perak yang berisi teh hijau di sana atasnya meriak nyaris tumpah. Beberapa pengikutnya yang sedari terdiam terlonjak kaget. Mereka masih berdiri dengan sikap menundukkan kepala.
"Tidak becus! Semuanya tidak becus!"
Pangeran Yuan Ren Qing menatap satu per satu wajah yang menekuk itu. Belum ada yang berani angkat suara untuk mengemukakan sanggahan atas amarah pemimpin mereka tersebut. Zhung Pao Ling gagal mengeksekusi Bao Ling yang menjadi target pelumpuhan kaki-tangan Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia malah terbunuh dalam insiden pertarungan itu.
"Kalian yang berjumlah puluhan orang tidak dapat mengalahkan satu orang?! Hah, kalau menangani hal-hal kecil seperti itu saja tidak bisa, bagaimana mungkin kalian dapat membantu saya mengambil alih kekuasaan dari tangan Kaisar Jumawa itu?! Huh, benar-benar tidak becus. Apa keistimewaan Prajurit Kurir Bao Ling sehingga kalian seperti mati kutu begitu?!" geram Pangeran Yuan Ren Qing, menggabruk meja sekali lagi. "Saya kecewa terhadap kalian! Sangat kecewa!"
Seorang pendekar berikat kepala bulu domba tampak maju satu kaki dari tempatnya mematung tadi. Ia mengepalkan tangannya ke depan, menghormat dengan mimik ragu.
"Maafkan kami, Yang Mulia" tuturnya. "Tapi kami sama sekali tidak menyangka kalau ilmu silat Bao Ling setangguh itu."
"Saya tidak ingin mendengar alasan ketidakmampuan kalian menaklukkan orang kepercayaan Jenderal Gau Ming itu!" sembur Pangeran Yuan Ren Qing, sontak berdiri dari duduknya. Menyeret kakinya dengan langkah berat, mendekati pendekar yang mendalih atas kegagalan mereka membunuh Bao Ling. "Saya tidak mau tahu bagaimana dan apa cara kalian menghadapi orang itu. Yang saya inginkan hanya satu. Enyahkan orang itu!"
Pendekar itu terdiam, kembali menundukkan kepala setelah sesaat mengangkat muka ketika mengurai alasan barusan. Ia mundur kembali pada barisan yang menjajar rapi di hadapan sang Pemimpin. Enam pendekar lainnya yang berseragam merah bata tampak kikuk. Sesaat bahkan seolah menahan napas yang keluar dari lubang hidung mereka.
Pangeran Yuan Ren Qing berjalan kembali menuju kursinya setelah mengibaskan jubahnya dengan satu entakan keras - jelas merupakan aplikasi kemarahannya yang belum surut dari ubun-ubun.
"Kalian tahu, apa akibatnya seandainya Zhung Pao Ling tidak mati tapi tertawan?!" gusarnya setelah duduk kembali di kursinya. "Apa jadinya seandainya dia membuka mulut?! Apa kalian semua ingin dipenggal?! Rencana kita kacau! Kacau! Bao Ling pasti akan mencari tahu, untuk apa Zhung Pao Ling hendak membunuhnya! Sekarang dia pasti akan mencari siapa dalang yang menyuruh Zhung Pao Ling membunuhnya! Hal tersebut pasti akan dilaporkannya kepada Jenderal Gau Ming. Lalu, sebentar lagi pasti berita tersebut akan sampai dan terdengar di telinga KaisarJumawa itu."
Suasana senyap menyelubungi ruang pertemuan pangeran. Dari sinilah awal mula mufakat mereka untuk menghabisi satu per satu prajurit-prajurit berdedikasi Sang Kaisar. Rencana tersebut sudah dianggap matang setelah konsentrasi Kaisar Yuan Ren Zhan dan beberapa atase militernya terburai oleh pemberontakan Han yang terjadi di Tung Shao serta beberapa kaum nomad Mongol di perbatasan Tembok Besar. Dibiarkannya kekuatan Yuan dan kubu pemberontak Han beradu sehingga melemah. Dengan begitu, ia dapat memanfaatkan situasi tersebut sebagai taktik titik lemahnya kekuatan Kaisar Yuan Ren Zhan.
Pangeran Yuan Ren Qing ingin mengail di air keruh!
Namun ada sesuatu yang tidak disangka-sangkanya. Jauh dari prakiraannya yang semula. Pertempuran di Tung Shao ternyata dimenangkan oleh pasukan Yuan berkat kecerdikan Fa Mulan. Sementara itu kekuatan Yuan juga berangsur menguat berkat bantuan pihak Barat yang menjual meriam-meriam mereka kepada Kaisar Yuan Ren Zhan. Hal tersebut memang tidak lepas dari andil besar Perdana Menteri Shu Yong yang berhasil melobi salah seorang atase militer Inggris di London, Sir Arthur Jonathan. Berkat andil perdana menteri Yuan itu pulalah, militer Yuan memiliki pasukan dari divisi baru yang sangat tangguh dan ampuh menaklukkan pemberontak Han.
Kendati demikian, rencana Pangeran Yuan Ren Qing untuk merebut takhta dari tangan kakak kandungnya masih tetap akan dilaksanakan. Apa pun yang terjadi. Kegagalan beberapa hari lalu saat jasusnya gagal mengeksekusi mati Bao Ling, tidak mempengaruhi niat dan ambisinya. Ia tetap akan menggulingkan kepemimpinan Kakanda Kaisar Yuan Ren Zhan secara klandestin.
Beberapa saat lamanya Pangeran Yuan Ren Qing memangu dengan benak yang terbebat masalah. Bawahan dan pengikutnya, pesilat-pesilat Kiangsu yang vulgar dan batil masih juga mematung. Dan tak sepatah kata pun meluncur dari bibir salah satu di antara mereka.
"Ah, sudahlah, Wu Kuo!" seru Pangeran Yuan Ren Qing kepada pemimpin pendekarnya, kali ini lebih melunak. "Bawalah orang-orangmu untuk kembali melakukan rencana kita. Saya harap kalian tidak akan gagal lagi!"
Wu Kuo yang bertaucang dengan bandana bulu domba itu maju sedepa dari tempatnya berdiri. Tangannya kembali terangkat dan mengatup di depan wajahnya. Kali ini pula sikapnya sedikit lebih tegas dan tegap setelah sedari tadi berdiri dengan lunglai.
"Siap, Yang Mulia. Hamba akan melaksanakan amanat Yang Mulia dengan sebaik-baiknya. Demi kejayaan kita semua!"
Pangeran Yuan Ren Qing mengangguk tanpa memandang ke arah pesilat-pesilatnya, eksekutor rencana pelbagai pembunuhan pengabdi-pengabdi tangguh Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia hanya menggerakkan tangannya mengaba sebagai tanda supaya mereka boleh pergi meninggalkan balairung.

***

"Ayah!"
Pangeran Yuan Ren Qing terlonjak dari lamunannya. Entah sudah berapa lama ia duduk menyendiri dan terpatung di kursinya sampai suara lembut putrinya itu menyapa dari arah bingkai pintu balairung pangeran.
"A Xie," balasnya lemah terhadap gadis remaja yang melangkah setengah berlari ke arahnya. "Apa yang Ayah pikirkan?"
"Oh, tidak ada apa-apa."
Putri Yuan Ren Xie kini telah menggelayut manja di bahu ayahnya. "A Xie tidak percaya. Ayah pasti sedang banyak masalah. Ayo, ceritakan. Mungkin A Xie bisa kasih solusi."
Pangeran Yuan Ren Qing tersenyum.
Binar amarah mendadak melenyap saat menatap keteduhan di mata putri tunggalnya tersebut. Gadis itu merupakan satu-satunya pelipur lara kala ia tengah dirundung galau. Diciuminya dahi gadis yang baru menginjak usia enam belas itu dengan penuh kasih sayang sesaat sebelum sepasang tangan gemulai putrinya tersebut memijiti pundaknya.
"Anak kecil tahu apa masalah orangtua?" elak Pangeran Yuan Ren Qing, membiarkan dirinya dipijat. "Anak kecil jangan suka mencampuri urusan orangtua. Anak kecil seharusnya hanya bermain, bukan?"
"Ah, Ayah! Ayah selalu begitu! Ayah selalu menganggap A Xie anak kecil!" ujar Putri Yuan Ren Xie dengan mulut manyun, pura-pura sewot. "Kapan Ayah dapat menganggap A Xie dewasa?!"
Pangeran Yuan Ren Qing tertawa.
"Sedang memikirkan persoalan apa, Ayah?" cecar Putri Yuan Ren Xie sembari memijit-mijit pundak serta menumbuk-numbuk lembut punggung ayahnya. "Persoalan Istana, ya?"
Pangeran Yuan Ren Qing berdeham. "Ah, anak kecil tahu apa soal Istana?"
"Tentu saja A Xie harus tahu," elak Putri Yuan Ren Xie lincah. "A Xie putri Ayah, bukan?"
"Iya. Siapa bilang Putri Yuan Ren Xie bukan anak Ayah?"
"Makanya...."
"Makanya kamu nyinyir ingin tahu, ya?"
Putri Yuan Ren Xie menghentikan pijitannya seolah memerotes kalimat ayahnya barusan. "Ayah jahat! Ayah suka mempermainkan A Xie!"
Lelaki tua dengan pelipis yang ditumbuhi uban tersebut sontak merangkul tubuh putri tunggalnya. Menariknya kembali berdiri di sisinya setelah gadis itu protes dan pura-pura hendak beranjak menjauhinya.
"Kamu marah sama Ayah, ya?"
"Habis, Ayah selalu mempermainkan A Xie!"
"Baik, baik. Ayah janji tidak akan mempermainkan kamu lagi," bujuk Pangeran Yuan Ren Qing. "Ayah senantiasa akan membahagiakan kamu."
Putri Yuan Ren Xie tersenyum dengan rupa menang, memeluk ayahnya yang sudah melingkarkan sepasang tangan dipinggulnya.
"Jadi, Ayah berjanji akan memberikan dan mengabulkan apa saja yang A Xie minta?"
"Ya. Apa saja," angguk Pangeran Yuan Ren Qing, masih menyembulkan senyum. "Apa yang tidak pernah Ayah berikan kepada kamu?"
"Ah, Ayah pasti bohong!"
"Bohong apa?" tanya Pangeran Yuan Ren Qing dengan suara separuh tertawa, membelai-belai janggutnya yang sedikit melingkar di bawah dagunya seperti ekor bekisar. "Sekarang, kamu minta apa? Bilang saja. Hm, pasti akan Ayah penuhi."
"Benar, Ayah?!" Putri Yuan Ren Xie bertanya, antusias dengan dengan mata membola.
Pangeran Yuan Ren Qing mengangguk keras. "Iya, benar. Untuk kamu, apa saja akan Ayah berikan."
"Benar Ayah tidak akan bohong?" tanya Putri Yuan Ren Xie, mencecar. Alisnya bergerak naik-turun. Seulas senyum nakal mengembang di bibirnya.
"Ayah berjanji. Nah, apa yang ingin kamu minta?"
Putri Yuan Ren Zhan mempererat pelukan pada bahu ayahnya. Bibirnya dicondongkan, mendekat dan nyaris menyentuh telinga kiri salah seorang adik kandung Kaisar Yuan Ren Zhan.
"A Xie ingin ke Ibukota Da-du menyaksikan Festival Barongsai, Ayah," bisiknya manja.
Pangeran Yuan Ren Qing membeliak. Senyumnya melamur perlahan. Dipandanginya lamat wajah ayu di hadapannya - buah hatinya yang paling berharga. Satu-satunya penerus atas seluruh aset dan pengharapan yang telah dicita-citakannya sejak lama. Tampuk tertinggi kepemimpinan Tionggoan akan berada di tangannya, dan segala penerus yang berasal dari darah-dagingnya sendiri!
"Tapi, tidak aman berada di Ibukota Da-du pada saat-saat seperti ini, A Xie!" tolaknya lembut. "Di sini kamu tenang...."
"Tapi Ayah sudah berjanji!" protes Putri Yuan Ren Qing, turun dari pangkuan ayahnya. "Ayah tidak boleh mengingkari janji Ayah tadi!"
"A Xie...."
Putri Yuan Ren Xie mengentakkan kakinya. "Ayah bohong!"
"Bukan begitu...."
"Bukan begitu bagaimana?! A Xie kecewa sama Ayah!"
Pangeran Yuan Ren Qing masih berusaha membujuk. Dicobanya menggapai pergelangan pipih Putri Yuan Ren Xie, namun gadis itu mengentak keras tangannya kala telapak tangan tua itu telah menggenggam jemarinya. Dihindarinya cekalan tangan Pangeran Yuan Ren Qing dengan melangkah mundur sedepa sehingga lelaki tua itu hampir tersuruk dari kursinya.
"Ayah melarang kamu ke Ibukota Da-du semata-mata demi keselamatan kamu, A Xie," urai Pangeran Yuan Ren Qing setelah membenarkan duduknya yang sedikit melorot dari ke kursinya. "Bukannya Ayah mengingkari janji. Bukannya Ayah mengekang hidup kamu."
"Tapi, Ayah tidak adil!"
"Ayah akan mengabulkan apa saja permintaan kamu asal jangan permintaanmu untuk menyaksikan Festival Barongsai di Ibukota Da-du itu."
"Kenapa?! A Xie bisa jaga diri. A Xie bukan anak kecil lagi, Ayah!"
"Semua suku bangsa di Tionggoan akan menghadiri Festival Barongsai tersebut, A Xie. Sangat tidak menutup kemungkinan akan terjadi kekacauan di sana-sini. Lagipula, pihak musuh - khususnya kaum pemberontak Han - pasti masih akan terus merongrong Istana. Jadi, sangat tidak aman bila kamu hadir di sana. Apalagi kamu adalah Putri, bangsawan Yuan yang dapat dijadikan sasaran empuk penjahat."
"Jangan mengurai dalih, Ayah!"
"A Xie, tolong dengar Ayah. Sekali ini saja. Ayah sangat sayang sama kamu. Ayah tidak membatasi kebebasanmu. Tapi, situasi dan kondisi di Ibukota Da-du memang tidak aman - riskan dari bahaya. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setiap saat dapat terjadi pertempuran. Ayah hanya mengkhawatirkan keselamatan kamu jika tetap bersikeras berangkat ke Ibukota Da-du."
"A Xie tidak peduli!" umpat Putri Yuan Ren Xie, bersikeras dengan keputusannya untuk berangkat ke Ibukota Da-du. "Pokoknya, A Xie harus pergi!"
"Ayah harap kamu dapat mengerti, A Xie."
"A Xie juga berharap Ayah dapat menepati janji Ayah tadi!"
"A Xie...."
"Ayah jahat! Ayah pembohong!"
"A Xie...."
"Tidak peduli Ayah izinkan atau tidak, A Xie tetap akan pergi!"
"A Xie!" bentak Pangeran Yuan Ren Qing, sudah tidak mampu membendung kesabarannya. "Jangan keras kepala!"
Putri Yuan Ren Xie menderaikan airmata karena kesal dengan ultimatum ayahnya yang tetap bersikeras melarangnya menyaksikan pesta akbar Festival Barongsai di kawasan Istana, di Ibukota Da-du beberapa hari lagi. Ia berlari keluar dari balairung tanpa menghiraukan panggilan ayahnya lagi sesaat setelah menggabruk daun pintu.
Pangeran Yuan Ren Qing menghela napas panjang. Menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai bentuk keresahannya. Putri tunggalnya itu memang keras kepala. Mungkin ia sudah salah mendidik selama ini. Afeksi yang berlebihan darinya semasa kanak-kanak sampai sekarang terhadap putrinya telah membentuk sosoknya menjadi gadis manja.

***

Ada suara gerit menyentuh ubin. Perlahan pintu terkuak bersamaan terobosan sinar benderang matahari siang yang menerangi kamar pekat Putri Yuan Ren Xie.
"Makanan untuk Putri."
"Saya tidak mau makan!"
"Ada apa, Putri? Apa Putri sakit?"
Selantun suara lembut bertanya dalam nada prihatin sesaat setelah Putri Yuan Ren Xie menengkurap di atas tempat tidur, menelungkupkan kepalanya berbantal sepasang punggung tangan yang terlipat di bawah dahi. Tampak seorang gadis dayang mendekat setelah mematung sebentar di bawah bingkai pintu, dan masuk ke kamar Sang Putri yang tidak terkunci.
"Sudah, sudah. Pergi sana. Jangan ganggu saya lagi!"
"Tapi...."
"Pergi, pergi!"
Gadis dayang itu mundur setindak setelah mematuhi perintah Putri Yuan Ren Xie. Nampan yang berisi makanan lezat di tangannya nyaris jatuh karena guntur amarah tersebut. Watak fluktuasi putri tunggal Pangeran Yuan Ren Qing itu memang kerap meresahkannya - bukan sekali ini saja, tetapi hal inferior tersebut bahkan sudah menjadi ritual harian. Namun demikian, sedini mungkin dipahaminya karakter Sang Putri sebagai bentuk hakiki hieraki. Iklim itu telah terbentuk turun-temurun di dalam lingkungan monarki Istana. Sebagai gadis yang terlahir dari kalangan jelata, disadarinya benar hal itu sebagai bagian dari takdir. Takdir yang telah membawa kehidupannya ke Istana. Dan mengabdi sebagai salah seorang dayang.
Hari ini dayang dapur Istana dibuat kelimpungan oleh ulah Sang Putri. Menu makanan yang sudah tersaji untuknya di ruang makan Istana tak sesumpit pun disentuhnya. Putri Tong Fha akhirnya memerintahkan agar dayang dapur segera menyajikan makanan baru untuk dihidangkan di dalam kamar putri tunggalnya tersebut. Karena setiap begitu - mangkir di ruang makan, ia tahu kalau Putri Yuan Ren Xie sedang marah.
Putri Yuan Ren Xie kembali menguraikan airmata. Ia belum dapat menerima keputusan tegas ayahnya yang melarangnya ke Ibukota Da-du untuk menyaksikan Festival Barongsai. Amarahnya dilimpahkan kepada Fang Mei yang sudah menyertainya sejak masa kanak-kanak. Gadis sebaya Sang Putri itu sudah menjadi salah satu kerabat paling dekat. Mengawal, merawat, dan tumbuh bersama-sama di dalam lingkungan Istana Pangeran selama sekian belas tahun.
"Tapi, Anda belum makan. Saya khawatir Anda bisa jatuh sakit," sahut Fang Mei dalam nada memelas.
"Apa pedulimu kalau saya sakit?!" bentak Putri Yuan Ren Xie dengan suara paruh tangis. "Ayah saja tidak peduli terhadap saya lagi!"
"Tapi...."
"Ayah jahat! Ayah sudah tidak sayang lagi terhadap saya! Ayah melarang saya menghadiri Festival Barongsai di Ibukota Da-du. Padahal, Ayah sudah berjanji akan mengabulkan apa saja permintaan saya sebelumnya," keluh Putri Yuan Ren Xie. "Tapi, tiba-tiba saja Ayah mengingkari janjinya ketika mengetahui permintaan saya tersebut adalah main ke Istana Da-du."
Fang Mei sudah memberanikan diri melangkah.
Dengan separo menjinjit dan hati-hati, diletakkannya nampan makanan Putri Yuan Ren Xie di atas meja kamar setelah menggeser sebuah lampu minyak berkanopi lampion merah ke tepi. Diletakkannya satu per satu mangkuk dan piring yang berisi nasi putih, juga sayur-mayur serta beberapa lauk-pauk yang tampak masih mengepulkan asap.
Putri Tong Fha memerintahkannya agar menyajikan makanan baru bagi Sang Putri setelah gadis itu tidak hadir makan siang bersama di ruang makan Istana Kiangsu tadi. Aroma lezat kaki babi kecap dan bebek peking serta sayur asin tumis kesukaan Sang Putri menyeruak di seputar kamar. Namun Putri Yuan Ren Xie tak bergeming meski perutnya sebetulnya sudah lapar. Ia masih saja sesenggukan di atas ranjangnya.
Setelah selesai meletakkan semua makanan itu ke atas meja, Fang Mei melangkah lebih dekat ke arah Putri Yuan Ren Zhan yang masih tidur menengkurap. Ia duduk di gigir ranjang Sang Putri dengan sikap kikuk. Sesaat tidak tahu harus berbuat apa. Dipilin-pilinnya bilah-bilah rambut yang menjuntai di bahu sebagai reaksi keresahannya, sampai ia mampu mengumpulkan keberanian untuk mengajak Putri Yuan Ren Xie berdialog. Ia harus bersabar untuk itu. Kalau tidak, Putri Yuan Ren Xie pasti akan mengamuk dan sungguh-sungguh mengusirnya. Ditunggunya amarah Putri Yuan Ren Xie mereda. Dengan begitu ia dapat membujuk supaya Sang Putri mau makan seperti wanti-wanti Putri Tong Fha kepadanya.
"Yang Mulia mungkin lagi banyak masalah sehingga tidak dapat mengambil keputusan mengizinkan Putri ke Ibukota Da-du. Kalau masalah beliau sudah berkurang dan satu per satu teratasi, Putri dapat pelan-pelan kembali membujuk Yang Mulia. Barangkali beliau dapat berubah pikiran, dan mengizinkan Putri main ke Istana Da-du," ujar Fang Mei setelah merasa cukup memiliki keberanian untuk memulai percakapan.
"Saya kecewa terhadap Ayah!" balas Putri Yuan Ren Xie, masih tidur menengkurap sembari sesekali menyeka airmatanya dengan punggung tangan. "Sangat kecewa!"
"Iya. Tapi, Putri jangan sampai bersedih begitu," bujuk Fang Mei lembut. "Besok Putri dapat kembali membujuk-bujuk Yang Mulia. Bilang, Putri tidak akan apa-apa selama bersama saya. Saya pasti menemani Putri ke Ibukota Da-du jika diizinkan oleh Yang Mulia."
"Tapi...."
"Sudahlah, Putri. Putri lebih baik makan dulu. Makanan untuk Putri nanti keburu dingin."
"Saya tidak lapar!"
"Tapi kalau tidak makan, Putri bisa sakit."
"Ayah pasti lebih senang kalau saya sakit!"
"Putri jangan ngomong begitu."
"Kalau tidak begitu, kenapa Ayah mengingkari janjinya?! Pasti Ayah tidak sayang sama saya lagi. Kalau saya sakit, Ayah pasti tidak akan peduli! Saya benci Ayah! Saya benci!"
"Putri...."
"Jangan ganggu saya lagi!" sergah Putri Yuan Ren Xie pedas. "Kalau perlu makan saja makanan itu!"
Fang Mei menghela napas panjang.
Disikapinya dengan bijak sifat Putri Yuan Ren Zhan yang masih kekanak-kanakan. Untuk itulah ia tidak segera pergi meninggalkan kamar anak majikannya - seperti yang diperintahkannya sedari tadi. Ia tetap bersabar. Menunggu sampai amarah Sang Putri mereda, dan mau menyentuh hidangan yang telah disajikannya di atas meja.
Dalam seribu degupan jantung makanan yang sudah disiapkan juru masak Istana Kiangsu itu pasti akan membasi, pikirnya. Dan sudah merupakan kewajibannya untuk mengganti makanan tersebut dengan masakan yang baru. Dapur Istana Kiangsu akan menjadi tempat yang paling sibuk karenanya. Sepanjang hari dapur Istana Kiangsu terus mengepulkan asap. Berkarung-karung beras dan ribuan pon daging asap serta sayur-mayur berkualitas baik harus disuplai untuk memenuhi kebutuhan para rani dan puak bangsawan di Istana Kiangsu.
Namun dalam kenyataan sehari-hari, makanan tersebut tidak selamanya habis. Banyak makanan-makanan untuk keluarga Istana Kiangsu itu malah mubazir dan dibuang percuma. Beberapa di antaranya menjadi makanan untuk hewan piaraan - anjing-anjing - anak-anak pejabat negara di Istana Kiangsu.
Fang Mei kembali menghela napas panjang. Pikirannnya menerawang jauh dan terpatri pada satu titik nadir. Sebenarnya, jatah bahan mentah makanan dalam sehari untuk keluarga Istana Kiangsu itu bahkan dapat menghidupi rakyat miskin di beberapa puluh dusun kecil.
Kadang-kadang, ia menitikkan airmata bila mengingat basir kelimpahan yang tersia-siakan itu jika, menghubung-hubungkan dengan nasib melarat keluarganya di kampung dulu. Sesaat kenangan membawanya ke sebuah dusun kecil di mana ia dilahirkan oleh sepasang petani miskin. Kehidupan keras alam pedesaan telah membawanya kemari, masuk sebagai hamba di Istana Kiangsu.
Banyak di antara orangtua memiliki cita-cita sederhana namun merupakan keinginan tertinggi untuk menghindari kemiskinan buat anak-anak mereka kelak. Bagi keluarga yang beruntung memiliki akses masuk ke Istana Kiangsu, anak laki-laki merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi kasim. Mereka bahkan rela mengorbankan anak-anaknya untuk dikebiri agar terhindar dari malapetaka busung lapar yang, selalu menjadi momok paling menakutkan di dusun suatu waktu. Selain itu, menjadi pegawai kekaisaran merupakan kebanggaan - meskipun hanya sebagai kasim yang bertugas mengurus segala keperluan rumah-tangga Sang Pangeran dan para garwanya.
Ia adalah salah satu anak dari keluarga yang beruntung.
Kurang lebih dua belas tahun yang lalu, orangtuanya menitipkan ia kepada salah satu kerabatnya yang memiliki akses sebagai dayang-dayang di Istana Kiangsu. Ketika itu Pangeran Yuan Ren Qing dan Putri Tong Fha baru saja dikaruniai seorang putri. Untuk mengurus dan merawat sang Bayi, Putri Tong Fha memerlukan lebih banyak dayang-dayang yang dapat meringankan beban tugasnya sebagai ibu muda kala itu. Di samping itu, putrinya pasti memerlukan teman bermain. Maka nasib membawanya masuk ke dalam Istana Kiangsu. Saat itu pula, ia terpilih sebagai salah satu dayang kanak-kanak yang bertugas menemani Putri Yuan Ren Xie bermain-main.
"Putri...."
Putri Yuan Ren Xie masih membisu.
Hanya sesekali terdengar isaknya yang lirih. Fang Mei masih takzim menunggu. Sesekali mengarahkan ekor matanya ke arah munjungan makanan yang sama sekali belum tersentuh. Sebentar lagi makanan sarat gizi tersebut akan memubazir dan dibuang ke ruang sampah dapur. Mendadak hatinya menggiris.
"Saya mohon Anda mau mencicipi makanan di atas meja, Putri," bujuk Fang Mei dengan suara sember. "Biar sedikit saja. Sebentar lagi makanan itu pasti jadi basi."
Putri Yuan Ren Xie membalik tubuhnya dari menengkurap ke menelentang. Airmatanya masih basir menempeli pipinya yang tembam. Fang Mei menyambut sepasang mata berair tersebut dengan menyembulkan senyum separo paksa.
"Ayolah, Putri. Anda harus makan sedikit saja."
"Saya tidak berselera makan, A Mei."
"Tapi kalau Anda sakit karena tidak makan, maka saya pasti akan dihukum oleh Yang Mulia - ayahanda Anda, Putri."
"Kalau saya sakit, itu bukan karena kesalahan kamu. Tapi karena kesalahan Ayah."
"Tapi, mana boleh Anda...."
"Sudahlah, A Mei. Keluarlah. Bawalah makanan itu kembali ke dapur. Biarkan saya sendiri di sini. Saya tidak ingin diganggu."
"Tapi...."
"A Mei!"
"Putri...."
"Ada apa lagi?!"
"Saya tidak ingin Putri bersedih terus-menerus seperti itu."
"Saya sakit hati dan kecewa terhadap kekerasan hati Ayah, A Mei."
"Mungkin Yang Mulia punya alasan yang kuat sehingga tidak mengizinkan Anda berangkat ke Ibukota Da-du."
"Tapi, Ayah memang otoriter!"
Putri Yuan Ren Xie bangkit dari menelentang, duduk bersila di atas kasur tataminya. Ditentangnya mata Fang Mei dengan mata menyorot protes. Ia tidak senang gadis dayang itu malah membela-bela ayahnya. Selama ini, meski ia mendapatkan semua fasilitas yang dibutuhkan dan diinginkan dari ayahnya, tetapi ia selalu merasa tidak puas. Ia selalu merasa ada yang kurang.
Sejak kecil, ia hanya dekat dengan Fang Mei - dayang-dayang yang sampai saat ini menemaninya. Ayahnya terlalu sibuk dengan urusan politik negara. Sementara itu, ibunya pun ikut-ikutan sibuk dengan protokoler kenegaraan sehingga melupakan satu hal yang paling mendasar bagi dirinya. Kasih sayang. Afeksi mereka dicetuskan dalam sebentuk pemberian materi yang tidak pernah memuaskan batinnya. Emosinya melabil. Dan membentuknya menjadi gadis remaja yang manja dan tidak mandiri.
"Mungkin bukan maksud Yang Mulia mengekang-ngekang hidup Anda, Putri. Barangkali hanya alasan keselamatan Anda semata," papar Fang Mei sembari menundukkan kepalanya, tidak berani bersitatap dengan sepasang mata yang menggurat gusar di hadapannya. "Tionggoan baru saja usai dari pemberontakan. Ibukota Da-du masih belum stabil benar. Apalagi, saya dengar Festival Barongsai itu diikuti oleh ribuan peserta dari berbagai negeri. Jadi sangatlah riskan kalau Putri hadir di sana tanpa pengawalan ekstra ketat."
Putri Yuan Ren Xie mengibaskan tangannya. "Huh, tahu apa kamu tentang Ayah, A Mei?!"
"Maaf, Putri. Saya hanya...."
"Jangan bawel!"
"Tapi...."
Putri Yuan Ren Xie tiba-tiba berdiri dengan mata berbinar-binar. "Sudahlah, A Mei. Malam ini kita akan pergi diam-diam ke Ibukota Da-du. Sekarang kamu siap-siap saja. Bawa bekal secukupnya. Awas, jangan sampai ketahuan!" sahutnya antusias, mendadak mendapat gagasan untuk kabur dari Istana Kiangsu sesaat setelah melangkah sedepa dari gigir ranjang.
Fang Mei melototkan mata.
"A-apa, Putri?!" tanyanya berbisik, lalu turut berdiri dan mengekori Putri Yuan Ren Xie. "Ki-kita akan diam-diam pergi ke Ibukota Da-du?!"
"Iya!" jawab Putri Yuan Ren Xie, juga dalam nada berbisik. "Ssstt... jangan berisik. Kita akan kabur dari sini. Ingat, jangan sampai ketahuan."
"Ta-tapi, bagaimana caranya, Putri?!"
"Gampang. Kalau sudah gelap, kita akan menelusup keluar gerbang...."
"Tapi, kita bakal ketahuan. Banyak prajurit pengawal gerbang yang menjaga pintu keluar-masuk Istana. Saya khawatir...."
"Sudahlah. Jangan bawel lagi. Nanti malam kita menyamar sebagai prajurit. Curi beberapa seragam prajurit di ruang ganti. Juga dua ekor kuda di istal belakang Istana. Setelah berhasil keluar dari gerbang, maka kita akan menyamar lagi sebagai rakyat jelata."
"Ta-tapi...."
"Sstt! Kerjakan saja apa yang saya perintahkan! Ayo, tunggu apa lagi?! Lekas siapkan bekal kamu. Jangan khawatir soal sangu. Saya memiliki banyak simpanan uang emas. Jadi kita tidak bakal kelaparan selama di dalam perjalanan nantinya."
Fang Mei mengangguk dengan wajah lesi.
Sesaat hatinya menggamang dan tidak tahu harus berbuat apa, kecuali hanya mengakuri semua kalimat Putri Yuan Ren Xie yang serba mendadak serta sangat mengejutkan.
Hendak kabur ke Ibukota Da-du.

***

"Putri Yuan Ren Xie!"
Putri Yuan Ren Xie tersentak oleh sebuah suara yang menyapanya dari belakang. Ia terundur tanpa sadar sehingga tumitnya menginjak dedaunan yang mengerontang di tanah saat sudah hampir keluar dari gerbang Istana. Fang Mei menahan limbungan tubuh Sang Putri. Setelah itu ia lekas maju ke depan seolah-olah menutupi tubuh Putri Yuan Ren Xie dari segala mara bahaya yang mengancam.
"Tzeba Dalan?!" tanyanya dengan nada desis, mengerutkan keningnya saat lapat-lapat dari jarak tak seberapa menangkap sosok yang sudah dikenalinya sejak lama - seorang pemuda peranakan Mongol yang sudah berasimilasi dengan Tionggoan. "Untuk apa kamu berada di tempat ini?! Bukankah tempat kamu berada di ruang dapur Istana?"
Lelaki bertubuh tegap dan berkulit sedikit gelap itu tetap diam. Matanya yang tajam hanya menatap sesekali pada Fang Mei yang berseragam prajurit. Selanjutnya ia mematrikan pandangannya kembali pada wajah lesi Putri Yuan Ren Xie - juga dengan pakaian prajurit - yang belum surut benar dari keterkejutannya.
"Ada apa, Tzeba?!" cecar Fang Mei sinis, tidak senang pemuda itu menghalangi niat mereka untuk kabur. Namun diam-diam disyukurinya karena ternyata orang yang menghadang langkah mereka keluar dari gerbang Istana Kiangsu itu hanyalah seorang juru masak Istana.
"Anda hendak ke mana, Putri?!" tanya Tzeba Dalan tanpa bergeming dari tempatnya berdiri. Ia tak mengacuhkan pertanyaan Fang Mei. Kalimatnya terfokus pada Sang Putri yang sama sekali tidak mengenalinya.
"Bukan urusan kamu, Tzeba!" bentak Fang Mei, berusaha menggeser tubuh tegap lelaki berperawakan dingin itu dengan satu dorongan tangan.
"Tapi akan menjadi urusan Istana Kiangsu bila sampai kalian pergi diam-diam!" tuntut Tzeba Dalan, bersikeras untuk tidak menggeserkan badannya meskipun Fang Mei telah mendorongnya dengan sekuat tenaga tadi.
"Tahu apa kamu tentang Istana, Tzeba!" salak Fang Mei, sudah tidak dapat mengendalikan kesabarannya. Samar-samar didengarnya bunyi lembut gong para prajurit jaga yang berkeliling di sekitar Istana Kiangsu. "Tolong minggir sekarang juga. Ingat, jangan macam-macam. Ini bukan urusanmu!"
"Tindakan kalian sangat riskan," sahut Tzeba Dalan, masih berusaha mementangi jalan kedua gadis itu. "Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan kalian di luar?!"
Putri Yuan Ren Xie sudah tidak dapat mengendalikan emosinya.
Diayunkannya telapak tangan kanannya, bermaksud menampar pipi pemuda yang masih ngotot mencegah tindakan mereka - hendak kabur ke Ibukota Da-du tanpa seizin Pangeran Yuan Ren Qing tersebut. Namun sigap Tzeba Dalan mengelak, melengoskan kepalanya sehingga tamparan itu luput dari pipinya.
"Kurang ajar!" semprot Putri Yuan Ren Xie dengan telapak tangan yang masih menggantung di udara. "Kamu pikir siapa kamu?! Kamu tahu sedang berhadapan dengan siapa?!"
Santun Tzeba Dalan menghormat. Dikepalkannya sepasang telapak tangannya ke depan, sesegera mungkin meredakan amarah Sang Putri dengan menunjukkan sikap penyesalan.
"Maaf, maafkan saya, Putri," ujarnya. "Saya tidak bermaksud melawan Putri. Tapi, saya hanya khawatir dengan keselamatan Putri. Di luar sangat berbahaya. Banyak musuh yang mengincar nyawa puak Istana, termasuk Anda. Maaf, tindakan kurang santun saya tadi hanyalah untuk mencegah supaya hal-hal yang tidak diinginkan itu jangan sampai terjadi pada diri Putri."
"Keselamatan kami bukan urusan kamu, Tzeba," timpal Fang Mei ragu. Ia sedikit termakan kalimat-kalimat subtil Tzeba Dalan barusan. Memang sangat berbahaya berada di dunia luar. Apalagi perjalanan ke Ibukota Da-du merupakan tindakan gegabah terlebih tanpa pengawalan. "Kamu tidak akan dihukum penggal kalau besok Yang Mulia sudah tahu tentang pelarian kami ini. Kamu hanya juru masak Istana Kiangsu. Tidak ada hubungannya dengan pelarian kami ini. Kecuali jika kamu membocorkan masalah ini kepada Yang Mulia. Jadi, kalau kamu tidak ingin terlibat dalam masalah, tolong jangan memberitahu soal ini kepada Yang Mulia!"
"Tapi keselamatan Putri merupakan kewajiban semua insan Istana Kiangsu, A Mei. Tidak peduli apakah dia seorang tukang masak sekalipun seperti saya ini."
"Sudahlah, Tzeba. Jangan sok pahlawan!" sergah Fang Mei sinis. "Kamu dan saya adalah dayang dari kalangan jelata. Jangan pernah bermimpi untuk menjadi puak bangsawan hanya dengan menjadi jasus pihak Istana Kiangsu."
"Saya hanya semata-mata memikirkan keselamatan Putri. Tidak ada hal lain yang melatarbelakangi niat saya menghalangi tindakan kalian, A Mei. Terlebih-lebih seperti sangkamu tadi."
Putri Yuan Ren Xie maju setindak, menyejajari tubuh Fang Mei yang melangkah mendekati pemuda di hadapannya barusan. Ditatapnya mata elang yang memancarkan sorot kesungguhan. Tzeba Dalan memang bermaksud baik. Sayang tindakannya tersebut terlalu represif. Sehingga ia jelas dapat dianggap membangkang - salah satu tindakan yang paling fundamental di dalam tatanan kekaisaran. Akibatnya ia dapat dijatuhi sanksi hukuman yang paling berat pula. Pancung!
"Siapa pun kamu, terima kasih karena kamu sudah memikirkan keselamatan kami," sahut Putri Yuan Ren Xin tanpa disangka-sangka.
Amarah gadis itu berubah menjadi simpati. Kendati begitu, ia tetap bersikeras untuk meninggalkan Istana Kiangsu. Dan kabur ke Ibukota Da-du untuk menyaksikan Festival Barongsai yang akbar.
"Tapi, kami harus tetap pergi. Mohon kamu jangan menghalangi langkah kami lagi. Pangeran Yuan Ren Qing, ayah saya sendiri saja tidak dapat melarang saya. Terlebih-lebih orang lain. Jadi, saya harap kamu dapat memaklumi tindakan kami ini!" pintanya tegas.
Tzeba Dalan tergugu. Entah harus berbuat apa untuk menggebah keinginan Putri Yuan Ren Xie yang tetap bersikeras meninggalkan Istana Kiangsu secara diam-diam. Ia tahu maksud dan tujuan Putri Yuan Ren Xie ke Ibukota Da-du meskipun tidak pernah mendengar secara langsung dari siapa pun. Festival Barongsai yang sebentar lagi akan diadakan di Ibukota Da-du memang telah menyedot perhatian banyak orang. Pesta akbar itu sarat dengan nuansa politis Istana. Merupakan lambang kemenangan Yuan atas musuh-musuh Tionggoan. Untuk tujuan itu pulalah Putri Yuan Ren Xie bersikukuh tetap berangkat ke Ibukota Da-du meskipun Pangeran Yuan Ren Qing sama sekali tak mengizinkannya.
Meski hanya bertugas sebagai juru masak di Istana Kiangsu, tetapi ia mengetahui dan memahami situasi politik yang berkembang saat ini di Tionggoan. Di mana-mana tengah bergejolak pemberontakan. Perang telah meranggas, dan menyengsarakan rakyat jelata. Ia sadar suatu ketika maharana dapat menghancurkan kesatuan negeri tua ini. Dan bila tiba saatnya, nyawa manusia pun tak ada harganya sama sekali. Gerakan-gerakan dan kumpulan-kumpulan klandestin akan merajalela. Kisruh di mana-mana. Semua orang saling berebut kekuasaan. Ambisi telah membakar jiwa-jiwa yang ambigu. Sehingga setiap jengkal ranah Tionggoan bakal dilumuri darah anak-anak manusia sendiri.
Ia gamang.
"Saya mohon urungkan niat Anda itu, Putri!" pinta Tzeba Dalan sekali lagi dengan rupa baur. "Semua ini demi kebaikan Putri sendiri!"
Putri Yuan Ren Xie tak menggubris. Dilangkahkannya kakinya, gegas menghindari pentangan tangan Tzeba Dalan yang mulai mengarah kasar. Fang Mei melototkan matanya sebelum satu tendangannya melayang ke arah wajah pemuda itu. Spontan ia melakukan penyerangan ketika melihat Putri Yuan Ren Xie mendapat kesulitan. Namun sekali lagi pemuda itu sigap, menepis tendangan cangkul Fang Mei dengan punggung tangannya.
"Kamu akan dipenggal, tahu!" teriak Fang Mei, masih melancarkan satu-dua pukulan ke arah Tzeba Dalan agar dapat keluar dari gerbang belakang Istana Kiangsu.
Pemuda yang berbulang khatifah gelap tersebut hanya menangkis, tidak membalas atau melancarkan pukulan. Fang Mei mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menaklukkan juru masak Istana Kiangsu itu. Tetapi pukulannya kopong menghantam angin.
Rupanya perkelahian mereka tersebut menggaduh. Desau duel dan tangkisan pukulan yang bertenaga itu terdengar oleh beberapa prajurit jaga yang tengah meronda, mengelilingi Istana Kiangsu di sebelah barat bangunan balairung. Mereka menghentikan langkah sejenak, menyimak suara gaduh itu dengan telinga menegak, lalu sepakat untuk menuju ke arah asal suara riuh tersebut.
Putri Yuan Ren Xie tergeragap ketika menangkap sebias sinar lentera di kegelapan malam. Juga ketika daun telinganya yang cangut mendengar derap-derap yang menderas, langkah serombongan prajurit jaga berpakaian gelap tidak jauh dari tempat ia berdiri sekarang.
Seharusnya ia sudah berada di luar gerbang belakang Istana Kiangsu seandainya juru masak peranakan Mongol itu tidak menghalang-halangi rencananya. Kini segalanya merunyam. Prajurit-prajurit jaga itu sudah mengarah kemari. Dan pasti sebentar lagi rencana yang telah disiasatinya dengan rapi sejak siang hari tadi akan hancur berantakan. Semuanya gara-gara orang yang bernama Tzeba Dalan itu. Ia sudah menggagalkan impiannya dapat hadir di Ibukota Da-du menyaksikan Festival Barongsai. Airmatanya sudah menitik.
"Ayo, cepat sembunyi di belakang," ujar Tzeba Dalan, menghentikan pertarungannya dengan Fang Mei. Dituntunnya kedua gadis itu sesegera mungkin ke rerimbunan belukar di bawah batang-batang cemara udang samping tembok Istana Kiangsu. "Tidak jauh dari sini, di sebelah timur tembok ini, ada lubang kecil yang dapat kalian lalui. Lubang itu adalah gorong-gorong air yang sudah tidak terpakai. Tidak jauh. Setelah itu kalian dapat keluar dari Istana Kiangsu ini dengan selamat tanpa diketahui oleh prajurit jaga. Seandainya tadi kalian bersikeras hendak melewati gerbang belakang, kalian pasti dapat tertangkap. Gerbang belakang sudah diawasi oleh prajurit jaga. Rupanya ada perubahan dalam sistem keamanan di Istana Kiangsu ini yang belum kalian ketahui. Yang dulunya tidak terjaga, kini sudah diawasi. Jadi, lubang itu adalah satu-satunya jalan yang dapat mengantar kalian keluar tanpa diketahui. Nah, cepat. Tunggu apa lagi?"
Putri Yuan Ren Xie dan Fang Mei langsung merunduk dan setengah merayap, melata seperti ular di tanah. Mereka bergerak menjauhi Tzeba Dalan dengan benak baur. Tidak lama berselang pemuda itu telah berhadapan dengan prajurit-prajurit jaga. Kedua gadis itu terus merangkak tanpa sempat berpikir tindakan aneh Tzeba Dalan barusan, yang membebaskan mereka dan malah menunjukkan jalan tikus untuk dapat keluar dari Istana Kiangsu dengan aman.
"Tadi kami mendengar ada suara gaduh. Sepertinya suara perkelahian," samar dari kejauhan Putri Yuan Ren Xie dan Fang Mei menangkap pembicaraan itu. Mereka sudah masuk ke dalam lubang yang gelap dan lembap.
"Perkelahian?" ulang Tzeba Dalan, berakting seolah-olah tidak yakin dengan kalimat yang didengarnya barusan.
Seorang prajurit jaga menimpali. "Ya. Juga teriakan."
"Tidak ada orang lain di sini selain saya," tegas Tzeba Dalan, meyakinkan lima orang prajurit jaga yang tengah menginterogasinya. Ia berusaha bersikap wajar dengan tersenyum seperti tidak pernah terjadi apa-apa di tempatnya berdiri.
"Tapi, kami mendengar suara gaduh yang berasal dari sini," sanggah seorang prajurit yang memegang lentera.
Tzeba Dalan mengurai dalih. "Mungkin bukan berasal dari sini."
"Sedang apa kamu di sini, Tzeba?" tanya prajurit yang memegang lentera. Wajahnya yang berminyak di bawah caping mengilap ditimpa sinar jingga lentera. Alisnya nyaris bertaut. Mematrikan pandangannya pada sekujur tubuh Tzeba Dalan, lalu memainkan gotri matanya menelusuri ujung sepatu sampai ujung rambut pemuda berkulit kecoklat-coklatan itu.
"Oh, tidak. Saya hanya latihan wushu," bohong Tzeba Dalan, masih mewajarkan sikapnya dengan mengurai alasan secepat lesatan anak panah yang melintas di memori kepalanya. "Sumpek di dapur setiap hari. Jadi jika ada waktu luang, biasanya saya membugarkan otot-otot saya di sini dengan melatih jurus-jurus dasar."
"Oh, pantas. Kami sangka ada perkelahian. Rupanya kamu hanya berlatih wushu," ujar prajurit lainnya yang bertubuh agam.
Tzeba Dalan kembali mengurai senyum. "Benar. Saya hanya berlatih wushu."
"Syukurlah tidak ada apa-apa," sahut prajurit yang memegang lentera. "Kalau begitu, kami pamit dulu."
"Eh, tunggu. Kalian ada arak tidak?" seru Tzeba Dalan, menahan langkah kelima prajurit tersebut yang sudah menjauhinya setindak.
"Ada," jawab kelima prajurit jaga itu nyaris bersamaan.
"Memangnya kamu mau minum, ya?" tanya salah satu prajurit jaga tersebut, melangkah mundur setindak kembali. Mendekati Tzeba Dalan yang tengah mengangguk.
"Iya," jawab Tzeba Dalan cepat-cepat di akhir anggukannya. "Itu kalau ada."
"Ada, ada!" seru prajurit bertubuh agam, juga menyeret sepasang kakinya yang tegap melangkah mendekati pemuda yang bertugas sebagai koki di Istana Kiangsu. "Tapi, cuma arak kampung. Tidak seperti arak di ruang dapur, pasti lezat karena merupakan arak untuk keluarga Istana Kiangsu."
Ketiga prajurit lainnya turut melangkah.
Tzeba Dalan tersenyum. "Memang. Tapi mana boleh saya menyentuhnya barang seteguk saja. Hei, saya tidak mau mengambil risiko kena penggal karena berani mencicipi arak lezat Istana Kiangsu yang hanya dapat disuguhkan untuk Pangeran Yuan Ren Qhing dan kerabat-kerabat beliau," sahutnya setengah bergurau, menggambarkan kalimat penggal tadi dengan menaruh telapak tangan kanannya di pangkal leher.
Kelima prajurit jaga itu terbahak. "Hahaha...."
"Makanya, saya ingin menumpang minum sama kalian," ujar Tzeba Dalan lagi, mengulur-ulur waktu agar Putri Yuan Ren Xie dan Fang Mei sudah berhasil keluar Istana Kiangsu melalui lubang tikus yang telah ditunjukkannya.
"Oh, boleh, boleh. Tapi, nanti sebentar lagi. Sudah hampir waktunya pergantian tugas dan rotasi jaga. Setelah itu kita akan minum-minum bersama sampai puas di dalam binara jaga. Jangan bilang kami ini tidak menghargai jasa-jasamu. Kalau bukan karena kamu, dapat dari mana makanan lezat yang setiap hari disuguhkan kepada kami? Semua itu berkat olahan dan masakan kamu yang lihai."
"Ah, kalian terlalu melebih-lebihkan. Apalah artinya seorang Tzeba Dalan. Bukankah begitu?"
"Hahaha. Hm, kami akan menghubungi kamu lagi di sini. Nah, teruskanlah latihanmu itu," urai prajurit yang memegang lentera tersebut setelah meredakan tawanya.
Kelima prajurit jaga itu melangkah. Mereka kembali bertugas meronda, mengelilingi halaman Istana Kiangsu yang asri.
Tidak lama kemudian terdengar derau-derau dari gerakan pukulan. Tzeba Dalan kembali berakting, pura-pura meneruskan latihan wushunya ketika prajurit-prajurit jaga yang sudah dikenalnya itu mulai menjauhinya.
Ia tersenyum ketika prajurit-prajurit jaga tersebut telah menirus dari matanya.
Taktiknya untuk mengulur-ulur waktu berhasil meluputkan Putri Yuan Ren Xie dan Fang Mei dari perhatian para prajurit jaga. Semoga mereka berdua dapat sampai ke tempat tujuan dengan selamat, harapnya cemas.


Bao Ling
Elegi Malam

***

Bao Ling sudah memacu kudanya menuju ke Ibukota Da-du dengan benak baur. Ia memang tidak berhasil membawa Fa Mulan ikut serta dalam Festival Barongsai seperti yang diamanatkan oleh Istana. Tetapi ia sadar kalau keadaan memang tidak memungkinkan lagi. Gadis itu memiliki alasan yang kuat untuk tidak menghadiri pesta akbar yang diselenggarakan oleh Kaisar Yuan Ren Zhan tersebut.
"Sampaikan saja manuskrip ini untuk Jenderal Gau Ming. Saya sudah menulis semua permintaan maaf saya. Juga alasan tentang kemangkiran saya pada Festival Barongsai nanti. Memang saya harus memutuskan, apakah saya tetap di sini, atau ke Ibukota Da-du. Tapi saya sudah menimbang-nimbang dengan matang, mungkin ada baiknya untuk sementara saya masih harus berada di sini. Meski kelihatan aman, tapi pengawasan perbatasan Tembok Besar ini tidak boleh diabaikan. Masih banyak jasus musuh yang berusaha masuk melalui jalan strategis di sini. Jika tidak terjadi apa-apa, saya akan menyusul kemudian. Berangkatlah kamu duluan. Semoga Festival Barongsai itu dapat berlangsung dengan aman."
Perkaranya memang bukan soal keinginan hati untuk mengikuti atau mangkir, gerutunya dalam hati ketika gadis itu menyerahkan manuskrip yang telah ditulisnya sesaat sebelum ia berangkat pagi dini hari tadi. Namun ada hal-hal yang belum disadari pihak Istana Da-du, yang pada kenyataannya sudah terlihat oleh Fa Mulan sebagai prajurit garda depan dalam sebuah pertempuran. Intuisinya yang tajam merupakan proses dari asimilasi sebagai prajurit yang berhadapan langsung dengan musuh.
Fa Mulan adalah gadis dengan sosok yang berbeda. Kehadirannya sebagai prajurit Yuan di Kamp Utara merupakan bagian tak terpisahkan dari situasi yang tidak menentu di Tionggoan. Rongrongan musuh di perbatasan dan juga gejolak-gejolak yang bermuasal dari Istana sendiri telah membawa gadis itu ke dalam maharana. Ia pun menyusup ke Kamp Utara setelah menyamar sebagai laki-laki. Mematuhi keharusan wamil bagi setiap anggota keluarga yang ada di Tionggoan - menggantikan posisi ayahya yang sudah tua dan pincang.
"Penyamaran saya di Kamp Utara bukan semata-mata karena menggantikan ayah saya yang sudah tua, Bao Ling!"
"Tapi apa pun alasannya, sangat tidak realistis kalau kamu mengemban dan memikul semua tanggung jawab yang mahaberat ini, Mulan."
"Saat negara sedang di ambang bahaya, realistis atau tidak, bagi saya itu hal yang sangat relatif. Kamu pikir perempuan tidak bisa mengaplikasikan loyalitas kebangsaannya untuk membela negaranya sendiri?"
"Bukan begitu. Namun, tanggung jawab itu sudah menjadi kewajiban kaum laki-laki! Perang adalah dunia laki-laki. Melibatkan perempuan atau anak-anak adalah dosa besar."
"Itulah leluri yang sudah mendarah daging di Tionggoan ini. Perempuan selalu berada pada strata kedua. Kalau begini terus-menerus, apa jadinya bangsa kita yang senantiasa dikungkung oleh pranata gender?"
"Masalahnya ini perang, Mulan! Bukan soal kaummu yang terpinggirkan!"
"Perang atau bukan, apa bedanya?"
"Kamu keras kepala, Mulan!"
"Mungkin. Tapi tidak sekeras iklim hakam antara laki-laki dan perempuan yang kalian ciptakan sendiri turun-temurun. Saya sedih dengan situasi yang menyudutkan begini. Ketika saya berhasil melumpuhkan beberapa musuh-musuh di perbatasan, yang ada dalam pikiran saya adalah, ini sudah merupakan tugas dan telah menjadi tanggung jawab saya sebagai prajurit. Saya tidak pernah berpikir bahwa, yang melumpuhkan lawan-lawan di perbatasan adalah Fa Mulan - seorang perempuan yang notabene terpinggirkan. Tapi apa yang ada di dalam pikiran kalian ternyata sangat bertolak belakang dengan apa yang mengisi benak saya pada waktu itu. Dan ketika kalian mengetahui bahwa, Fa Mulan ternyata adalah seorang perempuan yang menyamar sebagai laki-laki, maka dia harus mendapat hukuman penggal! Hah, kenapa?! Kenapa kalian tidak pernah adil menyikapi ini semua! Kenapa kalian tidak pernah melihat duduk persoalannya dengan mata hati dan nurani? Apa salah perempuan sehingga meskipun mereka berkorban demi negara, namun tetap akan dipenggal karena dianggap melanggar tatanan yang telah kalian buat dan sepakati."

***

Memang, ketika itu penyamaran Fa Mulan sebagai laki-laki akhirnya terbongkar juga. Saat itu Fa Mulan terluka parah setelah bertempur mempertahankan daerah perbatasan Tembok Besar dengan beberapa ratus kaum nomad Mongol, seminggu setelah dimutasikan dari Tung Shao ke Tembok Besar untuk membantu prajurit Divisi Infanteri yang telah bertugas di sana. Ketika dalam masa perawatan itulah identitas Fa Mulan terbongkar. Tabib yang tengah memeriksanya melaporkan kepada Shang Weng bahwa Fa Mulan ternyata seorang perempuan. Seketika itu pula Shang Weng murka luar biasa. Ternyata selama ini militer Kamp Utara telah kecolongan. Sudah barang tentu hal itu merupakan aib dan coreng malu untuk sebuah barak yang dianggap suri teladan. Barak yang memiliki reputasi gemilang - dengan ribuan perwira dan prajuritnya yang berdisiplin tinggi di antara seluruh jajaran kemiliteran Tionggoan.
Shang Weng menanggung malu.
Waktu itu pula, ia langsung menghunuskan pedangnya ke arah leher Fa Mulan yang saat itu terkulai lemah berlutut di tanah. Chien Po yang melihatnya langsung turun tangan. Prajurit bertubuh besar itu langsung mengayunkan toyanya, menangkis mata pedang yang hendak menebas kepala Fa Mulan.
Yao turun membantu. Ia menghalau beberapa pengawal Shang Weng yang hendak membantu menyerang.
"Kalian semua pembangkang!" teriak gusar Shang Weng pada waktu itu.
"Tidak ada maksud kami untuk melawan Anda, terlebih-lebih membangkang seperti yang Anda tuduhkan kepada kami, Kapten Shang!" bantah Chien Po, masih sigap melindungi Fa Mulan dari bahaya saat itu.
"Betul, Kapten Shang. Apa yang dikatakan Chien Po memang benar. Kami hanya menunjukkan solidaritas, membantu saudara kami - Fa Mulan - yang terkulai lemah. Dia sedang terluka parah, Kapten Shang. Seharusnya kita membantunya. Bukannya bertindak yurisdikasi ketika segalanya masih belum jelas benar duduk-perkaranya," tambah Yao menentang.
"Apanya yang tidak jelas?! Jelas-jelas perempuan ini telah mencoreng nama baik militer Kamp Utara ini!"
"Nama baik?! Sebegitu tinggikah nilai nama baik di mata Anda sehingga rela mengorbankan nyawa prajurit loyal Anda, Kapten Shang?!" tanya Chien Po sinis.
"Jangan membela perempuan ini lagi kalau kalian tidak ingin dihukum karena dianggap makar!"
Waktu itu pula ia memberanikan dirinya menantang Shang Weng. Ia tidak peduli seandainya ia pun dihukum penggal karena dianggap membangkang atau makar. Yang pasti, ia tidak dapat membiarkan gadis yang tengah sekarat itu dibantai tanpa musabab jelas.
"Fa Mulan tidak bersalah! Apa hanya lantaran dia perempuan sehingga harus dibunuh?!" imbuhnya, turut menentang pada waktu itu.
"Jangan ikut campur, Bao Ling!"
"Maaf atas kelancangan saya, Kapten Shang. Tapi, tolong sarungkan pedang Anda kembali! Urungkan niat Anda itu. Fa Mulan bukan musuh yang harus Anda hadapi dengan pedang yang terhunus. Kalau Anda ingin membunuh gadis ini, silakan langkahi mayat saya dulu!" tantangnya lagi.
"Ya, benar. Langkahi mayat kami dulu," timpal Chien Po dan Yao bersamaan.
"Kalian...."
Pada saat itu perkelahian tidak dapat dihindarkan. Bao Ling berduel dengan Shang Weng, dan Chien Po serta Yao menghadapi prajurit-prajurit pengawal Shang Weng. Beberapa puluh prajurit wamil yang simpati terhadap Fa Mulan - termasuk prajurit yang bertugas sebagai juru masak barak - juga turut bertarung dengan prajurit-prajurit pengawal Kamp Utara.
Namun upaya tersebut sia-sia belaka, sekalipun Bao Ling dapat mengalahkan Shang Weng setelah bertarung cukup lama. Sementara itu Chien Po dan Yao tidak berkutik menghadapi serangan dan keroyokan ratusan prajurit pengawal yang termasuk bagian dari Divisi Infanteri. Begitu pula dengan prajurit wamil simpatisan Fa Mulan. Mereka ditangkap. Dan bersama Fa Mulan dimasukkan ke dalam tenda tahanan selama beberapa hari.
Ia sendiri melarikan diri dari Kamp Utara. Untuk sementara bersembunyi di sebuah dusun dekat barak, sampai menunggu situasi mengkondusif sebelum melakukan rencana pembebasan Fa Mulan. Selama beberapa hari ia mengintai Kamp Utara.
Suatu hari Shang Weng mendadak mengambil keputusan yang kontroversial. Ia membebaskan Fa Mulan beserta semua prajurit wamil yang ditawannya tempo hari meski mereka semua tetap dalam pengawasan ketat prajurit pengawal Divisi Infanteri.
"Untuk kasus manipulasi identitas diri Fa Mulan, akan saya serahkan sepenuhnya kepada atase militer pusat," alasan Shang Weng waktu itu kepada prajurit-prajurit wamil simpatisan Fa Mulan. "Merekalah yang akan memutuskan, apakah Fa Mulan bersalah atau tidak. Apakah dia akan mendapat dispensasi pengampunan atau tidak - bila divonis bersalah. Kita tunggu saja dengan sabar keputusan dari atase militer Yuan di Ibukota Da-du."
Dalih itu memang meredakan amarahnya sehingga ia pulang kembali ke barak setelah lari dan bersembunyi beberapa hari di sebuah dusun. Begitu pula dengan para prajurit wamil simpatisan Fa Mulan. Mereka menunggu amar dari atase militer Yuan di Ibukota Da-du. Apakah Fa Mulan mendapat pengampunan atau tidak.
Fa Mulan sendiri apatis kalau atase militer Yuan akan bermurah hati memberikan pengampunan. Ia tahu bagaimana keras dan tegasnya hukum kemiliteran Yuan. Ia pasrah. Tetapi tidak sedikit pun momok sanksi hukuman pancung itu menggentarkannya.
Ia memang tidak takut mati!
"Saya pantas dipenggal, Kapten Shang! Saya harap Anda jangan membuang-buang waktu lagi. Saya siap mati sekarang. Saya tidak akan menyesal. Saya bangga mati demi membela negara dan keluarga saya. Jadi, hunuskanlah pedang Anda sekarang, Kapten Shang," ujar Fa Mulan tanpa merasa gentar pada waktu itu.
"Saya tidak memiliki legitimasi untuk menghakimi kamu, Mulan."
"Anda adalah pemimpin tertinggi di Kamp Utara. Anda berhak mengeksekusi saya. Saya memang telah bersalah menipu militer Yuan."
"Saya tidak bisa putuskan kamu bersalah atau tidak. Semua keputusan serta sanksi yang akan dijatuhkan atas perbuatan manipulasi identitas diri kamu itu ada di tangan atase militer di Ibukota Da-du. Saya minta maaf atas sikap vulgar saya terhadap kamu tempo hari. Saat itu saya tidak dapat menahan diri. Saya emosi. Tidak seharusnya saya bersikap sekasar itu terhadap kamu."
"Percuma mengulur-ulur waktu. Toh pada saatnya nanti, kepala saya akan dipenggal!"
"Mulan...."
"Anda jangan menanggung beban perasaan bersalah hanya karena membunuh seorang Fa Mulan. Apalah artinya seorang Fa Mulan yang telah menyebabkan nama baik militer Yuan rusak dan tercoreng malu!"
"Jangan mendesak saya untuk mengambil keputusan sepihak, Mulan!"
"Saya hanya tidak ingin dipermainkan oleh ajal, Kapten Shang. Kalau saya memang harus mati hari ini, segeralah bunuh saya. Kalau Anda dan atase militer Yuan mengulur-ulur waktu, hal itu sama saja dengan menyiksa dan membunuh saya perlahan-lahan. Hal tersebut jauh lebih menyakitkan ketimbang Anda membunuh saya sekarang."
"Sa-saya tidak ingin kamu mati, Mulan! Saya akan berusaha memperjuangkan nasib kamu di hadapan pejabat-pejabat militer itu. Saya...."
"Kenapa?! Bukankah saya ini biang perusak nama baik militer Kamp Utara?! Kenapa hidup saya perlu Anda pertahankan? Bukankah lebih baik kalau saya mati saja agar...."
"Jangan menyiksa saya lagi dengan pertanyaan-pertanyaanmu itu, Mulan. Saya sudah cukup menderita selama ini. Ah, saya tidak tahu mengapa harus berhadapan dengan dilematisasi seperti ini!"
"Maaf, karena sayalah sehingga Anda...."
"Tidak. Jangan salahkan dirimu. Sekarang, jangan menyalahkan siapa-siapa."
"Tapi saya sudah pasrah."
"Kamu tidak boleh menyerah!"
"Saya tidak pernah merasa kalah. Kematian saya kelak di ujung golok algojo Istana Da-du merupakan kemenangan. Saya hanya dikalahkan oleh ironi bangsa ini. Kalah karena terlahir di dalam zaman yang tidak tepat, di mana perempuan tidak pernah mendapat tempat yang layak di tanah kelahirannya sendiri. Di mana perempuan harus dipenggal karena dianggap melampaui batas kodrati yang telah digariskan oleh artifak leluri laki-laki."
"Tapi kamu tetap berjasa bagi Yuan."
"Saya tidak pernah berharap dan berpamrih ketika melaksanakan tugas-tugas serta kewajiban-kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawab seorang prajurit."
"Tapi, atase militer Yuan di Ibukota Da-du mesti jeli melihat serta mempertimbangkan jasa-jasamu itu."
"Saya tidak bisa mempengaruhi keputusan para atase militer dengan memaparkan jasa-jasa baik yang pernah saya lakukan untuk negeri ini, agar saya dapat bebas dari tuntutan hukum. Saya hanya berharap mereka dapat bertindak bijak dan obyektif menyikapi kasus saya ini."
Shang Weng memang memperjuangkan nasib Fa Mulan di markas besar militer Yuan, di hadapan puluhan petinggi militer dan panglima perang yang akan memutuskan sanksi hukuman untuk gadis itu. Namun seperti yang telah diduganya, para atase militer Yuan tetap bersikeras untuk menjatuhkan hukuman pancung kepada Fa Mulan sebagai kata sepakat pertemuan militer akbar tersebut.
"Ma-maafkan saya, Mulan!"
"Tidak apa-apa. Lakukan saja perintah para atase militer Yuan itu, Kapten Shang."
"Am-ampuni saya, Mulan. Eksekusi akan dilakukan tujuh hari lagi. Saya bersedia melakukan apa saja untukmu sebelum...."
"Laki-laki pantang mengeluarkan airmata, Kapten Shang. Jangan menangis lagi. Fa Mulan tidak perlu ditangisi. Inilah bentuk kemenangan saya yang paling gemilang, menghadapi kematian dengan tenang dan tegar!"


Fa Mulan
Surat untuk Ayah

***

Shang Weng memutuskan untuk menjatuhkan sanksi sesuai hukum kemiliteran setelah melakukan serangkaian pertemuan militer dengan para atase militer Yuan di Ibukota Da-du. Penyusupan dan penyamaran Fa Mulan di Kamp Utara sebagai laki-laki tersebut merupakan pukulan yang amat berat bagi militer Yuan. Nama baik militer Yuan tercoreng karena kecolongan oleh kasus sepele tetapi berdampak besar bagi kredibilitas dalam kemiliteran. Karenanya, tindakan Fa Mulan - yang dilakukannya semata-mata untuk menggantikan ayahnya yang sudah tua dan pincang - dapat dianggap subversif. Untuk itulah ia dijatuhi hukuman penggal!
Namun keajaiban itu datang sesaat sebelum golok algojo Istana Da-du hendak memisahkan kepala Fa Mulan dari badannya. Kaisar Yuan Ren Zhan, melalui ia - salah seorang prajurit wamil Kamp Utara yang lari ke Ibukota Da-du dan berhasil menembus koneksitas Istana untuk meminta permohonan pengampunan bagi Fa Mulan, tiba-tiba mengeluarkan maklumat untuk mengampuni tindakan Fa Mulan yang merupakan aib dalam kemiliteran Yuan.
Dan pada akhirnya, maklumat tersebut sampai kini menjadi enigma tak terjawab di kalangan militer Yuan. Entah karena alasan apa sehingga Kaisar Yuan Ren Zhang sampai mengeluarkan maklumat yang berstempel Istana Da-du dan ditandatanganinya sendiri.
Barangkali tindakan Kaisar Yuan Ren Zhan itu merupakan reformasisasi pengaruh Negeri Barat, yang erat kaitannya dengan rintisan bilateral politik luar negeri terobosan Perdana Menteri Shu Yong. Tindakan tersebut membawa iklim baru dalam tatanan kenegaraan yang kacau-balau warisan penguasa-penguasa masa lalu.
Kendati pada akhirnya gadis itu tidak jadi dipancung, tetapi ia - sebagai sahabat terbaik Fa Mulan - merasa Shang Weng sebagai pemimpin tertinggi di Kamp Utara tidak becus mengantisipasi hal terburuk dari kasus penyamaran identitas Fa Mulan tersebut.
Ia menilai Shang Weng tidak adil.
Ia tidak dapat memberikan argumen yang tepat kepada jenderal-jenderal di markas besar militer Yuan di Ibukota Da-du. Ia tidak berusaha semaksimal mungkin meyakinkan pejabat-pejabat militer di Istana bahwa sesungguhnya Fa Mulan tidak bersalah. Apa yang telah diperbuat gadis itu - manipulasi identitas diri dan tuduhan indisipliner - tidak sebanding dengan hukuman yang dijatuhkan militer Yuan kepadanya.
Shang Weng seperti buta.
Ia tidak dapat melihat betapa berjasanya gadis prajurit wamil tersebut yang, bahkan berani mengorbankan nyawanya suatu ketika pada sebuah pertempuran kecil dengan kaum nomad Mongol di perbatasan Tembok Besar. Fa Mulan nyaris tewas dengan sebilah anak panah yang menancap di dadanya.
"Anda tidak adil, Kapten Shang!" makinya pada waktu itu, sebelum eksekusi penggal kepala dilakukan terhadap Fa Mulan tujuh hari kemudian.
"Kamu pikir saya tidak sedih?! Saya juga sedih, Bao Ling! Hati saya juga sakit. Lebih sakit dan perih daripada yang kamu rasakan."
"Sampai hati Kapten Shang berdarah-darah pun, Fa Mulan tetap akan dipenggal!"
"Saya sudah berusaha menyelamatkan gadis itu. Tapi...."
"Tapi apa?!"
"Saya tidak bisa melawan keputusan para jenderal di Ibukota Da-du!"
"Saya tidak ingin mendengar dalih murahan begitu, Kapten Shang!"
"Jangan kurang ajar!"
"Saya kecewa terhadap kepemimpinan Anda, Kapten Shang!"
"Kamu indisiplener! Kamu akan dipenggal!"
"Lebih baik saya mati bersama Fa Mulan daripada tetap loyal kepada seorang pemimpin yang, sama sekali tidak memiliki tanggung jawab terhadap nasib bawahannya."
"Hal itu di luar kehendak saya."
"Tapi kehendak untuk melenyapkan nyawa gadis itu sungguh keterlaluan! Di mana nurani para jenderal yang tahunya hanya memerintah di belakang meja itu?!"
"Hukuman itu telah menjadi sanksi dalam kemiliteran. Saya harap kita semua dapat berlapang dada menerima keputusan pahit untuk Fa Mulan itu, Bao Ling."
"Tapi keputusan itu tidak adil! Bagaimana mungkin Fa Mulan dapat menerima sanksi seberat itu - hukuman mati, sementara apa yang telah dilakukannya hanyalah untuk menggantikan posisi kewajiban militer ayahnya - yang sudah tua dan pincang. Dia bukan penjahat perang, Kapten Shang! Kenapa harus dihukum pancung?!"
"Senang atau tidak, sanksi itu telah menjadi amar yang harus dipatuhi oleh siapa pun juga. Tidak terkecuali dia adalah jenderal sekalipun. Bagaimana wibawa hukum nantinya kalau ada sikap diskriminatif untuk Fa Mulan. Apa kata orang nanti tentang keadilan?"
"Sia-sia saja semua pengorbanannya selama ini di sini! Tidak ada penghargaan apa pun atas jasa-jasanya, yang bahkan mempertaruhkan nyawanya saat mempertahankan Tembok Besar dari serangan kaum nomad Mongol lalu."
"Saya tahu bagaimana besarnya loyalitas Fa Mulan terhadap Yuan. Saya sadar, karena itu pulalah dia terkena anak panah dan nyaris tewas di tangan Mongol. Tapi, bukannya saya tidak peduli dengan jiwa patriotisme dia itu. Bukan. Tapi saya memang tidak memiliki wewenang lagi untuk menggagalkan eksekusi penggal itu, Bao Ling!"
"Kejam...."
"Maafkan saya. Saya telah berusaha semampu saya. Tapi...."
"Kalau semua pejabat militer Yuan seolah tidak memiliki nurani, bagaimana jadinya loyalitas prajurit Yuan kelak?! Kasus Fa Mulan adalah salah satu bukti kalau para pejabat militer kita di Ibukota Da-du sudah majal nurani. Tidak ada kepekaan hati mereka lagi untuk melihat sisi-sisi lain dari kebenaran, apa pun bentuknya."
"Saya menyesal, Bao Ling. Tapi...."
"Maafkan saya, Kapten Shang! Saya tidak bermaksud menyudutkan Anda di dalam posisi ini. Tapi saya hanya iba kepada Fa Mulan. Dia prajurit yang sagat loyal, bahkan melebihi semua prajurit yang ada di Kamp Utara ini! Dia gadis yang baik, Kapten Shang! Dia...."
"Sudahlah, Bao Ling. Saya turut prihatin atas hukuman yang...."
"Ta-tapi, Anda harus bertindak! Sebagai pemimpin Kamp Utara ini, Anda memiliki legitimasi untuk menggagalkan hukuman pancung itu, Kapten Shang!"
"Ma-maafkan saya, Bao Ling! Atase militer telah memutuskan untuk tetap menjatuhkan hukuman penggal kepada Fa Mulan!"
"Tapi mana boleh...."
"Saya juga sakit hati, Bao Ling. Tolong, jangan salahkan saya lagi dalam hal ini!"
"Ja-jadi...."
"Sa-saya menyesal...."
"Huh, kalau sudah begini, membunuh seorang Shang Weng Shang pun tidak akan dapat menolong Fa Mulan dari kematian!"
"Saya...."
"Ti-tidak! Tidak! Tidak! Fa Mulan tidak boleh mati! Fa Mulan tidak boleh mati, Kapten Shang!"
Kala itu ia menangis.
Ia meratapi nasib malang Fa Mulan. Namun Shang Weng sama sekali tidak bergeming dengan permohonannya agar berusaha membebaskan Fa Mulan dari hukuman pancung tersebut. Komandan atas seluruh militer wamil di Tung Shao itu hanya menangis. Pemimpin Kamp Utara itu sama sekali tidak berkutik dengan keputusan getir yang, diamanatkan para jenderal kepadanya untuk mengeksekusi Fa Mulan pada hari dan waktu yang telah ditentukan. Juga ketika Chien Po dan Yao berlutut memohon, pemuda itu pun hanya menundukkan kepalanya tidak berdaya, dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia benar-benar kecewa terhadap Shang Weng.
Maka pada suatu malam ia kembali melarikan diri dari Kamp Utara menuju ke Ibukota Da-du. Ia harus membebaskan Fa Mulan dari kezaliman pejabat-pejabat militer di Ibukota Da-du. Ia akan mencoba memohon langsung kepada Kaisar Yuan Ren Zhan agar dapat membebaskan Fa Mulan dari sanksi hukuman pancung.
Tetapi upayanya tersebut seolah menggantang asap untuk menghidupkan api pada bara arang yang telah padam.

***

Tidak ada satu pun pejabat militer yang sudi menerimanya. Ia hanya dipandang dengan sebelah mata dan dianggap prajurit berkasta rendah. Gengsi militer Yuan ternyata lebih tinggi dari langit ketujuh. Semua petinggi militer dan jenderal memandangnya rendah. Namun ia tetap bersikeras dan berusaha mencari cara untuk dapat meluputkan Fa Mulan dari hukuman pancung.
"Kembalilah ke barak, Anak Muda!" sahut Jenderal Gau Ming saat ia berhasil masuk ke markas besar militer Yuan secara diam-diam. Ditemuinya jenderal tua itu dan mengungkapkan semua kejadian miris yang menimpa Fa Mulan di Kamp Utara. "Mustahil kamu dapat bertemu dengan Kaisar Yuan Ren Zhan! Istana terlalu keramat untuk kamu masuki hanya untuk me-nyampaikan berita sesepele itu."
"Maaf, Jenderal Gau! Ini bukan persoalan sepele. Hidup-mati Fa Mulan merupakan tanggung jawab militer Yuan. Anda yang mewakili militer Yuan tidak dapat lepas tangan begitu saja. Dan hanya mengetukkan palu amanat tanpa melihat duduk-perkaranya. Saya mohon Anda dapat bertindak bijak menanggapi kasus Fa Mulan tersebut. Anda dapat menimbang kasus itu dengan seksama! Fa Mulan bukan penjahat perang! Dia tidak pantas diganjar hukuman mati!"
"Lancang benar kamu!"
"Maaf, Jenderal Gau! Saya tidak bermaksud apa-apa kecuali meminta atase militer Yuan mengambil keputusan benar!"
"Apa lagi?! Bukankah vonis telah dijatuhkan?!"
"Vonis itu tidak adil, Jenderal Gau!"
"Berani benar kamu menentang amar yang telah disepakati oleh seluruh atase militer Yuan!"
"Saya tidak berani! Tapi, mohon. Mohon tinjau kembali keputusan untuk mengeksekusi Fa Mulan, Jenderal Gau."
"Tinjau kembali?! Kamu pikir amar yang telah diputuskan itu main-main?! Keputusan itu telah bulat, Anak Muda! Sudahlah. Jangan mengganggu kami yang tengah sibuk di markas besar militer Yuan ini. Keputusan penggal kepala untuk prajurit wamil Fa Mulan itu sah dan tidak cacat hukum! Atau, apa kamu menyangsikan kalau keputusan itu cacat hukum barangkali?!"
"Saya tidak berani berkesimpulan begitu. Tapi, rasa-rasanya apa yang telah menjadi amar para atase militer Yuan itu tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukan Fa Mulan. Gadis itu tidak bermaksud makar dengan memanipulasi identitas dirinya saat mendaftar sebagai prajurit wamil. Gadis itu hanya ingin menggantikan posisi ayahnya yang sudah tua dan pincang. Itu saja. Tidak ada maksud lain. Dia juga bukan jasus, dan tidak pernah terbukti bekerja untuk pihak musuh."
"Untungnya Fa Mulan bukan jasus musuh. Nah, bagaimana seandainya dia adalah jasus musuh?! Bukankah dia akan menjadi orang yang paling berbahaya di Kamp Utara?!"
"Tapi, kenyataannya Fa Mulan memang bukan orang yang bekerja untuk pihak musuh!"
"Saya tidak perlu mendengar jawaban atau penegasan kamu, bahwa Fa Mulan bukan jasus musuh! Kami semua sudah tahu kalau dia memang bukan jasus musuh! Saya hanya ingin mendengar jawaban kamu, bagaimana seandainya gadis itu adalah jasus musuh. Tahu tidak, kasus manipulasi identitas diri yang Fa Mulan lakukan itu merupakan preseden buruk bagi militer Yuan. Terus terang, kasus tersebut telah membuat kalang-kabut semua atase militer Yuan. Seharusnya hal itu tidak boleh terjadi. Lagipula, bukan hanya Fa Mulan yang akan dikenai sanksi atas kasus itu. Tapi banyak pihak yang terkait di dalamnya. Salah satunya adalah Inspektur Tang Zhien Zen, salah seorang pejabat militer yang paling bertanggung jawab dalam perekrutan calon prajurit wamil pada waktu itu. Dia pun dapat dijatuhi hukuman mati atas keteledorannya tersebut."
"Mungkin itu salah satu kesalahan besar yang pernah dilakukan Fa Mulan. Tapi apakah tidak ada pengampunan untuknya, Jenderal Gau?"
"Atase militer telah menimbang dengan matang persoalan manipulasi identitas diri yang terjadi di Kamp Utara. Memang tidak ada hal yang dapat meringankan hukuman untuk Fa Mulan."
"Tapi...."
"Keluarlah, Anak Muda. Kamu hanya mengganggu aktivitas kami di sini!"
"Tunggu, Jenderal Gau!"
"Ada apa lagi?!"
"Saya Bao Ling, putra pertama Bao Nang! Saya akan melakukan apa saja demi menyelamatkan Fa Mulan dari jazam penggal!"
"Cukup! Pengawal, tangkap dia!"
"Jenderal Gau...."
Kala itu ia ditawan oleh prajurit pengawal Jenderal Gau Ming. Ia dijebloskan ke dalam penjara di markas besar militer Yuan karena dianggap indisipliner. Menyelinap masuk ke dalam markas besar militer Yuan tanpa izin. Di dalam penjara, ia menemukan ide cemerlang untuk dapat membebaskan Fa Mulan.
Koneksitas dengan pihak Istana!
Sebuah siasat yang sering ditempuh oleh ayahnya sewaktu berusaha mengelitkan ia dari kewajiban militer. Pejabat-pejabat negara memang masih banyak yang kemaruk oleh gemerlap harta dunia....


Bao Ling
Elegi Kelana

***

Bicara dengan gadis itu, ia serasa berhadapan dengan sesosok teguh berpendirian keras. Masalah gender adalah persoalan yang paling hakiki dalam hidupnya. Fa Mulan memang idealis. Dan ia bahkan bersedia mati untuk memperjuangkan cita-cita luhurnya tersebut. Kebenaran seperti bayang yang terpantul dari cermin nurani sisi hatinya.
"Tidak ada yang salah, Mulan. Tapi, kalau hal itu sudah menjadi predestinasi, apa yang harus kamu tuntut lagi?"
"Hei, Dewata tidak pernah memaklumatkan hakam untuk memilah-milah anak-anak manusia di dunia ini!"
"Tapi kenyataannya...."
"Kenyataannya hal itu dibuat-buat. Jangan menyinggung-nyinggung nama langit untuk mengukuhkan hakam sebagai pembenaran kalian."
"Pembenaran untuk kebaikan itu sahih, Mulan."
"Tapi sahih yang kalian putuskan adalah dosa besar bagi kemanusiaan dan peradaban!"
"Kadang-kadang, ada kalanya cita-cita harus dibarengi dengan pengorbanan. Berkorban di satu pihak untuk meraih kemenangan di pihak lainnya."
"Lelucon yang bagus."
"Ini bukan lelucon. Tapi memang begitu adanya. Sesuatu yang luhur dan murni harus didapatkan dengan segenap pengorbanan. Negara yang makmur tidak dibangun begitu saja. Banyak nyawa dan darah menjadi pondasi negara yang kuat tersebut. Tembok Besar, misalnya. Bangunan fenomenal kebanggaan rakyat Tionggoan itu telah mengorbankan demikian banyak nyawa sebelum dapat menjulang dan menjalar dengan gagah di Semenanjung Kuning ini. Entah berapa juta nyawa dikorbankan agar dapat membangun Tembok Besar itu, Mulan. Dan kamu lihat, pengorbanan itu ternyata tidak sia-sia, bukan? Nah, itulah yang kerap melandasi pola pikir pejabat-pejabat negara. Kamu tidak dapat menyalahkan hal tersebut sebagai sesuatu yang naif. Terlebih-lebih lelucon!"
"Saya tidak sependapat. Akar sejarah yang pengkar, yang dibenarkan secara sahih turun-temurun oleh kaisar-kaisar terdahulu, akan merajut benang merah masa lalu yang suram di masa sekarang. Kalau sudah begitu, maka yang terjadi kemudian adalah maharana yang tak kunjung reda. Di mana-mana ada perang. Perebutan kekuasaan. Intrik Istana. Apakah hal yang sangat menyengsarakan rakyat itu dapat dianggap suatu kebenaran?"
"Kalau hal itu merupakan bagian dari pengorbanan, yang bertujuan demi pengembangan negara ke arah yang lebih baik - paling tidak demi anak-cucu kita di kemudian hari, maka saya tidak dapat menyalahkan tindakan anarkisitas itu sebagai sebuah dosa besar."
"Huh, absurditas ambisi pribadi yang menghalalkan segala cara untuk dapat mencapai tujuan puncak kekuasaan! Sungguh sebuah keputusan yang ironis!"
"Itu khidmat yang dapat diperoleh dari serangkaian pengorbanan. Baik atau buruk, merugikan ataupun menguntungkan, semuanya berpulang pada pribadi masing-masing manusia."
"Oya? Jadi, kamu setuju hal itu dijadikan landasan bagi negara kita ini?"
"Sebegitu pentingkah artikulasi itu bagi kita, Mulan?"
"Berarti atau tidak, toh kita harus peduli terhadap nasib bangsa ini, bukan?"
"Tentu. Itulah tujuan kita menjadi prajurit wamil. Tapi, bukan berarti kita harus mencampuri semua hal. Ada hal-hal lain yang memang tidak memerlukan partisipan kita."
"Kenapa kamu bisa bilang begitu?"
"Masing-masing individu mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Kaisar adalah kaisar. Jenderal adalah jenderal. Prajurit adalah prajurit. Petani adalah petani. Kalau tugas dan tanggung jawab tersebut saling bersilangan, maka fungsi individu itu akan kacau-balau. Lalu, pada akhirnya negara akan mengalami instabilitas politik. Negara tidak memiliki tatanan yang kuat karena masing-masing individu rancu dengan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing."
"Rasanya terlau picik bila kamu menilai aspirasi dan kepedulian kita sebagai rakyat yang menggugah kepemimpinan seorang kepala negara sebagai sesuatu yang balau."
"Kenapa?"
"Justru, saya melihat hal tersebut sebagai tiranisasi yang membelenggu aspirasi rakyat. Itu pembodohan buat rakyat. Pemilah-milahan dan pengkotak-kotakan individu ke dalam tugas dan fungsinya masing-masing merupakan politisasi para pengusa lalim. Rakyat dibiarkan berjalan pada pola yang telah ditentukan. Kaisar tetap kaisar. Jenderal tetap jenderal. Prajurit tetap prajurit. Petani tetap petani. Dan kalau sudah terstigma begitu, seorang kaisar akan memenggal kepala seorang petani yang sesungguhnya berpotensi menjadi kaisar dibandingkan kaisar penguasa yang diuntungkan stigma tersebut."
"Politik Istana itu rumit, Mulan. Bila kita terlampau jauh mencampuri, maka yang terjadi adalah kekisruhan. Semuanya akan membabur. Bukannya solusi pemecahan suatu masalah."
"Ini presedensi yang salah. Tujuan negara - perang misalnya - adalah semata-mata demi rakyat. Bukan demi segelintir orang. Bukan hanya untuk kepentingan kalangan Istana dan kroninya. Pada Kenyataannya, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak di antara penguasa negeri menggunakan militer dan perang untuk mempertahankan aset-aset serta kekayaan mereka sendiri. Bahkan untuk merampas harta-benda dan tanah orang lain."
"Itu hanya presensi batil segelintir Sang Penguasa Tionggoan. Tapi sesungguhnya keputusan negara adalah stempel sahih dan kebenaran - karena kaisar adalah keturunan Dewata dan Naga dari langit. Mereka adalah totemis. Namun keputusan itu pada akhirnya membabur bila terlampau direcoki oleh absolutisme rakyat yang pluralis. Nah, kalau sudah begitu, maka kekisruhan akan menjadi-jadi. Rakyat akan jadi tiran. Dan pemerintah adalah boneka yang setiap saat dikendalikan untuk menjalankan misi pluralistis tersebut."
"Hei, bukan sebaliknya?! Amanat rakyat tidaklah seinferior sangkamu, Bao Ling. Absolutisme dan tirani dapat terjadi karena adanya penyalahgunaan wewenang di dalam roda pemerintahan. Penyelewengan dari asas-asas hakiki langit - bahwa kaisar adalah keturunan Dewata dan Naga di langit serta analisis totemis itu - justru membawa kaidah tersebut sangat melenceng jauh dari tatanan moralitas dan kebenaran itu sendiri."
"Tapi, dalam kenyataannya rakyat akan menjadi anarkis dan tiran saat tidak terpenuhinya keinginan-keinginan mereka yang ambigu. Kerusuhan, penjarahan, dan banyak hal merusak lainnya lagi ketika mereka menjelma menjadi serigala yang memangsa kaumnya sendiri."
"Lalu, siapa yang salah kalau sudah begitu?! Seharusnya pejabat-pejabat negara berintrospeksi. Bukannya malah menggunakan kelebihan dan kekuatan mereka - militer dan bala prajurit - untuk balas memukul, bahkan memusnahkan rakyat tersebut - yang kelaparan dan tidak puas terhadap kepemimpinan mereka?! Bukankah kesalahan itu bermuasal dari kalangan Istana?! Apakah bukan karena tindakan tak bermoral pejabat-pejabat negara yang batil dan korup itu?! Mereka merampok dan mencuri harta-benda rakyat, Bao Ling! Dan mestikah rakyat yang disalahkan apabila mereka berbalik membobol gudang-gudang beras, dan mencuri berton-ton beras negara karena sebutir nasi pun sudah menjadi barang yang langka di negeri ini?! Apakah salah bila mereka kelapara karena ulah jahat pejabat-pejabat korup itu?!"
"Rasanya tidak etis membenarkan tindakan anarkis hanya atas nama perut rakyat yang kelaparan!"
"Terlebih tidak etis lagi tindakan pejabat-pejabat negara yang batil itu terhadap apa yang telah mereka lakukan kepada rakyat. Korupsi telah menyebabkan rakyat merana. Lumbung-lumbung padi habis digerogoti oleh tikus-tikus koruptor itu. Rakyat semakin miskin."
"Saya kira, tak ada satu pun negara yang makmur apabila tengah dirundung maharana. Itu bagian dari konsekuensi perang."
"Siapa bilang tidak begitu?! Perang adalah salah satu bentuk tiran dan absolutisme babur dari penguasa-penguasa batil sebuah negara. Lalu yang terjadi adalah kekacauan dan bencana. Rakyat kelaparan. Semuanya terberangus hanya oleh satu kata. Ambisi!"
"Hahaha...."
"Kenapa tertawa?"
"Saya sama sekali tidak menyangka kalau seorang Fa Mulan bisa seidealis begitu."
"Idealis atau bukan, yang saya tahu, saya hanya mengungkapkan kenyataan yang saya lihat dengan mata dan kepala saya sendiri."
"Tapi, kamu cerdas, Mulan."
"Cerdas? Kamu keliru. Saya tidak cerdas. Seperti yang telah saya katakan tadi, semua hal itu merupakan kejadian riil dan kasat yang dapat kita saksikan setiap hari. Jadi apa yang saya ketahui hanyalah mualamat. Semua juga rakyat tahu kalau kebanyakan pejabat negara itu kotor. Bukankah begitu, Bao Ling?"
"Saya tidak berani berasumsi dengan mengatakan sependapat."
"Kenapa?"
"Semuanya relatif. Hati manusia tidak dapat ditebak. Hitam dan putih sisi hati hanya dipisahkan oleh segaris tipis nurani. Siapa yang tahu kalau Kaisar Yuan Ren Zhan yang kita anggap baik dan bijak - sehingga kita rela mengorbankan jiwa dan raga menjadi prajurit wamil di era kepemimpinan beliau sekarang - suatu saat kelak, entahlah, dapat lebih kejam ketimbang ayahandanya - mendiang Kaisar Yuan Ren Xing?"
"Justru karena itulah diperlukan masukan-masukan dari suara rakyat. Agar kaidah tetap terjaga, dan Sang Kaisar tidak lari dari norma-norma kebajikan."
"Nah, itulah yang sulit, Mulan."
"Sulit bagaimana?"
"Kamu tahu, kenapa rakyat Tionggoan diharuskan menjalani kewajiban militer?"
"Tentu saja saya tahu."
"Apa itu?"
"Untuk apa kamu tanyakan hal itu?"
"Sebagai prajurit kita harus memiliki banyak wawasan."
"Itu sudah pasti. Tapi, sebagai prajurit pun kita mesti memiliki gagasan. Bukan hanya wawasan."
"Gagasan? Untuk apa?"
"Karena itulah aspirasi. Itulah suara kita. Suara rakyat."
"Kalau begitu, intisari wamil itu untuk apa?"
"Wamil ada karena ada masalah. Masalahnya adalah, karena Tionggoan terus-menerus dirongrong oleh pemberontakan-pemberontakan di daerah perbatasan. Militer Yuan kesulitan menghadapi mereka. Negara di ambang bahaya. Itulah sebabnya Kaisar Yuan Ren Zhan segera mengeluarkan maklumat agar rakyat Tionggoan harus mengikuti wamil. Bukankah begitu, Bao Ling?"
"Akar masalahnya memang di situ. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Tapi tahukah kamu kalau musuh-musuh yang menyerang di daerah perbatasan itu - di luar pemberontakan kaum nomad Mongol - juga merupakan rakyat Tionggoan sendiri!"
"Maksudmu, pasukan pemberontak Han?"
"Siapa lagi? Bukankan mereka merupakan salah satu suku bangsa Tionggoan juga?"
"Maksudmu, berarti...."
"Berarti Kaisar Yuan Ren Zhan ditentang oleh rakyatnya sendiri. Jadi kalau direnungi, jangankan menjadikan rakyat sebagai parameter pengendali kekuasaan, tapi mengakui secara aklamasi Sang Penguasa itu sebagai satu-satunya pemimpin tertinggi mereka saja sangat jauh dari harapan. Lantas, bagaimana mungkin Kaisar Yuan Ren Zhan dapat menjadi stigma, dan bersatu dengan rakyatnya? Nah, bukankah hal itu termasuk di dalam absolutisme pluralis rakyat?"
"Kamu menyalahkan rakyat lagi?"
"Saya tidak mengatakan begitu."
"Lalu?"
"Saya mengatakan bahwa, rakyat pun dapat menjadi serigala. Rakyat tidak selamanya dapat dianggap suara kebenaran. Saya tidak mendiskreditkan rakyat dalam hal ini. Tapi kadang-kadang rakyat dapat menjadi tiran, melebihi kaisar yang paling lalim sekalipun."
"Kamu terlalu dangkal menilai rakyat, Bao Ling!"
"Tapi kenyataannya...."
"Kenyataannya rakyat tidak begitu. Pasukan pemberontak Han memang merupakan salah satu suku bangsa di Tionggoan. Mereka sama dengan kita. Tapi, kamu mesti melihat inti permasalahannya. Belum tentu ketidakpuasan mereka - yang kamu anggap absolutisme pluralis dan tiran itu - disebabkan oleh ambigu kolektif - sekelompok orang yang bernama rakyat - untuk menggulung pemerintahan yang sah. Meskipun saya belum tahu pasal yang sebenarnya, tapi saya kira ada hal-hal lain yang melatarbelakangi anarkisme mereka itu."
"Apa itu, Mulan?"
"Yah, mungkin saja mereka terpengaruh dan termakan oleh seseorang yang dianggap figur. Figur yang dapat mengubah falsafah pandang mereka terhadap pemerintahan yang sudah ada. Nah, setelah terindoktrinasi, mereka akan menyatukan kata sepakat untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah - meskipun mereka sebenarnya tidak tahu jelas sosok Sang Penguasa Tionggoan, dan keliru menilai pemimpin mereka yang sekarang. Bisa pula mereka telah termakan isu, pembodohan yang dianggap sebuah kebenaran."
"Boleh jadi. Tapi apakah semudah itu mengubah pikiran yang sederhana rakyat menjadi sebuah bentuk anarkisme?"
"Apa pun dapat terjadi, Bao Ling. Janji dan iming-iming adalah majas yang paling berbahaya. Majas tersebut dapat membius kesadaran manusia. Yah, itulah salah satu bentuk kekhilafan makhluk hidup yang bernama manusia."
"Maksudmu, mereka dipengaruhi oleh seseorang untuk melakukan pemberontakan?"
"Itu merupakan satu-satunya alasan yang paling masuk akal."
"Masuk akal. Tapi, siapa?"
"Tentu saja lawan-lawan politik Kaisar Yuan Ren Zhan. Manusia-manusia yang penuh dengan ambisi majas. Manusia-manusia serigala berbulu domba. Manusia-manusia yang senantiasa diliputi angkara. Penebar maharana. Biang bencana."
"Sedari dulu, puncak kekuasaan dan Kursi Tunggal Sang Naga selalu menjadi obyek pertumpahan darah. Kaisar demi kaisar akan dijatuhkan secara bergantian. Begitu seterusnya. Kalau sudah begitu, maka mana ada klemensi dalam lingkungan Istana?!"
"Dan kalau begitu seterusnya, bagaimana rakyat Tionggoan dapat hidup tenang?"
"Ah, saya juga resah, Mulan. Sejarah kelam Tionggoan seolah tak ada habis-habisnya. Dari masa ke masa, perang dan kezaliman sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negeri ini."
"Manusia memang terlalu dangkal menyikapi anugerah yang telah diberikan oleh Dewata di langit. Alam yang berlimpah-ruah dengan keanekaragaman isinya telah memenuhi segala kebutuhan manusia. Biji-bijian tumbuh menjadi makanan. Hujan. Air. Matahari. Semuanya itu adalah karunia mahabesar yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata. Tapi, coba lihat keegoisan manusia. Mereka tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diberikan alam pada mereka. Tetap saja mereka menjazam sesamanya. Membunuh. Merampok. Merampas. Memusnahkan."
"Manusia memang bodoh, Mulan. Manusia selalu ingin menguasai seluruh alam ini. Padahal, apalah arti manusia dibandingkan keagungan Dewata di langit?"
"Ya, benar. Apalah artinya manusia dibandingkan keagungan Dewata di langit? Sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk-makhluk hidup lainnya, manusia menjadi pondik. Superioritas menjadikan manusia lupa bahwa, mereka sebenarnya tidak memiliki nilai dan arti apa-apa dibandingkan Sang Pencipta. Kesombongan telah meruntuhkan peradaban manusia. Maharana dan genosida telah menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri. Manusia telah menggali makam untuk dirinya sendiri, jauh sebelum ajal menjemput."
"Kadang-kadang saya sendiri pun merasa terlibat dalam dosa besar manusia itu, Mulan?"
"Maksudmu...."
"Yah, apa bedanya kita dengan manusia-manusia pembatil itu? Kita ini prajurit. Kita membunuh. Saling memusnahkan."
"Mempertahankan sesuatu untuk kebenaran bukan tindakan yang salah, Bao Ling. Hal itu merupakan radiah, sifat alami manusia yang telah menjadi bagian dari predestinasi kala diturunkan dari langit. Dalam sebuah pertempuran, kemenangan itu tidak mesti diraih dengan jalan membunuh atau saling memusnahkan. Diplomasi merupakan salah satu cara yang paling efektif tanpa harus menumpahkan darah sesama. Menaklukkan satu musuh dengan kesadaran kontemplasi dan budi pekerti adalah kemenangan yang paling gilang gemilang. Jauh lebih berharga daripada menaklukkan satu juta laskar prajurit dengan pedang dan tombak."
"Tapi dalam kenyataanya, maharana selalu memakan banyak korban. Tidak terkecuali rakyat kecil yang sama sekali tidak terlibat dalam peperangan. Tidak memilah-milah apakah mereka itu prajurit atau bukan. Anak kecil, perempuan, dan orang tua. Semuanya pasti menjadi korban kebiadaban perang."
"Untuk itulah rakyat membutuhkan pemimpin yang baik. Tionggoan memerlukan kaisar yang dapat bertindak adil dan bijaksana. Kaisar yang senantiasa berpedoman pada hati nurani, Bao Ling. Sebab, kaisar yang memiliki naluri kinasih melihat matra maharana itu dari sisi dan sudut pandang berbeda. Tujuan perang bukan untuk saling memusnahkan. Tapi semata adalah hal radiah untuk mempertahankan negara, dan pencapaian sebuah cita-cita luhur bangsa. Apabila perang sudah mengarah ke genosida dan penghancuran, maka hal tersebut tidak lain disebabkan oleh bahang ambisi pribadi sang Pemimpin. Kalau sudah begitu maka perang tidak lagi murni sebagai radiah. Perang tidak lagi merupakan aksi untuk mencapai cita-cita luhur bangsa. Perang akan menjadi neraka paling bengis untuk manusia!"
"Ya, memang benar. Kalau sudah begitu pula, maka para pemimpin atau kaisar suatu negara akan bertingkah lalim. Bertindak sewenang-wenang dengan yurisditikasi pribadi mereka. Pemerintahan menjadi absolut. Dan pada akhirnya militer dan bala prajurit menjadi bidak-bidak penegas kekuasaan mereka."
"Sayang rakyat kita masih tercerai-berai. Kekuatan menjadi lemah karena kurangnya persatuan. Dan sampai sekarang masyarakat Tionggoan enggan bersatu. Suku-suku bangsa saling menonjolkan superioritas mereka. Saling membanggakan kelebihan dan keberadaan mereka. Suku-suku bangsa saling mengkasta-kastakan sehingga di antara mereka sendiri tercipta jurang pemisah yang sangat lebar. Itulah sebabnya Tionggoan tidak pernah lepas dari absolutisme kaisar-kaisar pelalim. Karena mereka tahu rakyat dapat dengan mudah diadu domba. Rakyat mudah dipecah belah. Dan kalau rakyat sudah terburai, maka sang Penguasa Batil tersebut akan dengan mudah memainkan kemudi pemerintahan seenak hati mereka. Rakyat menjadi miniatur, obyek permainan sang Penguasa Lalim tersebut. Bukankah begitu, Bao Ling?"
"Wah, kamu benar-benar prajurit sejati, Mulan!"
Fa Mulan tersenyum sembari mengibaskan tangannya. Lalu ia meninju pelan dada Bao Ling. Pemuda bertubuh jangkung itu tertawa.
"Kamu keliru menilai saya, Bao Ling. Saya bukan prajurit sejati. Saya hanya prajurit wamil biasa," ujar Fa Mulan setelah meredakan tawanya.
"Tapi buktinya...."
"Buktinya apa, heh?"
"Buktinya Fa Mulan...."
"Sudah, sudah. Jangan menyanjung-nyanjung lagi. Tidak ada kelebihan apa-apa pada diri seorang manusia biasa bernama Fa Mulan. Buktinya, saya belum dapat membendung maharana di Tionggoan ini. Saya belum berandil apa-apa, sama sekali."
"Tapi...."
"Tapi apa lagi, heh?"
"Tapi kamu memang hebat!"
"Hebat apanya?"
"Ya, hebat."
"Hebat itu hanya sebentuk pengakuan. Begitu pula dengan kata sejati tadi. Sama sekali tak memiliki makna tanpa aplikasi. Atensi itu dapat berbentuk apa saja. Baik dukungan moral atau moril, juga sumbangsih tenaga maupun pikiran. Semua orang bisa mendapat pengakuan hebat atau sejati. Tapi, tidak semua orang dapat benar-benar dikatakan hebat dan sejati, apabila tidak memiliki kapabilitas dan kesungguhan untuk berkorban tanpa pamrih. Berkorban tanpa pamrih, itulah bentuk atensi yang dapat dikategorikan sebagai hebat yang sejati, dan sejati yang sejati."
"Wah, kamu benar-benar luar biasa, Mulan!"
"Nah, kamu mulai lagi...."
"Buktinya...."
"Proyeksi gendermu itu bikin sakit hati, Bao Ling."
"Maaf. Saya tidak menyangka semua kalimat saya telah melukai hati kamu, Mulan. Bukan maksud saya begitu. Tapi, kenapa kamu tidak pernah mau menerima realita hidup bahwa, kaum perempuan memang selalu berada di posisi kedua setelah laki-laki."
"Tentu saja. Saya sudah terluka sejak lama, bahkan sejak saya baru dilahirkan. Semua itu lantaran posesif gender."
"Dan yang kamu maksud sudah terluka sejak baru dilahirkan pasti berhubungan dengan ibumu yang bernama Fa Li itu. Betul, bukan?"
"Siapa lagi yang saya maksud? Entah, sudah berapa ribu kali hal menyakitkan hati itu saya ceritakan kepada orang yang mau mendengarkan keluhan saya."
"Hahaha. Itulah sepenggal lara dari seorang Fa Mulan, yang mesti dituangkan dalam sebentuk kisah miris."
"Jangan meledek. Sakit hati dapat terbawa sampai mati. Jadi, jangan sepelekan ungkapan hati saya tersebut. Seandainya kamu terlahir sebagai seorang Fa Mulan, tentulah kamu dapat merasakan getir sebagaimana yang saya rasakan sampai sekarang."
"Hahaha. Maaf, maaf. Namun seandainya saya memang terlahir sebagai seorang Fa Mulan, maka saya tidak pernah akan sanggup menanggung derita-derita tersebut. Saya tidak setegar seorang Fa Mulan yang sesungguhnya. Fa Mulan yang sesungguhnya itu adalah, kamu!"
"Sudahlah. Sesungguhnya saya tidak ingin mengingat-ingat masa kecil saya yang menyakitkan itu lagi."
"Hm, saya masih ingat, dan tidak akan pernah lupa keluh-kesahmu itu, Mulan."
"Yah, terima kasih. Kadang-kadang, dengan menceritakan tiranisasi Ibu terhadap saya, saya merasa lebih lapang. Hati saya jadi lebih tenang. Saya memang butuh sahabat untuk berbagi. Inafeksi Ibu terhadap saya sungguh di luar batas nalar hanya karena saya perempuan. Seandainya saya terlahir sebagai laki-laki, tentulah Ibu tidak akan sejahat begitu terhadap saya!"
"Saya prihatin soal itu."
"Ya, sepatutnya semua orang harus prihatin. Inharmonisasi antara manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, yang terentang karena gender telah menyebabkan penderitaan salah satu makhluk hidup ciptaan Sang Khalik itu sendiri, Bao Ling. Padahal, sejak di dalam kandungan sampai terlahir, manusia tidak pernah dapat menentukan akan dapat terlahir sebagai apa. Mereka tidak pernah dapat memilih, apakah akan terlahir sebagai laki-laki ataupun perempuan. Tapi kenapa pengkotak-kotakan dan pemilah-milahan itu justru lahir dari manusia sendiri?! Bukankah manusia semuanya sama?! Huh, andai saja tidak ada genderisasi, pasti Ibu akan menjadi ibu yang sesungguhnya untuk saya. Pasti Ibu akan menjadi ibu sejati bagi saya putri tunggalnya. Pasti Ibu tidak pernah mengutuk saya, dan mengatakan saya sebagai anak jelmaan iblis yang memangsa janin laki-laki yang dikandungnya selama sembilan bulan. Pasti Ibu tidak pernah memaki-maki saya dengan kalimat menyakitkan kala saya mendapat menstruasi pertama: �Mulan, kenapa kamu bukan laki-laki sehingga tidak merepotkan Ibu?!'. Seharusnya Ibu dengan bijak menjelaskan fenomena yang terjadi bila seorang anak perempuan mulai menginjak usia akil-balig. Bukannya malah menambah kepanikan saya dengan memarahi saya habis-habisan, yang pada waktu itu nyaris pingsan karena menganggap vagina saya mengucurkan darah secara tiba-tiba. Saya sakit hati. Sungguh sakit hati!"
"Saya paham penderitaan kamu itu, Mulan."
"Sudahlah, Bao Ling. Jangan bicara soal gender lagi. Jangan memuji saya lagi. Jangan pula menganggap saya hebat atau sejati lagi. Hebat dan sejati itu memerlukan pembuktian. Bagaimana mungkin saya dapat kamu katakan hebat atau sejati kalau saya sendiri belum pernah mengaplikasikan sesuatu yang berguna bagi bangsa ini."
"Buktinya...."
"Bukti apa lagi?!"
"Buktinya kamu sudah berkorban, menyusup dan menyamar menjadi laki-laki menggantikan posisi ayah kamu sebagai prajurit wamil. Bukankah semua hal itu kamu lakukan demi keluarga dan negara?"
"Apa bedanya saya dengan kalian semua? Toh kita masuk menjadi prajurit wamil memang mewakili keluarga masing-masing dan untuk membela negara, bukan?"
"Iya, memang benar. Tapi, apa yang kamu lakukan itu berbeda dengan kami semua."
"Karena saya perempuan?"
"Salah satu alasannya memang begitu."
"Nah, kamu mulai lagi...."
"Mulai apa?"
"Saya tidak suka kamu jadi orang yang primordialis begitu!"
"Siapa yang primordialis?"
"Tidak peduli kamu atau siapa. Yang pasti primordialis itu tidak ada bedanya dengan makhluk batil yang hadir sebagai pengganggu dalam peradaban manusia."
"Maaf...."
"Untuk apa minta maaf? Kalau begitu, kamu malah mempertegas primordialistis itu sebagai wujud kasatmata dalam dirimu."
"Tapi, saya sama sekali tidak bermaksud menyinggung-nyinggung soal perbedaan dan gender. Beda maksud saya adalah, seorang Fa Mulan memang prajurit tangguh yang memiliki kapabilitas juang melebihi kami semua - kaum laki-laki."
"Jangan mengelak. Apa bedanya pengakuan yang menyanjung, tapi akhirnya mengarah ke persoalan gender?"
"Hahaha. Lalu, saya harus ngomong apa untuk mengungkapkan kelebihan dan kehebatan kamu itu, Mulan?"
"Ingat, saya bukan orang hebat. Dan saya tidak butuh pengakuan. Jadi, kamu tidak usah repot dan bingung mencari artikulasi untuk mengungkapkan kelebihan dan kehebatan saya."
"Hahaha. Kamu ini gadis yang aneh."
"Aneh apa? Saya kira tidak ada yang aneh dalam diri saya. Sudahlah, Bao Ling. Kamu dan saya itu sama. Kita ini sama-sama prajurit wamil. Saat ini, lepaskanlah persoalan gender, apakah saya perempuan atau bukan. Yang pasti, sekarang saya adalah prajurit wamil di Kamp Utara ini. Tidak peduli perempuan atau laki-laki!"
"Tapi, kamu tetap seorang perempuan di mata saya."
"Jangan mempermainkan saya lagi, Bao Ling."
"Siapa yang mempermainkan kamu?"
"Kamu...."
"Maaf...."
"Sudahlah."
"Tapi, saya hanya jujur menyuarakan suara hati saya."
"Simpati yang berlebihan pada sesuatu yang dianggap istimewa merupakan senjata bumerang, yang suatu waktu dapat memakan tuannya sendiri. Jadi, hati-hatilah dalam berkesimpulan kalau tidak ingin terluka suatu saat."
"Tapi saya tidak salah menilai kamu, bukan?"
"Apa yang kamu ketahui tentang saya? Jangan terlalu percaya diri, Bao Ling. Apa yang kamu ketahui tentang seorang Fa Mulan tidaklah lebih sebatas kulit. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat membaca isi hati orang lain."
"Kamu selalu mengelak. Tidak senang dipuji. Tidak senang disanjung. Rendah hati dan tidak sombong. Bukankah hal itu sudah menggambarkan kesempurnaan kamu, Mulan?"
"Tidak ada manusia yang sempurna."
"Pengecualian untuk kamu."
"Fa Mulan bukan Dewata."
"Fa Mulan memang bukan Dewata. Tapi, Fa Mulan adalah Dewata yang menitis ke dalam tubuh manusia."
"Kamu pikir Fa Mulan adalah Dewata yang mahasempurna apa?"
"Tapi paling tidak, tidak ada yang setara dengan seorang Fa Mulan yang...."
"Cukup. Hentikan proyeksi gendermu."
"Hahaha...."
"Uh, kamu sama saja piciknya dengan para atase militer Yuan. Tidak ada bedanya dengan pandangan mereka terhadap perempuan. Hanya aplikasinya saja yang berbeda."
"Hei, saya tidak sejahat mereka! Jadi, jangan samakan saya dengan petinggi-petinggi militer yang kerjanya hanya memerintah di belakang meja tersebut."
"Apa bedanya kamu dengan mereka?"
"Saya ini tidak menentang lintas gender. Jangankan menjadi prajurit, menjadi jenderal pun kalau kamu - perempuan - mampu kenapa tidak? Kalau perempuan lebih mampu dibandingkan laki-laki, bahkan menjadi kaisar sekalipun bagi saya tidak ada masalah. Bukannya malah dijatuhi hukuman penggal seperti yang pernah mereka ingin lakukan terhadap kamu."
"Jangan mengungkit masa lalu. Mengubah tatanan yang sudah meleluri tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu yang sangat panjang untuk itu. Mungkin seratus tahun, dua ratus tahun, atau seribu tahun lamanya lagi. Ah, entahlah!"
"Justru itulah Tionggoan memerlukan orang-orang yang seperti kamu, Mulan."
"Kenapa harus saya?"
"Karena orang seperti kamu merupakan sosok perombak kultur yang telah mendarah-daging di Tionggoan ini."
"Saya hanya menyuarakan nurani. Saya bukan sosok sentrum yang dapat mengubah wajah lama Tionggoan menjadi baru. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan tanggung jawab moral dari banyak pihak. Bukan sosok individu orang per orang."
"Selama ini saya belum melihat ada sosok yang tepat mengubah wajah lama Tionggoan itu selain kamu."
"Saya bukan pahlawan, Bao Ling. Fa Mulan hanyalah seorang prajurit wamil biasa. Prajurit wamil yang ingin melihat pembaruan di negerinya sendiri. Negeri tanah kelahirannya."
"Cita-cita luhur kamu itu saja sudah lebih dari cukup mewakili sosok kepahlawanan di negeri ini. Panglima-panglima dan jenderal-jenderal di Ibukota Da-du saja mungkin tidak pernah berpikir searif kamu. Huh, mana ada yang memiliki rasa patriotisme tanpa batas seperti kamu? Mereka semuanya hanya tahu memerintah tanpa aplikasi."
"Membangun negeri ideal selayaknya menjadi tanggung jawab moral setiap orang. Bukan hanya tugas para panglima dan jenderal atau petinggi-petinggi militer saja. Jadi, apa yang telah menjadi cita-cita saya tersebut sama sekali tidak dapat dikatakan istimewa. Terlebih-lebih kalau saya dianggap pahlawan karena itu. Apa yang saya lakukan tidak lebih dari pangabekti terhadap negara."
"Selayaknya, pahlawan sejati tidak pernah mau menggembor-gemborkan dirinya sebagai pahlawan, meskipun pada kenyataanya dedikasi yang telah diaplikasikannya selama ini telah menegaskan kalau mereka memang merupakan pahlawan."
"Tentu saja. Sebab, pahlawan itu tidak dinilai semata-mata dari sejumlah kontak fisik dan pertempuran-pertempuran heroik yang dilakukannya sebagai aksi bela negara. Tapi, ada hal-hal lain di luar dari itu. Orangtua kita masing-masing juga merupakan pahlawan bagi keluarga. Petani merupakan pahlawan agraria. Nahkoda merupakan pahlawan maritim dan navigasi galiung di lautan. Dan masih banyak lagi pahlawan-pahlawan tanpa nama dan tanpa tanda jasa. Jadi, pahlawan sejati itu merupakan sebentuk pengabdian. Pengabdian tanpa pamrih yang dilakukan oleh sebagian orang dalam jabatan dan tugas yang berbeda-beda."
"Kalau begitu, kamu adalah manusia sempurna. Manusia yang seolah-olah terlahir semata-mata untuk muamalah."
"Sekali lagi saya tegaskan. Saya bukan Dewata, Dewata yang penuh dengan kinasih. Saya hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari cela dan ketidaksempurnaan. Manusia tidak ada yang sempurna."
"Tapi, bukankah moralitas yang selama ini telah kamu tunjukkan merupakan bentuk pengukuhan kesempurnaan itu?"
"Siapa saja dapat mengaplikasikan kebajikan. Itu gaung moralitas yang selayaknya diwujudkan semua orang sehingga dunia ini dapat menjadi damai. Saya Fa Mulan, tidak pernah menganggap diri sendiri sebagai saka guru yang menggethok-tularkan moralitas."
"Tapi...."
"Moralitas merupakan gaung nurani yang bersih. Kebaikan akan membawa dan membuahkan kebaikan. Demikian pula sebaliknya dengan kejahatan. Saya hanya belajar dari fenomena alam. Apa yang kita tanam, maka itulah yang akan kita tuai kelak. Jadi, hal itu bukan kesempurnaan. Hanya langit dan Dewatalah yang dapat menyandang predikat sempurna itu, Bao Ling. Bukannya Fa Mulan yang hanya seorang prajurit biasa."
"Tapi...."
"Tidak ada seorang manusia pun yang lebih tinggi dan sempurna dibandingkan manusia lainnya. Strata dan jabatan kekuasaan, kasta dan bentuk-bentuk penggolongan, juga kilau gemerlap permata dan harta yang dimiliki seseorang; bukanlah alat untuk mempertegas nilai lebih manusia di atas manusia lainnya. Justru, harkat dan martabat manusia itu dapat diperoleh berkat aplikasi kebajikan dan moralitas yang telah mereka tunjukkan selama ini."
Ia mengangguk-angguk waktu itu. Rasanya tidak ada lagi kesangsian untuk mengatakan kalau gadis itu memang predestinasi yang diturunkan dari langit untuk ranah babur Tionggoan.
Bao Ling melambatkan laju kudanya.
Sinar jingga matahari senja yang masih belum tenggelam benar ke horizon barat nun jauh di sana, menyorotnya dari arah yang berlawanan, dari balik rimbun dedaunan di rimba hutan. Lintas kenangan lamanya bersama Fa Mulan - semasa wamil - surut seketika oleh koyakan bias pada kornea matanya. Gadis itu melamur dari benaknya.
Sejenak dikerjap-kerjapkannya pelupuk mata karena direcok silau. Diputuskannya untuk beristirahat setelah merasa arteri nadinya memacu adrenalin dan denyar darah dengan siklus yang cukup tinggi. Ia tidak dapat memaksakan tubuhnya terus untuk bekerja. Bolak-balik antara Ibukota Da-du ke pos pengawasan Tembok Besar memang sangat meletihkan. Apalagi ia langsung berangkat pulang setibanya sejenak di tenda Fa Mulan dua malam kemarin.
Ia turun untuk mengaso sebentar. Dikaitkannya tali kekang kudanya pada sebatang pohon mahoni di hutan Hwa. Setelah itu ia pun duduk di tanah, dan menyandarkan punggungnya yang penat di sebatang pohon. Empat malam yang lalu di hutan inilah ia diserang oleh Zhung Pao Ling. Namun hari ini ia tidak menemui hambatan lagi. Tak satu pun terlihat jasus yang hendak menghabisi nyawanya. Namun demikian, ia tidak mengendurkan konsentrasinya. Ia tetap waspada terhadap serangan musuh sewaktu-waktu.
Setelah merasa lebih segar nanti, ia akan kembali melanjutkan perjalanannya ke Istana Da-du. Menyampaikan peristiwa miris pencobaan pembunuhan dirinya kepada Jenderal Gau Ming.


Bao Ling
Elegi Magnolia

***

Ada suara derap kuda yang menderas di gendang telinganya.
Bao Ling menegakkan kepala, meluruskan punggungnya yang sedari tadi menyandar pada sebatang mahoni, mawas mengawasi ke arah suara riuh itu dengan sepasang mata sipitnya yang semakin menyipit. Istirahatnya terganggu.
Padahal, belum lagi lama ia mengaso. Sendi-sendinya yang ngilu pun belum lagi normal dari kebas. Sehabis menikmati bekal makanannya, ia pun rileks menyemedi. Satu bakpao berisi daging babi cincang yang dihabiskannya sesaat tadi membuai lambung di perutnya, dan mengundang kantuk yang sesekali membelai-belai kelopak matanya.
Ia berdiri. Melangkah tiga tindak dalam gerak gingkang sebelum melompat ke atas sebatang dahan pohon dengan tubuh seringan bulbul. Disembunyikannya dirinya di balik dedaunan sembari mengawasi si Penunggang Kuda yang melaju lambat di bawahnya.
Tak lama berselang, di belakang kuda pertama tadi tampak menyusul seekor kuda berwarna kelabu. Si Penunggang Kuda pertama tampak menelengkan kepala, dan menghentikan laju kudanya saat ia melihat kuda Bao Ling yang menyampir di sebatang pohon. Si Penunggang Kuda itu melompat turun. Diikuti oleh si Penunggang Kuda kedua. Mereka berdua mendekati kuda tanpa pemilik itu dengan langkah hati-hati.
Bao Ling menyongsong si Penunggang Kuda tersebut setelah tidak berfirasat buruk. Apalagi ia tidak melihat ada senjata yang dibawa oleh kedua si Penunggang Kuda itu. Ia pun melompat turun. Dan berdiri di hadapan kedua si Penunggang Kuda tersebut dengan seburai dedaunan kering yang merontok dari pokoknya.
"Saya Bao Ling. Maaf, Anda-Anda ini siapa?" tanya Bao Ling santun saat kakinya mendarat di tanah.
Sesaat kedua si Penunggang Kuda itu tampak terkejut kala Bao Ling tiba-tiba sudah berdiri di hadapan mereka setelah melesat menukik turun dari atas seperti walet.
"Oh, kami ini hanya kafilah yang kebetulan lewat," jawab salah satu di antara mereka yang bertubuh agak jangkung dalam nada alto.
Bao Ling terkesiap.
Ternyata kedua si Penunggang Kuda itu adalah perempuan. Tetapi dari kejauhan tadi mereka tampak seperti laki-laki. Mungkin mereka menyamarkan diri dengan berpakaian laki-laki supaya tidak diperkosa atau dirampok di tengah perjalanan, pikir Bao Ling.
"Sebenarnya kami ingin ke Ibukota Da-du. Tapi tiba-tiba saja kami tersesat, dan entah sudah berada di hutan ini," tambah si Penunggang Kuda kedua yang tampak lebih mungil dan halus.
"Oh, begitu," Bao Ling mengangguk-anggukkan kepala. "Ini hutan Hwa. Kurang lebih sebelas mil, bila berjalan lurus dari arah Barat ke Selatan, Anda-Anda sudah dapat menemukan Ibukota Da-du."
"Oya?" Si Penunggang Pertama bertubuh tinggi itu seperti terlonjak kegirangan. "Jadi, kita sudah hampir tiba di Ibukota Da-du, Putri...."
Si Penunggang Kuda kedua tampak kelimpungan, dan mengerjap-ngerjapkan matanya seolah mengaba. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Dan menutupi hal itu dari orang lain. Terlebih-lebih orang asing yang baru mereka temui di dalam perjalanan.
"Oh, maaf - Nona Sun!" ralat si Penunggang Kuda pertama tadi.
"Sebenarnya kalian siapa?" tanya Bao Ling sedikit mendesak. "Dan apa tujuan Anda semua ke Ibukota Da-du?"
"Oh, tujuan kami sebenarnya ingin menyaksikan Festival Barongsai di Ibukota Da-du," jawab si Penunggang Kuda kedua dengan suara lembut. "Ya, hanya itu tujuan kami."
"Hanya itu?!" cecar Bao Ling, mengulang kalimat yang disampaikan oleh salah satu dari kedua gadis tersebut. Ia tidak percaya. Sudah jelas ada yang mereka sembunyikan, gumamnya dalam hati.
Si Penunggang Kedua itu kembali menjawab. "Benar, benar. Memang benar kalau hanya itu tujuan kami menuju ke Ibukota Da-du. Hm, kalau Anda sendiri...."
Bao Ling mengangkat kedua tangannya di depan wajah, dan menghormat sebagaimana lazimnya. "Saya Bao Ling. Prajurit Kurir Yuan dari markas besar militer Yuan di Ibukota Da-du. Saya dalam perjalanan pulang menuju ke Ibukota Da-du setelah semalam berada di pos pengawasan Tembok Besar. Saya mendapat tugas dari salah seorang atase militer Yuan untuk menyampaikan pesan dan undangan kepada pimpinan prajurit bernama Fa Mulan di pos pengawasan Tembok Besar agar dapat menghadiri Festival Barongsai."
"Jadi, Anda salah seorang prajurit dari Istana Da-du?!" tanya si Penunggang Kuda pertama, lagi-lagi seperti melonjak kegirangan. "Putri...."
"Diam, Tong Xiu Ni!" tegur si Penunggang Kuda kedua dengan rupa tidak senang. "Kamu jangan ceriwis!"
"Tapi...."
"Hm, maafkan kami, Prajurit Bao. Tong Xiu Ni memang...."
"Aduh, Putri! Putri tidak usah takut lagi," bisik si Penunggang Kuda pertama tadi di dekat telinga si Penunggang Kedua dengan membentuk sepasang telapak tangannya menjadi corong. "Bukankah dia adalah prajurit Yuan? Jadi, dia itu tidak akan mencelakai kita!"
Si Penunggang Kuda kedua itu menyanggah, juga dengan suara berbisik. "Masalahnya bukan dia itu prajurit Yuan atau bukan, A Mei! Masalahnya, bagaimana kalau dia melaporkan kepada Ayah keberadaan kita di Ibukota Da-du nantinya. Huh, bodoh sekali kamu ini!"
"Tapi...."
"Sudahlah, A Mei. Pokoknya, kita harus tetap menyamar. Jangan panggil saya Putri lagi. Sekarang, nama saya adalah Sun Erl Lan. Dan kamu Tong Xiu Ni. Ingat, jangan kelepasan lagi!"
"Tapi...."
Bao Ling tergelitik melihat tingkah kedua gadis bertampang kumal itu. Mereka pasti bukan orang biasa. Penampilan sederhana mereka terlalu dibuat-buat. Mungkin anak gadis saudagar kaya di kota lain yang menyamar sebagai rakyat biasa, dan tersasar di dalam perjalanan menuju Ibukota Da-du.
"Kalau tidak salah menilai, Anda-Anda pastilah bukan rakyat biasa," tebak Bao Ling akhirnya.
"O-oh, bukan!" dusta si Penunggang Kuda kedua yang ternyata adalah Putri Yuan Ren Xie, yang kabur dari Istana Kiangsu tanpa seizin ayahnya - Pangeran Yuan Ren Qing. "Benar kami cuma kafilah yang tersesat."
"Iya. Betul, betul. Kami ini hanya rakyat biasa," tambah si Penunggang Kuda pertama yang sebenarnya adalah Fang Mei, salah satu dayang setia Putri Yuan Ren Xie. "Kami hanya ingin menghadiri Festival Barongsai. Tidak ada yang salah, bukan?"
"Tentu saja tidak," jawab Bao Ling sembari menahan tawanya yang hendak menyeruak melihat tingkah gugup kedua gadis itu. Dan hal itu menambah keyakinannya kalau mereka itu memang bukan orang biasa. "Tapi yang salah adalah cara berpakaian kalian yang kelihatan aneh."
"Aneh bagaimana?" tuntut Putri Yuan Ren Xie dengan rupa tidak senang. "Memangnya...."
Bao Ling terbahak. "Rakyat biasa tidak mungkin memakai tusuk konde bermute berlian di rambutnya."
Putri Yuan Ren Xie tergeragap. Ia memang lupa melepas sesuatu di atas kepalanya setelah menyamar dari prajurit Yuan menjadi rakyat jelata. "Hah, ja-jadi...."
"Jadi pasti kalian ini bukan orang biasa. Kalian pasti sedang menyamar sebagai rakyat biasa. Hm, mungkin kalian dari kalangan kedaton."
"Tapi, kami memang betul rakyat biasa," sanggah Fang Mei, berusaha meyakinkan Bao Ling. "Soal tusuk konde bermute berlian, apa tidak boleh rakyat biasa memiliki barang berharga seperti itu?"
"Ya, boleh-boleh saja. Tapi tusuk konde itu bukan barang berharga biasa. Bukan barang berharga yang dapat dengan mudah diperoleh dan dibeli di sembarang tempat. Tusuk konde itu berbatang giok dan bermata berlian. Pada batang tusuk konde itu terdapat vinyet berukir naga - Liong. Kalau bukan kerabat Istana, Anda pasti salah satu anak gadis dari puak bangsawan. Betul, bukan?"
Putri Yuan Ren Xie masih berusaha membantah. "Bukan...."
Bao Ling mengibaskan tangannya. "Sudahlah. Tidak usah berbohong lagi. Hidup-mati saya untuk Istana. Jadi, saya paham betul ciri-ciri gadis puak bangsawan meskipun mereka menyamar dengan balutan pakaian kesat-goni sekalipun agar menggambarkan kepapaan khas rakyat-rakyat kecil pada umumnya. Kalian terlalu sekar untuk menjadi jelata," ujarnya ringan dengan suara bercampur tawa. "Ya, tidak apa-apa kalau kalian masih merahasiakan identitas diri kalian yang sesungguhnya. Mungkin kalian memiliki alasan untuk itu. Lagipula, toh saya tidak dapat memaksa. Oya, karena kita sejurusan, bagaimana kalau sekalian saya antar kalian sampai ke Ibukota Da-du?"
Putri Yuan Ren Xie menundukkan kepala, menyembunyikan kegugupannya - tidak berani bersitatap mata dengan Bao Ling. Diam-diam diakuinya kalau prajurit Yuan itu merupakan prajurit yang cerdas. Matanya jeli menangkap perhiasan rambut yang digunakannya. Padahal, jarak pemuda itu dengannya tidak dapat dikatakan dekat. Namun ia dapat melihat detil benda sekecil itu di atas kepalanya. Dan mengemukakan argumen yang tepat mengenai tusuk kondenya yang merupakan salah satu harta-benda Istana.
Fang Mei yang sedari tadi hanya terdiam kini angkat suara. "Boleh, boleh. Nah, kebetulan Anda juga akan ke Ibukota Da-du, bukan? Berarti kita sejurusan. Bukankah begitu, Prajurit Bao?"
"Ya, betul. Kalau Anda-Anda tidak keberatan, saya bersedia menjadi petunjuk jalan bagi kalian," tawar Bao Ling ramah. "Lagipula, berjalan tanpa pengawalan di dalam hutan ini sangat riskan dari bahaya. Apalagi, kalian adalah perempuan."
Putri Yuan Ren Xie membeliakkan matanya, melotot sebagai tanda protes atas saran Fang Mei yang secara tidak langsung menerima tawaran Bao Ling. Fang Mei tergeragap ditatap nanar begitu. Ditundukkannya kepala sebagai reaksi gugupnya.
"Tapi, kami dapat berangkat sendiri. Terima kasih atas tawaran Anda, Prajurit Bao," tolak Putri Yuan Ren Xie, masih bersikeras menyembunyikan identitas dirinya. "Kami dapat jaga diri baik-baik."
"Betul, Prajurit Bao. Lagipula, jarak ke Ibukota Da-du tidak jauh lagi," sahut Fang Mei menambahi, jelas untuk menutupi rasa bersalahnya terhadap Putri Yuan Ren Xie.
Bao Ling belum menyerah. "Tapi...."
"Kami adalah kafilah yang tersesat. Jangan terlalu mengkhawatirkan kami," dusta Putri Yuan Ren Xie agar ia dapat terbebas dari uluran tulus Bao Ling yang ingin mengawalnya ke Ibukota Da-du. "Kami sudah mengelana mengelilingi banyak negeri. Pedoman kami hanya gemintang di langit. Tersesat sedikit tidak apa. Kami sudah terbiasa."
"Kalian bukan kafilah," sanggah Bao Ling. "Untuk apa kalian menutupi identitas diri kalian? Bukannya saya mendesak agar kalian berterus terang, tapi saya hanya prihatin kalau terjadi apa-apa dengan keselamatan kalian selama dalam perjalanan."
"Maaf, Prajurit Bao," ujar Putri Yuan Ren Xie dengan wajah kecut, mulai tidak senang didesak-desak begitu. "Permisi. Kami berangkat duluan!"
Putri Yuan Ren Xie menunggangi kudanya secepat kilat. Fang Mei sontak mengikuti, menunggangi kudanya setelah putri tunggal Pangeran Yuan Ren Qing - buah hati perkawinannya dengan istri pertamanya - itu sudah berada di atas punggung kuda.
"Nona!" teriak Bao Ling, berusaha menahan langkah kedua gadis itu dengan serentetan teriakan meyakinkan. "Jangan takabur! Di dalam hutan ini banyak jebakan musuh yang belum aktif. Empat hari yang lalu, saya nyaris terbunuh oleh jebakan-jebakan musuh. Juga serangan misterius musuh di tengah hutan Hwa ini!"
Peringatan itu tak ditanggapi oleh Putri Yuan Ren Xie. Ia tetap bersikeras berangkat tanpa pengawalan Bao Ling. Dipacunya langkah kuda tanpa memedulikan nasehat salah satu prajurit Yuan yang masih berdiri dengan wajah penasaran itu.
"Putri," tegur Fang Mei lembut setelah kuda mereka telah melangkah, membelah keheningan di dalam hutan Hwa. "Apa tidak sebaiknya kita dikawal oleh Prajurit Bao saja?"
"Tidak boleh! Kalau dia ikut menyertai kita, maka rahasia kita akan terbongkar," tolak Putri Yuan Ren Xie, menarik keras tali kekang untuk mempercepat langkah kudanya. "Lagipula, belum tentu dia itu prajurit Yuan. Kalau musuh bagaimana?! Huh, saya tidak ingin jadi obyek perampokan. Salah-salah nanti diperkosa oleh orang yang tidak kita kenal itu!"
Fang Mei menyejajari langkah kuda Putri Yuan Ren Xie. "Tapi, dia kelihatannya orang baik-baik, Putri."
"Kamu jangan sok yakin. Jangan menebak sifat orang hanya melihat dari penampilan luarnya saja."
"Tapi, apa yang dikatakan prajurit Bao tadi mungkin ada benarnya, Putri. Di dalam hutan sesepi ini, pembatil dapat melakukan apa saja. Merampok, memperkosa, dan...."
"Jangan ngawur! Kamu sudah dikibuli oleh perilaku seseorang yang belum tentu baik. Jangan terkecoh kalau tidak ingin celaka. Kelihatannya dia memang baik. Ramah. Tapi, belum tentu niat baiknya tadi itu berangkat tanpa pamrih. Jangan-jangan ada maksud lain yang menyelubungi tawaran manisnya untuk mengawal kita sampai di Ibukota Da-du. Jangan-jangan ada niat jahat yang melatarbelakangi kebaikannya itu. Mana kamu tahu kalau seandainya dia itu musang berbulu domba."
"Tapi, sebentar lagi gelap. Saya khawatir tidak ada dusun di sekitar hutan ini untuk tempat kita menginap nantinya...."
"Sudahlah, A Mei. Jangan menyesal dan merasa tidak enak hati begitu. Bukankah Ibukota Da-du sudah dekat? Jadi, apa yang kamu risaukan lagi?"
"Tapi...."
"Di Ibukota Da-du nanti kita tetap menyamar. Dan, awas! Kamu jangan sampai kelepasan ngomong lagi. Kalau sampai pihak Istana mengetahui keberadaan kita, maka kita pasti dideportasi dari Ibukota Da-du. Saya tidak ingin batal menyaksikan Festival Barongsai terbesar sepanjang sejarah Tionggoan gara-gara penyamaran kita terbongkar, A Mei. Ayah pasti sudah memerintahkan semua prajuritnya untuk mencari kita. Jadi, tolong camkan kata-kata saya," pesan Putri Yuan Ren Xie mewanti-wanti sembari melepas tusuk konde yang masih menancap di rambutnya - salah satu bentuk keteledorannya yang nyaris melantakkan keinginannya untuk menyaksikan Festival Barongsai di Istana Da-du.
Ia menghela napas panjang. Untung prajurit Yuan tadi tidak terlampau menginterogasinya, ujarnya dalam hati. Untung prajurit kurir Yuan yang bernama Bao Ling tadi bukan gandek. Untung pemuda itu bukan salah satu dari orang-orang suruhan ayahnya. Kalau tidak, mereka tidak bakal dapat menyaksikan Festival Barongsai yang fenomenal itu!
Fang Mei mengangguk takzim dengan rupa ganar. Tidak memiliki perbendaharaan kalimat untuk menyanggah lagi kecuali manut mengakuri semua pesan-pesan tegas Putri Yuan Ren Xie yang serupa tetitah.


Bao Ling
Dewiku nan Agung

***

Kedua gadis itu tampak menyusuri alur setapak di dalam hutan Hwa. Cahaya rembulan yang patah-patah, serta basir gemintang menjadi lampu dan penerang jalan mereka. Sunyi mengepulkan birama natural dan teratur. Seperti nada rekwin yang keluar di antara jajaran log yang tinggi dan raksasa. Jenjang kaki-kaki kuda yang lelah masih pula menapak pada tanah yang lodoh.
"Putri...."
"Ada apa lagi?!"
"Bukankah lebih baik kalau prajurit Bao menyertai kita?"
"Jangan merengek-rengek seperti anak kecil lagi, A Mei!"
"Tapi Putri...."
"Untuk apa kamu bersikeras ingin pemuda itu menyertai kita?!"
"Saya hanya khawatir keselamatan Anda, Putri."
"Kekhawatiran kamu itu sangat tidak beralasan, A Mei. Bukankah kita sudah menyamar sebagai rakyat biasa? Heh, jangan pikir kalau para perompak mau merampok rakyat jelata yang tidak punya apa-apa."
"Bukan begitu masalahnya, Putri."
"Jadi masalahnya apa?!"
"Maaf, Putri. Rasanya muskil Putri dapat menyembunyikan identitas Putri yang sebenarnya."
"Kenapa?!"
"Bagaimanapun, Putri tetap puak bangsawan Istana. Ada spesifikasi fisik dan tingkah laku yang tidak mungkin Putri ubah hanya dalam semalam. Salah satu contoh adalah, tusuk konde yang sempat terbaca oleh Prajurit Bao Ling tadi. Dan semuanya itu merupakan bukti bahwa, Putri tetap Putri. Putri Yuan Ren Xie, putri tunggal Pangeran Yuan Ren Qing dari Istana Kiangsu."
"Ka-kamu...."
"Maaf, Putri. Saya hanya bicara apa adanya."
"Saya menyesal kamu ikut, A Mei!"
"Putri...."
"Sudah, sudah! Kalau kamu memang tidak berniat ikut dan tidak tulus mengawal saya, silakan pergi dan kembali ke Istana Kiangsu. Saya tidak akan marah dan menghukum kamu!"
"Bu-bukan begitu, Putri!"
"Bukan begitu bagaimana?!"
Fang Mei meneteskan airmata. "Saya akan setia kepada Putri, apapun yang terjadi! Saya bersumpah akan senantiasa menyertai Putri sampai kapan pun juga!"
Putri Yuan Ren Xie mengibaskan tangannya. "Sudahlah, A Mei. Pulanglah. Biar saya sendiri saja yang akan ke Ibukota Da-du," sahutnya ketus, lalu menarik keras tali kekang kudanya. "Pergi, pergi!"
"Putri!" teriak Fang Mei sembari berusaha menyejajari kuda Putri Yuan Ren Xie yang sudah melaju kencang di depan. "Maafkan saya, Putri!"
Putri Yuan Ren Xie tak menggubris permintaan maaf Fang Mei meski mata gadis itu memerah karena tangis. Ia terus memacu kudanya dengan langkah seribu. Fang Mei masih berusaha mengejar, tidak menuruti perintah Putri Yuan Ren Xie yang mengusirnya untuk pulang kembali ke Istana Kiangsu.
Airmatanya masih bergulir.
Selama ini ia tidak pernah dikasari begitu oleh Putri Yuan Ren Xie. Selama ini pula Putri Yuan Ren Xie tidak pernah menganggapnya bedinde. Ia adalah dayang yang lebih dari sekedar dayang. Ia adalah pengasuh sebaya, sahabat, sekaligus saudara bagi Putri Yuan Ren Xie. Namun entah setan apa yang merasuki badannya, malam ini gadis itu angot dan sarkastis. Ia sedih. Sedih sekali.
Tetapi ia tidak pernah akan meninggalkan Putri Yuan Ren Xie. Gadis itu adalah segalanya. Ia bahkan rela mengorbankan nyawanya demi melindungi Putri Yuan Ren Xie, seperti juga sumpah keluarganya yang akan mengabdi dan berbakti sampai mati untuk Istana Kiangsu. Keluarga Fang berhutang jasa pada Istana Kiangsu. Dan mereka merasa tidak akan pernah sanggup membayar hutang jasa itu sampai kapan pun juga. Karenanya, mengorbankan nyawa untuk mahardika dan totemis Istana merupakan syahid.
Ada suara yang menggelegar dari langit. Semantung malam hanya mengirim angin yang menderau kencang tanpa hujan. Udara yang melandai mendesaukan dedaunan dan mendesahkan rerumputan di bahu jalan setapak yang mereka lalui. Lalu tiap sebentar angin menerbangkan rambut Sang Putri yang mayang. Tetapi seperti tidak peduli dengan gelegar heban dari langit serupa aum gergasi, gadis totem itu tetap melarikan kudanya dengan kecepatan penuh.
Fang Mei menggigit bibir.
Ia tidak boleh membiarkan Putri Yuan Ren Xie didera amarah sehingga alpa dengan keselamatan dirinya sendiri. Hutan bukan tempat yang ramah untuk melakukan perjalanan panjang. Ia sedih karena Putri Yuan Ren Xie lebih menurutkan kata hatinya ketimbang rasionalitas akal sehat.
Dan satu semantung kembali menggelegar bersamaan dengan sebuah lesatan benda pipih berpangkal bulu angsa yang menyundak dada kuda Putri Yuan Ren Xie. Kuda yang ditunggangi Putri Yuan Ren Xie ambruk ke tanah setelah meringkik kesakitan. Darah hewan naas itu mengucur deras pada cupu sebesar kelingking yang masih terancapi sebilah anak panah. Sang Putri terjerembab menyusur tanah. Kepalanya terbentur tanah yang lambuk.
"Awas, Putri!"
Fang Mei membeliak.
Ia menjerit kalut. Putri Yuan Ren Xie di ambang bahaya. Sontak ia melompat seperti terbang dari punggung kudanya. Menyambut tubuh Sang Putri yang terpelanting dan mengaduh kesakitan di tanah. Ditamenginya tubuh Putri Yuan Ren Xie dengan badannya sendiri dari lesatan-lesatan anak panah. Sebilah anak panah melesat di atas kepalanya sebelum menancap pada sebatang mahoni.
Terdengar sebuah dentingan garing di sela-sela derap langkah kuda yang menderas. Fang Mei mengangkat kepalanya setelah merunduk memeluk Putri Yuan Ren Xie yang limbung. Dilihatnya pemuda yang ditemuinya di tengah hutan Hwa tadi tengah mengayun-ayunkan tombaknya, menghalau lesatan-lesatan anak panah yang mengarah ke tubuh mereka.
Bao Ling! serunya dalam hati.
Ia menghela napas panjang. Dewata masih menolong Putri Yuan Ren Xie dan dirinya!
"Nona, cepat bersembunyi di balik pepohonan!" teriak Bao Ling kepada kedua gadis yang merunduk, lalu melata saat ia menjatuhkan pandangannya di tanah.
Seraya menghalau anak-anak panah yang masih dilesatkan dari balik rimbun dedaunan di atas pepohonan, ia memutar-mutar kudanya melingkari kedua gadis itu yang tengah merayap ke tempat persembunyian.
Fang Mei menaati perintah Bao Ling agar mereka segera menyembunyikan diri di balik pepohonan. Dibopongnya tubuh Putri Yuan Ren Xie yang terkulai lemas ke arah sebuah pohon berpokok lebat. Memeluk erat-erat tubuh Sang Putri. Tetap menamengi tubuh gadis itu dengan badannya meskipun ia sudah berada di balik batang pohon. Salah satu tembakan anak panah parewa itu memang tidak mengenai tubuh Putri Yuan Ren Xie. Namun anak panah itu membunuh kudanya. Mengempaskan Sang Putri dari punggung kuda yang terjerembab mati. Kepala Sang Putri terbentur keras di tanah. Ia belum sadar dari pingsan.
Fang Mei kembali meneteskan airmata. Badannya menggigil ketakutan. Ia prihatin atas kondisi Putri Yuan Ren Xie yang belum siuman. Ia bertanggung jawab penuh atas keselamatan Sang Putri.
"Putri! Putri!" desis Fang Mei dengan suara tangis. "Sadar, Putri! Sadar!"
Sementara itu Bao Ling masih berusaha menghalau anak-anak panah yang dilesatkan dari dalam kegelapan hutan Hwa. Ia terus memutar-mutarkan tombaknya ke segala arah seperti propeler tanpa beranjak dari punggung kudanya. Melihat banyaknya anak panah yang dilesatkan, ia dapat menerka kalau para parewa yang menyerangnya itu kali ini berjumlah banyak orang. Lesatan anak-anak panah mereka gencar mengarah dari segala arah. Dan belum satu pun yang mencoba keluar bertarung dengannya.
Beberapa hari yang lalu ketika berangkat menuju ke pos pengawasan Tembok Besar ia juga sempat diserang. Namun tidak sebanyak penyerangnya malam ini di hutan Hwa. Pemimpin parewa yang menyerangnya beberapa hari lalu di tempat yang sama adalah Zhung Pao Ling. Salah seorang prajurit intelijen kepercayaan Jenderal Gau Ming.
Tetapi pemuda handal itu tewas di tangannya, dan menutup misteri dalang di balik usaha pembunuhan dirinya. Ia yakin parewa yang menyerangnya malam ini pastilah para suro dalang yang sama. Mereka pasti kembali berusaha membunuhnya.
Dan ketika kedua gadis yang ditemuinya di tengah hutan Hwa tadi itu melewati jalan setapak ini, mereka diserang oleh para suro yang hendak mencabut nyawanya. Malam yang temaram dan balam telah melamurkan mata mereka, menyerang membabi-buta tanpa mengetahui detil sosok musuh yang hendak disasarnya.
Masih menangkis anak-anak panah yang sudah mulai berkurang melesat ke arahnya, Bao Ling tiba-tiba melompat dari atas punggung kudanya. Ia berguling seperti trenggiling ketika tubuhnya mendarat di tanah, dan menghilang di balik gegulma.
Sesaat ia seolah-olah menghilang.
Namun tidak lama kemudian ia muncul serupa halimun yang menggelimun di pucuk sebatang mahoni. Lantas ia melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya.
Di atas ketinggian pepohonan itulah matanya yang nanar berusaha menelusuri dan mencari tempat musuh-musuhnya bersembunyi. Tetapi malap malam mengaburkan segalanya sehingga sejauh mata memandang hanya tampak rerimbun daun yang membentuk bayang musuh majasi.
Tetapi bahang amarah yang menggelegak seperti lahar kepundan dalam diri sang parewa mengenyahkan ketenangan batin yang selama ini menjadi salah satu senjata paling ampuh untuk seorang pesilat. Ia keluar dari tempat persembunyiannya di balik sebatang mahoni, tidak jauh dari tempat kedua gadis itu meringkuk sembunyi.
Enam orang pemuda berseragam senada tampak mengitari area sekitar kudanya berada. Sesekali melangkah gingkang dan menebas-nebas rerumpun gulma dengan golok mereka. Bao Ling masih mengintip di atas dahan pohon. Membiarkan para parewa itu menyabet-nyabet angin, sesekali mematahkan reranting pepohonan.
"Cepat keluar kamu bangsat!"
Salah seorang pemuda berpakaian lain dibandingkan seragam keenam pemuda yang keluar lebih dahulu tadi terdengar berteriak cupar. Ia baru keluar dari tempat persembunyiaannya dengan air muka cua, tidak sabar ingin memusnahkan musuhnya.
"Ayo, pengecut! Kenapa, hah?! Takut?!"
Bao Ling tidak menggubris kalimat-kalimat sarkastis yang diteriakkan oleh pemuda yang bertaucang itu. Ia tidak terpengaruh kalimat-kalimatnya yang memancing emosi. Ia masih menunggu situasi yang tepat untuk balas menyerang dari balik kegelapan. Ia pun masih membiarkan para parewa itu menghabiskan tenaga mereka sendiri dengan meletupkan amarah, menebas-nebas gegulma dan dedaunan di dalam hutan Hwa.
Tetapi sesuatu seperti menyentaknya saat seorang parewa itu mendekati tempat persembunyian gadis yang ditemuinya di tengah hutan tadi. Ia dapat mengendus bahaya ketika golok parewa itu mengayun hendak menebas gegulma tempat persembunyian kedua gadis itu. Menyadari nyawa kedua gadis itu di ujung tanduk, ia pun menampakkan dirinya setelah berteriak lantang. Sontak menghentikan tebasan golok parewa itu.
"Saya di sini!"
Bao Ling mendarat di tanah.
Ia berdiri dengan sikap menantang, menenteng tombaknya di bahu. Pemuda bertaucang yang tampaknya sebagai pemimpin parewa itu memicingkan matanya menahan geram yang berkecamuk di hatinya.
"Kalian siapa?!" tanya Bao Ling tegas tetapi tenang tanpa umbar amarah. "Untuk apa kalian menginginkan nyawa saya?!"
Pemuda itu mengempaskan kucirnya ke belakang punggung setelah mengayun dan menyampir di dadanya tadi. Gerahamnya menggemeletuk. Wajahnya yang ramping dan keras itu memerah. Ia belum menjawab pertanyaan Bao Ling. Keenam parewa lainnya sudah mengerubunginya di samping dan belakang tubuhnya. Mereka semua mengambil ancang-ancang untuk menebas, mengibas-ibaskan golok mereka seperti kipas para rani Istana.
"Kamu tidak perlu tahu saya siapa!" sahut pemuda bertaucang itu akhirnya.
Bao Ling tersenyum memanas-manasi pemuda parewa itu. "Kalau begitu, atas alasan apa kalian hendak membunuh saya?!"
"Jangan banyak cingcong!" teriak pemuda berwajah keras itu marah. "Hari ini, kami akan memenggal kepalamu!"
"Silakan. Tapi, saya ingin tahu siapa majikan kalian yang tega mengirim anjing-anjing buluk seperti kalian untuk mencoba menggigit saya!"
Pemuda parewa bertaucang itu tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Emosinya yang sedari tadi membahang telah membakar hatinya. Diserangnya Bao Ling dengan golok terhunus ke depan. Ia berlari sekencang-kencangnya, menyeruduk seperti kerbau liar yang bertanduk golok.
"Kurang ajar kamu, Setan Istana Da-du!"
Tindakannya itu diikuti oleh enam parewa lainnya yang mengenakan seragam merah bata serupa jubah rahib Shaolin. Mereka semua memberondong Bao Ling dengan tebasan-tebasan golok. Bao Ling memutar tombaknya di leher sekaligus menangkis tebasan golok mereka. Seiring dengan gasingan tombaknya itu, ia merunduk dengan satu kaki sebagai penyangga badan, lantas kakinya yang lain berputar menyusur tanah sebelum terangkat mendepak-depak seperti ekor kalajengking.
Dua parewa terpelanting terkait kaki lampai Bao Ling. Tetapi mereka segera bangkit dengan sikap salto, dan kembali mengayunkan golok ke arah kepala Bao Ling. Namun rupanya Bao Ling sudah mengantisipasi gerakan balasan mereka. Tombaknya yang menggasing di leher itu mendadak dibenturkannya ke tanah. Hanya sekedip mata tombak itu memantul elastis dari tanah dan terbang mengarah serupa bumerang, menghantam kepala kedua parewa itu dengan sangat keras.
Kedua parewa itu limbung dan jatuh ke tanah bersamaan dengan memantulnya kembali tombak itu ke tangan Bao Ling. Bao Ling menangkap tombaknya dengan sigap, lalu ia melompat dengan tubuh terbalik, berdiri di atas gagang tombaknya yang merancap tanah. Gerakannya itu sertamerta menghindari satu tusukan golok pemuda bertaucang yang mengarah cepat dari belakang punggungnya tadi. Rupanya ia sudah mengetahui bakal gerakan-gerakan dan jurus-jurus lawan-lawannya.
Lalu masih berdiri dengan sikap terbalik di atas udara, ia pun leluasa melancarkan tendangannya yang memutar-mutar seperti propeler, yang menyapu wajah dan kepala musuh-musuhnya. Keempat parewa berseragam merah bata yang menyerangnya dari samping dan belakang tadi terkulai ke tanah tepat ketika kaki Bao Ling kembali menjejaki tanah.
Hanya pemuda bertaucang itulah yang dapat menghindari tendangan kerasnya. Ia tadi berkelit gesit, melompat ke samping dengan gerakan salto, dan kembali berdiri setelah sepakan bertenaga itu hanya menggaru angin.
Menyadari musuhnya terdesak, Bao Ling tidak mengendurkan serangannya. Ia kembali melompat gingkang , dan sesekali memantul pada batang pepohonan sembari mengibas-ibaskan ujung tombaknya yang lancip dan tajam itu ke arah kepala para parewa yang berusaha bangun. Alhasil, kibasan tombaknya menghalau tindakan para parewa yang hendak bangkit dari tanah dan memungut golok mereka yang terlempar barusan.
Pemuda bertaucang itu semakin mengalap. Ia menebas-nebaskan goloknya dengan mimik frustasi. Ia mencoba membantu sahabat-sahabatnya yang terdesak tidak berdaya dengan menyongsong tubuh Bao Ling yang sesaat kini tengah berada di udara. Namun jurusnya sudah tidak terarah karena kehilangan konsentrasi dan kelelahan. Goloknya menancap di sebatang pohon ketika ia mengarahkan senjata tajamnya itu sekuat tenaga ke arah pinggang Bao Ling yang kini tengah melandaikan dirinya ke tanah.
Tiiiing!
Daun telinganya bergerak ketika sebuah lentingan golok yang nyaring terdengar merancap dan menggemeletar pada sebatang pohon. Tanpa melihat pun ia sudah tahu apa yang terjadi.
Tak ada pengampunan lagi!
Intuisinya yang tajam akibat asah basir pertarungan heroik telah menebarkan aroma darah.
Ia melengos sebentar ke belakang ketika satu kakinya menyentuh tanah. Dengan entakan keting pada tanah pula, ia terpantul kembali ke udara serta berputar gemulai bak sehelai bulu ayam putih sebelum tombaknya yang panjang merancap dada musuhnya. Pemuda bertaucang itu mati dengan tangan yang masih memegang gagang goloknya. Ia belum sempat melepaskan rancapan senjata tajamnya yang lebar mengilap tersebut dari batang pohon ketika tombak Bao Ling dengan cepat melubangi dada dan merobek jantungnya di balik sebilah tulang iganya yang patah.
"Ketua Wu Kuo!"
Seorang parewa berteriak histeris, bangkit berdiri lalu memungut goloknya yang terpental tidak jauh dari tempatnya terjerembab tadi. Ia berlari kesetanan ke arah Bao Ling yang masih merancapkan tombak ke dada musuhnya yang sudah tak bernapas lagi.
Tetapi langkah parewa yang hendak membunuhnya itu terhenti sebelum goloknya yang tajam itu mencacah badannya. Tombak yang tadi merancap di jasad Wu Kuo telah berpindah ke dada parewa yang beringas itu sesaat setelah melayang secepat kilat. Tubuh anak muda itu ambruk tak bernyawa. Goloknya jatuh mendenting membentur tanah bersama debum keras tubuhnya yang liat.
Bao Ling melompat ke arah jasad parewa yang sudah membujur kaku di tanah itu, menarik tombaknya dari tubuh musuhnya yang mati dengan sepasang mata membuka. Para parewa lainnya berdiri secepat mungkin, lalu menghambur kabur menyelamatkan diri masing-masing di sela-sela pepohonan dalam kekelaman malam, tanpa memungut golok serta busur dan karpai anak panah mereka lagi saat melihat pemimpin dan salah seorang sahabat mereka tewas mengenaskan.
Bao Ling menghela napas panjang.
Didekatinya mayat pemuda bertaucang yang dipanggil dengan nama Wu Kuo tadi. Diamatinya seksama wajah saring dan keras itu. Kali ini ia bukan merupakan salah satu prajurit dari Istana Da-du seperti Zhung Pao Ling. Namun, ia yakin mereka adalah para suro dari dalang yang sama. Sebuah konspirasi yang kini berkembang lebih jauh dengan melibatkan dirinya. Tak ada barang bukti apa-apa yang dapat membongkar risalah misterius itu. Semuanya nihil ketika ia mencoba merogoh sesuatu di dalam saku pakaian jasad pemuda itu.
Ia berjalan dengan benak sarat ke arah tempat persembunyian kedua gadis yang hanya sekali ditemuinya di tengah hutan Hwa petang tadi. Diam-diam dibuntutinya kedua gadis itu tadi karena penasaran dengan identitas diri yang mereka rahasiakan kepadanya. Ia yakin kedua gadis itu bukan rakyat jelata atau pengelana seperti yang mereka katakan. Diikutinya kedua gadis itu sampai berhenti di tengah hutan karena penyerangan yang dilakukan para parewa tersebut.
"Kita sudah aman, Nona-Nona!" ujar Bao Ling setelah tiba di sebatang pohon tempat kedua gadis itu bersembunyi. Di sana, ia mengempaskan dirinya duduk menyandar pada batang pohon. Ia merasa lelah. Benaknya mulai dipenuhi beban psikis.
"Te-terima kasih, Prajurit Bao!" balas Fang Mei lirih. "Anda sudah menyelamatkan nyawa kami."
Bao Ling memalingkan kepalanya, menengok ke balik batang pohon besar yang disandarinya. Ia tersenyum. Dilihatnya kedua gadis itu meringkuk seperti kelinci yang menggigil kedinginan seusai diguyur hujan dalam hutan.
"Bukan kalian yang menjadi sasaran pembunuhan tadi," jelas Bao Ling. "Tapi sayalah yang menjadi target mereka."
Sergah Fang Mei terpotong. "Ta-tapi...."
"Mereka hanya salah sasaran, menyangka kalian adalah saya," jelas Bao Ling, tampak berusaha menenangkan.
Fang Mei terdiam.
Ia belum dapat mengatasi keterkejutannya. Sesaat lalu ia serasa mati. Nyawanya seolah-olah mengambang di udara ketika melihat Putri Yuan Ren Xie dihujani anak-anak panah oleh orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Kuda Sang Putri pun mati terancap sebilah anak panah. Mengempaskan Sang Putri sampai tak sadarkan diri.
Dan seandainya saja mereka tidak ditolong oleh prajurit kurir yang berasal dari Istana Da-du itu, entah apa yang akan terjadi dengan nasib mereka. Firasatnya memang menjadi kenyataan. Hutan asing dan rimba bukanlah tempat yang aman untuk melakukan perjalanan jauh. Setiap saat nyawa mereka dapat terancam. Putri Yuan Ren Xie yang pongah dan keras kepala itu memang telah termakan oleh kesombongannya. Ia kena batunya sendiri.
Diliriknya Putri Yuan Ren Xie yang sudah siuman tetapi masih tampak lunglai, dan berbaring berbantalkan pahanya.
"Putri, kita sekarang sudah aman!" bisik Fang Mei sembari mengusap peluh di dahi Putri Yuan Ren Xie dengan pipah lebar lengan bajunya yang menjuntai serupa kipas. "Musuh-musuh yang menyerang kita secara misterius tadi telah kabur. Dua orang malah mati dibunuh Prajurit Bao."
Daun telinga Bao Ling bergerak, menegak menangkap kalimat Fang Mei. Tetapi senyap malam tidak dapat melamur suara bisikan itu sehingga kalimat serupa mantra itu menyihirnya untuk segera takluk dan berlutut di hadapan kedua gadis itu.
"Ma-maafkan saya, Tuan Putri!" ujar Bao Ling terbata-bata. "Sa-saya tidak tahu kalau Anda semua adalah Putri!"
Fang Mei tersenyum. "Saya bukan Putri. Saya hanya dayang Istana Kiangsu. Yang Putri adalah...."
Bao Ling masih berlutut. Diliriknya bibir Fang Mei yang bergerak miring mengaba, menunjuk Putri Yuan Ren Xie yang masih berbaring di pahanya sebagai Tuan Putri itu dengan ekor matanya tanpa berani mengangkat muka. Ia masih menunjukkan sikap terkejut.
"Tapi...."
"Sudahlah, Prajurit Bao. Tidak usah berlutut begitu. Seharusnya kamilah yang menyampaikan rasa terima kasih kepada Anda karena telah menyelamatkan nyawa kami," papar Putri Yuan Ren Xie, akhirnya mengungkap jelas identitas mereka yang sebenarnya. Ia masih berbaring di atas paha Fang Mei. Ia merasa risih dihormati sedemikian rupa di luar protokoler Istana Kiangsu. "Kami berdua memang bukan rakyat jelata. Saya Yuan Ren Xie dan...."
"Saya Fang Mei. Dayang. Bukan Putri," timpal Fang Mei ceriwis, memintas kalimat Putri Yuan Ren Xie yang belum rampung. "Kami dari Istana Kiangsu. Putri Yuan Ren Xie adalah putri tunggal Pangeran Yuan Ren Qing, saudara kandung Kaisar Yuan Ren Zhan."
Bao Ling semakin merundukkan kepala. "Ma-maafkan saya, Putri. Saya telah berlaku kurang santun terhadap Anda!"
"Berdirilah, Prajurit Bao. Tidak usah berlutut begitu," balas Putri Yuan Ren Xie lalu tersenyum di akhir kalimatnya. Ia berusaha bangun dari berbaring.
Fang Mei memapahnya kembali untuk duduk bersila di hadapan Bao Ling yang belum berani menyudahi sujudannya. Fang Mei terkikik. Menahan tawa dengan telapak tangannya.
"Tapi, selama ini saya telah bersikap kurang santun terhadap Anda, Putri," urai Bao Ling dengan lugu. "Saya pantas dihukum mati."
"Tidak ada alasan untuk menghukum mati Anda, Prajurit Bao," sahut Putri Yuan Ren Xie teduh. "Saya hanya ingin Anda mematuhi perintah saya."
"Saya siap melaksanakan semua perintah, Putri!"
"Bagus."
"Apa yang dapat saya lakukan untuk Putri?"
"Kawal kami ke Ibukota Da-du."
"Saya siap mengawal Anda, Putri. Saya siap menjaga keselamatan Putri."
"Bagus. Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa ya kalau kami berdua ini adalah kerabat Istana Kiangsu. Saya harap Anda bermasa bodoh bila bertemu siapa saja yang ingin mencari kami berdua."
"Maaf, Putri. Untuk apa?!"
"Jangan membantah. Ini perintah!"
"Ba-baik. Saya akan laksanakan perintah Putri."
Fang Mei tertawa keras. Ia tidak dapat menahan geli yang menggelitik hatinya lagi. Putri Yuan Ren Xie menghardiknya supaya diam dengan satu anggukan pada kepala. Namun gadis jangkung itu tetap tertawa terbahak-bahak dengan suara falseto. Mengabaikan bahasa tubuh Putri Yuan Ren Xie yang tengah jengah karena akhirnya meminta pengawalan yang sempat ditampiknya mati-matian di awal pertemuan mereka petang tadi.


Bao Ling
Elegi Yakkha Alavaka

***

Ceruk langit duha semakin mengelam. Sisa pendar terang keperakan yang menyapa hangat kerut-merut tanah sudah sedari tadi tenggelam di horizon barat. Sepagi tadi hanya terdengar derau angin yang menyapu dedaunan pada serumpun bambu di bawah sana. Sesekali pula terdengar kicau rajawali dengan birama triolnya yang syahdu. Satu-satu, lepas dan melengking, sampai membaur lalu menghilang di atmosfer langit. Lalu pada akhirnya keheningan seperti raga tanpa nyawa. Menangkup alam sampai gulita bergelung, dan kembali tanpa lelah mengiramakan gerus khas malam. Derik jangkrik, siulan angin padang, koak unggas; adalah denyut rutin kekelaman. Bilangan malam itu pulalah yang menemaninya kini.
Pekat melentuk partikel binar di matanya.
Noktah-noktah putih bertabur basir pada langit yang tadi membiru-jingga ketika ia mendongak. Setiap sebentar nokturia memaksa kakinya ke salah satu bilik tinja di sisi buram Tembok Besar. Dan kala ia menjongkok, maka langit menjadi satu-satunya obyek sauh matanya.
Satu-dua di antara gemintang berlompatan seolah menari. Nun jauh pula di sana, mega nan memutih tampak kelabu seperti khatifah domba Mongol yang mulai mengusang. Dari waktu ke waktu, komposisi visual itu mengiramai kesendiriannya. Selalu. Pada tembok-tembok dan gawir beku yang berlumut serta basa.
Khidmat itu diresapinya takzim. Menggantikan tabuh galau yang senantiasa mendetak pada jantungnya. Kali ini tak ada maharana, sehingga bulir-bulir embun sisa fajar kemarin merupakan kilau jauhar yang tak berbanding.
Tak sadar ia tersenyum.
Tetesan darah itu sejenak berganti menjadi butir berlian pada galur landung dedaunan. Api-api yang melelatu dan membakar perkampungan penduduk kini telah padam. Tak ada bau tengik kayu yang kobong mengarang, yang menyeruak di antara reruntuhan rumah para jelata. Di matanya, ranggas bara itu telah menjadi sigi di sepasang bahu tubuh panjang Tembok Besar. Indah. Seperti mute pada mahkota Sang Kaisar.
"Atas nama Dewata dan Naga yang perkasa, diberkatilah Yuan dan prajurit Fa Mulan!"
Tetapi selamanya tidak berlangsung dengan lama.
Serangkai kalimat aubade menggugah kedamaian itu sesaat setelah derap kuda terdengar melambat di ujung tendanya. Lima pasang gerit gesekan sepatu prajurit jaga pada tanah pun melamur, seperti membiarkan lelaki tersebut masuk ke area barak Tembok Besar. Dan ketika ia gegas beranjak dari tempatnya yang najis dan making tadi, serta memalingkan kepalanya ke arah suara santun tersebut setibanya di samping tendanya, hatinya mulai dirayapi gundah.
Tan Tay?!
Ia mengusap wajah.
Prajurit intelijen yang bertugas pada pos pengawasan Tembok Besar itu pasti datang bukan tanpa musabab. Garizal keprajuritan sontak mengembuskan praduga karu dalam benaknya, meski sepasang sepatu kulit rusa pemuda bertubuh atletis itu belum menyentuh bayang pucuk tenda yang menubir pada tanah.
Ia menghela napas berat.
Udara nokturnal menghimpit paru-parunya. Keyakinannya menegas pada wajah lesi yang mengarah lima tindak dari kuda kelabu yang menyampir di sebatang ek dengan dedaunannya yang menggimbal.
"Ada indikasi kalau kaum nomad Mongol akan melakukan penyerangan, Asisten Fa!"
Maharana!
Helaan napas Fa Mulan terdengar seperti dengus. Pemuda itu sudah mengabarinya hal terburuk yang bakal melanda Tionggoan tidak lama setelah ia berdiri tepat di dot bayang tenda.
"Maafkan saya dengan berita buruk itu, Asisten Fa."
"Tidak. Tidak apa-apa."
Fa Mulan mengangkat telapak tangannya mengaba 'tidak apa-apa'. Tetapi rahangnya mengeras. Berita mendadak dari Tan Tay itu menggamangkan hatinya.
"Saya prihatin soal rencana penyerangan Mongol itu, Asisten Fa. Mudah-mudahan Anda dapat mengatasi hal itu."
"Terima kasih atas aktualitas beritamu. Saya tidak tahu apa yang bakal terjadi seandainya kamu tidak cepat-cepat dan tanggap melaporkan pergerakan musuh di daerah perbatasan ini, Tan Tay!"
"Sudah menjadi tugas saya, Asisten Fa."
Fa Mulan menggigit bibirnya.
Diam-diam, disyukurinya tindakannya yang berani mangkir ke Festival Barongsai. Keputusannya untuk tidak menghadiri undangan pihak Istana Da-du dalam acara akbar Festival Barongsai memang merupakan tindakan yang tepat.
Sehari setelah Bao Ling berangkat kembali ke Ibukota Da-du, ia pun langsung mendapat kabar buruk dari salah satu prajurit intelijen yang bertugas memantau perbatasan Tionggoan-Mongolia. Bahwa Tionggoan akan diserang dalam waktu dekat oleh pasukan Mongol pimpinan Gengkhis Khan.
"Kamu yakin, Tan Tay?" tanya Fa Mulan, lebih sekedar mempertegas pertanyaannya ketimbang ketidakyakinannya.
Prajurit intelijen itu mengangguk tegas. "Saya yakin, Asisten Fa. Kurang lebih tiga puluh mil dari sini, mereka sudah menyiapkan armada perang berkuda yang hanya menunggu perintah untuk menyerang. Tenda-tenda yang mereka dirikan di daerah perbatasan juga merupakan salah satu bukti kalau mereka memang sedang berencana untuk menyerang Tionggoan."
"Sudah saya duga," desis Fa Mulan, gelisah dengan kabar buruk rencana penyerangan pasukan Mongol ke Tionggoan. "Beberapa bulan yang lalu saya pernah bertarung dengan seorang jasus Mongol. Tapi anehnya, dia sepertinya tidak memihak pada apa yang akan dilakukan oleh pemimpin tertinggi Mongol, yang notabene merupakan ayah angkatnya sendiri.
"Maksud Anda...."
"Saya pernah mendapat informasi tentang penyusunan kekuatan oleh pasukan Mongol di perbatasan dari seseorang yang mengaku anak angkat Genghis Khan, setelah bertarung dengannya di sini."
"Maaf, saya belum paham, Asisten Fa."
"Ceritanya panjang. Kalau ada waktu, saya akan menceritakan ihwal hal itu. Sekarang, kita harus segera mengantisipasi pergerakan Mongol. Cepat himpun dan perkuat pengawasan intelijen yang ada di daerah perbatasan. Awasi semua jalan masuk. Saya akan koordinasikan hal ini kepada Kapten Shang. Kalau bisa, hari ini juga kamu ke Ibukota Da-du. Tolong sampaikan kawat kepada Jenderal Gau Ming untuk melapisi perbatasan Tembok Besar ini dengan armada baru. Saya berfirasat kalau kaum nomad Mongol itu akan menyerang secara besar-besaran. Lebih besar ketimbang armada pasukan pemberontak Han dulu."
"Tapi...."
"Tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan perihal anak angkat Genghis Khan yang bernama Kao Ching itu, Tan Tay. Sekarang, saya akan menyiagakan semua prajurit setelah menyampaikan keadaan genting ini kepada Kapten Shang. Setelah itu, mungkin saya akan langsung turun ke daerah perbatasan untuk memata-matai pergerakan pasukan Mongol. Menakar kekuatan mereka. Saya pikir itulah salah satu upaya terbaik untuk dapat mengetahui inti kekuatan mereka. Dengan begitu, suatu saat kita dapat menandingi besarnya armada tempur mereka. Atau, mungkin ada strategi jitu yang akan kita terapkan setelah meraba sebatas mana kekuatan kaum nomad Mongol itu. Nah, lekaslah berangkat ke Ibukota Da-du. Mumpung kita masih ada waktu mempersiapan diri menangkal pasukan Mongol." Prajurit intelijen itu keluar dengan langkah setengah berlari. Di luar, ia langsung menuju ke arah kudanya. Menunggangi lalu menggebah sekuat tenaga kuda yang senantiasa membantunya dalam bertugas itu. Ia harus secepat mungkin ke Ibukota Da-du.
Sementara itu Fa Mulan keluar tenda dengan napas memburu. Ia memang berfirasat kalau suatu saat perkataan Kao Ching kepadanya tempo hari akan menjadi kenyataan. Tinggal menunggu waktu saja, maka kekuatan mahadahsyat Mongol akan menyerang Tionggoan seperti nasar-nasar yang menghitam di langit.
Angin menerbangkan rambutnya ketika ia menyongsong dari arah berlawanan sesaat setelah menyibak daun tendanya. Ia serupa walet yang terbang rendah, menggelepak oleh buih tuba yang diteteskan pada sepasang gendang telinganya.
Tidak ada yang tahu kapan badai maharana itu akan memporak-porandakan Tionggoan lagi. Namun ia sudah dapat mendengar denyut kematian yang diembuskan seperti taifun, lalu selang itu akan terdengar nyanyian pilu dari tangis sufi yang rapuh.
Fa Mulan masih berlari.
Meredam amarahnya dalam guyur bayu dari arah yang berlawanan. Bayi-bayi akan kehilangan ibu-ibu mereka. Lalu, tak ada lagi yang dapat menyuplai bantat makanan untuk menghidupi jiwa-jiwa rapuh itu. Ajal tinggal sejengkal. Sebab setiap tetes air kehidupan dari puting susu ibu itu terhenti oleh maharana. Mereka akan kelaparan dan terkapar mati. Lalu, sebagian dari bayi-bayi itu akan terjebak dalam reruntuhan. Dan terbakar mutung menjadi abu.
"Maaf, Kapten Shang," ujar Fa Mulan, masih dengan suara terengah begitu menyibak daun tenda Shang Weng, yang hanya berjarak sepuluh kaki dari tendanya di sebelah barat. "Saya mengganggu istirahat Anda."
Shang Weng berdiri dari berbaring.
Sertamerta terbangun saat daun tendanya tersibak disertai sapaan Fa Mulan yang gopoh tak galib. Disambutnya gadis itu yang masih berdiri terpaku di bawah tapal batas tenda dengan berjalan tatih akibat kejur nadi betisnya belum normal mengalirkan darah sampai ke matakaki. Aura unggun yang menjingga di luar tenda membaur di salah satu sisi wajah galau gadis itu.
Pasti ada sesuatu yang tidak beres kali ini, pikirnya.
"Ada apa, Mulan?" tanyanya dengan suara sember.
"Saya barusan mendapat informasi dari prajurit intelijen Tan Tay. Menurutnya, kaum nomad Mongol sudah menghimpun kekuatan untuk menyerang Tionggoan. Saya kemari untuk berkoordinasi dengan Anda. Apa tindakan kita selanjutnya?" jawab Mulan dengan respirasi yang mulai menormal.
Wajah Shang Weng mengerut.
Sebelah wajahnya yang tertimpa sinar dari lampu minyak samin semakin menonjolkan gemurat di sekitar leher dan rahangnya. Ia sudah tahu kapabilitas tempur pasukan Mongol. Kaum nomadia itu lebih berbahaya dibandingkan pasukan pemberontak Han pimpinan Han Chen Tjing. Kehidupan dan lingkungan alam yang keras telah membentuk rakyat Mongol itu menjadi bangsa yang kuat. Beberapa negeri gurun di luar Tionggoan telah ditaklukkan. Dan hal itu merupakan salah satu bukti ketangguhan armada perang berkuda milik Mongol.
"Saya pikir, kita harus mengambil tindakan sendiri tanpa meminta delegasi markas besar militer Yuan lagi," Shang Weng menyolusi, mencoba mengusir keresahan hatinya dengan keluar mengangin-anginkan badannya. "Saya tidak ingin kelambanan menjadi pangkal kekalahan Yuan atas Mongol."
"Ya, saya pikir memang harus begitu. Berinisiatif sendiri tanpa melalui perintah Jenderal Gau Ming yang lelet," akur Fa Mulan sembari mengekori langkah Shang Weng setelah turut keluar dari tenda atasannya tersebut. "Sebab kalau tidak, mungkin pasukan Mongol akan menyerang pasukan kita tanpa diduga-duga."
"Ya, benar. Tidak ada waktu lagi untuk menghubungi markas besar militer Yuan di Ibukota Da-du, Mulan," tegas Shang Weng, berjalan mondar-mandir dan bolak-balik per tiga langkah di luar tendanya.
"Betul, betul. Apalagi, Istana Da-du sibuk dengan persiapan penyambutan Festival Barongsai."
"Itulah salah satu alasan, mengapa pasukan Mongol menyerang pada saat-saat pihak Istana Da-du mengadakan pesta akbar tersebut."
"Salah satu bentuk kelemahan adalah, memandang remeh kekuatan lawan, juga optimisme yang berlebihan terhadap kekuatan sendiri dan kurangnya konsentrasi untuk mawas sehingga menganggap enteng lawan. Itulah yang kini terjadi dengan militer Yuan. Setelah memenangkan pertempuran di Tung Shao, para atase militer lupa diri. Malah bereuforia dengan pesta akbar yang sama sekali tidak membawa faedah apa-apa bagi negara - kecuali gengsi dan sebentuk pengakuan yang masif."
"Kalau begitu, kita harus mengantisipasi pergerakan pasukan Mongol yang sudah memadati daerah perbatasan."
"Selayaknya memang begitu."
"Tapi, saya kurang yakin kalau prajurit-prajurit kita dapat membendung pasukan Mongol yang berjumlah besar. Ingat, mereka adalah armada perang berkuda. Mobilitas mereka sangat tinggi. Saya pesimis kalau prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong dapat melumpuhkan mereka."
"Saya sependapat dengan Anda, Kapten Shang. Mereka pasti sudah belajar dari kekalahan pasukan pemberontak Han yang takluk oleh prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong . Mereka pasti akan mengantisipasi kekuatan tercanggih divisi tempur Yuan. Jadi kalau mereka nekat menyerang, pasti bukan tanpa bekal apa-apa."
"Betul. Saya memang telah memprakirakan hal itu. Divisi Kavaleri Fo Liong bukan tanpa kelemahan. Apalagi senjata dan amunisi Divisi Kavaleri Fo Liong sangat terbatas. Kalau mereka dapat meredam divisi baru kita itu, maka dapat dipastikan mereka dapat menaklukkan kita, dan akan melewati Tembok Besar ini untuk kemudian menyerang Ibukota Da-du."
"Ah, saya tidak menyangka akan dihadapkan kembali pada prahara baru, legiun asing yang hendak menyerang integritas Tionggoan!"
Fa Mulan menghela napas panjang bersamaan satu dengusan napas yang keluar dari lubang hidung Shang Weng. Dielus-elusnya gagang Mushu-nya. Sejenak memejamkan matanya untuk meredam galau yang tengah berkecamuk di dadanya. Tanah Tionggoan seolah dikutuk oleh langit. Tanah babur yang setiap saat dinestapai maharana.
Ah, kapankah Tionggoan dapat damai sejahtera tanpa maharana?! resahnya dalam hati.
"Malam ini juga saya akan menyiagakan seluruh prajurit dari semua divisi," sahut Shang Weng berapi-api. "Saya sendiri akan menghadang mereka di garis depan!"
"Tidak! Biar saya saja, Kapten Shang. Anda lebih dibutuhkan untuk menitah. Tanpa komando, apalah artinya armada perang Yuan?!" tolak Fa Mulan, juga dengan suara yang berapi-api. "Bukankah hal itu serupa galiung tanpa nahkoda?!"
"Saya adalah pemimpin tertinggi armada perang di sini. Jadi, sayalah yang memimpin prajurit di garis depan."
"Saya tidak ingin bertengkar soal itu sehingga mengabaikan misi semula kita dalam memberangus pergerakan musuh."
"Saya yakin kemampuan kamu. Pertempuran di Tung Shao telah membuktikan ketangguhan kamu. Tapi, saya tidak ingin menempuh risiko kehilangan prajurit tangguh semacam kamu. Yuan boleh kehilangan sejuta prajurit. Namun Yuan tidak boleh kehilangan seorang Fa Mulan!"
"Anda terlampau hiperbolik, Kapten Shang!"
"Tapi, saya benar-benar tidak ingin kehilangan kamu!"
"Jangan egois. Nyawa saya sudah saya serahkan sepenuhnya untuk negara dan rakyat Yuan sejak mendaftar sebagai prajurit wamil. Mana boleh Anda mengklaim kalau nyawa saya hanya untuk Anda seorang diri."
"Saya sayang sama kamu, Mulan."
"Enyahkan romantisme cengeng pada saat Tionggoan di ambang maharana!"
"Tapi...."
"Kalau dalih melarang saya berada di garda depan pertempuran semata karena rasa cinta Anda yang demikian besar terhadap saya, maka Anda salah besar, Kapten Shang!"
"Tapi...."
"Rasanya sangat tidak etis menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan negara, apa pun dalih yang melatarbelakanginya. Kalau itu sampai terjadi, maka sampai kapan pun saya tidak akan pernah dapat memaafkan Anda. Sampai mati pun dan menjadi arwah sekalipun, saya tidak pernah dapat tenang."
"Tapi...."
"Maaf, Kapten Shang. Saya tidak pernah bermaksud menentang perintah Anda. Saya tidak pernah merasa melawan kehendak Anda. Tapi, tolong. Jangan selalu menempatkan saya pada posisi yang paling istimewa di hati Anda. Saya tidak ingin menjadi batu beban di dalam setiap liuk lafaz Anda. Saya tidak ingin menjadi simbol Yuan. Perang, dan seperti juga kemenangan-kemenangan pertempuran kita di Tung Shao bukanlah andil saya. Semua itu merupakan proses predestinasi yang, entah datangnya tiba-tiba. Saya yakin, setiap orang pasti tidak ingin mengharapkan perang terjadi. Perang, bagi saya tak ubahnya ajang pembantaian antarmanusia yang sama sekali tidak memiliki makna apa-apa. Ketika saya menjadi wamil, yang ada di dalam hati dan pikiran saya hanya satu. Hanya satu, yakni membela negara Yuan. Bukan berperang dengan segala atribut berbau kematian tersebut, Kapten Shang."
Shang Weng terdiam.
Napasnya meladung. Kalimat-kalimat yang disampaikan Fa Mulan barusan menohoknya. Seharusnya ia memang tidak boleh menempatkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan negara. Sebagai prajurit, ia seolah-olah telah zindik dari amar negara. Seharusnya, ia malu karenanya. Tetapi rasa cinta yang dalam terhadap gadis itu selalu menggebah kepatriotismenya itu menjadi galur. Ia memang telah dibutakan oleh cinta!
"Mulan...."
"Saya tidak ingin Anda membuang-buang waktu lagi, Kapten Shang. Jangan sampai kasus miris Tung Shao - antisipasi yang terlambat - terulang lagi karena kelambanan atase militer Yuan yang tidak tanggap menangkap serangan musuh yang mendadak seperti taifun."
"Tapi...."
"Lebih baik saya berangkat sekarang, menyongsong musuh di perbatasan...."
"Ja-jangan...."
"Maaf, Kapten Shang! Saya akan berangkat sekarang juga!"
Shang Weng menelan ludahnya dengan susah payah. Dilihatnya gadis itu berlari ke dalam tendanya. Seperti walet yang terbang rendah, sesekali menukik di antara cadas dan gawir. Ia tahu, sebentar lagi Fa Mulan akan keluar dari sana, menenteng pedang Mushu-nya dan sangu secukupnya untuk bekal menghadapi pertempuran melawan kaum nomad Mongol di perbatasan.
Namun aneh. Lerai itu melekat di kerongkongannya seperti lekat lumpur pada dinding dan tubir. Tak ada suara yang menggebah dan meledak seperti guntur untuk mengurungkan niat gadis yang sangat dicintainya menyusur lapak ajal. Ia membatu atas ketidakberdayaannya tersebut.
Digelengkannya kepala dengan lunglai.
Gadis itu memang sekokoh karang.


Bao Ling
Litani dari Shaolin

***

Gemerincing pepontoh yang terbuat dari sekati emas di pergelangan tangan kanannya selalu mengirama setiap mengikuti liuk tubuhnya. Namun tiap sebentar nada serupa denting lonceng kecil itu melengang saat tangan kurus tersebut senggang tak bergerak. Culim gading itu menyentuh gigir bibirnya yang adun. Matanya memejam menikmati mariyuana yang membasuh hangat paru-parunya.
Riuh lazim yang membirama pada suhian yang disinggahinya mendadak melenyap oleh senyap. Lelaki-lelaki hidung belang menyingkir. Gajak defaitisme telah menjadi kemafhuman bila pemuda berkulit halus itu bertandang ke sana. Sebasung prajurit telah memagari tempat itu ketika kereta tandunya mengarah ke sana.
"Yang Mulia...."
Kelopak mata pemuda itu membuka sebentar di antara tabir asap beraroma senggeruk yang menggelimun di kamar terasri suhian. Baunya yang sengak menembus dinding-dinding beku di empat sudut ruang meski daun jendela langkan di samping ranjangnya mementang lebar. Di bawah sana, riuh aktivitas masyarakat kota masih berputar seperti siklus. Tetapi ia tidak peduli sebab dedaunan bernila kenikmatan itu telah melunturkan kesadarannya. Dan menulikan sepasang gendang telinganya meski sepotong sapaan sehalus satin itu telah berulang kali membentur indera pendengarannya.
Mucikari bertubuh besar itu mendekat dengan langkah jinjit tanpa gerus. Tak sedikit pun terdengar bunyi kerak pada papan loteng. Tetapi ia nyaris tersuruk karena terlalu membungkuk. Namun ia telah sigap berdiri tegak seusai bunyi lebap, lalu berhenti sejenak sembari membenarkan letak kondenya yang bergeser letak. Bibirnya memekar paksa kala sepasang mata sayu yang tergolek soak di atas mohair seberharga emas permata itu meliriknya dengan rona ganjil.
Satu kamar khusus untuk Pangeran Yuan Ren Long, lengkap dengan seperangkat perabot tipikal Istana Da-du telah disiapkanya sejak lama. Selama ini tidak ada yang kurang. Semuanya istimewa. Juga permintaan-permintaannya yang irasional. Tetapi hari ini wajah pemuda puak Istana Da-du itu yang mengerut tua sebelum waktunya tersebut semakin mengerut. Nyaris tidak ada senyum sejak memasuki bingkai pintu suhian. Kontrasisasi yang telah menyulur antara kemegahan jauhar dan jiwa-jiwa nan rapuh pada setiap nadi di dalam tubuhnya.
Apa ada yang salah? pikirnya gamang. Kenapa Sang Pangeran tidak pernah puas dengan segala sesuatu yang terbaik, yang dipersembahkan kepadanya dengan segenap jiwa?!
Ia yang rucah memang tidak pantas bicara panjang-lebar untuk mengungkapkan dalih pembenaran atas nama apapun. Terlebih-lebih membela diri. Wajahnya yang pucat magel itu mengerut kecewa karena tidak diacuhkan sejak kalap murka ditumpahkan kepadanya beberapa saat barusan. Seantipati apapun ia terhadap pemuda bertubuh jerangkong itu, ia mesti terus menyenangkan hati Sang Pangeran. Maka senyumnya tak boleh menguncup barang sedetik pun. Sebab tidak ada apologi untuknya bila Sang Pangeran murka. Putra sulung kaisar penguasa Tionggoan itu sangat jauh dari apologetis.
"Yang Mulia...."
Pemuda itu kembali memejamkan matanya. Setiap hari. Setiap waktu. Asap bertuba itu telah merangsa tubuhnya. Mendeklinasi otaknya sehingga mengimbesil. Tidak ada sosok tegap berlamina di Istana Da-du dari seorang putra mahkota pewaris tunggal takhta naga. Semuanya sirna oleh kenikmatan sesaat. Erotisasi babur yang meledak-ledak pada nafsu purba yang membangkitkan birahi ganjil. Seperti epidemi dengue yang menjalar cepat dan mematikan setiap sel-sel darah merah di dalam tubuhnya. Entah berapa bocah perempuan yang telah menjadi korbannya.
"Yang Mulia...."
"Berengsek!"
Tiba-tiba Pangeran Yuan Ren Long mengempaskan culim mariyuananya. Ia berdiri dari berbaring. Menggabruk meja kecil di samping ranjang. Sebuah tekoan dan cawan perak di atas meja terpelanting, dan menumpahkan arak istimewa di dalamnya. Perempuan bertubuh besar itu terlompat karena kaget. Ia seperti lampion kertas yang melempem ciut karena dikoyak air hujan di luar beranda rumah.
Secara tidak sengaja panggilannya itu telah mencucuh amarah tanpa alasan Pangeran Yuan Ren Long. Sepasang pengawal khusus Sang Pangeran berpaling setelah menatap ke arah yang berlawanan, berjaga-jaga sebagaimana lazimnya untuk mencegah segala kemungkinan soe terburuk yang dapat menimpa tuan mereka. Mereka seperti anjing-anjing yang lihai mengendus dan senantiasa setia menjaga majikannya.
"Kapan kamu dapat menyediakan saya lagi barang segar, Li Chun?!" teriak Pangeran Yuan Ren Long murka. "Setiap kalau saya datang, yang kamu sodorkan daging busuk dan bangkai! Cih, kamu pikir saya ini apa?!"
Perempuan gemuk bernama Li Chun itu menggelemetar. "Maafkan hamba, Yang Mulia. Tapi, apa yang telah hamba serahkan kepada Anda adalah gadis-gadis perawan terbaik di desanya masing-masing."
"Apa?!" ledak Pangeran Yuan Ren Long dengan sepasang mata membola merah. "Terbaik kamu bilang?!"
"Ampun, Yang Mulia. Tapi, gadis-gadis itu tidak ada yang berusia di atas tiga belas tahun!"
"Jangan membantah!" Pangeran Yuan Ren Long kembali menggabruk meja sehingga pepontoh di pergelangan tangannya menggemerincing hebat. "Ingat, lain kali jangan sodori saya bangkai busuk begitu!"
Li Chun sudah hampir kelengar. "Am-ampun, Yang Mulia. Ham-hamba paham, hamba paham," balasnya cepat dengan suara tercekat. "Hamba tidak akan mengulangi perbuatan hamba yang bodoh ini lagi, Yang Mulia."
"Nah, saya tidak mau tahu. Pokoknya, besok kamu sudah harus menyediakan saya gadis cilik sesuai permintaan saya. Bukannya bangkai-bangkai busuk seperti tadi! Kalau sampai besok tidak ada, maka bersiap-siaplah untuk kehilangan kepala. Mengerti?!"
"Ba-baik, Yang Mulia," angguk Li Chun dengan keringat yang menetes deras di sekujur tubuhnya. "Hamba akan melaksanakan perintah Yang Mulia. Hamba tidak akan mengecewakan Yang Mulia lagi. Hamba pasti akan mencarikan gadis-gadis cilik yang jauh lebih cantik."
"Bagus," seru Pangeran Yuan Ren Long dengan suara melunak. "Nah, sekarang keluarlah. Jangan ganggu saya lagi. Cepat laksanakan perintah saya sebelum saya berubah pikiran."
Li Chun pamit setelah membungkuk dalam-dalam. Ia berjalan dengan langkah mundur seperti seekor undur-undur sampai di bawah bingkai pintu. Sementara itu Pangeran Yuan Ren Long melanjutkan madat. Ia berbaring separo berselonjor di atas ranjang, menikmati asap tuba yang kembali membuai pikirannya sampai melanglang ke negeri penuh bunga.
Hari ini memang tidak ada gadis cilik yang menjadi obyek pelampiasan seks Sang Pangeran. Lima gadis yang telah disodorkan mucikari suhian itu kepadanya tadi ditolaknya mentah-mentah. Salah satu gadis yang baru jalan sepuluh malah dicampakkan dan dicakar sampai dadanya yang tanpa gundukan serta baru ditumbuhi puting serupa noktah berwarna kecoklatan itu berdarah. Satu gadis lainnya yang bertubuh ringkih ditendang sampai terjengkang. Salah satu tulang iganya patah. Gadis cilik itu menjerit dan menangis kesakitan, namun tidak lama karena Li Chun sudah membekap mulutnya dengan selendang satinnya, dan menyeretnya dengan cara menjambak rambutnya keluar dari kamar Sang Pangeran. Ketiga gadis cilik lainnya menahan tangis mereka. Keluar perlahan-lahan setelah diseret setengah paksa oleh Li Chun yang sudah masuk kembali ke kamar Sang Pangeran. Gadis yang ditendang tadi sudah pingsan.
"Li Chun sialan! Sundal kamu!" teriaknya tadi ketika menolak gadis-gadis cilik yang rata-rata masih berusia di bawah tiga belas. "Binatang apa yang kamu sodorkan kepada saya, hah?! Mereka semua bukan orang! Mereka semua babi! Babi! Najis, najis!"
Pemuda berwajah lesi itu tidak meminati gadis cilik yang telah disiapkan Li Chun jauh-jauh hari. Padahal, kelima gadis cilik itu merupakan anak-anak petani yang diculik oleh para suro, orang suruhan Li Chun di desa-desa dan dusun-dusun miskin. Mereka adalah anak-anak perawan yang masih kecil-kecil. Selain menculik, kadang-kadang Li Chun juga membeli anak-anak gadis itu dengan imbal sekarung beras atau beberapa potong daging babi pada penduduk papa desa miskin yang tengah dilanda busung lapar. Beberapa orangtua memang sengaja menjual anak gadis mereka kepada tuan tanah atau cukong dari kota. Mereka terpaksa melakukan hal itu demi kelangsungan hidup anak gadis mereka sendiri. Tidak jarang di antara mereka mafhum kalau anak gadis mereka kelak akan dijadikan pelacur di suhian dan gadis penghibur di kedai-kedai arak di kota.
Tetapi, entah setan apa yang merasuki pikiran Pangeran Yuan Ren Long hari ini. Ia tidak suka dan menampik gadis cilik yang masih polos serta belum pula akil-balig itu. Masih untung mereka tidak dibunuh di tempat. Biasanya kalau hati Sang Pangeran sedang riang, maka ia akan membawa pulang gadis-gadis cilik itu, dan menempatkan mereka di bungalo salah satu Istana Da-du. Memanjakan mereka seperti permaisuri. Lalu setelah itu, bila hasrat libidonya yang eksplosif meletup-letup, maka ia akan mengumpulkan gadis-gadis cilik pilihannya untuk disiksa di sebuah ruang khusus yang telah ia buat sebelumnya. Di sana, satu per satu bocah perempuan itu dicemeti sampai berdarah-darah. Biasanya mereka akan diikat pada sebuah bolide serupa kincir air pada kolam buatan, lalu diputar berpusing timbul-tenggelam sampai gadis cilik tersebut menjerit-jerit bahkan sampai pingsan.
Perbuatan bejat itu selalu dilakukannya selama berjam-jam sampai ia merasa puas. Dinikmatinya setiap jerit giris dan teriakan kesakitan pada saat cemetinya menyambuk munjung pantat gadis-gadis cilik yang disiksanya tersebut. Ia akan terbahak-bahak kesenangan, jeda sejenak kala merasa lelah lalu minum arak sampai mabuk. Beberapa gadis cilik lainnya diikat pada dinding ruang yang lembab dan basah. Pakaian mereka dirobek pada bagian payudara dan vagina. Setelah puas menyambuk, maka ia akan menjilat-jilat dan menggigit puting payudara mereka yang baru tumbuh seperti sepasang jamur kecil. Juga menusuk-nusuk secara vulgar lubang kemaluan gadis-gadis cilik itu dengan jemarinya - bahkan dengan gagang pedang dan gotri-gotri. Di antara mereka biasanya ada yang langsung mati karena kesakitan. Setelah itu, ia akan mengsanggamai jasad gadis cilik yang telah meninggal belum seberapa lama akibat azab dan siksaannya yang biadab. Yang beruntung tidak mati, biasanya akan mengalami pendarahan pada vagina dan anus mereka. Namun biasanya gadis-gadis cilik tersebut tidak dapat bertahan hidup lama. Luka infeksi pada sobekan vagina maupun anus mereka akibat ulah pedofilia Pangeran Yuan Ren Long menjadi penyebab utama kematian. Jasad-jasad gadis cilik itu biasanya dibuang begitu saja di pinggir hutan atau di sungai.
Dan hal tersebut telah menjadi rutinitasnya selama bertahun-tahun semenjak menginjak usia akil balig. Toga tanpa batas sebagai pewaris takhta yang digenggamnya seperti mengesahkan setiap tindakannya. Ia tidak peduli seberapa banyak korban dari perbuatan maksiatnya. Ia menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsu inferiornya seolah-olah anak-anak gadis yang menjadi korbannya bukan manusia. Setelah itu maka ia mencampakkan mayat-mayat mereka begitu saja di tepi hutan atau dalam sungai. Selang berikutnya onggokan mayat tersebut akan mendetritus dirangsa belatung. Sebagian lagi akan menjadi santapan binatang buas di hutan.
Tabir asap mariyuana masih menutupi wajahnya. Sebagian zat hasil oksidasi itu bergelung-geleng serupa ular kahyangan. Beberapa lagi menyerupai halimun okultis yang berangsur membentuk dewi rancak di benaknya. Ia menikmati zat adiktif yang menjalari urat-urat syarafnya dengan mata memejam. Imajinasinya leluasa membentuk virtual yang diingininya.
Kadang-kadang ia menjadi burung yang bebas terbang di awan-awan. Kadang-kadang ia menjadi seorang kaisar di antara raja diraja, dan menguasai seluruh dunia dengan segala isinya. Kadang-kadang, ia menjadi penguasa persilatan dengan adikong-adikong di sampingnya. Tetapi ia paling senang memvisualisasikan dirinya menjadi makhluk perkasa serupa gergasi yang dapat menyetubuhi seribu gadis cilik dalam semalam tanpa mengalami ejakulasi sekali pun.
Dari hari ke hari zat adiktif tersebut telah merangsa sel-sel kelabu pada otaknya tanpa disadarinya. Mariyuana telah membentuknya menjadi makhluk hipofremia. Akal sehatnya jauh melanglang tanpa arah. Dari waktu ke waktu ia menimbun dosa atas perbuatannya yang jalang. Dari waktu ke waktu ia telah menimbun musuh tanpa disadarinya. Musuh-musuh yang menyimpan kesumat karena ulah batilnya yang merenggut nyawa-nyawa kecil bagian dari keluarga mereka.
Tinggal menunggu waktu saja sampai hari pembalasan itu tiba.


Bao Ling
Elegi Pangeran Yuan Ren Long

***

Adalah gerakan bawah tanah dan mason bernama Perkumpulan Naga Muda yang hendak membunuh Pangeran Yuan Ren Long. Sepak-terjang putra sulung Kaisar Yuan Ren Zhan itu sudah sangat meresahkan masyarakat di pedalaman dan dusun-dusun. Setiap hari terjadi penculikan anak perempuan. Selang berikutnya, anak perempuan tersebut diketemukan telah tewas mengenaskan dengan kondisi jasad yang memprihatinkan. Kebanyakan di antara jasad-jasad itu sudah membusuk. Vagina dan anus mereka robek oleh benda tumpul yang sengaja dirancap untuk meruyak cupu kecil tanpa pubis itu.
"Saya bersumpah akan membunuh laknat itu atas nama Dewata di langit!" sumpah Ta Yun berapi-api dengan wajah beringas dan mengeras. "Saya akan menghabiskan keturunan Yuan! Saya akan meruntuhkan Kekaisaran Yuan!"
Seorang pemuda berbadan tegap menghampirinya di samping meja usang dalam sebuah rumah tua separo rubuh yang dijadikan markas mereka selama ini. Beberapa pemuda, bertampang kasar dan bercambang turut melangkah, mendekati Ta Yun yang masih mengepalkan telapak tangannya menahan geram.
"Ketua Ta, apa tindakan kita selanjutnya?" tanya pemuda berbadan tegap itu.
"Kita tunggu perintah dari Jenderal Shan-Yu," Ta Yun menjawab diplomatis.
Seorang pemuda menyanggah dengan nada tidak sabar. "Tapi, kita tidak dapat membiarkan anak-anak perempuan kita menjadi korban terus menerus, Ketua Ta!"
Ta Yun mengangkat kepalanya, menatap tajam seperti hendak menentang mata pemuda berwajah kasar yang menuntut tadi. Pemuda itu hanya membalas menatap sebentar. Hanya sebentar karena ia menundukkan kepalanya dalam-dalam seperti kura-kura yang menyusup dalam karapaksnya setelah melihat binar benci di kedalaman mata ketua Perkumpulan Naga Muda tersebut. Ia tidak berani bersirobok mata dengan Ta Yun yang masih menyisakan amarah perihal ulah tak manusiawi salah satu putra Kaisar Yuan Ren Zhan. Sungguh. Pemuda berambut gimbal sepinggang itu tidak senang ditantang dengan pertanyaan begitu.
"Tentu, tentu! Kita tidak dapat membiarkan binatang buas itu berkeliaran, dan memakan korban terus-menerus!" tanggapnya dengan nada berapi-api. "Tapi, kita tidak boleh bertindak gegabah. Kalau tindakan kita tanpa dilandasi rencana terlebih dahulu, itu sama saja dengan mengirim nyawa!"
"Betul, Ketua Ta. Saya sependapat dengan Anda. Kita harus bersabar sebelum melakukan gerakan penghancuran," timpal salah seorang yang berdiri pada jejeran baris belakang. Ia tampak lebih dewasa meskipun usianya masih sebaya dengan pemuda-pemuda yang hadir dalam pasamuan di rumah separo rubuh itu.
Ta Yun mengangguk-angguk.
Melekuk senyumnya karena berhasil menghimpun kekuatan jelata di daerah pedalaman dan dusun-dusun. Juga beberapa ratus anggota keluarga miskin perkotaan untuk melakukan makar terhadap Kekaisaran Yuan.
Siasatnya berhasil.
Ia berhasil menebarkan simpati pada klan Perkumpulan Naga Muda - sebuah klan hasil bentukannya selama di Ibukota Da-du bersama Jenderal Shan-Yu yang berkendali di belakang layar. Ia pun berhasil menumbuhkan sikap antipati pada Kekaisaran Yuan yang dianggap tiran dan bengis. Kasus tragis pembunuhan korban-korban pedofilia gadis cilik yang dilakukan Pangeran Yuan Ren Long telah membakar amarah penduduk, dan hal itu mengandili bergabungnya mereka di Perkumpulan Naga Muda.
Perkumpulan Naga Muda memang merupakan kendaraan politik Ta Yun dan Jenderal Shan-Yu untuk membunuh Kaisar Yuan Ren Zhan. Klan tersebut juga setali tiga uang dengan Kelompok Topeng Hitam pimpinan Han Chen Tjing - salah seorang tokoh jelata paling berpengaruh di suku Han. Setelah pasukan pemberontak Han gagal menaklukkan Ibukota Da-du dan terpukul mundur oleh prajurit Yuan pimpinan Fa Mulan di Tung Shao, mereka akhirnya menyusun strategi lain untuk melenyapkan Sang Kaisar.
Maka dibentuklah sebuah klan yang bergerak klandestin. Menyusup di Ibukota Da-du. Mengikuti Festival Barongsai sebagai salah satu peserta barongsai. Dan menyusun rencana utama untuk membunuh pemimpin tertinggi Tionggoan.
Perkumpulan Naga Muda merupakan klan kolaborasi antara rakyat jelata dan perompak ganas Kelompok Topeng Hitam pimpinan Han Chen Tjing. Anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda kampung yang sigap dan bersemangat. Mereka bergabung dengan sukarela tanpa dipaksa.
Ta Yun membakar hati mereka dengan memaparkan kenyataan-kenyataan miris yang telah dilakukan oleh salah satu keturunan Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia juga menebarkan empati kala menyumbangkan dan menyisihkan sejumlah uang klan Perkumpulan Naga Muda untuk biaya pemakaman jasad-jasad gadis cilik yang tewas di tangan seorang pedofilia imbesil, sehingga rakyat jelata bersimpati pada klan tersebut.
Biaya penguburan tersebut merupakan sumbangsih yang sangat besar bagi rakyat miskin di pedesaan. Pemakaman yang layak merupakan upaya terakhir keluarga korban untuk menghormati almarhumah gadis-gadis cilik tak berdosa tersebut. Dalam setiap acara pemakaman, Ta Yun selalu hadir. Di sana ia kembali membakar rakyat dengan propaganda antipemerintah. Juga sebagai ajang penerimaan anggota baru klan Perkumpulan Naga Muda.
Ta Yun sangat cerdik memanfaatkan situasi.
Ia memancing di air keruh. Ia tahu, jasus atau prajurit intelijen pemerintah sibuk mengawasi para peserta Festival Barongsai sehingga tidak menyadari kehadiran klan klandestin baru yang sudah mengakar di Ibukota Da-du. Mereka juga lebih memusatkan perhatian pada pengawasan di daerah perbatasan saja. Jadi untuk sementara ia dan klan Perkumpulan Naga Muda berada pada posisi yang sangat aman. Selain itu ia memilih markas di sudut kota, di sebuah rumah tua tak berpenghuni. Jauh dari pikuk dan aktivitas urban masyarakat perkotaan.
"Ketua Ta, saya dengar kabar kalau Pangeran Yuan Ren Long sering main ke rumah bordil 'Teratai Emas', tidak jauh dari Istana Da-du," celetuk seorang pemuda bertubuh kurus dengan penampilan tidak terurus. Bajunya tidak terkancing sehingga dada tipisnya tampak menonjolkan tulang rusuknya yang serupa jeroang. "Dari sanalah dia menjemput anak-anak perempuan itu untuk kemudian diboyong ke Istana Da-du."
"Saya sudah tahu itu, A Yong," kata Ta Yun, melirik sekilas ke pemuda ringkih dan kotor itu, lalu menatap bergantian pemuda lain yang berada di deretan terdepan darinya. "Setiap minggu dia pasti ke sana. Rupanya, mucikari pemilik suhian itulah yang menjadi perantara. Dia menyuplai gadis-gadis cilik itu kepada Pangeran Yuan Ren Long. Perbuatan itu sungguh keterlaluan. Tapi, jangan khawatir, Saudara-Saudara. Saya sudah menugaskan beberapa orang mata-mata untuk mengetahui gerakan perempuan jalang itu. Juga dari mana dia mendapatkan gadis-gadis cilik tersebut. Kalau tertangkap tangan, saya pasti akan membunuh dia di tempat!"
Semua pemuda yang hadir di dalam pasamuan tersebut tampak menganggukkan kepala. Beberapa di antara mereka manggut-manggut puas atas jawaban Ta Yun yang akan menyikapi secara tegas tindakan tak berprikemanusiaan Pangeran Yuan Ren Long.
"Saya dengar juga, hari ini merupakan jadwal Pangeran Berengsek itu mengunjungi rumah bordil 'Teratai Emas', Ketua Ta," timpal pemuda dekil itu kembali.
"Ya, saya tahu," angguk Ta Yun, sengaja mengeraskan suaranya ketika mengatakan 'tahu' tadi. Agaknya ia ingin menegaskan posisi dirinya yang serbatahu kepada anggota-anggota bawahannya, buah dari kadar solipsismenya yang berlebihan. "Tapi, kita tidak dapat sembarang bertindak. Di sana, Pangeran Trocoh itu dikawal oleh adikong-adikong tangguh. Lagipula, ada beberapa puluh prajurit yang menjaga pintu gerbang masuk suhian. Jadi, tidak mudah menyusup ke sana tanpa perhitungan yang matang dan cermat."
Pemuda ceking yang bernama A Yong itu menyanggah. "Tapi, bukankah kita dapat menyamar sebagai tamu suhian atau apalah, Ketua Ta?"
"Tidak gampang. Tetamu dan pelanggan tetap yang hadir di sana saja diusir jika Pangeran Yuan Ren Long hadir di sana. Mereka baru dapat berkunjung lagi saat Pangeran Busuk itu meninggalkan suhian. Semua minuman ataupun makanan untuk Pangeran Bejat itu diawasi ekstra ketat. Adikong-adikongnya akan mencicipi terlebih dahulu minuman ataupun makanan yang disodorkan kepadanya sebelum si Cabul itu sendiri menikmati minuman dan makanan itu," urai Ta Yun, melipat tangannya di dada dengan sikap tengil.
"Maaf, Ketua Ta," sergah seorang pemuda yang berwajah kasar dan bercambang tadi. "Kalau begitu, selamanya kita tidak akan pernah dapat membunuh Pangeran Berengsek itu! Bukankah hari ini merupakan saat yang tepat untuk membunuh Laknat Jalang pembunuh anak-anak perempuan itu?! Kalau Anda mengulur-ulur waktu, saya khawatir Pangeran Berengsek itu akan menjadi-jadi, merajalela membunuh anak-anak gadis yang tidak berdosa. Dan, kita tidak pernah akan dapat membunuhnya jika selalu diliputi rasa cemas dan takut!"
Emosi Ta Yun mengubun kembali.
Digabruknya meja usang di depannya sampai papan meja tersebut patah. Partikel debu tampak mengepul seperti asap dan menabir di depan wajahnya yang memerah.
"Saya tidak takut! Saya tidak takut! Dia pasti mati di tangan saya!" teriak Ta Yun dengan suara mengideofon. "Tidak ada yang akan lolos dari tangan saya! Kalian pikir saya tidak geram apa?! Kalian pikir saya tidak peduli terhadap tindakan brutal Pangeran Busuk itu?! Saya ingin membunuhnya! Saya ingin mencincang-cincang dia! Tapi, belum saatnya! Belum saatnya!"
Peserta pasamuan diam membisu.
Hanya terdengar derak papan meja yang patah di akhir guntur kalimatnya tadi. Sekarang tak ada yang berani bicara atau menyanggah. Darah muda pemimpin mereka itu kerap meledak-ledak seperti kepundan yang setiap dapat memuntahkan lahar amarah. Dan ia tidak akan segan-segan mendepak anggota-anggotanya yang membangkang, tidak setuju dengan jalan pikirannya.
Ambang sunyi tidak berlangsung lama. Ada suara gabrukan pada daun pintu usang di samping tempat pasamuan berlangsung. Seorang pemuda berwajah persegi dengan hidung bercupa besar seperti cingur babi masuk dengan napas terengah-engah di tengah daun pintu yang terpentang.
"Ce-celaka, Ketua Ta!" sahutnya keras-keras, masuk di ruangan pasamuan.
Ta Yun mencodakkan kepalanya setelah menunduk beberapa saat lamanya tadi, menatap repihan papan kayu yang patah oleh gabrukan tinjunya tadi. Disambutnya pemuda yang berbaju kumal dan penuh debu itu.
"Ada apa, A Seng?!" tanya Ta Yun tegas dan berwibawa.
Pemuda yang bernama A Seng itu menghela napas panjang, berusaha menormalkan suaranya yang menggemeletar. Diruyupkannya mata sesaat sebelum menjawab.
"Chiang Kok dan Ma Wing menerobos masuk ke dalam rumah bordil 'Melati Emas'. Mereka berdua bermaksud membunuh Pangeran Yuan Ren Long yang hari ini bertandang ke sana!"
Rahang Ta Yun mengeras.
Gerahamnya menggemeletuk sehingga terdengar seperti derak sisa pada bilah papan meja usang yang patah tadi. Pemuda-pemuda lainnya semakin mendekat, seperti semut yang menyerubungi gula.
"Kurang ajar!" tukas Ta Yun, meletupkan amarahnya yang belum menyurut. "Mereka berdua itu sok jagoan! Heh, dipikirnya membunuh Pangeran Busuk itu semudah membunuh anjing buluk apa?!"
"La-lalu, kita harus berbuat apa sekarang, Ketua Ta?!" tanya A Seng gugup. Tubuhnya masih menggelemetar hebat meski sudah diwajarkannya dengan bersikap tegar.
"Mereka berdua keras kepala!" Ta Yun mengumpat seperti menggumam, otot lehernya mengejang membentuk galur-galur hijau serupa sulur daun. "Padahal, sudah berkali-kali saya menasehati kalau tindakan kita tidak boleh dilakukan tanpa rencana. Sekarang, mereka malah mengantar nyawa ke hadapan Pangeran Berengsek itu!"
"Tunggu apa lagi?!" seru Ta Yun mengambil ancang-ancang untuk lari membantu kedua anggotanya yang nekat ingin membunuh Pangeran Yuan Ren Long. "Kita bebaskan mereka dari suhian itu. Kenakan cadar atau topeng hitam kita. Jangan sampai identitas diri kita terbongkar. Cepat!"
Ta Yun melompat segesit kijang. Disambarnya senjata trisulanya yang berdiri vertikal menyandar pada dinding kusam di belakangnya. Trisula merupakan senjata andalannya. Tombak panjang bermata tiga itu telah banyak memakan korban di medan laga. Masih setia menyertainya dalam serentetan pertempuran. Pemuda yang lainnya ikut setelah mengambil senjata masing-masing. Beberapa puluh pemuda itu menggunakan pedang. Beberapa lagi tombak. Juga golok maupun gada dan kapak.
Mereka menghambur keluar dari markas dengan mengenakan pakaian hitam-hitam. Beberapa pemuda langsung melompat di atas kuda masing-masing, dan menggebah kuda tersebut dengan sepasang tumit sehingga binatang bernapas kuat itu lari seperti kemukus. Malam gulita jadi riuh oleh derap-derap yang semakin menderas.
Ta Yun mengekor di belakang.
Kudanya melangkah lambat namun pasti.


Bao Ling
Kisruh Kota pada Suatu Malam

***

Tidak ada mimik yang lebih jijik daripada melihat wajah mesum puak Istana Da-du itu yang, sepanjang hari hidup berhura-hura menghamburkan dirham untuk mengeksplotasi imajinasi seksualnya. Lebih kotor ketimbang basir sperma kering yang menempel pada repih himen dalam vagina korbannya, serta sisa tinja bercampur nanah darah yang keluar dari anus jasad-jasad gadis cilik yang telah diperkosa lantas dibunuhnya itu. Lebih bau dan busuk dibandingkan liang vagina dan anus jasad-jasad gadis cilik tersebut yang boyak membusuk dirancap batang penis serupa jagung. Juga benda-benda tumpul tanpa nyawa lainnya, yang mengsanggamai gadis-gadis cilik itu sehingga kehilangan nyawa, dan menjadi kadaver untuk disanggamai kembali oleh makhluk imbesil dari Istana Da-du tersebut.
Lalu pada akhirnya dendam telah membawa dua orang pemuda ke suhian ini. Dan saat ini pula tengah bergulat melawan pengawal-pengawal tangguh Istana Da-du.
Mereka belingsatan seperti sepasang kelelawar yang siap mencabik-cabik mangsanya. Namun keduanya tak berdaya, sebab angin menerbangkan mereka pada arah yang salah, di mana sekumpulan elang siap mematuk dengan paruh dan cakarnya yang tajam.
Tombak dan pedang diarahkan pada tubuh rapuh mereka, seperti langkisau yang datang tiba-tiba dan tanpa henti. Tetapi kedua penyusup dari klan Perkumpulan Naga Muda itu masih gesit berkelit. Mereka sudah terperangkap. Dan hanya menggunakan sisa-sisa tenaga mereka untuk bertahan.
"Pangeran Berengsek!" Ma Wing berteriak, berupaya membakar hatinya yang menciut karena terdesak oleh pengawal-pengawal tangguh Pangeran Yuan Ren Long yang ternyata memiliki ilmu silat tinggi. "Kami bunuh kamu!"
Wajah Pangeran Yuan Ren Long yang pucat semakin melesi.
Rileksisasi rutinnya terganggu. Ia hanya terpaku duduk di atas ranjangnya tanpa bicara apa-apa. Culim gading mariyuananya tergeletak di papan loteng saat jatuh dari tangannya karena shock. Sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan mendadak, upaya pembunuhan dirinya dari dua orang sinting yang nekat menerobos masuk pagar betis prajurit di dalam suhian.
Gadis-gadis penghibur menjerit-jerit ketakutan.
Suasana suhian melantak oleh ulah dua pemuda yang menerobos masuk hendak membunuh tamu agung Pangeran Yuan Ren Long yang bertandang hari ini. Tidak ada gelak tawa para gadis yang mengundang birahi untuk diayuti para lelaki hidung belang. Hasrat syahwat itu mendadak menyurut seperti inereksi pada penis. Semuanya berubah menjadi ketakutan.
Sementara itu di luar orang-orang sudah berkerumun di pinggir jalan, keluar dari hunian mereka masing-masing. Menyaksikan keributan yang mendadak meriuh di dalam suhian. Riuh tak galib yang biasanya berasal dari tetamu yang birahi seperti bulbul di bubungan, mengoak-ngoak berisik meruyak atmosfir malam mencari pasangan betinanya.
"Ayo, keluar kamu pengecut! Tahunya hanya membunuh anak-anak perempuan!" timpal Chiang Kok, menjerit dengan suara memarau. "Kalau berani hadapi kami!"
Namun, upaya mereka akhirnya kandas di tengah pertarungan. Emosi dan amarah telah mencelakakan diri mereka sendiri. Upaya balas dendam tanpa rencana malah menghancurkan raga mereka. Ajal kini tinggal sejengkal. Kawruh yang sebatas telah dimatikan oleh bahang yang menggeliat liar di ubun-ubun. Kelinci tak akan pernah menang bila berhadapan langsung dengan harimau. Tetapi hal tersebut telah serupa. Pertarungan tidak seimbang itu hanya akan menambah tetesan darah yang sebentar lagi akan mengotori lantai papan suhian.
Sepasang pengawal tangguh Pangeran Yuan Ren Long belum turun tangan. Mereka berdiri dengan sikap santai di depan bingkai pintu Sang Pangeran, dan menyaksikan dari langkan pertarungan hidup-mati yang masih berlangsung di lantai bawah. Mereka memang belum perlu turun membantu sebasung prajurit Yuan yang juga memiliki ilmu silat cukup lumayan tersebut.
Chiang Kok dan Ma Wing memang sudah habis. Hanya roh mereka yang belum enggan berpisah dari badan, dan masih menempel saat cacahan-cacahan pedang dan sodokan-sodokan ujung mata tombak mengiris otot-otot mereka. Satu sabetan pedang prajurit Yuan sudah menembus trabekula lengan Ma Wing. Sementara Chiang Kok sudah tertusuk tombak di bahu sebelah kanannya. Darah sudah mengucur di mana-mana. Namun ia masih melakukan perlawanan sekedar memperpanjang napas yang masih mengembus lewat sepasang cupu di hidungnya.
"Kalian adalah anjing-anjing Yuan!" teriak Ma Wing, menahan rasa sakit yang menggerogoti lengannya yang mengebas karena telah kehilangan banyak darah.
Ia terhuyung dan menyandar pada salah satu dinding suhian. Sebuah pigura prosa beraksara indah terlepas dari dinding oleh oleng punggunggnya yang menggabruk. Pigura itu hancur terinjak-injak bersamaan dengan tumbangnya tubuh ringkih Ma Wing.
Satu tusukan tombak telah memboyak otot perutnya. Memburai sebagian ususnya yang menjuntai keluar seperti trematoda dalam genangan lumpur merah. Kepalanya terantuk di lantai, tepat di samping satin dasar kaligrafi prosa yang sangat indah itu, yang kini lecek dan memburam oleh darah yang berpropulsi dari mulutnya. Matanya menutup sesaat sebelum puisi yang tersalin dalam satin putih itu membayang lalu berangsur melamur dari benak untuk selama-lamanya.

Ke manakah sepasang angsa itu pergi
sementara biru air di Sungai Yangtze
terus mengalir
dan kanopi daun bambu yang mekar di gigir memanggil-manggil

Oh, cintaku
angsa putih nan gemulai
pagi akan bercerita tanpa elegi
dan dendang sukacita
telah ditiupkan para penggembala
lewat serunai bambu kuning
yang melantun tanpa henti
di antara kemuning hamparan lalang

Kemarilah angsa-angsaku
Sebab di sini ada cinta yang platonis

Pemuda itu mengembuskan napasnya yang terakhir dengan wajah separo menyeringai. Seperti tersenyum dan tenang. Mungkin reaksi sakit yang tak tertahankan. Mungkin juga karena dibuai lena estetika yang termaktub dalam lektur prosa itu.
Tetapi ia memang telah binasa. Sungguh-sungguh mati dikoyak oleh tombak dan pedang prajurit-prajurit Yuan serupa taring nan tajam anjing-anjing dan serigala-serigala hutan, sehingga roh badan halus pergi meninggalkan raganya. Lalu roh tersebut akan melayang-layang entah ke mana, dan tak akan pernah kembali pada tubuh kasarnya yang rusak oleh pertempuran barusan.
"Ma Wing!" teriak Chiang Kok saat melihat Ma Wing tergeletak dan terbujur mati di salah satu sudut suhian.
Namun teriakannya terhenti oleh sabetan pedang yang kembali meruyak dadanya. Tubuhnya limbung. Tetapi ia tidak mau terkapar, dan tetap bertahan berdiri meskipun prajurit-prajurit Yuan terus menebas-nebaskan pedang mereka ke punggungnya. Ia mati berdiri dengan pedang yang menyangga tubuhnya. Matanya terbuka. Tidak menutup. Seolah-olah sebuah penegasan bahwa ia tidak pernah kalah dalam pertempuran ini meskipun rohnya telah pula berpulang ke langit, dan Sang Dewa Kematian telah mencatat namanya dalam loh batu sebagai salah satu penghuni akhirat.
Setelah mengetahui kedua penyerang misterius itu tewas di tempat dari kedua pengawal tangguhnya, maka Pangeran Yuan Ren Long memberanikan diri keluar dari kamarnya. Di atas langkan loteng ia melihat ke bawah. Kedua pemuda yang hendak membunuhnya sudah mati dengan tubuh tercabik-cabik. Lalu seperti harimau yang mengaum, ia berteriak seolah mengekspresikan kegembiraannya atas terbunuhnya pemuda-pemuda yang ingin menghabisi nyawanya.
"Cepat panggil Li Chun! Panggil dia menghadap saya, dan penggal kepalanya di hadapan saya!"
Tak lama setelah mengeluarkan perintah dengan nada gusar, mucikari pemilik suhian itu pun terdengar menjerit-jerit ketakutan. Ia meratap seperti seorang ibu yang ditinggal mati anak tunggalnya. Empat orang prajurit Yuan bertubuh besar seketika mematuhi perintah tuannya tersebut. Mereka melangkah dengan sigap ke arah suara tangisan itu.
Li Chun menggigil ketakutan di bawah salah satu meja seperti seekor tikus gurun yang bersembunyi dari puluhan ekor ular kobra yang hendak mematuknya.
Dua orang prajurit Yuan tampak menyeret dengan kasar perempuan bertubuh besar itu supaya keluar dari kolong meja. Masing-masing prajurit Yuan itu memegang satu lengan mucikari suhian tersebut. Dua prajurit lainnya mengikuti dari belakang. Tubuh Li Chun yang bergelambir tampak serupa babi yang mengiuk-ngiuk mencium aroma kematian dari golok penjagal. Ia diseret jauh sampai di tengah ruang. Di sana ia diberdirikan. Setelah tegap berdiri, tungkai kaki dan punggungnya ditendang agar memosisi melutut di hadapan Pangeran Yuan Ren Long, yang berdiri dengan sikap jumawa di atas langkan loteng.
"A-ampun, Yang Mulia! Ampun! Ham-hamba tidak menduga kalau hari ini ada penyusup yang masuk dan hendak membunuh Anda!" sahut Li Chun terbata-bata.
"Alasan mati! Kamu bertanggung jawab atas serangan terhadap saya hari ini! Kamu tidak becus mengawasi tempat ini!" teriak Pangeran Yuan Ren Long sembari berkacak pinggang. "Kamu harus menerima sanksi berat atas upaya pembunuhan diri saya tadi itu!"
Li Chun meraung-raung ketakutan sampai celananya membasah oleh urinnya sendiri. "Ta-tapi Yang Mulia...."
"Prajurit," seru Pangeran Yuan Ren Long tanpa belas kasihan. "Penggal kepalanya!"
Lalu satu sabetan pedang telah memisahkan kepala perempuan itu dari badannya. Kepalanya jatuh menggelicir seperti buah kelapa tua, menggelinding melewati kaki-kaki kursi, dan berhenti kala membentur salah satu kaki meja di sisi dinding. Darah yang mengalir kental dari pangkal lehernya yang terpenggal serupa kuah bubur kacang merah, selazim makanan yang biasa disantap para prajurit Yuan di medan pertempuran.
"Gantung kedua mayat anjing-anjing Han itu di tengah kota!" perintah Pangeran Yuan Ren Long bengis. "Supaya mereka semua tahu, apa akibatnya bila coba-coba melawan saya!"
"Siap, Yang Mulia!" teriak adikong-adikong itu serempak.
Pangeran Yuan Ren Long tertawa terbahak-bahak seperti anak kecil yang asyik dengan sebuah permainan. Lantas, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa, ia kembali masuk ke dalam kamarnya. Berbaring dan melanjutkan memadat.
Para prajurit Yuan segera membersihkan suhian. Lalu mereka menggantung kedua mayat pemuda Han itu di balai kota setelah membuang tubuh dan kepala Li Chun di pinggir hutan. Tempat biasanya mereka membuang mayat-mayat gadis cilik yang telah diperkosa dan dibunuh oleh Pangeran Yuan Ren Long.


Bao Ling
Duhai Sang Jelita

***

Ong Chen Hwa ternganga. Dirinyalah yang pertama-tama melihat dan mendapati kedua mayat sahabatnya itu tergantung di balai kota. Kedua jasad anggota klan Perkumpulan Naga Muda tersebut nyaris tidak berbentuk lagi serupa daging babi asap. Keduanya tergantung dengan tubuh telanjang di dua pilar tiang kayu setinggi lima belas kaki.
Badan mereka tergantung pada temali yang mengikat di pangkal leher. Dan pada masing-masing tubuh yang mulai melebam dan membiru itu ada secarik kain putih yang bertulisan: 'Anjing-anjing Han. Mati serupa bangkai akibat melawan Yuan'. Tergantung di antara selangkangan masing-masing jasad itu. Terikat pada pangkal pelir masing-masing mayat tersebut.
Airmatanya menitik. Kudanya menyampir di samping dinding sebuah rumah tua. Sahabat-sahabatnya yang lain tiba tidak lama setelah ia berusaha ke tempat mayat-mayat itu digantung, di antara luberan manusia yang menyaksikan dari bawah.
Tetapi langkahnya tertahan. Ada tangan tegap yang sigap menghentikan niatnya untuk membebaskan mayat-mayat Chiang Kok dan Ma Wing yang tergantung tidak jauh dari tempatnya berada.
"Jangan gegabah!" teriak seseorang di belakangnya.
Ong Chen Hwa menyahut tanpa memalingkan wajah. Ia sudah tahu si empunya suara. "Tapi, kita tidak dapat membiarkan Pangeran Berengsek itu menginjak-injak harga diri kita sebagai bangsa Han, Ketua Ta!"
Ta Yun mengibaskan tangannya setelah melepas cekalannya pada bahu pemuda bermata bola itu. "Persetan dengan harga diri kalau pada akhirnya kita semua akan mati konyol! Ingat, jangan mengulangi kesalahan Chiang Kok dan Ma Wing!"
"Tapi, saya tidak dapat membiarkan jasad-jasad mereka digantung terus-menerus di atas sana, dan sebentar lagi pasti akan membusuk!"
"Saya juga tidak ingin hal itu terjadi. Tapi kalau kamu maju ke depan, maka kamu akan masuk perangkap mereka. Kamu akan mencelakakan kita semua kalau sampai tertangkap."
"Mati pun saya rela, Ketua Ta!"
"Bukan persoalan mati atau hidup, A Hwa! Tapi, ini menyangkut keselamatan semua anggota klan Perkumpulan Naga Muda. Tahu apa akibatnya kalau kamu tertangkap?! Kamu akan disiksa sampai mengaku dan membeberkan semua nama anggota klan kita. Bukan saja anggota barongsai kita akan dicekal, tapi kita semua juga akan dipenggal!"
"Ini kesalahan kita, Ketua Ta!" seru Ong Chen Hwa menentang. "Kita terlalu lamban menyelamatkan mereka!"
Ta Yun mengepalkan tangannya. "Bukan kesalahan kita! Semua itu merupakan kesalahan mereka. Chiang Kok dan Ma Wing-lah bertindak tanpa perhitungan. Mereka tidak pernah berkonsultasi kepada klan Perkumpulan Naga Muda kalau akan menyerang Pangeran Yuan Ren Long di rumah bordil 'Melati Emas' hari ini!"
"Tapi...."
"Bersabarlah, A Hwa," hibur Ta Yun, menepuk-nepuk pundak salah satu anggotanya. "Saat ini kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka. Menjelang Festival Barongsai, prajurit Yuan memang telah disiagakan untuk berjaga-jaga. Mereka terlalu banyak dan tampak berkeliaran di mana-mana. Rupanya kita harus menyusun siasat baru untuk dapat membunuh Pangeran Berengsek itu. Chiang Kok dan Ma Wing merupakan tumbal. Mudah-mudahan kesalahan yang menyebabkan kematian mereka, dapat kita tebus dengan memenggal kepala Pangeran Berengsek itu di kemudian hari."
Ong Chen Hwa mengangguk mafhum. Emosinya sedikit mereda. Benaknya yang tadi dipenuhi amarah berangsur menjernih. Apa yang disampaikan pemimpin klan Perkumpulan Naga Muda tersebut memang benar. Mereka tidak boleh bertindak sembarangan atau kematian dan nyawa yang sia-sia menjadi taruhannya.
Ia akhirnya mengikuti nasehat Ta Yun untuk tidak bertindak gegabah, mengurungkan niatnya yang semula hendak menerobos kerumunan massa, lalu melawan puluhan prajurit Yuan yang berjaga-jaga di bawah pilar-pilar tiang di mana mayat-mayat Chiang Kok dan Ma Wing tergantung. Mereka semua akhirnya mundur kembali ke markas. Dan lebih memilih membiarkan jasad-jasad sahabat mereka itu tetap tergantung dan membusuk sampai beberapa hari ketimbang terpancing masuk ke perangkap musuh.
Yuan masih terlalu kuat dan tangguh untuk dilawan.


Fa Mulan
Refleksi Satria pada Padang Tandus

***

Fa Mulan mengendap dari balik serumpun bambu.
Daerah itu memang sudah dipenuhi oleh pasukan Mongol. Seratus kaki dari tempatnya mengintai memang telah terpancang tenda-tenda serupa cendawan raksasa. Di mana-mana ada lidah unggun yang meranggas, sesekali terdengar suara menggemeretak serta menebarkan bau abnus gosong yang menusuk-nusuk hidung.
Angin yang berembus semilir menyertakan sisa aroma khas kambing guling Mongol. Bau itu menyeruak bersama wangi arak dan dadih kuda, dibawa sang bayu sampai di ujung hidungnya. Fa Mulan menyandarkan bahunya di salah satu batang bambu. Duduk menjinjit sembari mengamati suasana barak musuh dengan mata mawas. Dadanya berdegup kencang. Armada besar berkuda itu jauh lebih berbahaya daripada nasar-nasar yang menghitam di langit. Tionggoan sesungguhnya di ambang bahaya.
Lima puluh kaki bukanlah jarak yang aman untuk mengamati gerak-gerik kaum nomad itu. Sebab pada jarak itulah beberapa puluh prajurit Mongol tengah meronda, hilir-mudik sepanjang barak menjaga keamanan tenda-tenda dan pasukan yang sedang beristirahat. Namun Fa Mulan memberanikan dirinya mendekat. Ia ingin mendeteksi seberapa besar kekuatan armada perang Mongol.
Diseretnya langkah kakinya dengan gerak hati-hati. Sebab reranting dan dedaunan yang mati mengerontang di tanah merupakan musuh tak bernyawa. Setiap bunyi derak pada tanah merupakan awal petaka. Maka dihindarinya bahaya dengan berjalan jinjit.
Dilewatinya beberapa puluh jajaran batang bambu yang jenjang merimbun dan bisu di pangkal hutan bambu, lalu menelusup di bahu tanah lapang sehingga berangsur dapat menangkap dengan jelas barak Mongol. Masih awas pula matanya yang menyipit menangkap beberapa pasukan berkulit legam matang tengah duduk bersila serta bertepuk-tepuk tangan di sekeliling sebuah lidah unggun. Menyuarakan himne bariton yang tak ia pahami maknanya.
Tetapi rupanya gulita malam belum pekat benar menangkup seluruh tanah dari terang basir gemintang. Juga cahaya yang meredup dari bulan separo di langit tengah. Sehingga sosoknya yang kamuflase oleh balutan satin hitam masih tampak di mata para prajurit jaga Mongol.
"Hei, siapa itu?!" teriak salah seorang prajurit jaga.
"Eh, dia lari masuk ke dalam hutan bambu," timpal prajurit jaga yang lainnya dengan suara lantang.
Fa Mulan terkesiap.
Teriakan salah seorang prajurit jaga Mongol itu menggugah malam yang senyap sehingga riuh mengundang perhatian seperti koak bulbul yang garing. Pasukan Mongol yang sedang mengaso sontak keluar beramai-ramai.
Lalu Fa Mulan seperti terbang, menjauhi barak musuh yang kini sudah menyemut dengan pasukan Mongol. Ia melompat seperti katak, dari satu dahan bambu ke dahan bambu berikutnya. Ratusan pasukan Mongol mengejarnya dengan golok dan tombak yang terhunus hendak mencacah tubuhnya.
"Jangan lari!" teriak prajurit jaga yang lainnya sembari terus mengejar Fa Mulan.
Memang tidak ada satu pun prajurit Mongol yang dapat menandingi kecepatan dan lesatan larinya. Dengan gingkang dan Taichi Chuan yang dipelajarinya semasa kanak-kanak dulu, kemampuan beladirinya memang jauh di atas rata-rata para prajurit Mongol itu.
Tetapi masalahnya ia tidak ingin takabur.
Sehebat apapun seseorang pastilah ia memiliki kelemahan. Apalagi dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan seperti sekarang. Seekor harimau akan takluk bila menghadapai jutaan koloni semut. Subtil itu yang sering didengung-dengungkan para pebijak di dalam dunia persilatan. Dan ia mematuhi semua itu demi keselamatan dirinya sendiri.
Fa Mulan masih terus berlari di antara dahan-dahan batang bambu.
Pasukan Mongol yang mengejarnya hanya dapat mengerubung, lalu menyebar dalam kelompok-kelompok kecil dan menutup beberapa jalan keluar dari hutan bambu tersebut sehingga mencegah upaya kabur buronan mereka.
Menyadari jalan keluar dari hutan bambu telah ditutup, Fa Mulan memilih bersembunyi di atas salah satu dahan batang bambu. Di bawahnya tampak sepuluh orang prajurit Mongol berdadap sedang menebas-nebas golok mereka ke segala arah di balik rerumpun gulma dan dedaunan bambu.
Seorang prajurit mengarahkan sinar lentera yang dibawanya ke segala arah. Tetapi lentera kecil mereka tidak cukup kuat menyinari area persembunyiannya sehingga untuk beberapa saat ia dapat bernapas lega, dan menunggu sampai prajurit-prajurit Mongol itu menjauh agar ia dapat mengendap kabur meninggalkan daerah musuh.
"Sialan! Orang itu kabur seperti menghilang tiba-tiba," umpat seorang prajurit Mongol berstola kelabu. "Pasti bukan orang biasa!"
"Mungkin. Tapi siapa, ya?" tanya seorang prajurit lainnya dengan nada penasaran.
"Barangkali mata-mata musuh."
"Ya, jelas mata-mata. Kalau bukan, mana mungkin orang tersebut mengendap-endap seperti maling."
"Ah, jangan-jangan kamu tadi salah lihat."
"Tapi, saya lihat seperti orang."
"Jangan-jangan musang atau rusa."
"Entahlah."
"Hah, atau jangan-jangan hantu?!"
"Hus, jangan sembarangan ngomong! Ini hutan bambu, tahu?!"
"Habis, gelap. Mana saya tahu siapa yang tampak mengendap-endap tadi. Ya, sudah. Coba kita cari sekali lagi, mengitari daerah sebelah barat."
"Ayo."
Kesepuluh prajurit tersebut meninggalkan area persembunyiannya. Fa Mulan melompat turun saat sinar lentera telah melamur dan berangsur menghilang dari pandangannya, berganti dengan cahaya patah-patah dari bulan separo yang suram, yang menelusup di antara celah-celah tipis rimbun dedaunan. Namun ia tidak dapat sertamerta keluar dari jalan masuk tadi lagi. Sebab di sana telah tampak sepuluh prajurit Mongol lain yang mementang jalan, yang juga tengah mencari-carinya.
Untuk dapat keluar dari hutan bambu itu maka tidak ada cara lain yang dapat ditempuh selain bertarung dengan mereka. Tetapi Fa Mulan masih menimbang-nimbang. Barangkali tindakannya itu akan memancing amarah panglima perang Mongol, dan mempercepat penyerangan mereka ke Tionggoan.
Lalu akhirnya ia masih harus menunggu sampai prajurit-prajurit Mongol tersebut berlalu, dan membiarkan dirinya tetap terkurung di dalam hutan bambu dekat barak kaum nomad Mongol tersebut. Tetapi ia tersentak ketika dilihatnya prajurit-prajurit Mongol itu mengarah ke arah utara hutan bambu. Berjalan menjauhi dirinya seiring derik jangkrik di sela-sela gulma.
Napasnya tertahan.
Langkah-langkah para prajurit yang menirus dari matanya lebih menakutkan ketimbang klaustrofobia yang menghinggapi benak setiap manusia. Digigitnya bibir. Ia terlalu ceroboh meninggalkan Khan tidak terlalu jauh dari hutan bambu ini. Ia terlalu gegabah menyertakan Khan ke arena tempur. Seharusnya ia sudah dapat menerka hal terburuk yang akan dialami oleh kuda kesayangannya itu. Tetapi ia terlalu percaya diri dan terlalu berani memata-matai pihak Mongol sampai ke barak mereka seorang diri. Padahal Shang Weng sudah mati-matian menahannya di pos pengawasan binara Tembok Besar. Ia memang terlalu keras kepala.
Sepasang kakinya melemas.
Ia merosot bertekuk lutut di tanah, memegang sebatang bambu menahan limbung tubuhnya. Restan ketakutan masih membayang di benaknya.
Oh, Khan yang malang! pekiknya dalam hati. Semoga Dewata melindungi Khan!
Sungguh.
Disesalinya keputusannya yang membahang. Patriotisme memang akan terasa sia-sia bila dilakukan tanpa kontemplasi. Ia telah bertindak salah. Kini ia terjebak di sarang musuh. Dan baru sekali ini merasakan ketakutan yang luar biasa. Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang amat dicintainya sejak kanak-kanak dulu.
Khan belahan jiwanya!
"Hei, kuda siapa ini?!"
Tubuh Fa Mulan menegak.
Telinganya mendengung seolah-olah dikitari ribuan tawon. Suara bariton seorang prajurit yang menyapu keheningan hutan bambu menggigilkan tubuhnya. Ia berdiri dari berlutut. Respirasinya mengembang tak wajar. Jantungnya berdetak seperti tabuh nekara. Memukul-mukul sampai dinding dadanya seakan-akan hendak pecah.
Khan tidak boleh mati! jeritnya dalam hati.
Lalu ia keluar dari tempat persembunyiannya, hendak menyelamatkan kuda hitam kesayangannya tersebut. Tetapi langkahnya tertahan saat tumitnya terangkat sejengkal dari tanah. Lompatan gingkang nya gagal oleh sebuah cekalan pada bahunya. Ada sebuah cakar berlengan kokoh yang menariknya kembali turun ke tanah.
Fa Mulan sontak menebas si Pencekal bahunya itu dengan pukulan telapak begitu kakinya menjejaki tanah. Ia memukul mengikuti gasingan tubuhnya, dari arah samping ke belakang punggung badan. Namun orang itu mengelit dinamis dengan mengayang seperti batang bambu yang menyusur tanah ditiup angin lantas kembali menegak dengan tubuh tegap. Cacah telapak tangannya gagal menebas kepala orang yang berbadan proporsional itu. Rupanya ia berhadapan dengan seseorang yang memiliki ilmu silat tinggi.
Orang itu pasti bukan prajurit biasa, pikir Fa Mulan.
Menyadari tebasan telapak tangannya hanya menerpa angin, Fa Mulan mulai melancarkan serangan yang lebih dahsyat. Ia harus segera melumpuhkan orang itu agar dapat menolong Khan. Ia langsung menggunakan jurus Telapak Fa-nya, salah satu jurus andalan keluarganya para pemarga Fa.
Pemuda yang menghentikan langkahnya untuk menolong Khan tadi juga mengambil ancang-ancang menyambut serangan Fa Mulan. Ia mengulurkan tangan kirinya ke depan, menelapak dan lurus sejajar dengan wajahnya yang menggelap karena gulita. Sementara tangan kanannya mengepal nyaris menempel di samping pipinya membentuk jurus serupa pedanuh dengan sepasang kaki yang membentuk kuda-kuda.
Tidak lama kemudian Fa Mulan sudah melesat cepat seperti anak panah yang terlontar dari busur. Dengan menghimpun seluruh tenaga ke sepasang telapak tangannya, ia mulai melakukan tebasan-tebasan ke titik mematikan dari tubuh pemuda itu. Ia menusuk-nusukkan telapaknya ke arah bagian ulu hati pemuda itu. Satu titik lemah yang paling rentan dan mematikan.
Namun pemuda itu terlalu tangguh untuk ditaklukkan meskipun Fa Mulan sudah menggunakan jurus-jurus mautnya. Kali ini ia serius ingin menghabisi pemuda itu. Ia tidak ingin membuang-buang waktu bertarung dengan kungfu tingkat dasar hanya untuk melumpuhkan.
Khan dalam bahaya besar.
Ia tidak ingin kuda belahan jiwanya itu terbantai oleh prajurit jaga Mongol. Itulah yang membahangkan amarahnya, dan ingin segera mengakhiri pertarungan dengan menggunakan jurus pamungkas. Tetapi kali ini lawannya bukan keroco, orang yang memiliki ilmu silat rendah. Pemuda itu tidak dapat diremehkan. Semakin kalap ia melancarkan pukulan, ia malah terdesak oleh tangkisan-tangkisan efektif pemuda itu yang berbalik dan berubah menjadi serangan balasan.
Jurus Telapak Fa yang digunakannya ternyata belum dapat melumpuhkan pemuda itu. Beberapa kali telapak tangannya membentur pepohonan, dan hanya menyisakan ngilu di sekujur lengannya. Sedikit frustasi, ia langsung menggunakan jurus andalannya yang lain, Tinju Bunga Matahari.
Jurus yang digunakannya tersebut lebih lembut ketimbang Telapak Fa. Jurusnya kali ini pun lebih akurat karena tidak semata-mata mengandalkan telapak tangan dan lengan sebagai penebas serta pemukul, tetapi lebih variatif karena jurusnya kali ini ditunjang dengan tendangan-tendangan yang meliuk.
Fa Mulan balik menyerang.
Ia sedikit di atas angin. Pemuda itu terundur beberapa langkah ke belakang. Ia kesulitan menangkis tendangan Fa Mulan yang berputar-putar di udara, dan sesekali mencangkul ke arah kepalanya. Tinju kepalan tangannya yang keras dan bertubi-tubi pun dapat ditepis oleh Fa Mulan dengan taktis. Jurus yang diilhami dari geletar dan kedinamisan bunga matahari yang diciptakannya tersebut memang menyulitkan pemuda itu. Beberapa kali tinjunya itu terperangkap ke dalam jemari tangan Fa Mulan, lalu selang berikutnya kepalan tangannya yang meninju itu seperti terbelit oleh tangan Fa Mulan.
Dan ketika tubuh pemuda itu terentak maju oleh tarikan tangan Fa Mulan, maka seketika pula itu tangan Fa Mulan yang lainnya segera menumbuk dadanya. Pemuda itu terempas, terjerembab di tanah. Tetapi ia tidak ambruk. Tubuhnya yang tegap segera bangkit setelah jatuh.
Lalu ketika berhadap-hadapan saat masing-masing mengambil posisi kuda-kuda, Fa Mulan baru dapat menangkap jelas wajah pemuda itu. Sertamerta mulutnya ternganga. Sama sekali tidak menyangka dapat bertemu kembali dengan pemuda yang pernah bertarung dengannya beberapa bulan lalu.
"Nona Fa?!" Ada teriakan bernada pekik mendahului sebelum Fa Mulan membuka pelepah bibirnya.
Fa Mulan mengernyitkan keningnya. "Pendekar Kao?!"
"Kenapa Anda dapat kemari, Nona Fa?!" tanya pemuda yang bernama Kao Ching itu dengan nada heran.
"Saya...."
Kao Ching memintas. "Hei, sebaiknya kita tidak bicara di sini. Saya khawatir pasukan Mongol akan menemukan Anda. Mudah-mudahan mereka tidak mendengar suara pertarungan kita barusan."
"Ta-tapi, Khan...."
"Khan? Siapa dia?"
"Nama kuda saya. Saya harus menyelamatkan kuda saya itu!"
Kao Ching kembali menarik bahu Fa Mulan. "Jangan! Jangan ke sana. Berbahaya. Nona Fa pasti akan tertangkap kalau ke sana. Di sana banyak prajurit Mongol."
"Ta-tapi kuda saya...."
"Jangan khawatir. Orang Mongol sangat mendewakan kuda. Mereka tidak akan membunuh kuda Anda, Nona Fa."
"Tapi, Khan pasti...."
"Tidak usah cemas begitu, Nona Fa. Kuda Anda pasti dibawa ke tenda istal. Saya janji akan membebaskan kuda Anda setelah diri Anda sendiri selamat. Saya akan menjelaskan kepada prajurit jaga bahwa, kuda tersebut merupakan kuda saya yang tersesat di dekat barak, sehingga mereka tidak akan curiga kalau kuda tersebut adalah milik jasus Yuan. Sekarang, cepat sembunyi sebelum pasukan Mongol menemukan Anda di sini. Untuk sementara waktu, Anda dapat bersembunyi dengan aman di tempat saya di sebelah timur dalam hutan bambu ini. Setelah menginap sampai malam ini, besok fajar Anda sudah dapat kembali ke markas Anda di pos pengawasan Tembok Besar."
Pemuda itu menarik tangan Fa Mulan setengah paksa, meninggalkan area tengah hutan bambu. Ia sedikit lega setelah mendengar janji pemuda berdarah Mongol itu kepadanya. Mereka berdua berjalan dengan langkah separuh mengendap. Cepat. Namun tetap berusaha bersikap mawas menghindari beberapa tumpukan dedaunan yang dapat menyebarkan suara riuh kala terinjak.
Setelah kurang lebih tiga ratus kaki berjalan dari tengah hutan bambu, mereka akhirnya berhenti di depan sebuah gubuk bambu beratap rumbia. Ada gagak yang hinggap dan bertengger di cangkrang bambu samping gubuk sewaktu Kao Ching mendorong pintu. Sesaat sepasang daun pintu tua itu berderit seirama dengan koak parau dari tembolok unggas berbulu hitam tersebut. Suaranya yang sember dan patah-patah seperti mengartikulasi keberadaan baureksa yang bergentayangan di dalam hutan bambu.
Daun pintu serupa jaro itu terpentang.
Di dalam masih menyala sebuah penerangan dari lampu minyak samin. Fa Mulan masuk mengikuti langkah pemuda itu yang sudah menyeret satu bangku bambu untuknya.
"Nona Fa...."
"Panggil nama saya saja, Pendekar Kao," pintas Fa Mulan. "Mulan."
Kao Ching tersenyum. Dua kawah kecil di sudut bibirnya terbentuk natural dan manis. "Baik, Mulan."
"Gubuk ini...."
Kao Ching berdeham. "Gubuk ini dulunya milik sepasang petani rebung. Tapi sejak tanah lapang di seberang hutan bambu ini dijadikan markas oleh pasukan Mongol, mereka pun mengungsi ke tempat lain. Di gubuk inilah saya tinggal, menjauhi pasukan Mongol yang pongah. Saya sengaja tidak tinggal di tenda barak karena saya ingin menghindari peperangan. Rasanya lebih tenang hidup menyendiri di sini. Pikiran dan perasaan saya lebih tenteram. Saya dapat bermeditasi tanpa terganggu oleh hiruk-pikuk militan barak," jelasnya panjang-lebar.
Fa Mulan mengangguk-angguk lalu menyisir suasana di dalam gubuk kecil itu dengan matanya. Tidak ada apa-apa selain sebuah meja dengan sepasang bangku yang terbuat dari bambu. Di sudut kiri gubuk yang berlantai tanah tersebut, terdapat amben bambu beralas majun setinggi keting. Di atas amben terlihat balok bantal dari batang bambu berlapis kain serupa yang sudah sobek dan mengumal. Dinding-dinding gubuk nyaris kosong tak tercantol apa-apa selain sebuah busur bergagang mohair dan karpai anak panah dari kulit rusa.
"Saya prihatin dengan situasi yang semakin menegang di daerah ini. Petani-petani angkat kaki dari hutan bambu ini. Tidak ada ketenangan lagi. Ah, sebagai Mongol saya merasa bersalah karena secara tidak langsung telah mengganggu ketenteraman penduduk di hutan bambu ini."
Fa Mulan mengangguk.
Dilihatnya binar pada sepasang mata bola yang meredup di hadapannya. Penyesalan dan keprihatinan yang tulus bermuasal dari nurani. Pemuda itu memang prajurit resi.
"Maafkan saya," sesal Fa Mulan, menggugah keterdiaman yang mengambang di dalam gubuk. "Saya sudah mengganggu barak Mongol."
"Tugas yang membawa Anda kemari," tukas Kao Ching. "Itu bukan kesalahan Anda pribadi."
"Tapi, saya ada dalam posisi jasus, Pendekar Kao."
"Jasus lawan bukan berarti musuh, apalagi ditimpali dengan sebilah pedang tanpa musabab."
"Seharusnya Anda dapat menangkap saya. Bukannya malah menghindarkan saya dari sergapan pasukan Mongol tersebut."
"Kalau saya ingin menangkap Anda, sedari tadi saat Anda masuk ke hutan bambu ini, Anda pasti sudah saya tangkap basah sedang mengintai barak Mongol."
"Oh, ternyata sudah sedari tadi Anda mengetahui keberadaan saya di hutan bambu ini, Pendekar Kao?"
"Ya. Tapi saya sama sekali tidak menyangka kalau orang yang mengintai barak Mongol itu adalah Anda, Mulan."
"Kenapa Anda tidak menangkap saya?"
"Korelasinya apa?"
"Saya ini pihak yang berseberangan dengan Anda. Saya merupakan musuh Mongol."
"Tapi saya tidak pernah menganggap Anda musuh."
"Kenapa? Bukankah saya ini telah mengintai kekuatan armada perang Mongol, dan suatu ketika pasti akan membocorkan data itu kepada pihak Yuan? Saat ini saya merupakan orang yang paling berbahaya bagi pasukan Mongol."
"Lalu, apakah dengan menangkap Anda akan membawa perubahan signifikan untuk kesejahteraan rakyat Mongol?"
Fa Mulan terkesiap. Dipejamkannya mata meresapi sejenak keteduhan dalam kalimat-kalimat pemuda itu. Masih adakah prajurit resi seperti Kao Ching di dunia ini? batinnya sembari menghela napas panjang kemudian.
"Maksud Anda?" tanyanya, ruap ekspresi yang tidak memerlukan jawaban sebenarnya.
Kao Ching mengangkat kepalanya sejurus. "Seperti yang sudah saya katakan kepada Anda sewaktu kita bertarung di pos pengawasan Tembok Besar dulu, bahwa saya tidak setuju dengan perang. Perang tidak membawa faedah apa-apa bagi Mongol maupun Yuan. Perang adalahlah destruktifitas yang hanya akan menghancurkan kedua belah pihak. Menang jadi arang, dan yang kalah menjadi abu. Jadi, untuk apa saya menangkap Anda?"
"Tapi...."
"Anda memiliki alasan untuk mengintai, seperti yang pernah saya lakukan dulu, memata-matai Yuan dan jasus Mongol sendiri di daerah perbatasan Tembok Besar. Saya yakin Anda tidak bermaksud batil. Saya percaya Anda adalah prajurit darwis. Prajurit sejati yang resi."
"Saya tidak seagung apa yang Anda maksud, Pendekar Kao," tolak Fa Mulan, tersenyum di ujung kalimatnya.
Kao Ching tertawa. "Ya, mungkin tidak serealis itu. Tapi, paling tidak Anda adalah prajurit yang berhati baik."
Fa Mulan turut tertawa. "Kalau baik, saya tidak akan menjadi prajurit wamil. Tapi saya akan menjadi pertapa, mengajarkan kebenaran dan kebajikan kepada semua manusia."
"Mengejawantahkan kebenaran dan kebajikan tidak harus menjadi resi. Sebagai prajurit yang bersenjatakan pedang dan tombak, tidak berarti Anda tak dapat mengaplikasikan kebajikan kepada semua orang. Prajurit yang gagah berani dan penuh dengan pengorbanan merupakan wujud resi dalam bentuk lain. Prajurit yang demikian tidak akan memandang perang sebagai alternatif destruktif untuk mencapai tujuan tahana yang anani. Tapi perang adalah proses akumulasi sebuah cita-cita murni tanpa bahang ambisi. Perang untuk mempertahankan negara dan memperjuangkan rakyat kecil yang tertindas adalah sahih. Bukankah begitu, Mulan?"
Gadis berambut bukung itu mengangguk. "Tapi, sesungguhnya Andalah prajurit resi itu, Pendekar Kao."
Kao Ching menggelengkan kepalanya pelan. "Saya hanya pengelana gurun, Mulan."
"Apa bedanya dengan saya yang prajurit biasa?" aku Fa Mulan merendah sembari menggambarkan maksud kalimatnya dengan mengarahkan telunjuknya ke dadanya.
Mereka terbahak.
Fa Mulan sejenak melupakan harab yang bakal memporak-porandakan dua kubu, Tionggoan dan Mongolia. Juga ripuh tentang Khan, kuda kesayangannya. Ia menghela napas, menghirup udara dingin dari selusupan dedaunan bambu dan gulma yang membawa renyai embun ke cupu hidungnya.
Satu orang prajurit sejati seperti Kao Ching memang tidak terlalu berpengaruh apa-apa terhadap perkembangan kebajikan di tanah babur Tionggoan. Tetapi ia yakin itu adalah awal mula kebajikan yang mulai menunas di tanah kerontang Tionggoan.
Dan hal itu merupakan sebagian kecil dari mimpinya yang sempurna.

***

Nyanyian rerimbun daun bambu yang diembus angin masih menyentuh dinding-dinding gulita. Suara itu menelusup di antara gulma dan reranting. Beberapa partikel itu menghilang ke senyap langit. Lalu sebagian kecil masuk ke dalam gubuk, membelai indera pendengaran kedua anak manusia itu dalam syahdu birama malam.
Kao Ching mengungkap terus-terang. "Beberapa hari lagi pasukan Mongol akan menyerang Yuan, Mulan!"
"Saya sudah tahu dari jasus Yuan yang sudah lama mengintai di daerah ini. Terima kasih atas risalah Anda, Pendekar Kao," tanggap Fa Mulan, memejamkan matanya sesaat.
Kao Ching menarik napas panjang. "Saya prihatin atas rencana penyerangan Mongol itu, Mulan."
"Mungkin semua itu takdir. Saya pun gamang. Pada akhirnya rakyat jugalah yang akan menderita akibat perang. Ah, kita harus bagaimana lagi?!" sahut Fa Mulan resah.
"Yah, saya pun sudah pasrah, Mulan. Saya tidak memiliki legitimasi apa-apa mengurungkan niat ayah angkat saya untuk menyerang Tionggoan. Beliau sudah dibahang ambisi, sebentuk jumawitas setelah berhasil menaklukkan beberapa daerah gegurun dan kota kecil di luar Tionggoan."
"Ya, sudahlah, Pendekar Kao. Maharana tak mungkin dielakkan lagi. Saya hanya bisa berharap semoga semuanya lekas berlalu."
"Ya, semoga semuanya lekas berlalu."
Fa Mulan mengembuskan napas keras.
Ia menundukkan kepala, menatap lantai tanah merah di dalam gubuk sebagai reaksi kerisauannya. Pandangannya mengitari kaki-kaki meja, dan berhenti pada jendul di sisi dalam sepatunya. Tiba-tiba, kelopak matanya meruak. Tertuju fokus pada benda yang menyisip di antara matakaki dan batas sepatu. Ia teringat sesuatu yang sudah lama menyertainya ke mana pun juga.
Belati 'Rajawali Satu'!
"Belati 'Rajawali Satu'!" serunya tanpa sadar.
Kao Ching terperangah. Menatap lamat gadis yang berseru tanpa sadar di hadapannya. Ia seolah mendengar swara dari svargaloka. Matanya berbinar-binar. Permata belahan jiwanya yang hilang karena kecerobohannya telah teridentifikasi melalui gadis yang tengah duduk di hadapannya.
"Belati 'Rajawali Satu'?!" tanyanya mendesis. "Kenapa Anda bisa tahu perihal belati tersebut?!"
Fa Mulan mengeluarkan belati milik Kao Ching yang terjatuh saat bertarung dengannya di pos pengawasan Tembok Besar lalu, yang selalu disimpannya pada sisi sebelah dalam lapiknya.
Kao Ching menahan napas ketika melihat kilau keemasan belati yang beberapa saat menghilang darinya. Ia mengembuskan napas. Sungguh. Dewata seolah mengutus gadis itu untuk menyerahkan kembali belahan jiwanya yang hilang.
"Belati ini milik Anda, Pendekar Kao!" sahut Fa Mulan, menyodorkan belati bersarung emas itu kepada pemiliknya yang semula. "Jatuh tercecer saat kita bertarung dulu. Saya menemukannya, dan selalu membawanya ke mana pun saya pergi. Saya berharap suatu saat belati ini akan kembali kepada pemiliknya. Dan ternyata belati ini memang berjodoh dengan Anda. Nampaknya belati ini sangat berarti buat Anda. Betul, bukan?"
Kao Ching mengangguk dalam-dalam, menerima belati bersarung emas yang diangsurkan Fa Mulan kepadanya di atas meja. Dipandanginya lamat-lamat belati itu setelah berada di tangannya. Membolak-balik mata belati yang tajam serta mengilap tersebut beberapa saat setelah mengeluarkannya dari sarungnya yang estetik.
"Terima kasih, Mulan. Terima kasih karena Anda telah menyimpan belati saya dengan baik. Belati ini merupakan benda wasiat mendiang ayah kandung saya kepada saya. Sebenarnya ada dua. Belati yang lainnya, yang bernama 'Rajawali Dua' telah diberikan kepada Auw Yang Kauw," ucapnya berterima kasih, lalu menjelaskan muasal belatinya tersebut.
"Auw Yang Kauw?" Fa Mulan bertanya penasaran. "Siapa dia, Pendekar Kao?"
Kao Ching memaparkan. "Auw Yang Kauw adalah saudara angkat setaklik saya yang kini tinggal di Kiangsu. Dia sebenarnya totok Mongol. Tapi dia memakai nama Tionggoan seperti saya sejak lahir."
"Saudara angkat setaklik?" tanya Fa Mulan dengan dahi mengerut. "Maksud Anda apa, Pendekar Kao?"
"Kisahnya panjang," jawab Kao Ching. "Ya, kisahnya sangat panjang, kenapa sampai dia memakai nama salah satu suku Han, bahkan berasimilasi dan tinggal di Tionggoan. Bila berjodoh, kita akan bertemu lagi dan, saya akan menceritakan kepada Anda detil kisah masa kecil saya dan Auw Yang Kauw alias Si Putra Matahari itu, Mulan."
Fa Mulan mengangguk.
Memang bukan saat yang tepat bila malam ini ia mendengar kisah silam Kao Ching yang pasti menyimpan banyak kenangan. Sebab malam ini ia merasa lelah.
Sangat lelah.


Kao Ching
Elegi Cinta di antara Maharana

***

"Apakah jabatan itu demikian penting bagimu, A Kauw?"
"Penting atau tidak, saya hanya ingin dihormati oleh semua orang."
"Oh, A Kauw...."
"Sudahlah, Ibu. Saya hanya tidak ingin dihina. Saya ingin mengangkat harkat keluarga kita sehingga tak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat melecehkan kita lagi."
"Ibu tidak menginginkan segala kemuliaan yang menjadi majas dalam benakmu itu! Yang Ibu inginkan hanya satu, yaitu kebahagiaanmu. Bukan kejayaan, bukan kekayaan. Tapi, kebahagiaanmu."
"Sebelum cita-cita saya terwujud, selamanya saya tidak pernah akan bahagia."
"Apalagi yang kurang, A Kauw?! Bukankah A Ling merupakan permata yang tak ternilai di dalam keluarga kita?!"
"Jangan menyebut-nyebut nama cucu Ibu untuk menghalangi niat saya mewujudkan cita-cita saya!"
"Kalau begitu, bagaimana dengan Chang Mei?"
"Perempuan itu pilihan Ibu, bukan pilihan saya. Dan...."
"Ya, Dewata! Kamu sudah keterlaluan, A Kauw! Biar bagaimanapun, dia adalah istrimu."
"Dia istri sekaligus penghalang langkah saya yang Ibu sodorkan kepada saya!"
"Ti-tidak benar...."
"Saya harus pergi!"
Pemuda itu menggabruk sepasang daun pintu sehingga terpelanting dan ruyak. Gubuk yang menaunginya belasan tahun sungguh tak layak lagi. Ia bersumpah untuk berjuang memperbaiki derajat kehidupan mereka.
"Nak, jangan pergi!"
"Saya harus pergi!"
"Ambisi akan menghancurkanmu, A Kauw!"
"Saya sudah tidak tahan hidup menderita, Ibu!"
"Bersabarlah, A Kauw. Tidak selamanya kita hidup menderita begini."
"Sampai kapan kita harus bersabar?!"
"Ta-tapi...."
"Kenapa Ibu selalu melarang saya?! Kenapa Ibu selalu memasung langkah saya?! Kenapa?!"
"Ibu tidak memasungmu, A Kauw. Ibu hanya tidak ingin kamu dihancurkan oleh ambisi dan emosi yang meledak-ledak begitu. Lihat, apa yang telah kamu korbankan demi cita-cita naifmu."
"Saya tidak naif! Saya hanya ingin memperoleh apa yang seharusnya menjadi hak kita! Oh, sungguh bedebah keadaan yang telah mengombang-ambingkan kita ke dalam penderitaan ini!"
"Bukan keadaan yang salah! bukan takdir yang salah! Tidak ada yang salah. Hanya saja kamulah yang telah dibahang ambisi."
"Maaf, saya harus pergi!"
Seketika itu pemuda tersebut meninggalkan kampung halamannya. Tak ada yang dapat menghentikan niatnya menyongsong cita-cita setinggi langit. Tak jua tangisan bayinya yang masih memerah. Juga jeritan pilu perempuan muda yang telah setia menyertainya selama ini.
"Nak, belajarlah kepada kesederhanaan Kao Ching!"
Kao Ching?!
Kepala pemuda bertubuh jangkung itu serasa meledak. Sepasang gerahamnya mengatup. Kenapa semua orang membangga-banggakan saudara setakliknya itu?!
Demi langit dan bumi, ia bersumpah untuk dapat menjadi orang paling terpandang di Tionggoan!


Bao Ling
Makam Tanpa Nisan

***

Setelah memata-matai barak Mongol, Fa Mulan kembali ke pos pengawasan Tembok Besar. Ia menyampaikan kebenaran berita buruk rencana penyerangan pasukan Mongol ke Tionggoan itu kepada Shang Weng yang, sudah bersiaga dengan kekuatan penuh. Armada perang Yuan telah membentengi Tembok Besar, yang merupakan salah satu jalan masuk utama ke Ibukota Da-du.
Sementara itu Kao Ching melarikan diri dari barak Mongol, dan ia kembali ke Kiangsu menemani ibu kandungnya. Ia mengambil keputusan yang kontroversial sesaat sebelum armada perang Mongolia menyerang Tionggoan. Ia mengundurkan diri dari kemiliteran Mongolia setelah menolak melibatkan diri dan memimpin dalam penyerangan besar-besaran pasukan Mongol ke Tionggoan. Ia pun memutuskan hubungan dengan ayah angkatnya - Genghis Khan - untuk selama-lamanya. Dan sejak saat itu Fa Mulan tidak pernah bertemu dengan pemuda berdarah Han-Mongol itu lagi.
Festival Barongsai yang akan diselenggarakan oleh Kaisar Yuan Ren Zhan di Ibukota Da-du urung terlaksana. Penyerangan besar-besaran pasukan Mongol di daerah perbatasan Tembok Besar telah membatalkan acara yang, semula bakal dilaksanakan untuk merayakan kemenangan Yuan atas pasukan pemberontak Han.
Prajurit Yuan pimpinan Shang Weng dan Fa Mulan tidak sanggup membendung armada perang berkuda Mongol. Divisi Kavaleri Fo Liong yang semula ampuh melumpuhkan pasukan pemberontak Han di daerah perbatasan Tembok Besar dulu dapat ditaklukkan oleh kaum nomad Mongol tersebut dengan pasukan berpanahnya.
Shang Weng dan Fa Mulan serta beberapa ribu prajurit Yuan yang masih selamat melarikan diri ke Kiangsu, daerah terdekat yang masih dapat mereka capai untuk bersembunyi. Di sana mereka menyusun siasat pembalasan dan pengusiran pasukan Mongol yang sudah menguasai dusun-dusun kecil di Tionggoan. Setelah itu mereka semua perlahan kembali ke Kamp Utara di Tung Shao. Bergabung dengan beberapa ribu pasukan cadangan dari dua divisi militer. Divisi Infanteri dan Divisi Kavaleri Danuh yang masih solid.
Di Ibukota Da-du, Kaisar Yuan Ren Zhan sudah terkepung oleh beberapa ratus jasus handal Han pimpinan Jenderal Shan-Yu, dan ratusan anggota klan Perkumpulan Naga Muda pimpinan Ta Yun yang, mengail di air keruh. Mereka menyerang pada saat konsentrasi para atase militer Yuan terpusat ke daerah-daerah perbatasan dan pos pengawasan Tembok Besar sehingga cuai dengan pengamanan Sang Kaisar. Akibatnya, para pemberontak bahkan berhasil menerobos masuk ke dalam Istana Da-du setelah membunuh beberapa atase militer Yuan, termasuk Jenderal Gau Ming dan Perdana Menteri Shu Yong.
Namun upaya pembunuhan Kaisar Yuan Ren Zhan dapat digagalkan oleh beberapa pengawal handal Istana Da-du. Kaisar Yuan Ren Zhan lolos dari maut. Ia dilarikan ke Kamp Utara di Tung Shao. Semua keluarga dan kerabat Istana Da-du beberapa hari sebelumnya telah melarikan diri ke kediaman Pangeran Yuan Ren Qing di Istana Kiangsu.
Di Tung Shao, Fa Mulan berupaya keras menghimpun kekuatan baru dari prajurit-prajurit Yuan yang tersisa. Juga menarik simpatisan rakyat jelata di dusun-dusun sekitar Kamp Utara untuk bersatu padu melawan pasukan Mongol yang sudah menyerbu dan menyerang Tionggoan. Di markas militer Tung Shao itu pula Fa Mulan bekerja keras tanpa lelah menyusun strategi baru untuk mempertahankan Tionggoan yang sudah berada di ujung tanduk.
"Maaf, makanan untuk Asisten Fa," sahut seorang prajurit yang membawa nampan berisi makanan untuk Fa Mulan yang tengah duduk di belakang meja tulisnya di dalam tenda.
Fa Mulan mengangkat muka. Tangannya yang masih memegang pena kuas mengambang di udara. Manuskrip strategi perang yang ditulisnya berhenti pada lajur gigir.
"Terima kasih. Taruh di atas meja makan."
"Siap, Asisten Fa."
"Eit, tunggu. Makanan apa-apa saja hari ini?"
"Selain nasi, ada sayur asin dan daging burung dara yang hanya khusus disuguhkan kepada Asisten Fa dan Kapten Shang."
"Kalian sendiri makan apa hari ini?"
"Kami hanya makan nasi jagung."
"Kalau begitu, ganti makanan saya itu dengan nasi jagung!"
"Ta-tapi...."
"Ini perintah! Saya hanya ingin makan kalau makanan yang disuguhkan kepada saya sama dengan yang kalian makan hari ini."
"Ta-tapi, Asisten Fa...."
"Cepat ganti! Bagikan makanan yang agak lezat ini kepada prajurit-prajurit yang sakit dan terluka parah."
"Siap, Asisten Fa."


Oey Young
Elegi Pengemis

***

Gadis itu sudah mendengar berita buruk yang terjadi di Ibukota Da-du. Meski pulau yang didiaminya terpencil dari segala kisruh, namun tak urung kabar miris itu sampai juga ke telinganya. Kehidupan penduduk dusun di Pulau Bunga yang tenang tenteram tampaknya sudah mulai terusik.
Namun, ia tidak peduli. Dunianya masih penuh dengan bunga.
"A Young...."
Gadis itu menoleh, sejenak mengalihkan pandangannya dari indah warni bunga. Ada suara sember yang menyita perhatiannya dari ritualitas pagi. Tarian serumpun bambu oleh embus sejuk angin. Pucuk dedaunan yang-liu yang basah oleh embun. Serta kicau pipit serupa senandung penyingsing malam.
"Ada apa, Pek Thong?"
"Hihihi."
Pertanyaan gadis berbola mata bagus itu disambut dengan cekikikan. Giginya yang nyaris ompong terkuak lewat bibirnya yang ringsing - satu gambaran nyata tentang fisik yang telah termakan usia.
"Kenapa tertawa?" Oey Young bertanya, lebih sekedar menanggapi kehadiran orangtua yang masih bersifat kekanak-kanakan itu ketimbang rasa penasarannya atas sikap anehnya.
"Saya suka dengan keadaan kisruh di Ibukota Da-du."
Oey Young sontak tersenyum. Dilemparkannya sebatang perdu liar yang sedari tadi digenggamnya. "Kenapa bisa begitu?"
Chie Pek Thong melonjak riang, bertepuk-tepuk tangan. "Yah, karena saya senang saja."
Oey Young menggeleng-geleng. "Kamu memang aneh, Phek Thong."
"Memangnya kenapa?" sanggah orangtua berbadan gemuk itu dengan dahi mengerut. "Memangnya salah apa?"
"Tidak ada yang salah."
"Lalu...."
"Masalahnya, Tionggoan dalam bahaya."
"Peduli amat," cibir Chie Phek Thong, mengibaskan tangannya. "Memangnya kamu juga peduli?"
Oey Young kini terbahak. "Memangnya apa pedulimu terhadap saya?"
Orangtua berambut perak itu kembali melonjak, bertepuk-tepuk tangan. "Nah, sama, bukan?"
"Maksudmu?"
"Sekarang, apa korelasi Tionggoan terhadap kita kalau kita peduli?"
"Yah, paling tidak kita ikut prihatin atas penyerbuan Mongol ke Ibukota Da-du."
"Peduli amat!"
"Kamu tidak nasionalis, Phek Thong."
"Lha, kamu sendiri bagaimana?!"
"Saya...."
"Hihihi...."
"Apanya yang lucu?"
"Tidak ada yang lucu, sebenarnya."
"Lalu...."
Chie Phek Thong bukannya menjawab, ia malah menguap lebar seolah acuh tak acuh. "Huaaap."
Oey Young tersenyum melihat tingkah bocah orangtua tersebut. Lalu, seperti turut bertindak apatis, ia pun tak mencecar jawaban dari mulut sahabat tuanya itu. Diedarkannya matanya ke serumpun bambu yang bergeletar lembut ditiup angin. Sesekali memejamkan matanya menikmati semilir angin yang membelai dingin tengkuknya.
"Peduli amat mereka bunuh-bunuhan. Peduli amat apa yang akan mereka lakukan. Perang atau tidak, pejabat tinggi negara tetap sama saja."
"Tetap sama bagaimana?" tanya Oey Young datar, tak bermaksud untuk ditanggapi. Tangannya berusaha menjangkau setangkai yang-liu di sampingnya, yang telah bermekaran seperti kupu-kupu bersayap merah jambu.
Chie Pek Thong membeliak-beliakkan dan membolakan matanya. "Tetap sama maksud saya adalah, mereka tetap diperbudak oleh harta dan kekuasaan."
Oey Young terbahak spontan.
Chie Phek Thong mengernyitkan dahi. "Kenapa tertawa?"
"Saya sama sekali tidak menyangka kalau seorang Chie Phek Thong bisa seposesif begitu menanggapi aktualisasi yang terjadi di Istana," urai Oey Young setelah menyurutkan tawanya.
"Kenyataannya...."
"Kenyataannya memang begitu, bukan? Pejabat dan petinggi negara semuanya sama saja. Mereka tidak ada bedanya dengan tikus. Setiap hari mereka menggorogoti padi di lumbung rakyat. Bukankah itu yang melatarbelakangi sikap antipatimu, Pek Thong?"
"Nah, kalau begitu, untuk apa kita harus peduli?!"
"Sebaga rakyat Tionggon, bukankah merupakan kewajiban kita untuk mempertahankan kedaulatan negara dari serbuan bangsa asing?"
"Mempertahankan kedaulatan negara kamu bilang?! Hei, bukannya saya apatis di saat negara di ambang kehancuran, tapi saya lebih melihat kalau Tionggoan memang sudah tidak dapat diselamatkan lagi. Kamu pikir para pejabat dan petinggi Istana peduli terhadap kondisi chaos negara? Huh, jangankan berkorban, peduli saja mereka ogah. Paling juga mereka sudah kabur memboyong harta-benda mereka sebelum agresor menduduki Istana Da-du. Eit, lupa. Sekaligus memboyong selir-selir mereka!"
"Justru karena itulah diperlukan kepedulian orang-orang seperti kita, Phek Thong."
"Seribu tahun pun Tionggoan akan selamanya kelam."
"Kamu pesimistis, Phek Thong. Harus siapa lagi kalau bukan kita yang berandil menyelamatkan Tionggoan?"
Chie Phek Thong kembali menguap. "Sudah, sudah. Aku jadi mengantuk membahas persoalan negara. Biarkan saja mereka memetik buah dari hasil batil yang mereka tanam di masa lalu."
"Hei, jangan nirapologis begitu. Toh, rakyat jugalah yang akan menderita bila pasukan besar Mongolia menguasai Tionggoan."
Chie Pek Thong terkikik. "Siapa suruh...."
"Kamu memang terlalu kekanak-kanakan, Phek Thong!"
"Bukannya begitu, A Young. Tapi, saya sudah muak melihat tingkah laku apostasi petinggi dan pejabat Istana yang tiran dan korup. Itu hukuman bagi mereka!"
"Menghujat para pejabat dan petinggi Istana tanpa apologis tidak ada gunanya sementara stabilitas Tionggoan sudah berada di ujung tanduk."
"Kalau begitu, kamu saja yang jadi pejabat di Istana menggantikan mereka. Saya ingin lihat, apa kamu bisa menjalankan roda pemerintahan kita yang sudah semberawut, A Young! Apa kamu bisa menyelamatkan Tionggoan?!"
"Hei, kamu pikir gampang menjadi pejabat Istana?"
"Saya tidak berpikir begitu. Hanya, saya ingin tegaskan kepada kamu kalau memimpin itu jauh lebih sulit daripada memerintah."
"Memang begitu, Phek Thong. Jika seseorang telah menduduki takhta tertinggi, biasanya ia akan lupa dengan apa yang telah dicanang-canangkannya dahulu."
"Apa misalnya?"
"Membela rakyat kecil. Menyejahterakan rakyat dan negara. Mengutamakan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi masing-masing penguasa."
"Tapi yang terjadi saat mereka telah berada di pucuk kekuasaan adalah sebaliknya, A Young."
"Justru itulah. Mereka tidak dapat berpikir rasional lagi karena dibuai oleh kekuasaan. Gemerlap harta telah membutakan nurani mereka sehingga apa yang menjadi landasan dan cita-cita semula - kesejahteraan rakyat - akan jauh dari harapan. Mereka tidak lagi memimpin, tapi memerintah. Bukankah hal itu disebut ingkar janji?"
"Makanya...."
"Makanya itu dalih kamu bersikap apatis, bukan?"
"Alasannya memang begitu. Tapi, meski seapatis bagaimanapun, saya tetap prihatin juga terhadap nasib bangsa kita yang caruk-maruk ini."
"Berarti, kamu masih memiliki nurani."
"Tidak juga. Tapi, boleh dibilang kalau saya peduli terhadap nasib bangsa kita ini, itu lantaran saya iba terhadap Kaypang."
"Kaypang?!"
Kaypang?! Oey Young terperangah. Ia paham betul nasib sekelompok masyarakat marjinal yang membentuk komunitas di Ibukota Da-du tersebut. Kemiskinan merupakan predikat yang membedakan mereka dari Tionggoan. Mereka terbuang dan tersisih.
"Sejak Khung Lung meninggal setahun lalu, praktis tidak ada lagi yang memimpin Kaypang. Komunitas marjinal tersebut tercerai-berai. Mereka semakin melarat dan menderita."
Oey Young menarik napas panjang. Sejenak direnunginya kalimat Chie Phek Thong. Khung Lung identik dengan suara rakyat. Selama puluhan tahun ia telah memimpin sekelompok masyarakat miskin dengan penuh toleransi. Afeksinya terhadap nasib sebagian orang yang bernasib kurang beruntung telah memaksa raganya meninggalkan segala keningratan. Ia keluar dari Istana, membaur dan hidup papa selama akhir hayatnya. Kaypang, sebuah komunitas bagi orang-orang yang terbuang merupakan belahan jiwanya. Ia hidup dan mati demi rakyat kecil.
"Khung Lung...."
Oey Young kembali menghela napas. Kalimat tak rampung Chie Phek Thong seolah mempertegas paparan lembar suram Istana di benaknya. Korupsi yang merajalela, peneguhan kekuasaan dengan tumbal nyawa rakyat yang tak berdosa, serta seribu satu macam problema bangsa lainnya. Hatinya tertohok. Sungguh sebuah kesalahan besar telah berpaling dari kenyataan pahit itu. Dan sungguh merupakan dosa tak terampuni lari dari semua luka bangsa tersebut.
Sekian belas tahun, ia tak mengindahkan semua kejadian miris yang melanda Istana. Diasingkannya dirinya dari pikuk masalah. Ia lari dari kenyataan. Meninggalkan Istana Ching. Meninggalkan kedua orangtuanya. Sampai kalimat gurau Chie Phek Thong menyadarkannya untuk kembali. Kembali memikirkan masalah besar yang tengah dihadapi bangsa.
"Khung Lung adalah tokoh panutan dan paternalistik. Ia adalah pahlawan rakyat kecil. Kita bukan apa-apa dibandingkan dengan dia," lanjut Chie Phek Thong.
"Tentu, tentu," angguk Oey Young mengakuri, berusaha mengatasi keterperangahannya akibat kalimat-kalimat Chie Phek Thong barusan. "Kita memang bukan apa-apa dibandingkan dengan tokoh masyarakat marjinal itu."
"Ah, sudahlah, Oey Young," Chie Phek Thong mengibaskan tangannya dengan sikap apatis. "Saya mengantuk. Huaaap!"
Lalu, lekaki tua bertubuh tambun itu melesat secepat angin. Meninggalkan Oey Young yang masih menyendiri. Terpekur meresapi setiap kalimat bersirat kebajikan. Dan selang berikutnya, Oey Young sudah berada di lintas kenangan silam. Ia terseret jauh ke belakang. Mengenang setiap jengkal lapak masa, sisik-melik kemanusiaan yang suram, yang telah ditorehkan oleh Istana.


Oey Young
Senandung untuk para Papa

***

"Nama kamu siapa?"
Gadis kecil itu menggeleng. Rambutnya yang masai tersibak mengikuti arah goyangan lemah pada lehernya. Lalu ia menunduk seperti biasa. Tak berani bersirobok mata.
"Saya tidak memiliki nama, Puan," jawabnya datar.
Perempuan muda itu membeliakkan mata. "Seseorang harus memiliki nama."
"Tapi, sungguh, saya tidak punya nama."
"Aneh."
"Maaf...."
"Ya, sudahlah. Kalau kamu tidak ingin menyebut nama, toh saya tidak bisa memaksa."
"Tapi...."
"Tidak apa-apa."
"Ta-tapi...."
"Tidak apa-apa. Saya tidak akan marah. Kalau sudah siap nanti, kamu pasti akan menyebutkan nama kamu sendiri."
Perempuan itu tersenyum. Menegakkan badannya setelah membungkuk menyejajari tinggi sepinggang anak perempuan yang ditemuinya barusan di gerbang Istana. Lantas dibimbingnya bocah perempuan jalan sembilan itu ke ruang dalam Istana.
Namun gadis cilik itu menghentikan langkahnya. "Maaf, Puan...."
"Ada apa?"
"Saya tidak pantas...."
"Pantas atau tidak, sayalah yang berhak menentukan. Bukan orang lain. Bukan para dayang Istana. Bukan pula para kasim Istana. Jadi, kamu tidak perlu khawatir."
"Tapi...."
"Ikutlah. Kamu tidak akan diapa-apakan. Hei, kamu sudah tiga hari tidak makan, bukan?"
"I-iya. Tapi...."
"Jangan takut."
"Bu-bukan begitu...."
Namun perempuan bertubuh lampai itu tetap memaksa, menyeret setengah memaksa bocah cilik berbaju kumal tersebut. Langkahnya yang tertahan diikuti oleh empat orang dayang istana yang sedari tadi setia mengikuti majikannya.
"Orangtua kamu di mana?"
"Saya tidak memiliki orangtua, Puan."
Perempuan muda yang dipanggil dengan 'Puan' itu menghentikan langkahnya. Ia kembali membungkuk setengah badan, bersihadap dengan gadis cilik tanpa nama yang ditemuinya lusuh di gerbang istana tadi. Kemudian ditatapnya lamat gadis kecil yang tengah dituntunnya itu dengan dahi mengerinyit.
Seolah dapat membaca jalan pikiran perempuan berhati emas itu, gadis cilik itu lekas-lekas menyahut menegaskan.
"Betul, Puan, saya tidak memiliki orangtua. Saya tidak bohong. Sedari kecil, saya tidak pernah sekalipun melihat wajah kedua orangtua saya."
Perempuan aristokrat itu tersenyum geli melihat bocah dekil itu kegugupan.
"Siapa bilang kamu bohong? Saya percaya, saya percaya. Tapi...."
"Tapi apa, Puan?"
"Seperti juga nama, seseorang harus memiliki orangtua."
"Tapi...."
"Ya, sudah. Mungkin kamu enggan menyebutkan nama kedua orangtua kamu."
"Ta-tapi, saya memang...."
"Ya, sudah. Segera makan. Nanti kamu bisa sakit. Berdebat lama-lama tidak ada gunanya. Yang penting, perut kamu harus diisi dulu."
Gadis cilik itu manggut. Tidak membantah lagi. Dilihatnya perempuan muda puak terpandang itu mengibaskan tangannya mengaba supaya dayang-dayangnya segera menyiapkan makanan. Perutnya semakin keroncongan.
"Tidak keberatan kalau kamu saya panggil dengan nama Oey Young?"
Gadis cilik itu mengerinyit. "Oey Young?!"
"Ya. Oey Young."
"Artinya apa, Puan?"
"Teratai yang Indah."
"Teratai yang Indah?!"
"Kenapa? Tidak suka?"
"Bu-bukan begitu...."
"Lalu, apa?"
"Saya tidak cantik, Puan. Saya tidak pantas menyandang nama sedemikian indahnya."
"Siapa bilang begitu?"
"Kenyataannya...."
"Di manapun ia tumbuh, Teratai tetap akan indah. Sekalipun Teratai tumbuh di tengah kolam berlumpur."
"Sa-saya...."
"Sudahlah, Oey Young. Makanlah. Nanti kamu bisa jatuh sakit."
"Te-terima kasih, Puan!"
"Nah, begitu baru yang namanya anak manis."
Gadis cilik itu tersenyum. Dari sanalah hidup barunya berawal, dan merangkai kenangan yang mengiang sepanjang masa hidupnya....


Kao Ching
Tarian Dara Mongku

***

1208, Ulan Bator - Mongolia

Kao Niang menatap bayi yang tengah digendongnya dengan rupa baur. Airmatanya menitik tiap sebentar. Rambun seharian baru saja membawa kawat buruk. Orang yang dikasihinya, tumpuan segala harapan telah pergi untuk selama-lamanya. Hamdan Nai-Ramdak terbantai dalam sebuah insiden berdarah di Ulan Bator.
Perang saudara yang melanda Mongolia telah merenggut nyawa suaminya sebagai korban kebiadaban zaman. Meski gagal menggulingkan kekuasaan Temujin menjadi Khan Agung dalam sebuah kudeta di tanah gurun, namun Bughut Orchibat - jenderal pembangkang - telah membinasakan banyak prajurit Temujin, juga rakyat tak berdosa.
Hatinya meradang.
Rambun semakin menyiksanya. Menggigit luar biasa dengan dinginnya yang dingin. Sementara bayi belum bernama dalam pelukannya itu terus menangis. Seolah-olah tahu kabar buruk yang dibawa oleh seorang peternak kuda tua kepada ibunya.
"Kao Niang...."
Ada suara paruh tangis yang menggema di belakangnya. Ia menoleh setelah membalik badan. Daun tenda tersibak, partikel salju berhamburan masuk menyertai Layla Khubilai yang berjalan tergopoh setengah berlari ke hadapannya. Ia tampak menggendong bayi. Persis seusia bayi yang tengah digendongnya.
"Layla...."
"Abadur...."
Kao Niang menggumam. Ia sudah tahu kalimat apa yang hendak disampaikan oleh sahabatnya itu. Airmatanya kembali menitik.
"Saya prihatin," desisnya.
Layla Khubilai bertanya pelan. "Kamu sudah tahu?!"
Anggukan getasnya menjawabi.
Dibelainya rambut tipis bayinya yang masih memerah. Dirapatkannya selimut beledu kulit rusa yang membebat tubuh mungil itu yang kini telah tertidur. Perempuan yang tengah terkapar dalam luka di hadapannya tengah menggigit bibir. Keras. Sampai nyaris berdarah.
"Hamdan...."
"Dia juga tewas di tangan pasukan pemberontak pimpinan Jenderal Bughut Orchibat, Layla!"
"Ke-kenapa...."
"Seperti juga suamimu Abadur, Hamdan suami saya pun merupakan korban perang. Biarlah Dewata yang menghukum pembunuh-pembunuh kejam itu, Layla!"
"Sa-saya...."
"Mungkin peristiwa tragis yang menimpa kita berdua ini merupakan takdir langit. Kita tidak boleh berkubang terus-menerus dalam kesedihan, Layla. Bayi kita masih memerlukan perhatian kita!"
"Tapi...."
"Besarkan bayi-bayi kita ini. Semoga mereka nantinya dapat menjadi pahlawan kebenaran bagi Mongolia."
"Tapi kita tidak memiliki siapa-siapa lagi, Kao Niang!"
"Kita harus mandiri!"
"Mana bisa...."
"Layla, kalau sudah cukup besar, bayi-bayi ini dapat kita titipkan kepada Temujin. Beliau adalah pemimpin bijak yang welas asih. Saya yakin beliau dapat mendidik anak-anak kita dengan baik."
Kepala Layla Khubilai menegak.
Sepasang matanya berbinar riang setelah disaput dukacita kehilangan orang yang paling dikasihinya. Ia mengangguk. Sertamerta mengakuri usulan Kao Niang, sahabatnya dari suku Han bersuamikan Mongol.
"Temujin tidak memiliki anak laki-laki," jelas Kao Niang. "Pasti dengan senang hati beliau akan menerima anak-anak kita!"
"Terima kasih, Dewata nan Agung!" Layla mendongak, seolah memanjatkan doa syukur ke langit, di balik tenda kulit kempa lembu. "Tolonglah kami. Biarkan bayi-bayi kami ini dapat hidup layak bersama Temujin!"
Seperti merasakan pijar bahagia sahabatnya itu, Kao Niang kontan menepuk lembut punggung tangan Layla Khubilai dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menggendong bayinya yang masih terlelap, dan sesekali terlihat menguap.
"Nama bayimu siapa, Kao Niang?"
Kao Niang mengembangkan senyumnya. Obat penawar lara ada pada wajah polos tanpa dosa bayinya. Tempat menaruh segala harapan. Karenanya ia memutuskan untuk tetap hidup.
"Kao Ching!"
"Kao Ching?!"
"Kao yang teguh. Kao adalah marga kami. Sementara Ching dalam bahasa Han berharafiah teguh. Saya tidak ingin peristiwa tragis yang merenggut ayahnya menjadi kenangan abadi di benak saya. Makanya, bayi ini tak saya beri nama marga Hamdan. Biarlah semua berlalu ditelan sang waktu. Bayi ini saya beri nama yang berasal dari marga keluarga saya. Kao. Jadi, bayi ini bernama Kao Ching. Si Teguh Kao."
"Kamu cukup bijak untuk dapat melupakan masalah."
"Yah, hanya itu saja yang dapat saya lakukan."
"Saya salut dengan ketabahan kamu!"
"Saya berusaha sebisa mungkin melupakan semua peristiwa tragis itu. Saya hanya dapat menaruh harapan setinggi-tingginya kepada Kao Ching."
"Saya berniat mengikuti langkahmu!"
"Jadi...."
"Bayi ini belum bernama. Setiap menyebut nama Abadur, hati saya seperti ditusuk pedang. Saya ingin melupakan dia seperti kamu melupakan Hamdan."
"Kamu beri nama apa bayimu, Layla?"
"Saya belum menemukan nama yang cocok. Yang pasti, saya tidak ingin menggunakan marga ayahnya."
"Yah, mungkin itu lebih baik. Mongolia memang menyimpan banyak kenangan buruk di dalam benak kita masing-masing."
"Bagaimana kalau kamu yang menamainya, Kao Niang?"
Kao Niang terkesiap.
Terkejut atas permintaan Layla Khubilai. Dalam kalangan suku Han, permintaan barusan merupakan penghormatan yang tiada tara. Ia melebarkan bibir. Mengurai senyum bijak.
"Mana boleh begitu, Layla. Nama merupakan roh anak kita. Tidak boleh dinamai sembarangan. Terlebih-lebih diberikan oleh sembarang orang. Saya tidak boleh...."
"Tapi, saya tidak ingin bayi saya ini mereplikasi sifat ayahnya. Dia tidak boleh menjadi prajurit. Saya harus menjauhkan dia dari bayang kelam Mongolia. Makanya...."
"Makanya kamu meminta saya menamainya dengan nama Han, bukan?"
Perempuan berwajah tirus kecoklatan itu mengangguk.
Sepasang mata besarnya masih membasah. Tetapi ia tidak dirangsa nelangsa lagi. Hatinya sedikit lapang bila mengingat buah hatinya yang masih tertinggal. Tempat menumbuhkan segala harapan.
"Tolonglah, Kao Niang...."
"Saya tidak bisa, Layla. Bukannya saya tidak mau menolongmu. Tapi, dalam kultur kami, hal tersebut sangat tabu."
"Ja-jadi...."
"Dia tetap Mongol meskipun berganti nama sekalipun, Layla!"
"Tapi...."
"Kao Ching lain. Dia masih memiliki darah Han. Kamu tahu...."
"Kao Niang...."
"Bersabarlah, Layla. Mungkin sedikit hari kamu dapat menemukan nama yang tepat untuk bayimu."
"Tapi, saya...."
"Biarlah bayimu tumbuh secara alamiah, Layla. Nama untuk dia hanya soal waktu. Melupakan kenangan sepat tidak sertamerta dapat dilakukan, meski bayimu itu berganti kulit sekalipun."
"Baiklah kalau kamu bersikeras menolak, Kao Niang. Tapi, paling tidak kamu mengusulkan satu nama untuk bayi saya ini."
"Nama Han?"
"Tentu saja. Saya tidak ingin kenangan Mongol selalu bercokol di benak saya."
"Tapi...."
"Ayolah, Kao Niang. Anggap saja saya sedang memohon, sekali ini saja. Hanya satu nama."
"Tapi saya tidak berhak...."
"Kamu berhak, Kao Niang!"
"Arwah Abadur akan menyalahkan saya!"
"Tidak. Bukankah dia pernah mengatakan kalau anak-anak kita nanti akan dipersatukan dalam ijab?"
Kao Niang kembali terkesiap.
Ia teringat sesuatu. Tentang taklik yang pernah disepakati oleh Hamdan dan Abadur. Kelak bila anak mereka lahir sebagai perempuan dan laki-laki, maka kedua anak tersebut akan dinikahkan. Bila kedua-duanya terlahir sebagai laki-laki atau perempuan, maka mereka akan dijadikan saudara angkat. Maka Hamdan dan Abadur pun sepakat untuk membuat benda materiil simbol ikatan itu.
Dibuatlah dua belati bersarung emas. Anak yang terlahir duluan akan mendapat belati yang berukir aksara �Rajawali Satu', dan anak yang terlahir kemudian akan mendapat belati serupa berukir aksara �Rajawali Dua'.
"Auw Yang Kauw, Si Rajawali Dua!"
Badan Layla Khubilai sontak menegak. Ia mengernyit dengan pikiran magel. Atas dasar apa sahabatnya itu memilih nama Han itu? Dan seperti sudah tahu apa yang bersemayam di benaknya, Kao Niang langsung menjawabi pertanyaan yang hanya berdenting sekilas di kepalanya tersebut.
"Auw Yang Kauw berarti Putra Matahari. Si Putra Matahari. Matahari yang diharapkan dapat terus-menerus memancarkan sinarnya untuk kehidupan manusia."
"Rajawali Dua...."
"Itu nama belati bersarung emas untuk putramu. Abadur pasti sudah menceritakan kepadamu, bukan?"
Sesaat Layla Khubilai masih mengernyit.
Mencoba menghimpun serangkaian kalimat yang pernah disampaikan oleh mendiang suaminya menyikapi taklik yang sudah disepakatinya dengan almarhum Hamdan. Dan akhirnya ia mengangguk setelah memori hal itu terkuak di benaknya.
"Karena bayimu lahir lebih lambat tiga hari dari bayi saya, maka otomatis dia menerima belati �Rajawali Dua' itu, Layla."
"Saya paham. Jadi hari ini, Kao Ching bayimu, dan bayi saya, Auw Yang Kauw, resmi menjadi saudara angkat!"
"Ya. Semoga kedua bayi kita ini dapat menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara kita, Mongolia!"
"Semoga Dewata melimpahkan anugerah kepada bayi-bayi kita."
Layla Khubilai kembali mendongak. Kao Niang mengikuti tingkah perempuan muda tersebut tanpa sadar. Seolah sedang berusaha mengintip Dewata di balik tenda kulit kempa lembu.
Namun yang terlihat hanyalah kerangka-kerangka tenda dari tiang-tiang mahoni. Juga partikel-partikel rambun yang menitik di punggung tiang-tiang tersebut akibat embusan angin yang menelusup di celah-celah sobekan tenda. Beberapa di antaranya melekat di dinding-dinding tenda. Lainnya jatuh tepat di wajah dan rambut kedua perempuan muda itu.


Bao Ling
Refleksi Taichi Chuan

***

1219, Kabupaten Chengdu

Namaku Fang Wong.
Aku lahir di Sichuan, salah satu kota provinsi di Tionggoan Selatan. Sejak lahir aku sudah tidak pernah bertemu dengan ayahku. Kata ibu, ayah sudah meninggal di Goa Fu Xien, salah satu lembah di Bukit Wudan. Terkurung di sana sampai ajal menjemputnya.
Namun ada dua versi yang kudengar. Pertama, ia mati karena dirangsa gergasi. Kedua, ia mati karena nelangsa. Aku masih kecil ketika itu. Ibu tidak pernah terbuka, jujur mengatakan yang sebenarnya. Namun ketika beranjak dewasa, aku baru mengerti kalau kematian ayah sangat mengenaskan. Lebih dari kedua versi yang samar aku dengar.
Lalu amarah itu bergejolak di dalam dadaku. Seperti lahar kepundan di gunung berapi. Semestinya Ibu tidak bisa begitu. Seharusnya perempuan itu tidak menutupi rahim kebenaran, meski aroma yang dikeluarkannya serupa sempedah dahak berdarah sekalipun.
Belasan tahun tubuhku yang ringkih ini dipahat Ibu selaksana arca gaharu. Ia halus gemulai menyebarkan harum. Selantun hio yang terbakar, aku ditelikung semerbak wangi, menggiring masa kanak-kanakku ke dalam suka tanpa lara. Ia memasungku, menjauhkan aku dari apa yang dinamakan replika. Ia tidak ingin anak tunggalnya, Fang Wong serupa Fang Hong!
Serdadu Kaisar Yuan Ren Xing telah mencacah tubuhnya sehingga menjelma menjadi jerangkong. Mayat hidup tanpa nyawa. Ia terasing di pengasingannya. Goa Fu Xien menjadi saksi bisu kebiadaban manusia atas manusia lainnya. Belasan tahun ia terbebat di antara tubir cadas. Tembok-tembok beku yang dingin dan kelam.
Aku berguru pada Shaolin dilatarbelakangi dendam yang membara. Perempuan yang melahirkan aku dari rahimnya itu meraung. Aku tetap bersikeras. Pergi ke dunia para resi. Menempa diri setebal baja. Belajar ilmu silat mereka yang mashyur.
Namun aku salah kaprah.
Shaolin bukan alternatif penggumpal dendam. Dunia gerbang nirwana itu terlalu suci untuk dikotori dengan sekelumit dendam. Takdir bicara. Aku terkapar. Lalu terdampar ke dusun ini, Chengdu. Bertemu dengan gadis luar biasa. Gadis jelmaan Dewata. Fa Mulan!
"Guru, apakah yang dimaksud dengan Taichi?"
Ia bertanya demikian kepadaku, suatu petang saat belajar sembunyi-sembunyi. Kedua orangtuanya memasungnya dalam pranata ribuan tahun. Kakinya dibebat dengan benang merah kultur Tionggoan yang kaku. Anak gadis hanyalah penghuni sangkar madu!
"Taichi merupakan harmonisasi kehidupan ini dengan alam semesta. Semua bentuk kehidupan harus berselaras dan beriringan dengan alam. Perpaduan siklus alami, sebuah keseimbangan yang abadi."
"Apa itu, Guru?"
"Air, api, tanah, logam, dan angin. Itulah unsur-unsur alam. Kelima unsur alam itu telah membentuk sebuah kehidupan hakiki yang bernama ren."
"Ren?!"
"Ya. Manusia dan alam adalah satu. Masing-masing saling melengkapi. Bukannya memusnahkan."
"Tapi Guru, saya melihat banyak manusia saling memusnahkan!" Fa Mulan bertanya lugu. Suaranya yang mungil itu mengentakkan jiwa. "Bukankah perang yang dilakukan manusia itu juga merupakan pemusnahan sesama?!"
Aku memandang langit.
Rembang petang masih menyisakan segumpal awan kelabu. Bias kelam belum menyaput benar jingga yang masih bercokol di ufuk barat. Tujuh tingkat di atasnya ada svargaloka. Mungkinkah ini presensi neonatus Dewata di muka bumi?!
Gadis cilik itu memang maharani!
"Perang adalah inharmoni, Mulan," kataku lembut. "Perang adalah penentangan terhadap unsur-unsur alam."
Kepala kecil itu mengangguk mafhum.
Namun bola matanya seolah berbicara. Bibirnya tidak sertamerta terkatup oleh sebaris penjelasan. Ia lantas bertanya. Bertanya apa saja. Aku mengurai senyum.
Gadis cilik memang itu penggambaran chi langit.
"Guan Yu bertempur dan berperang untuk mempertahankan negara. Beliau malah digelari pahlawan besar. Apakah perang yang dilakukan oleh beliau itu sahih dan tidak melanggar aturan alam? Bagaimana menurut Guru?"
"Beliau bertempur bukan untuk memusnahkan. Tapi, untuk menjaga agar unsur-unsur alam tidak dirusak. Rakyat, negara, dan kemakmuran juga termasuk bagian dari unsur alam tersebut!"
"Apakah Taichi itu semata-mata kelembutan, Guru?"
"Kenapa Mulan bertanya begitu?"
"Karena saya lihat tidak ada kekerasan di dalam Taichi Chuan."
"Lembut itu belum tentu lemah, Mulan. Lemah gemulai bukan berarti tidak kuat. Air merupakan unsur yang paling jelas dalam Taichi Chuan."
"Air?"
"Ya, air. Air itu lunak dan gemulai. Tapi air dapat mengauskan karang. Air dapat menghanyutkan sebuah desa sekaligus. Itulah kekuatan terpendam pada air yang gemulai."
"Hebat!"
"Dan ketahuilah, Mulan. Air adalah unsur alam yang paling 'rendah hati'. Air selalu menggenang di tempat yang rendah. Air selalu merendah meskipun sebenarnya dahsyat. Air merupakan paradoks dari orang yang bijak. Orang bijak itu tidak akan melawan kekuatan dengan frontal, tapi ia akan mengalah dan membiarkan musuhnya melumer dengan kelembutan."
"Wushu Taichi Chuan sungguh hebat!"
"Bukan wushunya yang hebat, tapi inti dari unsur-unsur alamnya. Kekuatan mahadahsyat bagaimanapun tidak akan dapat mengalahkah arus deras air di sungai. Wushu Taichi Chuan hanya berguru pada alam. Makanya, proses lahirnya jurus-jurus dalam Taichi Chuan ini tidak terlepas dari unsur-unsur alam tadi."
"Jadi, tekniknya merupakan replikasi unsur-unsur alam. Lemah gemulai mengalahkan kekuatan besar. Seperti arus air sungai yang menjebol batu karang dan juga akar pohon raksasa!"
"Betul."
"Guru, mohon ajari saya Taichi Chuan!"
Aku tersenyum.
Tersenyum melihat tingkahnya yang lugu. Ia bersujud di hadapanku. Meminta dengan sangat agar aku mau mengajarinya Taichi Chuan. Tentu saja aku akan mengajarinya!
Aku tidak ingin Dewata murka!
Sebab gadis cilik itu adalah maharani!
"Bangunlah."
"Ja-jadi, Guru mau mengajari saya?!"
Aku mengangguk.
Gadis cilik itu merangkul perutku.
Airmatanya bergulir ditabuh haru. Aku terbahak. Dewata seperti mengutus seorang anak manusia untuk kugembleng menjadi pusaka. Sebilah pedang naga yang akan menyelamatkan bumi dari angkara. Rasa-rasanya aku menjadi makhluk paling beruntung di dunia ini!
Fang Wong, manusia setengah lumpuh, yang akhirnya dapat mengaplikasikan sedikit kebajikan untuk perkembangan dunia. Replika alam Taichi Chuan memang bukan sertamerta terilhami di serabut kelabu otakku. Semuanya predestinasi dari langit.
Takdir yang tidak dapat kutolak!


Fa Mulan
Refleksi Taichi Chuan

***

1220, Provinsi Guandong

Namaku Wong Qi Bei.
Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi pendekar dengan dianugerahi sepasang lengan baja, yang nyaris setiap hari kuisi dengan perkelahian. Orangtuaku tidak pernah bermimpi anak sulung mereka akan menjadi petarung. Karena mereka menganggap pendekar adalah centeng-centeng naif yang memenuhi hidup dunia dengan darah.
Tetapi dunia ini memang sudah babur.
Yang kuat menjazam yang lemah. Tidak ada keadilan lagi ketika dajalis melanda Tionggoan. Pemampasan menjadi cerita subur di tanah ini. Aku ke biara Shaolin bersangu itu. Kelaknatan zaman mengaburkan perjalanan hidupku.
Aku gamang. Diombang alur takdir. Rupanya Shaolin yang sesuci yang-liu bukanlah tempat menempa harap. Kebatilan harus dilawan dengan kebajikan. Bukan dengan kekerasan!
Aku terpental.
Nasib membawaku kembali ke tanah kelahiranku ini. Di sini aku belajar menyelaras dengan alam. Bukan kehendak berlandas keinginan sekeras karang semata. Kusosialisasikan paruh hidupku demi kebajikan. Aku belajar memadani. Membaur dengan kesederhanaannya. Meresapi hidup penuh warna tanpa kekerasan. Nasehat yang kutepis jumawis dulu dari sepasang manusia peniup lafaz dalam napasku menyata.
Hitam dan putih sisik-melik dunia memang hanya setipis sutra!
Lalu suatu waktu aku menerima surat dari saudara seperguruanku , Fang Wong. Ia mengabariku presensi neonatus Dewata. Sekarang gadis cilik itu berada di Chengdu. Aku diminta untuk memoles permata tersebut. Mengasahnya sehingga menjadi batu permata yang paling mulia di antara segala permata.
Maka berangkatlah aku ke sana.
Kutemui gadis cilik jelmaan Dewata.
Aku terkesiap. Ribuan tahun tanah di Tionggoan tidak pernah ditumbuhi bunga secantik ini.
Ia adalah Magnolia. Keindahan segala bunga.
Kuajari ia Totok Nadi. Ortopedi. Juga pengobatan tawar racun. Kukenalkan ia pada segala jenis racun dan juga penawarnya.
Alangkah girangnya ia bukan kepalang.
"Guru, kenapa di dunia ini ada yang namanya racun?" Ia bertanya demikian, suatu hari ketika mengajarinya semua hal.
"Seperti juga dalam kehidupan manusia, hati manusia diliputi dua hal mendasar. Pertama, kebajikan. Kedua, kebatilan. Kebatilan dapat kita ibaratkan dengan racun. Lalu, kebajikan dapat kita ibaratkan dengan penawarnya. Dua hal itu seiring sejalan. Tapi, kadang-kadang racun dapat menjadi penawar racun bagi yang lainnya. Begitu pula sebaliknya. Kebajikan dapat menjadi kebatilan bagi kebajikan lainnya. Itulah fenomena yang terjadi di lingkungan kita. Di Shaolin misalnya, ada maharesi yang dapat berubah jadi serigala. Begitu pula sebaliknya di dunia hitam, ada serigala yang dapat menjelma menjadi Dewata."
"Maksud Guru, racun itu tidak selamanya buruk?"
"Racun adalah bagian dari alam. Racun mengisi kehidupan kita sejak terbentuknya kali pertama dunia ini. Yang-liu dan Mawar Beracun tumbuh seiring dengan pesonanya masing-masing."
"Apakah hal yang Guru sebutkan tadi masuk dalam komponen Taichi Chuan?"
"Tidak ada unsur yang lepas dari alam. Semuanya menyelaras sehingga terjadi perimbangan yang kosmis. Kalau menentang hukum-hukum tersebut, maka manusia akan menemui petaka."
"Petaka?! Apa maksud Guru?"
"Petaka itu bersumber dari diri kita sendiri. Seseorang dapat menuai bencana dan mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri. Salah satu unsur yang tak dapat dielakkan adalah proses penuaan, sakit, dan mati. Manusia kadang-kadang ingin hidup di luar hukum alam tersebut. Mengabadikan dirinya dalam ambivalensi maya. Tapi, tidak ada yang dapat membendung unsur alam dahsyat kematian. Semua manusia pasti mati!"
"Guru, apakah yang dimaksud dengan ambivalensi maya yang seperti Anda sebutkan tadi?"
"Itu adalah nafsu keinginan dan ambisi. Ambivalensi maya itu terangkai dari egosentrisme dan utopis manusia. Padahal awal mula neonatus, manusia tidak membawa apa-apa. Semuanya terlahir bugil. Dan ketika berpulang ke Sang Pencipta pun begitu."
"Jadi menurut Guru, awal petaka itu bermula dari ambisi dan keegosentrisan manusia?"
"Betul. Bencana bagi kehidupan datang susul-menyusul dibahang oleh ambisi manusia. Perang, genosida, pemusnahan dan masih banyak lagi ulah batil manusia."
"Kalau begitu, apakah darah akan dibalas dengan darah, Guru?"
"Darah dibalas darah, tidak akan ada habisnya. Karenanya, kebencian mesti dilawan dengan kasih sayang. Kekerasan tidak pernah akan berakhir bila dilawan dengan kekerasan. Tapi kekerasan akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih. Bukankah itu yang diajarkan oleh Sakyamuni?"
"Saya gamang, Guru. Terjadi banyak ketidakselarasan yang membumihanguskan peradaban. Perang dan perang. Apakah Dewata akan murka dan menjatuhkan sanksi kiamat?!"
"Beragam sanksi dapat dijatuhkan Dewata sebagai kompensasi kemurkaan. Ia dapat berupa bencana jasadi. Tapi, ia dapat juga berupa takdir. Utusan yang sudah menjadi predestinasi."
"Siapa yang dimaksud utusan itu, Guru?"
"Pahlawan dan satria. Mereka dapat berasal dari kalangan manapun. Jelata sekalipun. Tidak hanya dari puak terpandang dan keluarga bangsawan."
Aku lihat ia mengangguk mafhum ketika itu.
Aku tersenyum.
Utusan itu adalah Fa Mulan!


Bao Ling
Elegi Si Pendekar Danuh

***

1231, Kabupaten Chengdu

Namaku Fa Mulan.
Aku anak seorang veteran prajurit Yuan, Fa Zhou. Aku adalah gadis desa biasa. Namun mereka selalu menyebutku Magnolia, gadis jelmaan Dewata. Kadang-kadang mereka memanggilku, Fa Mulan - Prajurit Garda Langit.
Hah, mungkin ini terlalu hiperbolis?!
Mungkin, ya mungkin.
Bagiku, sebutan itu terlampau mengada-ada. Ataukah, mereka telah mendewakan aku?!
Ah, entahlah. Yang pasti aku merasa tidak pernah menjadi pahlawan. Aku ini manusia biasa yang memiliki banyak kelemahan. Aku hanya terdiri dari daging dan darah. Aku juga takut mati.
Keberanian-keberanian yang telah aku tunjukkan selama maharana bukanlah sesuatu hal yang, bagi kebanyakan orang dianggap muskil dan fenomenal. Perang adalah pilihan terakhir yang mau tidak mau harus aku jalani. Di dalam perang, hanya ada dua pilihan. Hidup atau mati. Dan ternyata dalam beberapa pertempuran, aku masih hidup. Bukan karena aku heroik. Bukan pula karena aku jawara. Bukan. Namun kusadari semua itu adalah anugerah Dewata. Aku dapat bertahan hidup di dalam kelam maharana karena semata ajallah yang belum menjemputku.
Aku juga tidak senang mereka mengkultuskan aku sedemikian rupa. Karena selama ini aku hanyalah sehelai yang-liu yang mengikuti alur air sungai, dan sampai pada sebuah tempat di mana sang air bermuara. Nasib telah membawaku ke medan maharana. Nasib yang telah membawaku ke Tung Shao. Nasib jualah yang telah membawaku ke Istana.
Aku menjalani hidup ini apa adanya. Menyaru sebagai laki-laki, menelusup dan memasuki kewajiban kemiliteran Yuan. Selanjutnya, aku bertempur sebagai prajurit Yuan. Melaksanakan tanggung-jawab dan kewajiban mempertahankan negara dari agresi bangsa lain. Bukannya karena aku beda dengan prajurit-prajurit yang lainnya. Bukan. Sekali lagi aku tegaskan, aku hanyalah manusia biasa.
Masih banyak tugas yang belum aku tunaikan. Tionggoan masih pula bergejolak. Aku memiliki tanggung jawab moral untuk memaparkan kebajikan bagi perkembangan di tanah yang kerontang ini.
Namun yang terutama, aku belum dapat membahagiakan Ibu. Ia selalu menuntut cucu laki-laki dariku. Kadang-kadang aku benci cerocosannya yang bawel itu. Tetapi setiap merenung sebentar, maka kebenaran samar terungkap dari keceriwisannya tersebut.
Bahwa aku sebenarnya memang perempuan. Ya, aku memang seorang perempuan.


Bao Ling
Litani Nirwana

***

Di manakah letak sang jiwa, yang melanglang dan kadang melarung dalam mayapada tak bertepi? Serupa dengung kecapi dan sitar pengembara, ia terus menerus menelusup lantas menelikung di antara basir pasir dan cadas. Kegalauan ini sungguh tak terjamah jawab, meski dawai-dawai itu melengking parau dan membiasi malam dengan pongah.
Lalu, apalah arti seorang manusia yang ditiupi lafaz dari langit. Ia mengecap dengan tangisnya. Ia meraba dengan jeritan dan celotehnya yang mungil.
Oh, aku tak paham.
Sungguh tak paham
Kepandaian ini menjadikanku pandir. Sungguh dina jiwa yang semelata ular-ular di Gobi. Sungguh lara hidup yang mengagungkan rasa dan raga.
Lantas, apakah Fa Mulan yang dianugerahi Prajurit Garda Langit merupakan seorang perkasa di antara gergasi buana? Sehingga ia mampu memecahkan karang gemarang hanya dengan aumannya?
Oh, sahabatku. Tidaklah bijak mendewakan aku dalam selaksa puja. Kultus telah menjadikanku batu di antara karang. Dan menjadikanku pemati di antara nisan.
Mohon, sahabat. Sekali lagi aku pinta, enyahkan selantun litani yang mengikatku dalam pranata ini. Aku ini hanya seonggok daging. Aku ini hanya segumpal darah. Aku ini hanya raga yang terbentuk dari segala najis, yang sungguh tak kalian pahami maknanya.
Sebab, Fa Mulan yang kalian gelari Prajurit Garda Langit juga sesekali melakukan nista tercela dalam gelimun gemawan gelap.
Ya, nista tercela.

***

Saya tidak pernah dapat memahami apa makna kehidupan ini. Semuanya babur. Rangkaian episode kisah manusia seperti rantai yang sambung-menyambung tanpa ujung. Ada kehidupan, ada kematian. Ada tawa, ada tangis. Jauhar afeksi menjadikan saya serupa rani. Sementara rana menjadikan saya serupa pemati. Kebajikan dan kebatilan beriringan serupa bayang-bayang yang mengikuti cakra pedati.
Apa yang terjadi dengan Tionggoan?!
Sabda yang diturunkan dari langit untuk para Tuan dan Puan melamur seperti pendar pelangi, dan tak lagi memiliki makna keindahan untuk dititi dedewi. Maka kuduslah engkau para rani. Kuduslah engkau yang senantiasa meletupkan lelatu kebajikan dalam sanubari manusia, meski iramanya yang minor menjadi rekwin. Meski biramanya yang platonis tak terjamah para hati yang telah terpenjara oleh tirai-tirai kegelapan.
Saya Fa Mulan, Prajurit Garda Langit, perempuan yang disabda dan diturunkan dari Langit untuk mengabdi demi kebajikan agar semuanya tak jadi nisan.
Ya, tak jadi nisan.


Oey Young
Teratai nan Indah

***

Hari sudah beranjak petang. Lembayung yang yang memayungi sisi barat langit sudah menggelap serupa gergasi bisu, yang diam dan memisteri. Ia menangkup segala fana ketika Fa Mulan baru saja menghabiskan semangkuk bubur jagungnya dengan lahap. Dan seketika pula itu Shang Weng menguak tirai tendanya.
"Jangan terlalu memaksakan diri bekerja keras, Mulan," selantun kalimat selembut bayu terdengar seiring terkuaknya tirai tendanya. Shang Weng menjenguknya.
Fa Mulan mengangkat wajahnya dari manuskrip strategi yang tengah disusunnya. Ia menghela napas pendek sebelum mengembangkan senyumnya yang samar sebagai awal balasan. Belum dijawabinya kalimat subtil dari kekasihnya tersebut.
"Istirahatlah, Mulan."
Fa Mulan menghela napas panjang. "Masih banyak tugas yang harus saya kerjakan."
Senada dengan gadisnya, Shang Weng pun melakukan hal yang sama. Sungguh, ia cemas dengan apa yang tengah berkecamuk dalam benak Fa Mulan. "Saya tahu. Tapi, jangan sampai tugas-tugas tersebut merusak kesehatanmu."
Fa Mulan menampik santun. "Saya bisa jaga diri, Kapten Shang."
"Tapi...."
Helaan napas panjangnya kembali terdengar desis. Sungguh, kali ini ia resah dan nyaris kehilangan semangat. Pertempuran demi pertempuran telah menguras tenaga dan pikirannya. Namun hal tersebut tidaklah sebanding dengan apa yang tengah dicemaskannya. Fa Mulan adalah hal terpenting dalam hidupnya. Gadisnya itu melebihi segalanya. Melebihi segala-galanya bahkan melebihi rasa kasih dan cintanya terhadap kedua orangtuanya. Begitu pula terhadap kekasih masa lalunya yang pahit, Shiaw Ing.
Dan kini tidak ada sepatah kata pun yang dapat pemuda itu letupkan untuk meluyakkan hati gadisnya. Pertempuran heroistiknya di Tung Shao memang telah membuktikan kalau gadis itu seteguh karang. Ia adalah Hwasan, kokoh nan indah. Betapa mulianya penciptaan dedewa atas segala karunia ini. Betapa sucinya platonistis yang ia pancarkan dari diri seorang Fa Mulan. Sungguh, ia kerdil di antara semua itu.
Dan ketika Mongol menyerbu Tionggoan, hal itu hanyalah siklus dari pencakra, berputar seolah gasing di antara majas dan ambisi para petuan dan pepuan. Tetapi muskil benar adanya jika hal tersebut ditujukan baginya. Yah, mungkin. Sebab siklus batil adalah resital yang mesti dihentikan. Manusia membutuhkan kebajikan yang senatur dengan alam. Denting pedang dan tombak adalah nada rekwin yang setiap saat mengembuskan virulen, hawa kematian yang menyengat sengat. Lalu manusia akan mati karenanya!
Lalu, seperti apakah patriotisme itu?!
Metode pengorbanan ataukah pola pada sebentuk pengabdian tanpa pamrih? Sungguh, semuanya babur. Kecongkakan dan kesombongan manusia adalah mayor, dan jauh melampaui batas nalarisasi tentang kebatilan. Para rani hanya seonggok daging yang terus mengelana dan mengembara di berbagai belahan fana. Kehadirannya tak lebih berarti dari metamorfosis, keindahan yang mengejawantah dari kepompong menjadi kupu-kupu.
Andai epik kepahlawanan itu tak pernah terjelma dalam bentuk pengorbanan yang platonis. Andai gadis itu tak pernah ada. Andai seorang Fa Mulan tak terlahir. Lantas, di manakah sesungguhnya harmonisasi yang membirama dari dawai hari para rani demi perdamaian dunia? Sungguh, ia tidak pernah tahu.
Ya, ia tak pernah tahu.
Lalu, kupu-kupu tersebut membentangkan sayapnya. Ia terbang seirama angin. Ia terbang seiring denting indah sang hati. Di mana saif telah menjadikan mereka pengabdi. Di mana syair menjadikan mereka lagu sendu yang menggelimun di antara tubir dan cadas. Mereka terluka. Mereka tercabik. Mereka juga mati karenanya. Namun, kecintaan yang bermuasal dari dawai-dawai hati tersebut telah menjelma menjadi seonggok jiwa yang putih. Mereka akan bersinar secerlang gemintang di langit. Jiwa-jiwa mereka akan terus hidup, mengembara, dan jauh melampaui segala zaman. Ia menembusi tabir pebatil, memboyak kebusukan dari pendosa yang hidup tanpa nurani. Mereka akan mengejawantah dalam segala bentuk kebajikan. Dan mereka akhirnya merasuk dalam raga yang dilahirkan oleh rahim manusia.
Dan ketika ia dilahirkan, ia akan tersisih dari pekasih. Ia adalah Magnolia dengan selaksa kekurangan. Ia adalah Magnolia yang tumbuh di antara lalang dan gulma. Ia adalah Magnolia yang tersisih. Namun keindahannya yang tiada tara telah mengembangkan secercah asa dalam kekalutan yang luar biasa. Ia adalah predestinasi yang diturunkan dedewa dari langit. Sesungguhnya ia adalah manusia biasa yang terbuang. Sesungguhnya ia adalah gadis biasa dengan segala kekurangannya.
Gadis itu adalah jejelma dedewi yang hidup di antara tabir-tabir awan. Yang bernapas lewat sepasang mata di balik dada putih mereka. Yang setiap hari menari diiringi sitar dan harpa berdawai emas. Itulah keindahan nirwana yang tak terbanding apa pun. Itulah kemegahan istana surga yang tak sedikit pun pernah digelimuni oleh kelam gemawan. Namun karena kemaruk manusia, maka mereka bersedih dengan meneteskan airmata sebanyak air telaga. Bahkan jauh ketimbang itu. Bahwa airmata tersebut perlahan telah membanjir dan menjadi Sungai Kuning tak lama kemudian.
Lalu apakah arti lektur indah di antara niraksara?
Itulah maras dedewa atas marcapada yang mendosa. Seperti tahu apa lacur yang akan menimpa tanah yang hangat tersebut, sertamerta mereka turun dari rengga gegajah, berdiri dan mengaum tidak seperti biasanya. Lantas dengan lantangnya mereka berteriak, bahkan beberapa di antara dedewa memaki segala sepah yang telah dimuntahkan manusia lewat mulut bacar mereka. Ulah yang tak pernah dimafhumi sebagai bagian dari hikayah, kebajikan yang diturunkan dari surga.
Namun dari pembatil terus saja berulah dengan kejahatan-kejahatan. Mereka saling menjazam. Mereka saling membunuh. Mereka saling membakar. Semuanya gosong dan kobong. Sehingga atmosfer hanyalah making di antara mayat-mayat yang bergelimpangan serta berbelatung.
"Tionggoan sudah bagai telur di ujung tanduk, Kapten Shang...."
"Sudah menjadi tanggung-jawab kita sebagai abdi negara untuk memikirkan pembelaan dan penyelamatan bangsa kita, Mulan. Tapi, bukan berarti kamu sampai mengenyahkan kesehatan dan keselamatan kamu sendiri."
"Tak ada waktu lagi. Tionggoan sudah di ambang kehancuran. Mongolia sudah masuk semakin jauh ke dalam daerah kita."
"Mengandalkan kekuatan diri sendiri seperti apa yang tengah kamu lakukan sekarang merupakan kesia-siaan, Mulan. Mustahil melawan Mongolia hanya...."
"Jangan melemahkan semangat hanya dengan melihat kekuatan besar musuh, Kapten Shang. Itulah salah satu kelemahan yang tak kasatmata. Ingat, kekuatan itu tidak dapat ditakar dengan melihat banyaknya jumlah pasukan dan lain sebagainya. Pertempuran di Tung Shao adalah contoh bagaimana kelemahan itu dapat menjelma menjadi kekuatan. Jadi, saya tidak pesimistis dalam hal ini. Seberapa hebat pun kekuatan musuh kita."
"Benar, benar. Tapi, armada berkuda Mongol sangat jauh dari praduga para pakar strategi militer kita. Apakah bukan berarti...."
"Kemenangan dan kekalahan itu hanya setipis bilah rambut. Semuanya memiliki kemungkinan yang sama. Bagai cakra pedati, yang setiap sebentar di bawah dan setiap sebentar di atas."
"Mungkinkah kekalahan kita ini atas kelalaian para atase jenderal di Ibukota Da-du, Mulan?"
"Maaf, saya tidak dapat menebak duga kalau merangseknya pasukan Mongol sampai jauh ke dalam negara kita akibat kesalahan maupun kelalaian segelintir petanggung-jawab."
"Kenapa?!"
"Asumsinya beragam."
"Maksudmu...."
"Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan tidak menguntungkan begini bagi kita, Kapten Shang."
"Apa misalnya?"
"Kalau menilik penyebab kealpaan kita menakar seberapa besar kekuatan terselubung musuh sehingga mereka dapat menguasai daerah perbatasan kita hanya dalam bilangan hari - barangkali hal tersebut disebabkan karena jumawitas kemenangan kita atas pemberontak Han."
"Jumawitas?"
"Ya. Pandang enteng, mengangap remeh, dan lain sebagainya. Maka, sahihlah hal itu dapat dibenarkan sebagai biang kekalahan kita. Kebanyakan dari kita tidak pernah belajar dari pengalaman. Manusia selalu terjatuh ke dalam lubang yang sama. Namun lepas dari semua itu, pertempuran adalah taktis lapangan. Semuanya dapat saja terjadi. Si Kuat dapat saja menjadi lemah karena sesuatu hal. Begitu pula sebaliknya. Prediksi tidak dapat ditebak semudah membalik telapak tangan."
"Apakah dengan demikian berarti kita sudah habis ?"
"Manusia akan habis bila sudah tak bernyawa. Selagi masih bernapas, tidak ada kata kalah atau habis bagi manusia. Jadi, sesungguhnya kita sama sekali belum habis atau kalah. Kita hanya terdesak, kritis, dan...."
"Ta-tapi...."
"Ah, hidup ini memang berat, Kapten Shang. Manusia telah menambah sulit kehidupan mereka sendiri. Perang yang membahang merupakan ulah manusia sendiri. Perang buatan manusia telah menyengsarakan manusia sendiri. Jadi, apa yang telah kita lakukan itu merupkan kebatilan bagi peradaban. Ah, entahlah kapan semuanya dapat berakhir."
Perwira belia itu diam menyimak. Apakah jejelma dedewi telah diturunkan dari langit tetapi ia tergolek tak berdaya karena maharana telah menghancurkan segalanya?!
Sejenak ia menggeleng. Wajahnya yang keras dan persegi tampak lesi. Sungguh, ia tak paham atas apa yang terjadi dengan Tionggoan. Makna yang dicerapinya hanya setipis ari. Apakakah gada kebatilan telah menghancurkan segala kebajikan di dunia ini?!
Ah, gadis itu hanyalah seonggok daging dan tulang-belulang yang ringkih. Ia bukan Hwasan yang kokoh dan gagah perkasa. Setiap saat ia dapat terbunuh di medan laga. Dan hal itu lebih menyakitkan ketimbang alur fiktif khayalannya sendiri. Bahwa ia mendapati dirinya terbantai dalam maharana. Ia takut kehilangan gadis itu lebih dari apapun juga di dunia ini. Ia akan menangisi kematian gadis itu lebih dari seribu malam. Ia akan hancur bersama hilangnya jasad gadis itu menjadi debu. Ia akan merasa kehilangan nyawanya sendiri. Nyawa yang telah manunggal dengan dirinya. Oleh karenanya, ia akan menjadi tameng bagi seorang Fa Mulan. Ia tidak dapat membiarkan gadis yang sangat dipujanya itu menyongsong perang.
Namun dedewa seolah rungu, tak mampu menjelmakan sebuah mana bagi gadisnya yang heroik. Tak ada mukjizat yang diturunkan dari svargakaloka. Dedewa telah menulikan telinganya sendiri. Dedewa telah membutakan matanya sendiri. Mereka tidak mampu lagi meraba segala kebajikan, dan memusnahkan rona kebatilan yang telah meranggas dengan cepat serta melahap semua benih-benih kebaikan di mayapada.
Lantas kini ia seolah meniti lapak ajal yang telah tertoreh untuknya. Detak demi detak pada jantungnya, dan denyut demi denyut pada nadinya, ia hanya menghirup kekobongan hingga kematian itu memaksa jiwanya melayang-layang entah kemana. Inikah sesungguhnya kematian yang virtual?! Kematian yang sejati, yang selama ini hanya memberdirikan raganya saja?!
"Saya tidak pernah takut terhadap kematian. Saya hanya takut terhadap apa yang telah ditimbulkan oleh maharana."
Sebuah penegasan yang kerap ia dengarkan dari gadis itu kembali berdenyar di telinganya. Sesungguhnya dedewa tidaklah berlaku adil terhadapnya. Bukankah dengan segala kesaktian mereka, gadis itu dapat diberi kekuatan untuk mengatasi kematian yang cuma sedepa itu? Tetapi mereka tidak melakukannya. Mereka seolah tidak peduli. Bahkan mereka membiarkan sang angkara murka dengan bebas mempermainkan nasib gadisnya.
Gadis itu masih kecil. Namun ia telah menghadapi gergasi masalah. Seribu satu pelik persoalan bangsa telah menghantamnya bagai gada raksasa yang siap meremukkan kepalanya. Inikah keadilan yang diturunkan dari surga untuk Magnolia Tionggoan?!
"Kadang-kadang saya terlalu egois, Kapten Shang. Saya terlalu oportunis, dan melalaikan satu hal, bahwa kita manusia penuh dengan keterbatasan. Saya percaya Anda diutus Dewata untuk mengingatkan saya akan hal itu."
"Saya tidak sesuci yang kamu katakan tadi, Mulan."
"Memang tidak sepenuhnya demikian, tapi paling tidak saya dapat memahami konteks kontemplasi, sehingga tidak bertindak gegabah dan sia-sia. Dan satu hal lagi, saya tak akan binasa dengan sia-sia."
"Mulan...."
"Memang benar, bukan?"
Shang Weng melirik. Didapatinya senyum tulus pada wajah lesi gadisnya. Bukan sekali dua ia begini. Namun telah berkali-kali. Berkali-kali, sehingga ia tidak pernah tahu apa yang tengah dialaminya. Dalam maharana kali ini pun ia tak pernah takut akan kematian. Ia tidak pernah terkalahkan oleh rasa kerdil dan inferior. Ia adalah gergasi patriotik yang sesungguhnya.
Pemberontakan jelata Han dan Mongolia adalah remah dari bentuk ketidakpuasan manusia. Itulah mulakat kesalahan yang tak boleh terulang pada masa-masa yang akan datang. Kehancuran lantaran inferioris adalah bentuk kelalaian yang tidak dapat dimaafkan oleh sesiapa. Pun tak terkecuali para pemimpin bangsa yang mengendalikan segala titah dan amar keputusan. Karena itulah kesewenang-wenangan harus dihentikan. Karena itu pulalah gadis Magnolia bernama Fa Mulan itu terus berjuang dan berjuang tanpa pamrih agar kedamaian menyata di Tionggoan. Namun sungguh perjuangan yang tanpa berbelas. Ia menyuarakan kebajikan dan menampik kebatilan atas nama langit dan cinta yang wangi. Ia memimpin secara tegas tetapi jauh dari tiranisasi. Bukankah, ia merupakan pemimpin yang unggul dan mengungguli segala para pemimpin yang ada di Tiongggoan sekalipun ia merupakan kaisar tertinggi?!
Oh, Mahadewa nan Agung!
Dimanakah letak keadilan surga yang telah didengung-dengungkan sejak para leluhur beranak pinak bahkan telah meleluri di kekinian? Tunjukkanlah kesaktian-Mu, tunjukkanlah kuasa-Mu sehingga mereka dan mereka tahu mana kebenaran dan mana kebatilan. Pertumpahan darah telah menyebabkan segalanya menjadi tak ada artinya. Genosida dan pembantaian telah menjadi budaya di mana-mana! Manusia telah menjadi serigala bagi manusia lainnya. Letupan amarah bagai meriam, meletup, meledak, dan melantakkan segala. Itukah angkara dan hukuman, ataukah hanyalah sebentuk ketidakpedulian yang Engkau tunjukkan karena kekhilafan manusia?!
Lalu, apakah gadis Magnolia itu adalah jejelma dedewi yang diturunkan oleh-Nya untuk menghalau segala angkara?! Oh, inilah bentuk ketidaktahuan oleh sesiapa dan sesiapa. Inilah bentuk kebodohan manusia yang telah digariskan secara verbal oleh dirinya sendiri. Inilah bentuk ketololan manusia yang telah ditakdirkan olehnya sendiri sehingga ia menjadi keledai yang selalu dan selalu jatuh ke dalam lubang yang sama.
Ya, manusia adalah keledai. Keledai yang setiap sebentar dapat menjelma menjadi serigala dan memangsa sesiapa yang merupakan kaumnya sendiri. Bukankah demikian merupakan tindak ketololan yang jauh melebihi ketololan yang ada di muka bumi ini?!
Dan ini adalah ketololan Tionggoan!


Fa Mulan
Refleksi Avalokitesvara

***

Apa yang dapat aku lakukan untuk menyelamatkan Tionggoan?! Sungguh, aku tak paham akan nestapa ini. Adalah denyar dan dengung kematian sajalah yang senantiasa mengitari hidupku. Adalah parade iblis sajalah di penglihatanku sejauh kulabuhkan pandang mataku. Semuanya adalah tarian anacastik, mengirama dengan sempurna dan moralistik.
Kesempurnaan adalah asma yang bertiup sepanjang masa. Aku terbang, melayang dan melayang tertiup angin. Aku tidak pernah tahu di mana aku berada. Kadang aku merasa telah berada di Selatan, atau di Utara. Lalu suatu waktu, angin jualah yang membawaku ke Timur atau Barat. Entahlah. Anominitas ini sungguh menjadikanku pebuta di antara buta. Semuanya gelap. Noktah terang hanyalah gemintang di atas langit malam. Titik terang hanyalah pijar lentera di bawah temaram dusun-dusun. Apakah ini gerhana di dalam jiwaku?
Ada kaisar yang lalim. Ada rani yang bijak. Semuanya seiring sejalan dalam detak-detak jantung ini. Oh, adakah pengampunan atas dosa-dosa kami ini? Adakah pembelaan atas ketertindasan yang senantiasa mengirama di dalam kedinaan ini?
Semuanya hening. Diam dan bisu.

***

Ketahuilah, Mulan. Sesungguhnya, ada dua warna yang menangkupi dunia. Sesungguhnya pula, warna-warni lain, hanyalah bias dari kedua warna tersebut. Namun, kita tidak pernah dapat menangkap apa makna di balik semua warna yang terpancar tersebut. Keindahan dari pelangi adalah kesemuan. Sungguh, kita telah menafsir keliru segala. Dan dalam menyusuri jalan nan panjang, kita semakin dibutakan oleh sang kala. Ketahuilah, Anakku, bahwa jauhar dan mute yang tersebar di sepanjang jalan yang telah kita tempuh, telah membinasakan badan.
Lalu apa yang sesungguhnya kita cari?! Bukankah pedoman telah dimaktubkan oleh Sanghyang dalam setiap sisi nurani manusia?! Lantas, mengapa kita demikian bodoh dan dungu sehingga monceng dan salah arah?!
Oh, durja benar napas yang diembus para pendosa di tanah nan batil, Mulan. Apakah ini awal mulakat manusia dengan maut?!
Jawablah, Anakku. Satu di antara perintah keng nan suci adalah, jangan bersenada dengan kebatilan. Namun manusia, para pendosa, telah meremeh-temehkan genta agung yang mendengung dari langit ketujuh. Manusia telah menulikan pendengarannya sendiri. Manusia terus menjazam. Hingga timbullah maharana nan rana.
Oh, andai saja engkau tahu, Anakku, betapa pilunya irama hati para rani dan dedewa di langit ketujuh. Mereka semua telah meneteskan airmata darah, dan perlahan airmata tersebut menjadi bah lantas menggenangi istana langit. Inilah murka bagi mereka yang berkuasa atas titah dan amar. Inilah ihwal azab yang akan diturunkan dari langit ketujuh.
Malang nian nasib para pembatil di tanah kerontang ini, Anakku. Sungguh dina diri-diri nan berlumpur nanah dan kotoran, yang keluar dari anus mereka sendiri. Adakah genosida sebagai bentuk pembersihan pendosa-pendosa itu?!
Seratus kalpa tumimbal lahir tak akan mampu membasuh nista tercela. Mereka terus melanglang, dan lahir dari rahim betina ke rahim betina yang lainnya. Kelelahan dan perjalanan nan panjang tidak pernah menyadarkan mereka. Lahir, lahir, dan lahir adalah sebentuk rutinitas yang menjemukan. Manusia tidak pernah dapat memutus rantai yang membelenggu mereka. Apakah pertobatan merupakan sebentuk pengampunan bagi para pendosa tersebut?!
Lantas, di manakah sesungguhnya letak nirwana yang telah didengung-dengungkan di dalam sanubari mereka oleh dedewa dan dedewi?! Padahal, dua di antara sepuluh keng menitahkan manusia supaya bijak bertindak. Namun lagi-lagi manusia tak mengindahkan hal tersebut. Diberinya neraka inmoral bagi sesamanya. Kekisruhan tak pelak terelakkan. Manusia telah melanggar aturan.
Oh, Anakku, Bunga Magnolia, Pahlawan Tionggoan, kini engkau tergolek tak berdaya di dalam haribaan pertiwi.
Tanah bergetar.
Langit meratap dengan gelegar sejuta guntur.
Derau angin berdesing-desing.
Bangunlah, Anakku.
Bangunlah!
Di sini yang-liu meliuk-liuk memanggilmu.
Bangunlah, Anakku.
Inilah Aku, Avalokitesvara dari langit ketujuh.


EPILOG

"Pasukan besar Mongol tidak dapat dikalahkan hanya dengan mengandalkan tekad semata, Kapten Shang. Banyak faktor yang mesti dipikirkan sebelum bertindak."
"Lantas, apakah kita hanya tinggal berdiam diri saja sampai Tionggoan benar-benar jatuh ke dalam tangan Temujin?!"
"Bukan begitu. Ingat, emosi yang membahang seperti yang Anda lakukan dulu bukan merupakan tindakan yang tepat. Anda masih ingat bagaimana dengan nyawa Anda sendiri yang hampir melayang ketika menyongsong tanpa nalar pasukan pemberontak Han dulu. Jangan menambah masalah dengan bertindak gegabah. Penyerangan balasan terhadap kubu Mongolia harus dipikirkan matang-matang. Mundur bukan berarti kalah."
"Ibukota Da-du kritis, Kaisar Yuan Ren Zhan di ambang maut. Entah, apa yang tengah dilakukan oleh si Birang Shan-Yu itu. Sekarang Bao Ling tengah menjemput beliau di hutan Hwa. Beberapa pasukan elit kita tengah bersama Bao Ling untuk menghadang pergerakan kecil pemberontak Han pimpinan Shan-Yu yang tengah mengejar Kaisar Yuan Ren Zhan."
"Saya mafhum. Namun bukan demikian caranya untuk menuntaskan masalah sepelik ini, Kapten Shan. Tugas Anda sekarang adalah memimpin sembari mengatur strategi militer di Tung Shao. Saya sendiri akan menyusul Bao Ling ke hutan Hwa."
"Saya percaya kamu dapat menuntaskan setiap masalah, Mulan. Tapi saya tidak ingin kamu menjadi tumbal di garda depan Yuan."
"Tidak penting memikirkan pada posisi apa kita berada, Kapten Shang. Tidak penting dalam posisi, jabatan, dan strata apa kita sekarang. Mempertahankan negara merupakan kewajiban setiap orang. Bukankah sedari dulu telah saya tegaskan kepada Anda bahwa, masalah Yuan merupakan tanggung jawab kolektif. Bukan masalah orang per orang saja."
"Saya mengerti. Tapi terjepit di dalam masalah besar begini, saya tidak tahu harus berbuat apa lagi."
"Untuk itulah diperlukan kontemplasi."
"Apa itu, Mulan?"
"Meditasi, itulah salah satu permenungan agar kita dapat berpikir jernih untuk dapat menyelesaikan masalah sebesar ini."
"Saya tidak tahu seberapa besar manfaat meditasi. Hei, bukankah hal itu merupakan salah satu ajaran Sakyamuni?"
"Sakyamuni hanya membeberkan jalan. Beliau tidak pernah memaksakan kehendak kepada sesiapa. Jiwa dan raga kita tergantung pada kehendak kita sendiri. Kitalah yang menjadi majikan atau tuan atas diri dan pikiran kita sendiri. Kitalah yang bertanggung jawab atas diri kita masing-masing. Untuk itulah diperlukan kontemplasi. Tujuannya, agar kita dapat mengambil langkah-langkah tepat menyiasati masalah. Bukannya mengambil langkah gegabah yang keliru."
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang untuk mengantisipasi pergerarakan pasukan Mongolia?"
"Saya mengerti, memang sudah sepatutnyalah kita mengambil langkah-langkah penting dan cepat untuk menghalau pergerakan Mongolia. Jujur saja, sebenarnya pasukan kavaleri Fo Liong kita sudah dihancurkan di perbatasan Tembok Besar. Jadi, satu-satunya kekuatan kita sekarang hanya bertumpu di Tung Shao ini. Pasukan elit Yuan di Ibukota Da-du sendiri sudah menyerah. Saya kira, pasukan kitalah yang merupakan titik terakhir untuk mengadakan perlawanan sebelum sungguh-sungguh jatuh ke dalam tangan Temujin."
"Kalau begitu, tunggu apalagi? Secepatnya kita harus menyerang sebelum Temujin merebut Ibukota Da-du."
Fa Mulan menghela napas panjang. Sungguh, ia tak paham benar lara yang belum mereda. Tak henti-hentinya Tionggoan dirundung maharana. Rakyat dan para jelata jualalah yang akan menjadi korban kebiadaban.
"Kapten Shang...."
"Maafkan saya jika terlampau emosional."
"Anda tidak salah. Saya mengerti seseorang akan menjadi labil jika didera situasi sulit seperti ini."
"Tapi, saya merasa bersalah. Saya merasa seperti tidak berguna sama sekali."
"Kesalahan tidak dapat ditujukan pada satu pundak saja, Kapten Shang. Masuknya pasukan Mongolia ke Tionggoan tidak dapat dikatakan sebab kelalaian Anda semata. Banyak faktor penyebab. Di antaranya euforiaritas akibat kemenangan Yuan terhadap pasukan pemberontak Han di Tung Shao beberapa waktu yang lalu. Jadi, saya berharap Anda tidak larut dalam penyesalan diri begitu."
"Seperti di sini, kalau bukan kamu, entah apa yang akan terjadi. Saya merasa benar-benar tidak berguna. Kamulah yang berhasil mengalahkan pasukan Han Chen Tjing."
"Bukan saya. Tapi kemenangan kita adalah kemenangan kolektifitas. Semua prajurit di sini turut berandil mengalahkan pasukan pemberontak Han. Jadi, bukan saya semata."
Pemuda itu mengangguk. Sorot bola matanya yang serupa elang masih mematri pada wajah tegas Fa Mulan. Sesungguhnya kegamangannya kali ini bukan lantaran runtuhnya Dinasti Yuan, namun lebih daripada semua itu. Ada yang lebih ia takutkan melebihi marabahaya manapun yang siap merenggut nyawanya sendiri.
Hitungan bilangan hari, dan bulir padi pada pematang adalah ihwal kematian. Sedemikian dekatkah gadis itu pada ujung kematian?! Makhluk manakah yang akan yang akan menghabisi dan menyabut nyawa Bunga Magnolia itu?!
Sekali lagi ia menggeleng tanpa sadar. Bukankah kematian merupakan awal kehidupan yang baru?! Bukankah kematian merupakan pengakhiran derita yang seperti tak pernah ada habisnya?! Lalu, untuk apa ia menyesalinya?!
Apakah napasnya hanya sependek gelung tabir asap dupa yang bergeletar getas di atas paidon?! Oh, Dedewa, meski ia bukanlah rani, namun sudilah Engkau turun ke bumi. Mengangkatnya dari kubangan kematian. Sebab maharana ini sungguh menyesakkan jiwa.
"Saya akan segera berangkat ke hutan Hwa untuk membantu Bao Ling menolong Baginda."
"Mulan...."
"Sudahlah, Kapten Shang. Anda harus berkonsentrasi di Tung Shao ini. Jangan terlalu memikirkan saya. Saya akan jaga diri baik-baik."
"Saya khawatir Shan-Yu...."
"Percayalah, Kapten Shang. Kebatilan tidak pernah dapat mengalahkan kebajikan. Saya berjanji akan kembali dengan selamat. Tentu saja, bersama Kaisar Yuan Ren Zhan."
"Tapi, Shan-Yu memiliki ilmu silat yang tinggi. Dia juga licik."
"Saya, beserta Bao Ling, yakin dapat mengatasinya. Lagipula, Dewata tentu tidak ingin membiarkan kebatilan merajalela di Tionggoan ini."
"Ya, ya."
"Sebentar lagi saya harus ke hutan Hwa. Di sini, Anda harus memperkuat basis tempur. Anda harus berhati-hati, Kapten Shang. Mongolia bukan musuh sembarangan. Mereka memiliki kapabilitas tempur yang melebihi pasukan pemberontak Han. Temujin jauh lebih lihai ketimbang Han Chen Tjing, yang lebih mengandalkan emosional ketimbang logika dalam sebuah rana. Temujin adalah tokoh tipikal nomadi. Dia merupakan petarung gurun yang hebat dan ulet. Meski saya tidak gentar terhadap terhadap kubu lawan yang kuat, namun rasa pesimistis akan kemampuan pasukan kita tetap saja menghantui saya."
"Memang. Saya sendiri sudah pesimistis, Mulan. Ibukota Da-du hanya tinggal menunggu hari saja jatuh ke dalam tangan Temujin. Keadaaan sudah sangat genting. Perdana Menteri Shu Yong dan Jenderal Gau Ming sudah tewas. Sementara itu jenderal-jenderal lain sudah melarikan diri jauh-jauh hari sebelum Mongolia menyerang. Sekarang, harapan Yuan hanya terletak di pundak kita berdua. Lalu, apa yang dapat kita lakukan dengan sisa pasukan begini?!"
Fa Mulan menghela napas panjang.
Ya, apa yang dapat mereka lakukan sekarang?!
Digigitnya bibir.
Oh, inikah karma dari kebatilan manusia atas manusia lainnya?!
Sungguh, inilah beban terberat yang pernah ia emban. Namun selalu ada jalan keluar dari masalah. Selalu ada sinar terang di balik kegelapan.
Dan ia percaya, Dewata senantiasa melindunginya!

=== SELESAI===